Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini perkembangan dunia investasi semakin marak. Banyaknya masyarakat yang tertarik dan masuk ke bursa untuk melakukan investasi menambah semakin berkembangnya dunia investasi. Hal inilah yang kemudian membuat para pengelola dana ramai-ramai menciptakan berbagai produk untuk ditawarkan kepada masyarakat. Dapat kita lihat bagaimana perkembangan transaksi di bursa saham yang semakin hari semakin ramai, nilai aktiva bersih Reksa Dana yang juga secara perlahan mengalami peningkatan, berbagai produk Reksa Dana bermunculan, dan masih banyak lagi. Tak terkecuali pada instrumen obligasi. Melihat animo masyarakat yang begitu antusias untuk berinvestasi juga membawa pengaruh pada perdagangan obligasi. Obligasi adalah tanda bukti perusahaan emiten memiliki utang jangka panjang kepada masyarakat yang biasanya berdurasi di atas 3 tahun. Di mana pihak yang membeli obligasi disebut pemegang obligasi bondholder yang akan menerima kupon sebagai pendapatan yang dibayarkan setiap beberapa periode. Pada saat pelunasan obligasi oleh emiten, bondholder akan menerima kupon dan pokok obligasi Moh. Samsul, 2006. Emiten dapat berupa sebuah perusahaancorporat, Badan usaha milik negara, pemerintah pusatdaerah serta pemerintah asing. Sedangkan investor dapat berupa Universitas Sumatera Utara perusahaan asuransi, dana pensiun, investment company, perusahaancorporate lain, serta peroranganindividu. Sebagai informasi tambahan, obligasi pemerintah yang telah banyak beredar seperti Surat Utang Negara SUN dan Obligasi Ritel Indonesia ORI. Investasi pada obligasi akan memberikan keuntungan tertentu bagi pemegangnya yang dapat berupa pendapatan bunga tetap coupon serta peningkatan harga ke depan capital gain. Bunga atau coupon merupakan pendapatan yang diperoleh pemegang obligasi yang periode pembayarannya dapat berbeda-beda, ada yang tiga bulan sekali, enam bulan sekali, atau sekali dalam setahun. Penerbitan obligasi daerah merupakan salah satu alternatif sumber pembiayaan pada struktur APBD yang mengalami defisit. Dengan adanya Undang- Undang No. 33 Tahun 2004 peluang penerbitan obligasi daerah Provinsi Sumatera Utara memungkinkan dengan menyikapi penilai secara kelayakan dari proyek-proyek yang dibiayai melalui penerbitan obligasi. Peluang secara aspek keuangan daerah Undang-Undang No. 33 Tahun 2000 memungkinkan Pemerintah Daerah Sumatera Utara menerbitkan obligasi daerah dalam membiayai proyek-proyek fasilitas publik yang menghasilkan benefit. Namun persyaratan lainnya harus dapat mengkondisikan peluang daerah untuk menrbitkan obligasi daerah, seperti Peraturan Pemerintah PP, Peraturan Bapepam, Peraturan Pemerintah Daerah dan sebagainya. Potensi penerbitan obligasi daerah sangat tergantung kepada sektor ekonomi daerah yang perlu mendapatkan biaya untuk merespon kegiatan pembangunan dalam upaya peningkatan pelayanan. Keberadaan sektor publik Sumatera Utara yang tidak dapat terlepas dengan ekonomi global yang tersedia dan diperlukan masyarakat Universitas Sumatera Utara maupun dunia usaha masih terbatas. Upaya pengembangan pelayanan publik bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menjadi potensi penerbitan obligasi daerah. Seperti sektor transformasi untuk jalan Tol, dan Kereta Api, Air Minum, Pelabuhan udara dan laut Ramli, 2009. Penerbitan obligasi merupakan suatu cara untuk memotong biaya intermediasi keuangan. Sebagai ilustrasi, apabila tingkat bunga deposito 9 dan perusahaan meminjam dari bank, perusahaan mungkin harus membayar bunga 15 per tahun. Apabila perusahaan dapat menerbitkan obligasi dengan coupon rate sebesar 11 dan terjual pada harga nominal, maka perusahaan dapat menghemat biaya dana cost fo funds sebesar 4 dikurangi biaya emisi dan administrasi lainnya. Bagi masyarakatinvestor juga memperoleh manfaat karena memperoleh keuntungan sebesar 11 per tahun yang lebih tinggi dari tingkat deposito perbankan dengan resiko yang relatif sama antara perbankan dan emiten Husnan, 2005. Semakin banyak perusahaan yang menerbitkan obligasi. Begitu pula dengan Pemerintah yang juga menerbitkan obligasi. Perkembangan obligasi sendiri mulai menunjukkan adanya peningkatan yang berarti sebagai salah satu instrumen investasi dan keuangan pada periode tahun 2000. Adanya prosedur pinjaman di lembaga perbankan yang semakin ketat menyebabkan banyak pihak yang sedang membutuhkan dana untuk ekspansi bisnis atau melakukan pelunasan utangnya mulai melirik obligasi sebagai salah satu alternatif pengumpulan dana. Alasannya antara lain, ialah dengan menerbitan obligasi lebih mudah dan fleksibel dibandingkan meminjam di bank. Selain itu, tingkat suku bunga obligasi bisa dibuat lebih menarik Universitas Sumatera Utara dan menguntungkan bagi perusahaan dibandingkan tingkat suku bunga pinjaman perbankan yang rasanya sulit untuk diturunkan. Sebagai catatan tambahan, berdasarkan data yang dikeluarkan Bapepam hingga September 2010, nilai outstanding obligasi Pemerintah telah mencapai Rp 444,490 milyar untuk obligasi berkupon tetap, Rp 142,795 milyar untuk obligasi berkupon mengambang, Rp 2,512 milyar untuk obligasi zero coupon, dan Rp 29,245 milyar untuk Surat Perbendaharaan Negara. Perkembangan obligasi ritel menarik untuk dicermati. Sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 2006 seolah-olah membuka kran investasi baru bagi investor, terutama investor kecil. Selama ini, untuk melakukan investasi pada obligasi dibutuhkan dana yang besar. Hal ini tentu hanya bisa dilakukan oleh para investor yang memiliki dana sangat besar. Selain itu, transaksi obligasi juga lebih banyak didominasi oleh investor institusi seperti dana pensiun, Reksa Dana, asuransi, lembaga pembiayaan, dan institusi lainnya. Para investor kecil tidak dapat melakukan investasi secara langsung pada obligasi mengingat dibutuhkan dana yang sangat besar. Pemerintah melihat hal ini sebagai peluang di mana para investor kecil juga memiliki keinginan untuk dapat berpartisipasi dalam perdagangan obligasi serta memiliki potensi investasi. Untuk itulah, Pemerintah segera merealisasikan maksud tersebut dengan menerbitkan Obligasi Negara Ritel yang kita kenal dengan sebutan ORI. Maksud dari ORI ialah obligasi atau surat hutang yang diterbitkan oleh Pemerintah dengan pembagian kupon fixed rate atau bunga tetap. Keuntungan yang Universitas Sumatera Utara dapat diraih investor jika membeli ORI adalah mendapatkan capital gain dan bunga, serta terhindar dari kemungkinan gagal bayar default. Capital gain akan didapat jika tingkat bunga pasar lebih rendah dari kupon ORI. Capital gain akan muncul apabila investor menjual obligasinya sebelum jatuh tempo. Sementara itu, yang dimaksud default adalah jika Pemerintah mengalami gagal bayar terhadap bunga maupun kuponbunganya. Keuntungan khusus ORI adalah dapat dibeli dengan denominasi kecil dengan minimum Rp 5 juta, mudah diperjualbelikan melalui agen penjual yang ditunjuk. Hal ini menunjukkan likuiditas ORI sangat tinggi. Selanjutnya, imbal hasil yang hasilnya dibayarkan setiap bulan. ORI sangat diminati oleh masyarakat karena kupon yang lebih tinggi dari suku bunga acuan dan dijamin oleh Pemerintah serta dapat dibeli secara ritel, dengan skala kecil dan menengah. Hingga kini telah beredar 5 seri ORI di mana ORI pertama dengan kode ORI001 terbit pada Agustus 2006. Selang setahun kemudian Pemerintah kembali menerbitkan ORI002, dan seterusnya hingga terbitlah ORI005 yang nilai penerbitannya di bawah nilai penerbitan ORI lainnya. Kemudian, Pemerintah kembali menerbitkan obligasi ritel pada bulan Agustus 2009. Keputusan penerbitan obligasi ritel menyusul akan jatuh temponya obligasi ritel 1 ORI001 dan beban belanja negara yang semakin meningkat. Data menunjukkan bahwa Pemerintah harus membayar Rp 3,2 triliun kepada para pemegang obligasi ORI001. Tentu saja keputusan penerbitan ORI006 tidak semata- mata karena jatuh temponya ORI001. Anggaran Pendapatan Belanja APBN juga menjadi pertimbangan pemerintah untuk menerbitkan ORI006. Defisit anggaran Universitas Sumatera Utara pemerintah yang semakin besar juga merupakan dasar penerbitan obligasi ini oleh Pemerintah. Data menunjukkan bahwa APBN tahun 2009 mengalami defisit sebesar Rp 51 triliun. Perkembangan jumlah dana yang mampu dihimpun dari penjualan obligasi ritel cukup berfluktuatif. Data menunjukkan bahwa jumlah dana tertinggi yang mampu dihimpun sebesar Rp 13,4 triliun oleh ORI004. Sedangkan jumlah dana terendah sebesar Rp 2,7 triliun oleh ORI 005. Adapun perkembangan obligasi ritel negara Indonesia ORI ditunjukkan oleh tabel berikut ini: Tabel 1.1. Obligasi Ritel Negara Indonesia Seri Terbit Kupon Nilai Penerbitan Juta Rupiah ORI001 9 Agustus 2006 12,05 3.283.650 ORI002 28 Maret 2007 9,28 6.233.200 ORI003 12 September 2007 9,40 9.367.695 ORI004 12 Maret 2008 9,50 13.455.765 ORI005 3 September 2008 11,45 2.714.875 ORI006 12 Agustus 2009 9,35 8.353.750 ORI007 4 Agustus 2010 7,95 8.000.000 Sumber: Ditjen Pengelolaan Utang 2010. Sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 2006, dana yang terkumpul dari penjualan obligasi ritel mengalami pasang-surut. Dana obligasi yang terkumpul paling tinggi terjadi ketika pemerintah menerbitkan ORI004, di mana lebih dari Rp. 13 triliun dana berhasil terkumpul. Kupon yang diberikan juga cukup kompetitif sekitar 9,5. Sedangkan penjualan ORI005 merupakan penjualan obligasi ritel yang paling buruk karena hanya mampu mengumpulkan Rp 2,7 triliun dan tingkat kupon yang diberikan sebesar 11,45. Kupon ORI005 merupakan kupon nomor dua Universitas Sumatera Utara terbesar setelah ORI001 sebesar 12,05. Keputusan investor untuk membeli obligasi ritel tentu saja tidak terlepas dari valuasi yang dilakukan investor terhadap obligasi ritel tersebut dengan melihat kondisi makroekonomi. Nilai obligasi sangat dipengaruhi oleh perubahan tingkat bunga umum seperti tingkat bunga FED Federal Reserve System dan prime rate US di Amerika Serikat atau tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia SBI dan bunga rata-rata deposito bank umum milik negara. Di mana setiap investor akan memilih tingkat bunga yang berbeda sebagai yield to maturity YTM, sehingga hasil perhitungan nilai obligasi secara teoritis akan berbeda untuk suatu jenis obligasi yang sama. Nilai teoritis yang berbeda itulah yang menyebabkan terjadinya tawaran beli dan jual yang meramaikan pasar yang dalam prosesnya akan membentuk harga pasar. Dalam satu hari dapat terbentuk beberapa harga pasar atas suatu jenis obligasi, tetapi yang diumumkan hanya harga pasar tertinggi, terendah, pembukaan dan penutupan Moh. Samsul, 2006. Dari tabel di bawah terlihat adanya hubungan antara harga ORI dengan laju inflasi dan suku bunga deposito. Di mana pada saat laju inflasi dan suku bunga deposito berada pada level tertinggi pada semester kedua tahun 2008, harga ORI di pasar sekunder berada pada level terendah sepanjang periode penelitian. Hal ini disebabkan karena pada saat inflasi tinggi akan mengurangi nilai riil uang dan mengurangi daya beli masyarakat, sedangkan suku bunga deposito akan dinaikkan untuk dapat merangsang masyarakat untuk menyimpan uangnya ke perbankan yang mana kombinasi kedua variabel ini akan menurunkan jumlah permintaan ORI Universitas Sumatera Utara di pasar sekunder yang pada akhirnya akan menurunkan harga ORI tersebut di pasar sekunder. Tabel berikut ini menunjukkan perbandingan perkembangan harga ORI di pasar sekunder dengan laju inflasi Indonesia dan suku bunga rata-rata deposito perbankan periode 1 bulan dari semester pertama tahun 2008 sampai tahun 2011. Tabel 1.2. Perkembangan Harga ORI, Inflasi dan Suku Bunga Deposito Tahun 2008 – 2011 Tahun Semester Harga ORI Inflasi Suku Bunga Deposito Rupiah 2008 I 90,50 11,03 7,26 II 90,50 11,06 10,71 2009 I 96,50 3,65 8,31 II 102,41 2,78 6,77 2010 I 103,35 5,05 6,57 II 102,17 6,96 6,64 2011 I 102,84 5,54 6,8 Sumber: Bloomberg dan Bank Indonesia, data diolah 2011. Tetapi pada saat harga ORI di pasar sekunder berada pada level tertinggi yang terjadi pada semester pertama tahun 2010, hanya suku bunga deposito saja yang juga berada pada level terendah, sedangkan laju inflasi tidak pada posisi terendah melainkan hal tersebut terjadi pada semester ke dua tahun 2009. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan hubungan yang erat antara pergerakan harga ORI di pasar sekunder dengan pergerakan suku bunga deposito, di mana dengan rendahnya suku bunga deposito maka keuntungan dari ORI akan meningkat sehingga akan menaikkan harga ORI tersebut karena tingginya permintaan akan ORI di pasar sekunder. Universitas Sumatera Utara Tabel berikut ini menunjukkan perbandingan perkembangan harga ORI di pasar sekunder dengan BI Rate dan Indeks Harga Saham Gabungan IHSG dari semester pertama tahun 2008 sampai tahun 2011. Tabel 1.3. Perkembangan Harga ORI, BI Rate dan IHSG Tahun 2008 - 2011 Tahun Semester Harga ORI BI Rate IHSG Rupiah Poin 2008 I 90,50 8,50 2349,10 II 90,50 9,25 1355,41 2009 I 96,50 7,00 2026,78 II 102,41 6,50 2534,36 2010 I 103,35 6,50 2913,68 II 102,17 6,50 3703,51 2011 I 102,84 6,75 3702,25 Sumber: Bloomberg dan Bank Indonesia, data diolah 2011. Dari tabel di atas terlihat adanya hubungan antara harga ORI dengan BI Rate dan Indeks Harga Saham Gabungan IHSG. Di mana pada saat BI Rate berada pada level tertinggi dan IHSG berada pada posisi terendahnya yang terjadi pada semester ke dua tahun 2008, harga ORI pada pasar sekunder berada pada level terendahnya sepanjang periode penelitian. Hal ini disebabkan karena berkurangnya keuntungan para investor ORI akibat tingginya BI Rate, sehingga akan berdampak terhadap berkurangnya permintaan akan ORI yang pada akhirnya akan menurunkan harga ORI tersebut di pasar sekunder. Sedangkan rendahnya IHSG kemungkinan memiliki pengaruh terhadap minat investor untuk menanamkan modalnya ke pasar modal Indonesia, di mana di dalamnya terdapat pasar obligasi yang memperjualbelikan ORI. Universitas Sumatera Utara Tetapi pada saat harga ORI di pasar sekunder berada pada level tertinggi yang terjadi pada semester pertama tahun 2010, hanya BI Rate saja yang juga berada pada level terendah, sedangkan IHSG tidak pada posisi tertingginya melainkan hal tersebut terjadi pada semester kedua tahun 2010. Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh BI Rate terhadap harga ORI, di mana selain sebagai penentu besar kecilnya tingkat kupon yang diterima oleh pemegang ORI namun BI Rate juga sebagai suku bunga acuan di Indonesia, sehingga hal inilah yang membuat tingginya hubungan antara pergerakan harga ORI di pasar sekunder dengan pergerakan BI Rate. Sedangkan IHSG hanya merupakan indikator umum terhadap perkembangan pasar modal Indonesia, sehingga hanya sedikit mempengaruhi pergerakan harga ORI di pasar sekunder. Harga obligasi yang diperdagangkan biasanya dinyatakan dalam persentase dari nilai nominalnya tanpa menuliskan . Jika harga penutupan suatu obligasi 107 berarti obligasi tersebut diperdagangkan pada harga 107 dari nilai nominalnya. Harga pasar obligasi selalu befluktuasi karena aktivitas jual-beli dari investor serta dipengaruhi oleh perubahan besaran variabel ekonomi makro seperti tingkat inflasi, tingkat suku bunga, pertumbuhan ekonomi, nilai tukar dan lain-lain. Investor dapat memperoleh imbal hasil dari selisih kenaikan harga capital gain di samping pendapatan tetap dari coupon. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membuat tesis yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Obligasi Ritel Republik Indonesia ORI”. Universitas Sumatera Utara

1.2. Rumusan Masalah