1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanaman sayuran mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, sebab sayuran sangat berguna bagi pemenuhan gizi manusia dan juga bagi
pembangunan pertanian. Oleh sebab itu peningkatan produksi sayuran merupakan salah satu syarat mutlak untuk mencapai kesejahteraan umat
manusia Satsijati, et al., 1987. Contoh komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan adalah kubis Brassica oleracea L..
Kubis Brassicae oleracea L. merupakan komoditi sayuran yang memiliki nilai gizi dan ekonomi yang cukup tinggi. Budidaya kubis
memberikan pendapatan bagi petani, di samping itu kubis juga mengandung nilai gizi penting, yaitu vitamin A dan C Sastrosiswojo et al., 2005.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura, produksi sayuran kubis dalam skala nasional selalu menempati
urutan teratas. Pada tahun 2015 produksi tanaman kubis mencapai 1.443.232 ton. Banyaknya hasil produksi ini juga didukung oleh luas lahan yang
mencapai 64.625 Ha. Hal ini menunjukan bahwa tanaman kubis merupakan sayuran yang memiliki potensi untuk dikembangkan dan dibudidayakan secara
terus-menerus. Sehubungan dengan semakin meningkatnya permintaan masyarakat
terhadap komoditas sayuran ini dan didiukung oleh kondisi iklim yang sesuai, maka banyak iklim yang sesuai, maka banyak petani tertarik untuk
membudidayakan kubis. Namun demikian dalam budidaya tanaman ini masalah hama merupakan salah satu masalah yang sangat berpengaruh
terhadap produksi kubis baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Menurut Permadi dan Sastrosiswojo 1993
beberapa serangga hama telah dilaporkan dapat menimbulkan kerusakan pada pertanaman kubis di antaranya ulat daun
kubis Plutella xylostella L., ulat jantung kubis Crocidolomia pavonana Fab., ulat grayak Spadoptera litura Fab., ulat tanah Agrotis ipsilon
Hufnagel, ulat jengkal Crysodeixis orichalcea L., Helicoverpa armigera Hubner, Hellula undalis Fab., dan kutu daun.
Ulat kubis Plutella xylostella L. merupakan hama utama pada tanaman kubis dataran tinggi dengan tingkat serangan mulai dari sedang hingga berat.
Pada serangan berat bisa mengakibatkan kerugian yang sangat signifikan, terutama menurunnya kualitas produksi. Ulat ini dikenal juga dengan nama
ulat tritip, dan menjadi salah satu hama yang paling ditakuti oleh petani kubis. Ulat berukuran kecil ini biasanya bersembunyi di balik daun, dan menyerang
jaringan daun sehingga jaringan daun kosong, hanya tersisa epidermis saja. Daun yang terserang ditandai dengan bercak-bercak putih Tanijogonegoro,
2015. Berdasarkan informasi yang didapat hama Plutella xylostella L. menyerang sejumlah lahan pertanian di Desa Wangunharja, Kecamatan
Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Akibatnya, tanaman seperti kubis, brokoli, kol, dan sawi milik para petani banyak yang mengalami kerusakan
dan gagal panen. Serangan hama tersebut membuat para petani sangat terpukul, karena tingkat kerusakan tanamannya bisa sampai 90. Dampaknya
harga sejumlah komoditas kubis-kubisan mengalami penurunan. Harga sawi yang biasanya Rp 2.500-4.000 per kilogram jadi Rp 1.000 Husodo, 2017.
Selain itu, pertanian sayuran di Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah juga sedang dilanda musibah karena sayuran kubis yang petani panen
terserang hama ulat tritip. Hama tersebut menyebabkan kualitas dan kuantitas kubis hasil panen pertanian setempat menurun. Akibatnya, harga kubis
Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah turun sekitar 50 dari kondisi normal Putra, 2017. Akibat yang ditimbulkan oleh hama tersebut dapat
menurunkan produksi tanaman kubis dan mengakibatkan kerugian bagi para petani yang membudidayakan tanaman kubis tersebut. Oleh karena itu petani
perlu untuk memperhatikan permasalahan dan bagaimana untuk pengendalian hama ulat daun pada tanaman tersebut.
Petani kubis masih cenderung menggunakan insektisida kimiawi. Metode tersebut dipandang lebih efektif dan efisien mengendalikan serangga hama.
Sekitar 30 dari total biaya produksi digunakan untuk membeli insektisida kimiawi Sastrosiswojo et al., 2005.
Penggunaan pestisida kimia sintesis untuk mengendalikan hama mempunyai dampak negatif terhadap komponen ekosistem lainnya seperti
terbunuhnya musuh alami, resurgensi dan resistensi hama serta pencemaran lingkungan karena residu yang ditinggalkan Kishi et al., 1995. Catatan WHO
Organisasi Keseatan Dunia mencatat bahwa di seluruh dunia setiap tahunnya terjadi keracunan pestisida antara 44.000
– 2.000.000 orang dan dari angka tersebut yang terbanyak terjadi di negara berkembang. Alternatif yang dapat
dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan penggunaan insektisida nabati bioinsektisida. Menurut Setiawati dkk. 2008 penggunaan
insektisida nabati merupakan alternatif untuk mengendalikan serangan hama. Insektisida nabati relatif mudah didapat, aman terhadap hewan bukan sasaran
dan mudah terurai di alam sehingga tidak menimbulkan pengaruh samping. Insektisida nabati merupakan insektisida yang berbahan baku tumbuhan
yang mengandung senyawa aktif berupa metabolit sekunder yang mampu memberikan satu atau lebih aktivitas biologi, baik pengaruh pada aspek
fisiologis maupun tingkah laku dari hama tanaman serta memenuhi syarat untuk digunakan dalam pengendalian hama tanaman Dadang dan Prijono,
2008. Sifat insektisida nabati yang aman bagi organisme non target dan aman
bagi lingkungan merupakan salah satu keunggulan dari insektisida nabati. Selain itu pemanfaatan insektisida nabati dapat mengurangi ketergantungan
petani pada insektisida sintetik, lebih ramah lingkungan, serta berkelanjutan. Tumbuhan pada dasarnya mengandung banyak bahan kimia yang
merupakan produksi metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan sebagai alat pertahanan dari serangan OPT Organisme Pengganggu
Tanaman. Lebih dari 2.400 jenis tumbuhan yang termasuk kedalam 235 famili dilaporkan mengandung bahan pestisida. Oleh karena itu, jika dapat
mengolah tumbuhan ini sebagai bahan pestisida, maka akan membantu masyarakat petani untuk menggunakan pengendalian yang ramah lingkungan
dengan memanfaatkan sumber daya setempat yang ada disekitarnya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kardinan, 2004. Menurut Syahputra 2001 lebih dari 1500 jenis tumbuhan dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap serangga. Famili tumbuhan yang
dianggap merupakan potensial insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae, dan Rutaceae.
Tumbuhan yang saat ini sedang dikembangkan sebagai insektisida nabati yaitu tumbuhan yang menghasilkan minyak atsiri. Properti minyak atsiri
tersebut berhubungan dengan senyawa yang dikandungnya terutama dari golongan terpen, alkohol, aldehid, dan fenol seperti karvakrol, eugenol, timol,
sinamaldehid, asam sinamat, dan perilaldehid Burt, 2007. Selain itu, Rodriguez Levin 1975 dalam Sukandar dkk., 2007:1 mengemukakan
bahwa minyak atsiri memiliki pengaruh sebagai penarik, atau sebagai insektisida serangga. Selain minyak atsiri, senyawa aktif pada tumbuhan
seperti saponin, alkaloid, dan flavonoid juga sangat berpengaruh sebagai insektisida serangga.
Tanaman Ageratum conyzoides L. yang banyak ditemui di sekitar lahan pertanian dan merupakan gulma yang dapat menimbulkan kerugian bagi
pertumbuhan tanaman pertanian, ternyata dapat dimanfaatkan sebagai insektisida nabati. Dengan perkembangan teknologi penggunaan insektisida
nabati tidak menimbulkan efek negatif bagi lingkungan maupun terhadap makhluk hidup, sehingga relatif aman untuk digunakan. Tidak beresiko
menimbulkan keracunaan pada tanaman, sehingga tanaman yang diaplikasikan insektisida nabati jauh lebih sehat dan aman dari pencemaran zat kimia
berbahaya. Selain itu, penggunaan insektisida nabati tidak menimbulkan
resistensi kekebalan pada hama. Dalam artian insektisida nabati aman bagi keseimbangan ekosistem dan hasil petanian yang dihasilkan lebih sehat serta
terbebas dari residu insektisida kimiawi. Ageratum conyzoides L. merupakan tumbuhan sejenis gulma pertanian
anggota famili Asteraceae yang lebih dikenal sebagai babadotan Pujowati, 2006. Bagian tanaman Ageratum conyzoides L. yang digunakan untuk
dijadikan insektisida nabati adalah daunnya, karena di dalam daun babadotan terdapat kandungan senyawa saponin, flavonoid, polifenol dan minyak atsiri
yang ternyata cukup beracun bagi serangga, sehingga mampu menghambat pertumbuhan serangga menjadi kepompong Kardinan, 2004.
Meskipun dianggap sebagai tumbuhan pengganggu oleh petani, akhir- akhir ini Ageratum conyzoides L. menjadi topik penelitian yang gencar
terutama karena potensinya sebagai insektisida nabati pengganti insektisida sintetik yang ramah lingkungan. Insektisida nabati merupakan hasil ekstraksi
bagian tertentu dari tumbuhantanaman baik dari daun, buah, biji atau akarnya yang memiliki senyawa aktif atau metabolit sekunder yang dapat digunakan
untuk mengendalikan organisme penggangu tanaman OPT dan bersifat tidak merusak lingkungan.
Dari permasalahan tersebut, peneliti tertarik memanfaatkan tanaman Ageratum conyzoides L. sebagai insektisida nabati untuk mengatasi
permasalahan hama ulat kubis Plutella xylostella L. dengan melakukan uji toksisitas berbagai macam konsentrasi ekstrak tanaman Ageratum conyzoides
L. terhadap mortalitas hama ulat kubis Plutella xylostella L. yang dilakukan dalam stoples pemeliharaan.
Dalam penelitian ini untuk menguji toksisitas ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. sebagai insektisida nabati diuji menggunakan analisis probit
LC
50
untuk mencari nilai LC
50
24 jam dan 48 jam dalam mematikan hama ulat kubis Plutella xylostella L.. Metode LC
50
ini digunakan untuk mengetahui kadar toksik dari ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. melalui analisa
konsentrasi zat tersebut dalam mematikan 50 ulat uji.
B. Rumusan Masalah