Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peranan perempuan baik dalam rumah tangga, keluarga, masyarakat, baik secara sadar maupun tidak sadar selalu dibutuhkan, namun kebanyakan peran perempuan seringkali tidak dihargai. Situasi seperti ini dapat dilihat dari kasus Darmi sebagai buruh perempuan. Darmi adalah seorang anak yang lahir di Jawa dan dibesarkan dalam keluarga Jawa. Saat ini ia berusia 11 tahun, dalam kehidupan sehari-hari Darmi sering disiksa ibu tirinya, kematian ibu tirinya bukan mengurangi beban hidupnya dan dia harus merawat dan mengasuh adik-adiknya, mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti menyuci, memasak, membersihkan rumah, dan lain-lain. Di usianya yang memasuki remaja, dia terpaksa menikah, karena diperkosa oleh suami saudara sepupunya. Perkawinannya pun hanya berupa “rujuk kampung”; tidak pernah tercatat di cacatan sipil hingga kini. Selama perkawinannya, Darmi tidak pernah mendapat jaminan hidup atau nafkah dari suaminya. Sehingga membuat Darmi terpaksa bekerja sebagai buruh pabrik biskuit, untuk membiayai hidupnya dan anak-anaknya. Bagi Darmi, diterima bekerja di perusahaan adalah sebuah anugrah. Ia buta huruf, sehingga Darmi tidak pernah merisaukan ketidakjelasan upah kerja per harinya. Baginya yang penting adalah menerima upah. Ia merasa tidak perlu tahu rincian upah pokok, jumlah lembur dan premi Republika 1996:14 Universitas Sumatera Utara Dari uraian singkat kisah Darmi di atas, dapat dilihat bahwa anak perempuan selalu dinomor duakan. Hal ini dirasakan Darmi melalui penyiksaan dari ibu tirinya, Darmi diharuskan mengasuh adik-adiknya, perkawinannya tidak dicatat dicatatan sipil, Darmi tidak pernah mendapat nafkah dari suaminya, upah kerja tidak sesuai dengan jumlah lembur dan premi, dan lain-lain. Ihromi juga berpendapat bahwa pada umumnya dalam kebanyakan bangsa, dahulu maupun sekarang anak perempuan menduduki tempat kedua dalam masyarakat maupun dalam keluarga. Namun demikian bukan tidak dapat dipisahkan, bahwa dalam pergaulan masyarakat, khususnya dalam kehidupan keluarga, anak perempuan itu jauh lebih rendah kedudukannya dari anak laki-laki walaupun harus diakui bahwa dalam pergaulan umum anak perempuan itu umumnya muncul di garis belakang, namun pengaruhnya sebenarnya jauh lebih besar daripada yang kelihatan secara nyata 1994: 44. Sesuai dari pendapat Ihromi diatas bahwa pengaruh anak perempuan dalam pergaulan masyarakat dan keluarga umumnya muncul di garis belakang, namun pengaruhnya sebenarnya jauh lebih besar daripada yang kelihatan secara nyata. Hal ini dapat dibuktikan dari kisah Darmi di atas, dia harus bekerja sebagai buruh di pabrik biskuit untuk membiayai hidupnya, suaminya, dan anak-anaknya. Selain itu Darmi juga diharuskan untuk merawat dan mengasuh adik-adiknya, mengerjakan semua pekerjaan rumah. Selain pendapat Ihromi, Mansyur dalam Listiani juga berpendapat bahwa di dalam keluarga sering terjadi pembagian peran yang tidak Universitas Sumatera Utara seimbang antara anak laki-laki dengan anak perempuan ataupun antara ibu dan ayah. Permasalahan gender dan kondisi ketidak adilan gender selalu juga dijumpai di lingkungan rumah tangga, bagaimana proses pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antara anggota keluarga dalam banyak rumah tangga sehari-hari dilaksanakan dengan menggunakan asumsi bias gender oleh karena itu rumah tangga merupakan tempat strategis dalam mensosialisasikan ketidakadilan gender 2002: 47. Jika pendapat dari Mansyur kita kaitkan dengan kisah Darmi di atas, memang terdapat pembagian peran yang tidak seimbang antara anak perempuan dengan anak laki-laki. Kisah Darmi menunjukkan bahwa ia harus mengabdi kepada keluarga dan suaminya. Walaupun pengabdian tersebut selalu tidak menguntungkan buat Darmi, yang ada malah penderitaan berkelanjutan yang tak pernah henti-hentinya. Menurut paradigma konflik sosial yang bersumber dari pemikiran Marx, keluarga bukan sebuah kesatuan yang normatif harmonis dan seimbang, melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik, di mana ada anggapan bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial yang opresif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender, dianggap kontruksi budaya, sosialisasi kapitalisme atau patriarkat. Pria dianggap sebagai “pemilik sumber daya” yang dilegitimasi oleh budaya dan nilai- nilai patriarkat, telah menempatkan perempuan pada posisi “abdi” karena harus bergantung pada suami dengan beban pekerjaan reproduksi dan Universitas Sumatera Utara pengasuhannya. Hal ini menurut para feminisme telah membuat ketidakadilan dalam sistem kepemilikan dalam keluarga, di mana perempuan ada dalam posisi yang tidak menguntungkan Megawangi 1999: 91. Selain kisah dari Darmi sebagai buruh perempuan, ketidakadilan dalam pembagian peran juga terjadi pada masyarakat etnik Nias. Posisi anak perempuan di Nias jika dibandingkan dengan teman sebayanya yang berjenis kelamin laki-laki sangat berbeda. Beberapa kasus menunjukkan betapa anak perempuan di Nias mendapat peran dan fungsi yang tidak adil jika dibandingkan dengan anak laki-laki. Beberapa contoh di bawah ini menunjukkan bukti betapa beratnya beban yang harus dikerjakan anak perempuan Nias. Sejak umur sekitar 5-6 tahun mereka mendapat tugas dari orangtua untuk mengasuh adiknya, membantu ibu di dapur, mengambil air minum di sungaidi sumur atau ditugaskan pekerjaan lainnya. Pekerjaan berat yang seharusnya dilakukan bersama-sama keluarga seperti bekerja di ladangsawah, mencari kayu api, memelihara ternak babi, dan lain-lain justru dilakukan oleh anak-anak perempuan yang ada di Nias dan hal itu dilakukan berdasarkan usianya 5-6 tahun. Anak perempuanlah yang lebih banyak aktif dalam melaksanakan tugas-tugas dalam keluarganya. Mata pencaharian di Nias adalah bertani, berternak dan hal itu yang banyak dilakukan dan dikerjakan oleh anak perempuan mereka. Dari bertani dan berternak tersebut, maka keluarga dapat menghasilkan banyak uang dengan cara menjual hasil pertanian dan Universitas Sumatera Utara perternakan mereka. Sehingga anak perempuan di Nias dapat menjadi tulang punggung keluarga. Banyak keluarga di Nias berkeinginan untuk mempunyai anak perempuan dalam jumlah yang besar karena, bagi mereka “banyak anak banyak rejeki”. Itulah sebabnya, anak-anak perempuan di Nias kebanyakan tidak mendapat kesempatan dan merasakan pendidikan disekolah karena mereka lebih diharapkan untuk melakukan pekerjaan keluarga Suara Pembaruan 1996: 13. Dilihat dari kedua contoh diatas bahwa yang menjadi korban ketidak adilan gender adalah anak-anak perempuan yang berusia sekitar 6-12 tahun dimana anak-anak seusia ini seharusnya sekolah, anak-anak seusia mereke sudah mampu menerima pendidikan formal dan menyerap berbagai hal yang ada di lingkungannya. Papalia dan Old dalam Hawadi membagi masa kanak-kanak dalam lima tahap : • Masa Prenatal, yaitu diawali dari masa konsepsi sampai masa lahir. • Masa Bayi dan Tatih, yaitu saat usia 18 bulan pertama kehidupan merupakan masa bayi, di atas usia 18 bulan sampai dengan tiga tahun merupakan masa tatih. Saat tatih inilah, anak-anak menuju pada penguasaan bahasa dan motorik serta kemandirian. • Masa Kanak-Kanak Pertama, yaitu rentang usia 3-6 tahun, masa ini dikenal juga dengan masa prasekolah. Masa ini merupakan masa- masa bahagia dan amat memuaskan dari seluruh masa kehidupan anak. Pada masa ini yang ditekankan adalah bermain, pada masa inilah orang tua menemukan orang seperti apakah anak kita tersebut. Universitas Sumatera Utara • Masa Kanak-Kanak Kedua, yaitu usia 6-12 tahun, dikenal pula sebagai masa sekolah. Anak-anak telah mampu menerima pendidikan formal dan menyerap berbagai hal yang ada di lingkungannya. Pada masa ini anak belajar bergaul dengan teman- teman sebayanya. • Masa Remaja, yaitu rentang usia 12-18 tahun. Saat anak mencari indentitas dirinya dan banyak menghabiskan waktunya dengan teman sebayanya serta berupaya lepas dari kungkungan orang tua. Pada tahap ini anak sudah mulai ingin menunjukkan kebebasannya sebagai individu, masa ini ditunjukkan dalam bentuk sikap keras kepala, melawan, tidak patuh dan berbuat antagonis 2001: 3-4. Menurut Moore 1998:82 kaum perempuan di seluruh dunia terlibat dalam kerja produktif di dalam maupun di luar rumah. Ciri yang sesungguhnya dari kerja ini berbeda-beda dari satu budaya ke budaya lainnya, tetapi pada umumnya bisa digolongkan ke dalam empat kelompok kerja, yaitu bidang pertanian, perdagangan, kerja rumah tangga dan kerja upahan. Biasanya setiap manusia di dalam masyarakat sejak masa kecil telah diresapi oleh nilai-nilai budaya yang hidup di dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai budaya yang hidup di dalam masyarakat itu biasanya akan berakar di dalam diri masing-masing individu, sehingga sulit untuk merubahnya dengan nilai-nilai baru. Demikian juga dengan penilaian mereka tentang nilai anak dalam keluarga yang bersumber dari adat istiadat dan kebudayaan masyarakat tersebut. Misalnya adanya Universitas Sumatera Utara kebiasaan pada sebagian besar masyarakat untuk memiliki anak secara maksimal tanpa ada pembatasan terutama karena anak dalam konteks budaya sering dianggap sebagai sumber rejeki dan alat untuk menaikkan prestise orang tua di dalam masyarakat, sehingga belum mendapatkan anak, mereka tidak merasa puas. Kuatnya nilai akan norma tentang anak pada budaya masyarakat etnik Karo sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kehadiran anak-anak dalam keluarga sangat diharapkan. Belumlah lengkap dan bahagia bila dalam suatu keluarga etnik Karo belum lahir seorang anak, terutama anak laki-laki. Menurut Bachofen, diseluruh dunia keluarga manusia berkembang melalui empat tingkat evolusi yaitu : 1. Promiskuitas, di mana manusia hidup serupa sekawanan binatang berkelompok, dan laki-laki serta wanita berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunan tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti sebagai inti masyarakat belum ada pada waktu itu. 2. Garis keturunan untuk selanjutnya diperhitungkan melalui garis ibu, maka timbul suatu keadaan masyarakat yang oleh sarjana waktu itu disebut matriarchate 3. Kelompok-kelompok keluarga dengan ayah sebagai kepala, kelompok ini dinamai patriarchate. 4. Tingkat terakhir terjadi waktu perkawinan di luar kelompok, yaitu exogami, berobah menjadi endogami karena berbagai sebab. Dengan demikian patriarchate lambat laun hilang, Universitas Sumatera Utara dan berobah menjadi suatu susunan kekerabatan yang oleh Bachofen disebut parental Koentjaraningrat 1987:39 Sebagai penganut garis keturunan Patrilineal, masyarakat etnik Karo tentu sangat mengharapkan kehadiran anak laki-laki. Anak laki-laki mempunyai nilai sosial yang sangat luas, terutama sebagai penerus silsilah orang tuanya, sehingga nilai anak laki-laki jauh lebih tinggi dari anak perempuan. Apabila suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki walaupun sudah memiliki anak perempuan, mereka tidak pernah merasa puas, dan selalu berusaha untuk mendapatkan anak laki-laki. Dan usaha untuk itu akan selalu dilakukan seperti: dengan memproduksi anak terus menerus, mengangkat anak saudara, ataupun dengan cara yang lainnya sejauh tidak bertentangan dengan adat atau konteks budaya yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Berbeda halnya apabila suatu keluarga tidak memiliki anak perempuan, beban pemikiran mereka tidak seberat kalau tidak memiliki anak laki-laki, karena anak perempuan nanti akan pergi meninggalkan keluarganya dan bergabung dengan keluarga suaminya. Jadi jelasnya apabila suatu keluarga tidak memiliki anak perempuan bukan merupakan suatu masalah besar dalam masyarakat etnik Karo, hanya saja anggota keluarga terasa kurang lengkap. Dalam masyarakat etnik Karo diduga ketidakhadiran anak perempuan di tengah-tengah keluarga tidak menjadi beban atau pikiran buat orangtua. Namun, tidaklah lengkap rasanya jika anak perempuan belum ada. Pada masyarakat etnik Karo anak perempuan memiliki beban Universitas Sumatera Utara kerja yang berat di mana mereka harus mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti memasak, menyuci, membersihkan rumah, menjaga atau merawat adik bahkan terkadang membantu orangtua di ladang. Selain itu anak perempuaan pada masyarakat etnik Karo juga dapat membantu meringankan beban ekonomi keluarga dengan cara berjualan sayur- sayuran yang diambilnya dari ladang dan hasil penjualan ini diberikan kepada orangtuanya. Dari hasil pengamatan sementara, anak perempuan pada masyarakat etnik Karo selalu dinomor duakan dari saudara laki-lakinya, hal ini dapat dilihat dalam hal merasakan pendidikan ketika orangtua harus memberhentikan anaknya sekolah karena alasan ekonomi. Dapat diduga yang diberhentikan adalah anak yang perempuan. Karena orangtua pada masyarakat etnik Karo merasa bahwa anak laki-laki mereka yang dapat mengangkat martabatnya baik di tengah-tengah keluarga maupun pada masyarakat. Dalam hal pembagian harta warisan dari orangtua, anak perempuan tidak pernah mendapat bahagian, karena semua harta warisan diberikan kepada anak laki-laki. Anak perempuan jikalaupun dapat hanya bersifat pemberian dari “turangnya” saudara laki-lakinya. Namun, ketika orangtua sakit yang merawat adalah anak perempuan dengan alasan kalau saudara laki-lakinya sibuk bekerja. Anak perempuan diharuskan untuk menghormati saudara laki-lakinya turangnya, karena saudara laki-lakinya ini merupakan kalimbubu yang harus dihormati dan dihargai. Karena jika kalimbubu tidak dihargai dan dihormati, adanya mitos atau kepercayaan bahwa rejeki akan berkurang dan akan mendapat Universitas Sumatera Utara malapetaka seperti tidak mendapat keturunan, tanaman yang ditanam tidak berhasil atau gagal panen dan lain sebagainya. Kalimbubu merupakan bagian dari unsur Rakut Sitelu, dimana rakut sitelu ini adalah sistem organisasi yang ada pada masyarakat etnik Karo. Adapun ketiga unsur rakut sitelu ini adalah yang pertama yaitu: kalimbubu yang merupakan pemberi anak perempuan, dimana hati kalimbubu ini jangan sampai kecewa atau sakit hati, karena jika hal itu terjadi maka rejeki akan berkurang, malapetaka akan datang seperti tidak memiliki keturunan dan lain-lain, yang kedua yakni senina, senina ini merupakan yang satu marga atau satu darah, dimana senina berfungsi untuk penyampai kabar kepada anak beru jika kalimbubu hendak mengadakan suatu pesta. Yang ketiga yakni anak beru, sebagai penerima anak perempuan. Anak beru bertugas sebagai penyelesai semua kerjaan, misalnya jika kalimbubu mengadakan pesta seperti menyediakan makanan, membentangkan tikar dan sebagainya. Dari uraian di atas dapat dibuat kesimpulan sementara bahwa pada masyarakat etnik Karo telah terjadi ketidak adilan gender. Untuk dapat memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks jenis kelamin. Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi maalah sepanjang tidak melahirkan Universitas Sumatera Utara ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut Fakih 1996: 7-12.

B. Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Pemberhentian Kepala Daerah Studi Kasus Pemberhentian Bupati Karo, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti Masa Jabatan 2010-2015

2 64 100

Strategi Komunikasi Politik Dan Pemenangan Pemilu (Studi Kasus Strategi Komunikasi Politik Hulman Sitorus, SE - Drs. Koni Ismail Siregar Pada Masa Kampanye Pemilihan Umum Kepala Daerah Pematangsiantar 2010)

3 98 89

Partisipasi Politik Masyarakat Karo Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010 (Studi Kasus: Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan)

2 71 90

Calon Independen dalam Pemilihan Kepala Daerah Ditinjau dari Undang-undang Pemerintahan Daerah

2 79 104

Strategi pemasaran politik dalam pemenangan pemilihan kepala daerah (Studi Bonaran situmeang dan Syukran Tanjung dalam pemilihan kepala daerah Tapanuli Tengah Tahun 2011)

3 63 106

Rekrutmen Calon Kepala Daerah: Studi Terhadap Rekrutmen Calon Walikota Dan Wakil Walikota Dari Partai Demokrat Dalam Rangka Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010

3 57 72

Model Pemrograman Kuadratik Dalam Pembagian Daerah Pemilihan Umum .

2 32 59

Peranan Marketing Politik Dalam Pemenangan Pemilu (Studi Kasus: Strategi Politik Oloan Simbolon, ST dalam Pemenangan Pemilu Legislatif 2009 dari Daerah Pemilihan VIII Sumatera

1 85 111

Pengaruh Isu Politik yang Berkembang Saat Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 Terhadap Preferensi Politik Pemilih (Studi Kasus: Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dan Universitas HKBP Nomennsen)

0 40 170

ANALISIS KEIKUTSERTAAN CALON INDEPENDEN DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2008

0 4 154