Uji toksisitas ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L sebagai insektisida nabati terhadap mortalitas hama ulat kubis

(1)

UJI TOKSISITAS EKSTRAK TANAMAN Ageratum conyzoides L. SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI TERHADAP MORTALITAS HAMA

ULAT KUBIS (Plutella xylostella L.)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Biologi

Oleh:

Maria Andreina Niken A. S NIM: 131434055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

i

UJI TOKSISITAS EKSTRAK TANAMAN Ageratum conyzoides L. SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI TERHADAP MORTALITAS HAMA

ULAT KUBIS (Plutella xylostella L.)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Biologi

Oleh:

Maria Andreina Niken A. S NIM: 131434055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(3)

(4)

(5)

iv

PERSEMBAHAN

MOTTO ORA ET LABORA

DO THE BEST AND LET GOD DO THE REST

“But you, be strong and do not let your hands be weak, for your work shall be

rewarded!”

2 Chronicles 15:7 (NKJV)

SUCCESS DOES NOT LIE IN “RESULT” BUT IN “EFFORTS”, “BEING” THE BEST IS NOT SO IMPORTANT, “DOING” THE BEST IS ALL THAT MATTERS...

~Quote about Success~

Kupersembahkan karya ini untuk: Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai dan memberi kekuatan kepada saya Kedua Orang Tua dan Adik-Adik saya Keluarga besar saya Dosen Pembimbing Sahabat dan Teman-Teman yang selalu mendukung Seluruh keluarga besar Pendidikan Biologi Angkatan 2013 Almamaterku Universitas Sanata Dharma


(6)

(7)

(8)

vii ABSTRAK

UJI TOKSISITAS EKSTRAK TANAMAN Ageratum conyzoides L. SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI TERHADAP MORTALITAS HAMA

ULAT KUBIS (Plutella xylostella L.) Maria Andreina Niken A. S

NIM: 131434055 Universitas Sanata Dharma

Ulat P. xylostella merupakan hama tanaman yang menyerang tanaman kubis-kubisan yang menyebabkan kerusakan kubis pada bagian daunnya. Pada umumnya petani menggunakan insektisida kimiawi yang ampuh tetapi sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh dan lingkungan sekitar. A. conyzoides merupakan tanaman gulma yang dapat dimanfatkan sebagai insektisida nabati dikarenakan kandungan senyawa metabolit sekunder pada tanaman tersebut dapat dijadikan sebagai insektisida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh toksisitas ekstrak tanaman A. conyzoides sebagai insektisida nabati terhadap mortalitas hama ulat kubis (P. xylostella) dan mengetahui nilai LC50 24 jam dan 48 jam dari ekstrak tanaman A. conyzoides yang berpengaruh terhadap mortalitas hama ulat kubis (P. xylostella).

Penelitian ini terdiri dari 1 kontrol (0%) , 3 perlakuan (2%, 6%, 10%), dan dilakukan 3 kali pengulangan. Pada setiap pengulangan diujikan 10 ulat P. xylostella instar IV. Pembuatan ekstrak tanaman A. conyzoides dilakukan dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol. Data yang diambil adalah tingkat mortalitas ulat kubis (P. xylostella) selama 24 jam setelah aplikasi dan dilanjutkan sampai 48 jam dari perlakuan ekstrak tanaman A. conyzoides. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis probit LC50. Dari hasil analisis probit diperoleh nilai LC50 24 jam sebesar 2,35% dan LC50 48 jam sebesar 1,93%. Uji kuantitatif juga dilakukan utuk mengetahui kandungan flavonoid dan alkaloid pada ekstrak tanaman A. conyzoides. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak tanaman A. conyzoides maka semakin tinggi tingkat mortalitas ulat kubis (P. xylostella).

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data disimpulkan bahwa ekstrak tanaman A. conyzoides terbukti berpengaruh toksik terhadap mortalitas hama ulat kubis (P. xylostella).

Kata Kunci: ulat kubis (P. xylostella), insektisida nabati, tanaman A. conyzoides, mortalitas


(9)

viii ABSTRACT

THE TOXICITY TESTS OF PLANTS EXTRACT Ageratum conyzoides L. AS PHYTO-INSECTICIDE TO MORTALITY OF CABBAGE CATERPILLARS

PEST (Plutella xylostella L.) Maria Andreina Niken A. S Student Number: 131434055

Sanata Dharma University

Caterpillar P. xylostella is plants pest which aggresses cabbage plants that causing detriment to cabbage on its leaf. In a general way, farmer uses the effective chemical insecticide, but it is very dangerous for healthiness and surrounding environment. A. conyzoides is weed plants which can be used as phyto-insecticide because of secondary metabolite compounds on these plants that can be used as insecticide. This experiment has purposes to know the effect of toxicity of A conyzoides plant extract as phyto-insecticide to mortality of cabbage caterpillars pest (P. xylostella) and to know LC50 24 hours and 48 hours’ value of plants extract A. conyzoides which has influence to mortality of cabbage caterpillars pest (P. xylostella).

This experiment consisted of 1 control (0%), 3 handlings (2%, 6%, 10%), and 3 rehashes. Each rehashes was tested by 10 caterpillar P. xylostella instar IV. The productions of plants extract A. conyzoides were made by maceration method using ethanol solvent. The data taken was mortality of cabbage caterpillars level (P. xylostella) for 24 hours after application until 48 hours from the handling of plants extract A. conyzoides. From the data, it was analyzed by using probit LC50 analysis. The result of probit analysis was obtained LC50 24 hours value in the amount of 2, 35% and LC50 48 hours in the amount of 1, 93%. Quantitative test also was done in order to know the content of flavonoids and alkaloids in plants extract A. conyzoides. The experiment result showed that the higher concentrations of plants extract A. conyzoides, the higher the mortality rate of cabbage caterpillars pest (P. xylostella).

Based on observation and data analysis, plants extract A. conyzoides is proven have a toxic effect to mortality of cabbage caterpillars pest (P. xylostella). Keyword: cabbage caterpillar (P. xylostella), phyto-insecticide, A. conyzoides


(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “UJI TOKSISITAS EKSTRAK TANAMAN Ageratum conyzoides L. SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI TERHADAP MORTALITAS HAMA ULAT KUBIS (Plutella xylostella L.)”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Biologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan dengan baik berkat bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, dengan rendah hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu melindungi, menyertai dan memberi kekuatan kepada saya

2. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

3. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. 4. Bapak Drs. Antonius Tri Priantoro, M.For.Sc. selaku Ketua Program Studi

Pendidikan Biologi dan selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran, menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan masukan, pengarahan, serta perbaikan-perbaikan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Ignantius Yulius Kristio Budiasmoro, S.Si., M.Si. dan Ibu Dra. Maslichah Asy’ari, M.Pd. selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan saran dan masukan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

6. Bapak Ignantius Yulius Kristio Budiasmoro, S.Si., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik.

7. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh Staf Program Studi Pendidikan Biologi Sanata Dharma Yogyakarta.

8. Pak Agus selaku laboran dan Pak Marsono selaku karyawan di Laboratorium Pendidikan Biologi.


(11)

x

9. Laboratorium Chem-Mix Pratama sebagai tempat peneliti menguji kandungan senyawa flavonoid dan alkaloid.

10.Kedua orang tua saya Bapak Yochanan Indroyono dan Ibu M. C. N. Elok H. Ekosari atas segala pengorbanan yang selalu memberi semangat, dukungan motivasi dan mendoakan saya.

11.Adik-adik saya Sarah Andreina Nimas A.S dan Andreas Wisanggeni yang memberi dukungan semangat dan mendoakan saya.

12.Keluarga besar saya yang selalu memberi dukungan semangat dan mendoakan saya.

13.Teman-teman Disciples dan Connect Group GMS Miracle Yogyakarta, terima kasih atas dukungan semangat, perhatian, dan doa kalian.

14.Pak Min, Pak Suparno dan Mbak Dinda yang telah membantu selama penelitian dan memberikan dukungan motivasi dan doa.

15.Teman-teman seperjuangan Pendidikan Biologi Universitas Sanata Dharma Angkatan 2013, terima kasih atas kerja sama, dukungan, motivasi, dan bantuannya.

16.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis sehingga penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat terwujud.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca diterima dengan terbuka demi perbaikan skripsi ini dapat menjadi lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak.


(12)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Bagi Peneliti ... 8

2. Bagi Masyarakat... 8

3. Bagi Dunia Pendidikan ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Hama Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 9

1. Klasifikasi ... 9

2. Daur Hidup Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 10

3. Kerusakan yang disebabkan Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 13

B. Insektisida ... 14

1. Pengertian Insektisida ... 14

2. Sasaran Racun Insektisida ... 15

3. Jenis Insektisida ... 16

4. Insektisida Nabati ... 19

C. Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 23

1. Klasifikasi ... 23

2. Nama Daerah Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 24

3. Morfologi Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 24

4. Ekologi dan Penyebaran Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 25

5. Manfaat Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 25

6. Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 26


(13)

xii

7. Potensi Tanaman Ageratum conyzoides L. sebagai

Insektisida Nabati ... 31

D. Lethal Concentration (LC50) ... 33

E. Hasil Penelitian Relevan ... 34

F. Kerangka Berpikir ... 38

G. Hipotesa... 39

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 40

A. Jenis Penelitian ... 40

B. Desain Penelitian ... 40

C. Batasan Penelitian ... 41

D. Tempat dan Waktu Penelitian ... 42

E. Alat dan Bahan ... 42

1. Alat ... 42

2. Bahan... 43

F. Cara Kerja ... 43

1. Pembuatan Ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 43

2. Penyiapan dan Pemeliharaan Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 45

3. Pengamatan Siklus Hidup Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) .... 47

4. Cara Pengambilan Sampel Penelitian ... 51

5. Pengujian Ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L. terhadap Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 51

6. Pengambilan Data ... 52

G. Metode Analisis Data ... 53

H. Rancangan Pemanfaatan Hasil Penelitian dalam Pembelajaran ... 57

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58

A. Hasil ... 58

B. Pembahasan ... 64

1. Pengaruh Ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L. terhadap Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) berdasarkan Hasil Pengamatan Data ... 64

2. Faktor-Faktor Penyebab Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 69

a. Kandungan Metabolit Sekunder Ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 69

b. Waktu Aplikasi Penyemprotan Insektisida ... 70

c. Aktivitas Makan Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 71

d. Siklus Hidup Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 72

3. Faktor Pendukung Proses Penelitian ... 73

4. Hambatan dan Keterbatasan dalam Penelitian ... 74

BAB V. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN UNTUK PEMBELAJARAN ... 76


(14)

xiii

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81


(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan pada Pengamatan Mortalitas P. xylostella ... 41 Tabel 4.1 Hasil Analisa Kandungan Flavonoid dan Alkaloid Ekstrak

Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 58 Tabel 4.2 Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) pada Pengamatan

24 Jam sampai 48 Jam ... 58 Tabel 4.3 Analisis Probit LC50 Pengamatan 24 Jam ... 61 Tabel 4.4 Analisis Probit LC50 Pengamatan 48 Jam ... 61


(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Ulat Plutella xylostella L... 9

Gambar 2.2 Telur P. xylostella ...10

Gambar 2.3 Ulat P. xylostella ...11

Gambar 2.4 Pupa P. xylostella ...12

Gambar 2.5 Ngengat P. xylostella...12

Gambar 2.6 Tanaman Ageratum conyzoides L. ...23

Gambar 2.7 Morfologi Tanaman Ageratum conyzoides L. ...25

Gambar 2.8 Bagan Literature Map ...37

Gambar 2.9 Kerangka Berpikir ...39

Gambar 3.1 Hasil Pengenceran Ekstrak Tanaman A. conyzoides dengan Akuades ...46

Gambar 3.2 Stoples Pemeliharaan Ulat dan Ngengat ...48

Gambar 3.3 Siklus Hidup Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ...53

Gambar 3.4 Stadium Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ...54

Gambar 4.1 Kurva Grafik Regresi Linier Hubungan Log10 Konsentrasi Ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L.dengan Nilai Probit dari Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) pada Pengamatan 24 Jam...63

Gambar 4.2 Kurva Grafik Regresi Linier Hubungan Log10 Konsentrasi Ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L.dengan Nilai Probit dari Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) pada Pengamatan 48 Jam...63

Gambar 4.3 Diagram Perbedaan Persentase Mortalitas ulat kubis (Plutella xylostella L.) pada Pengamatan 24 Jam sampai 48 Jam ...65


(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1: Hasil Data Observasi ...87

Lampiran 2: Perhitungan Analisis Probit LC50 ...88

Lampiran 3: Dokumentasi Penelitian ...93

Lampiran 4: Hasil Analisa Lab. Chem-Mix Pratama...99

Lampiran 5: Prosedur Analisa Flavonoid ...100

Lampiran 6: Prosedur Analisa Alkaloid ...101

Lampiran 7: Silabus ...102

Lampiran 8: RPP ...109

Lampiran 9: Lembar Diskusi Siswa ...117


(18)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanaman sayuran mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, sebab sayuran sangat berguna bagi pemenuhan gizi manusia dan juga bagi pembangunan pertanian. Oleh sebab itu peningkatan produksi sayuran merupakan salah satu syarat mutlak untuk mencapai kesejahteraan umat manusia (Satsijati, et al., 1987). Contoh komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan adalah kubis (Brassica oleracea L.).

Kubis (Brassicae oleracea L.) merupakan komoditi sayuran yang memiliki nilai gizi dan ekonomi yang cukup tinggi. Budidaya kubis memberikan pendapatan bagi petani, di samping itu kubis juga mengandung nilai gizi penting, yaitu vitamin A dan C (Sastrosiswojo et al., 2005).

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura, produksi sayuran kubis dalam skala nasional selalu menempati urutan teratas. Pada tahun 2015 produksi tanaman kubis mencapai 1.443.232 ton. Banyaknya hasil produksi ini juga didukung oleh luas lahan yang mencapai 64.625 Ha. Hal ini menunjukan bahwa tanaman kubis merupakan sayuran yang memiliki potensi untuk dikembangkan dan dibudidayakan secara terus-menerus.

Sehubungan dengan semakin meningkatnya permintaan masyarakat terhadap komoditas sayuran ini dan didiukung oleh kondisi iklim yang sesuai, maka banyak iklim yang sesuai, maka banyak petani tertarik untuk


(19)

membudidayakan kubis. Namun demikian dalam budidaya tanaman ini masalah hama merupakan salah satu masalah yang sangat berpengaruh terhadap produksi kubis baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Menurut Permadi dan Sastrosiswojo (1993) beberapa serangga hama telah dilaporkan dapat menimbulkan kerusakan pada pertanaman kubis di antaranya ulat daun kubis (Plutella xylostella L.), ulat jantung kubis (Crocidolomia pavonana Fab.), ulat grayak (Spadoptera litura Fab.), ulat tanah (Agrotis ipsilon Hufnagel), ulat jengkal (Crysodeixis orichalcea L.), Helicoverpa armigera (Hubner), Hellula undalis Fab., dan kutu daun.

Ulat kubis (Plutella xylostella L.) merupakan hama utama pada tanaman kubis dataran tinggi dengan tingkat serangan mulai dari sedang hingga berat. Pada serangan berat bisa mengakibatkan kerugian yang sangat signifikan, terutama menurunnya kualitas produksi. Ulat ini dikenal juga dengan nama ulat tritip, dan menjadi salah satu hama yang paling ditakuti oleh petani kubis. Ulat berukuran kecil ini biasanya bersembunyi di balik daun, dan menyerang jaringan daun sehingga jaringan daun kosong, hanya tersisa epidermis saja. Daun yang terserang ditandai dengan bercak-bercak putih (Tanijogonegoro, 2015). Berdasarkan informasi yang didapat hama Plutella xylostella L. menyerang sejumlah lahan pertanian di Desa Wangunharja, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Akibatnya, tanaman seperti kubis, brokoli, kol, dan sawi milik para petani banyak yang mengalami kerusakan dan gagal panen. Serangan hama tersebut membuat para petani sangat terpukul, karena tingkat kerusakan tanamannya bisa sampai 90%. Dampaknya


(20)

harga sejumlah komoditas kubis-kubisan mengalami penurunan. Harga sawi yang biasanya Rp 2.500-4.000 per kilogram jadi Rp 1.000 (Husodo, 2017).

Selain itu, pertanian sayuran di Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah juga sedang dilanda musibah karena sayuran kubis yang petani panen terserang hama ulat tritip. Hama tersebut menyebabkan kualitas dan kuantitas kubis hasil panen pertanian setempat menurun. Akibatnya, harga kubis Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah turun sekitar 50% dari kondisi normal (Putra, 2017). Akibat yang ditimbulkan oleh hama tersebut dapat menurunkan produksi tanaman kubis dan mengakibatkan kerugian bagi para petani yang membudidayakan tanaman kubis tersebut. Oleh karena itu petani perlu untuk memperhatikan permasalahan dan bagaimana untuk pengendalian hama ulat daun pada tanaman tersebut.

Petani kubis masih cenderung menggunakan insektisida kimiawi. Metode tersebut dipandang lebih efektif dan efisien mengendalikan serangga hama. Sekitar 30% dari total biaya produksi digunakan untuk membeli insektisida kimiawi (Sastrosiswojo et al., 2005).

Penggunaan pestisida kimia sintesis untuk mengendalikan hama mempunyai dampak negatif terhadap komponen ekosistem lainnya seperti terbunuhnya musuh alami, resurgensi dan resistensi hama serta pencemaran lingkungan karena residu yang ditinggalkan (Kishi et al., 1995). Catatan WHO (Organisasi Keseatan Dunia) mencatat bahwa di seluruh dunia setiap tahunnya terjadi keracunan pestisida antara 44.000 – 2.000.000 orang dan dari angka tersebut yang terbanyak terjadi di negara berkembang. Alternatif yang dapat


(21)

dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan penggunaan insektisida nabati (bioinsektisida). Menurut Setiawati dkk. (2008) penggunaan insektisida nabati merupakan alternatif untuk mengendalikan serangan hama. Insektisida nabati relatif mudah didapat, aman terhadap hewan bukan sasaran dan mudah terurai di alam sehingga tidak menimbulkan pengaruh samping.

Insektisida nabati merupakan insektisida yang berbahan baku tumbuhan yang mengandung senyawa aktif berupa metabolit sekunder yang mampu memberikan satu atau lebih aktivitas biologi, baik pengaruh pada aspek fisiologis maupun tingkah laku dari hama tanaman serta memenuhi syarat untuk digunakan dalam pengendalian hama tanaman (Dadang dan Prijono, 2008).

Sifat insektisida nabati yang aman bagi organisme non target dan aman bagi lingkungan merupakan salah satu keunggulan dari insektisida nabati. Selain itu pemanfaatan insektisida nabati dapat mengurangi ketergantungan petani pada insektisida sintetik, lebih ramah lingkungan, serta berkelanjutan.

Tumbuhan pada dasarnya mengandung banyak bahan kimia yang merupakan produksi metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan sebagai alat pertahanan dari serangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Lebih dari 2.400 jenis tumbuhan yang termasuk kedalam 235 famili dilaporkan mengandung bahan pestisida. Oleh karena itu, jika dapat mengolah tumbuhan ini sebagai bahan pestisida, maka akan membantu masyarakat petani untuk menggunakan pengendalian yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya setempat yang ada disekitarnya


(22)

(Kardinan, 2004). Menurut Syahputra (2001) lebih dari 1500 jenis tumbuhan dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap serangga. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan potensial insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae, dan Rutaceae.

Tumbuhan yang saat ini sedang dikembangkan sebagai insektisida nabati yaitu tumbuhan yang menghasilkan minyak atsiri. Properti minyak atsiri tersebut berhubungan dengan senyawa yang dikandungnya terutama dari golongan terpen, alkohol, aldehid, dan fenol seperti karvakrol, eugenol, timol, sinamaldehid, asam sinamat, dan perilaldehid (Burt, 2007). Selain itu, Rodriguez & Levin (1975) dalam Sukandar dkk., (2007:1) mengemukakan bahwa minyak atsiri memiliki pengaruh sebagai penarik, atau sebagai insektisida serangga. Selain minyak atsiri, senyawa aktif pada tumbuhan seperti saponin, alkaloid, dan flavonoid juga sangat berpengaruh sebagai insektisida serangga.

Tanaman Ageratum conyzoides L. yang banyak ditemui di sekitar lahan pertanian dan merupakan gulma yang dapat menimbulkan kerugian bagi pertumbuhan tanaman pertanian, ternyata dapat dimanfaatkan sebagai insektisida nabati. Dengan perkembangan teknologi penggunaan insektisida nabati tidak menimbulkan efek negatif bagi lingkungan maupun terhadap makhluk hidup, sehingga relatif aman untuk digunakan. Tidak beresiko menimbulkan keracunaan pada tanaman, sehingga tanaman yang diaplikasikan insektisida nabati jauh lebih sehat dan aman dari pencemaran zat kimia berbahaya. Selain itu, penggunaan insektisida nabati tidak menimbulkan


(23)

resistensi (kekebalan) pada hama. Dalam artian insektisida nabati aman bagi keseimbangan ekosistem dan hasil petanian yang dihasilkan lebih sehat serta terbebas dari residu insektisida kimiawi.

Ageratum conyzoides L. merupakan tumbuhan sejenis gulma pertanian anggota famili Asteraceae yang lebih dikenal sebagai babadotan (Pujowati, 2006). Bagian tanaman Ageratum conyzoides L. yang digunakan untuk dijadikan insektisida nabati adalah daunnya, karena di dalam daun babadotan terdapat kandungan senyawa saponin, flavonoid, polifenol dan minyak atsiri yang ternyata cukup beracun bagi serangga, sehingga mampu menghambat pertumbuhan serangga menjadi kepompong (Kardinan, 2004).

Meskipun dianggap sebagai tumbuhan pengganggu oleh petani, akhir-akhir ini Ageratum conyzoides L. menjadi topik penelitian yang gencar terutama karena potensinya sebagai insektisida nabati pengganti insektisida sintetik yang ramah lingkungan. Insektisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tumbuhan/tanaman baik dari daun, buah, biji atau akarnya yang memiliki senyawa aktif atau metabolit sekunder yang dapat digunakan untuk mengendalikan organisme penggangu tanaman (OPT) dan bersifat tidak merusak lingkungan.

Dari permasalahan tersebut, peneliti tertarik memanfaatkan tanaman Ageratum conyzoides L. sebagai insektisida nabati untuk mengatasi permasalahan hama ulat kubis (Plutella xylostella L.) dengan melakukan uji toksisitas berbagai macam konsentrasi ekstrak tanaman Ageratum conyzoides


(24)

L. terhadap mortalitas hama ulat kubis (Plutella xylostella L.) yang dilakukan dalam stoples pemeliharaan.

Dalam penelitian ini untuk menguji toksisitas ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. sebagai insektisida nabati diuji menggunakan analisis probit LC50 untuk mencari nilai LC50 24 jam dan 48 jam dalam mematikan hama ulat kubis (Plutella xylostella L.). Metode LC50 ini digunakan untuk mengetahui kadar toksik dari ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. melalui analisa konsentrasi zat tersebut dalam mematikan 50% ulat uji.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh toksisitas ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. sebagai insektisida nabati terhadap mortalitas hama ulat kubis (Plutella xylostella L.)?

2. Berapakah nilai LC50 24 jam dan 48 jam dari ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. yang berpengaruh terhadap mortalitas hama ulat kubis (Plutella xylostella L.)?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh toksisitas ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. sebagai insektisida nabati terhadap mortalitas hama ulat kubis (Plutella xylostella L.).


(25)

2. Mengetahui nilai LC50 24 jam dan 48 jam dari ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. yang berpengaruh terhadap mortalitas hama ulat kubis (Plutella xylostella L.).

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti

a. Menambah pengetahuan terkait pemanfaatan tanaman gulma Ageratum conyzoides L. sebagai insektisida nabati.

b. Dapat mengetahui cara pembuatan insektisida nabati yang mudah dan sederhana.

2. Bagi Masyarakat

a. Menambah pengetahuan mengenai manfaat tanaman gulma Ageratum conyzoides L. sebagai insektisida nabati.

b. Tanaman gulma Ageratum conyzoides L. menjadi bahan alternatif bagi petani untuk pengendalian hama selain insektisida kimiawi.

3. Bagi Dunia Pendidikan

a. Sebagai sumber informasi terkait manfaat dari tanaman gulma Ageratum conyzoides L. sebagai pengendali hama.

b. Sebagai sumber bahan ajar untuk kelas X SMA bab ruang lingkup biologi pada materi cabang, manfaat ilmu biologi dan metode ilmiah.


(26)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hama Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) 1. Klasifikasi

Klasifikasi ulat kubis (Plutella xylostella L.) menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Famili : Plutellidae Genus : Plutella

Spesies : Plutella xylostella L.

Dulu hama ini bernama Plutella maculipennis. Kadang-kadang disebut juga sebagai hama putih, karena kubis yang telah diserangnya menjadi putih (tinggal epidermisnya saja). Ulat makan daun kubis, sawi atau petsai yang muda dan tua. Pada setiap pertanaman kubis selalu dijumpai hama ini, sehingga terkenal juga dengan sebutan ulat kubis (Tjahjadi, 2002).

Ulat ini juga disebut ulat tritip, atau ngengat punggung berlian. Tersebar di seluruh dunia, di daerah tropis, subtropis dan daerah sedang

Gambar 2.1 Ulat Plutella xylostella L. (Dok. Pribadi)


(27)

(temperate). Ulat tritip itu kecil tetapi sangat merugikan tanaman kubis. Kubis yang terserang menjadi rusak hebat (Pracaya, 1993).

Hama ini bersifat kosmopolitan dan di Indonesia umumnya dapat ditemukan di pertanaman kubis di dataran tinggi, pegunungan, atau perbukitan. Namun, karena akhir-akhir ini kubis juga ditanam di dataran rendah, P. xylostella juga dapat ditemukan pada pertanaman kubis di dataran rendah (Sastrosiswojo, et al., 2005).

2. Daur Hidup Ulat Kubis (Plutella xylostella L.)

Ulat kubis (P. xylostella) mengalami 4 kali perubahan bentuk dalam hidupnya yaitu stadium telur, ulat, pupa/ kepompong dan ngengat/ imago. Umur tritip di daerah dingin lebih panjang daripada di daerah panas. Berikut 4 kali perubahan bentuk ulat P. xylostella:

a. Telur

Gambar 2.2 Telur P. xylostella (Dok. Pribadi)

Telur P. xylostella berbentuk oval dan rata, ukurannya 0,44 mm dan 0,26 mm. Telur berwarna hijau kuning atau pucat, dan disimpan sendiri atau dalam kelompok kecil dari dua sampai delapan telur pada cekungan di permukaan dedaunan, atau kadang-kadang pada bagian tanaman lainnya (Capinera, 2012). Di daerah panas sampai ketinggian


(28)

250 m dpl, stadium telurnya 2 hari, ulat 9 hari, pupa 4 hari dan kupu-kupu 7 hari. Sedang di dataran tinggi sampai di ketinggian 1.100 – 1.200 m dpl, stadium telurnya 3 – 4 hari, ulat 12 hari, pupa 6 – 7 hari dan kupu-kupu 20 hari (Pracaya, 1993).

b. Ulat

Gambar 2.3 Ulat P. xylostella (Dok. Pribadi)

Ulat yang baru menetas warnanya hijau pucat sedang yang telah dewasa lebih tua dengan warna kepala lebih pucat dengan bintik-bintik atau garis cokelat (Pracaya, 1993). Fase ulat P. xylostella terdiri atas empat instar yaitu, instar I, instar II, instar III, dan instar IV. Ulat instar I memiliki panjang 1 mm, lebar 0,5 mm, berwarna hijau kekuning-kuningan, dan berlangsung selama 4 hari. Ulat instar II memiliki panjang 2 mm, lebar 0,5 mm, berwarna hijau kekuning-kuningan, dan berlangsung selama 2 hari. Ulat instar III memiliki panjang tubuh 4 – 6 mm, lebar 0,75 mm, berwarna hijau, dan berlangsung selama 3 hari. Ulat instar IV memiliki panjang 6 – 8 mm, lebar 1 – 1,5 mm, berwarna hijau, dan berlangsung selama 3 hari (Rukmana, 1994 dalam Purba, 2007). Ulat lincah dan jika tersentuh akan menggantungkan diri dengan benang halus. Ulat jantan dapat dibedakan dari ulat betina karena memiliki sepasang calon testis yang berwarna kuning (Sastrosiswojo, 1993).


(29)

c. Pupa (Kepompong)

Gambar 2.4 Pupa P. xylostella (Dok. Pribadi)

Pada akhir instar ke IV, ulat membuat kokon yang berwana putih sebagai pelindung sehingga tampak seperti jala dan berbentuk silinder pada permukaan bawah daun. Pembentukan kepompong mula-mula dibuat dasarnya, sisi, kemudian tutupnya, yang masih terbuka pada bagian ujung untuk keperluan pernapasan (aerasi). Pembuatan kepompong ini diselesaikan dalam waktu 24 jam, setelah selesai ulat berubah menjadi pupa (Pracaya, 1993). Pupa pada mulanya berwarna hijau, selanjutnya berwarna kuning pucat, dengan warna kecoklatan pada bagian punggungnya. Panjang pupa 5 – 6 mm, dengan diameter 1,2 – 1,5 mm. Pupa tertutup oleh kokon, dengan masa pupa 3 – 6 hari (Sudarmo, 1994). Kulit ulat biasanya diletakkan dalam kepompong tetapi kadang-kadang juga diletakkan di luar kepompong. (Pracaya, 1993).

d. Ngengat (Imago)

Gambar 2.5 Ngengat P. xylostella (Dok. Pribadi)

Ngengat berwarna abu-abu sampai coklat kelabu dan pada saat sayap dilipat nampak tiga buah tanda berupa gelombang seperti berlian


(30)

(diamond) atau terdapat bentuk segitiga sepanjang punggungnya. Ngengat beristirahat pada siang hari. Umur ngengat 2 – 4 minggu. Ngengat betina mampu menghasilkan telur 180 – 320 butir (Deptan, 2008). Ngengat memiliki panjang tubuh 5 – 9 mm. waktu ngengat istirahat, antena lurus ke depan. Ngengat jantan kelihatan lebih kecil dibanding dengan betina, demikian pula warnanya lebih cerah (Sudarmo, 1994). Ngengat punggung berlian ini hidupnya dari menghisap madu dari bunga yang termasuk keluarga Cruciferae. Warna sayapnya abu-abu kecoklatan, yang betina berwarna lebih pucat. Dalam keadaan istirahat empat sayapnya menutup tubuhnya dan seakan-akan ada gambaran seperti jajaran genjang yang warnanya putih seperti berlian. Oleh karena itu hama ini disebut ngengat punggung berlian. Yang betina dapat bertelur 180 sampai 320 butir. Pada umumnya telur diletakkan di balik daun satu persatu, kadang-kadang dua-dua atau tiga-tiga. Telurnya mengelompok dalam satu daun atau daun yang berlainan tanaman, sehingga satu ngengat dapat bertelur pada banyak tanaman kubis (Pracaya, 1993).

3. Kerusakan yang disebabkan Ulat Kubis Pluetella xylostella L.

Bagian tanaman yang diserang adalah daun. Ulat memakan daging daun, sehingga hanya tersisa tulang-tulang daunnya dan bagian epidermis daun bagian atas saja. Ulat ini menyerang segala tingkatan umur. Ulat juga menyerang fisik tumbuh yang dapat menyebabkan terhentinya


(31)

pertumbuhan. Kerugian akibat ulat ini adala antara 58% - 100% (Mulyono, 2009).

Ciri khas dari ulat tritip bila merasa ada bahaya akan menjatuhkan diri dengan mengeluarkan benang untuk menyelamatkan diri. Ulat bersembunyi di balik daun, sambil makan. Biasanya yang dimakan hanya daging daun tetapi kulit ari bagian luar permukaan daun sebelah atas tidak hingga daun kelihatan bercak-bercak putih. Karena itulah maka hama ini juga disebut hama putih (hama bodas). Apabila kulit ari yang terserang menjadi kering, maka akan sobek dan kelihatan berlubang-lubang. Apabila serangan menghebat yang tertinggal hanyalah tulang-tulang daun, sehingga bentuk daun seperti wayang kulit. Sebab itu, ada yang menyebut hama ini sebagai hama wayang. Selain menyerang kubis juga menyerang lobak, sawi, kohlrabi, kubis bunga, kubis kale, kubis tunas, dan tanaman lainnya yang termasuk keluarga Cruciferae (Pracaya, 1993).

Pengendalian dapat dilakukan dengan cara menggunakan musuh alami (Ordo: Odonata), melakukan penyemprotan dengan menggunakan insektisida, rotasi tanaman, sanitasi lahan, dan secara mekanis (Pracaya, 2008)

B. Insektisida

1. Pengertian Insektisida

Kata insektisida secara harafiah berarti pembunuh serangga yang berasal dari kata insekta = serangga dan kata Latin cida yang berarti


(32)

pembunuh. Pestisida adalah pembunuh hama yang berasal dari kata pest = hama dan cida = pembunuh. Insektisida merupakan salah satu kelompok pestisida, sedangkan kelompok pestisida lainnya antara lain rodentisida (pembunuh roden/ tikus), acarisida (pembunuh tungau), dan nematisida (pembunuh nematoda).

Dalam penggunaanya di bidang pengendalian hama bila digunakan istilah pestisida sering yang dimaksudkan adalah insektisida. Meskipun ada alat-alat yang dapat kita gunakan untuk membunuh serangga seperti alat pemukul namun alat tersebut tidak kita namakan pestisida karena yang diartikan pestisida di sini adalah bahan kimia yang digunakan untuk membunuh hama (Untung,1993).

Menurut Soeparwan Soeleman dan Donor Rahayu (2013) pestisida atau insektisida paling baik diaplikasikan pada pagi hari atau sore hari. Lakukan penyemprotan di bagian bawah dan atas daun. Penyemprotan pada siang hari dapat menyebabkan daun terbakar atau rusak.

2. Sasaran Racun Insektisida

Berdasarkan cara masuknya insektisida ke dalam jasad sasaran, Hudayya dan Jayanti (2012) menggolongkan menjadi:

1. Racun perut/ lambung, adalah insektisida yang mampu membunuh serangga dengan cara masuk ke saluran pencernaan melalui makanan yang dimakan. Insektisida akan masuk ke organ pencernaan serangga dan diserap oleh usus kemudian ditranslokasikan ke organ sasaran


(33)

yang mematikan seperti pusat syaraf, organ respirasi, dan sel-sel lambung.

2. Racun kontak, insektisida ini membunuh serangga dengan cara masuk kedalam tubuh serangga melalui kulit, celah/lubang alami pada tubuh atau langsung mengenai mulut serangga. serangga akan mati apabila kontak langsung dengan insektisida tersebut.

3. Racun nafas, insektisida yang masuk melalui trachea serangga dalam bentuk partikel mikro yang melayang diudara berupa gas, asap, maupun uap dari insektisida. Serangga akan mati apabila menghirup partikel dari insektisida tersebut dalam jumlah tertentu.

4. Racun saraf, merupakan insektisida yang cara kerjanya mengganggu sistem saraf jasad sasaran.

5. Racun protoplasmik, merupakan insektisida yang bekerja dengan cara merusak protein dalam sel tubuh jasad sasaran.

6. Racun sistemik, merupakan insektisida yang masuk ke dalam sistem jaringan tanaman dan ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman, sehingga bila dihisap, dimakan atau mengenai jasad sasarannya bisa meracuni.

3. Jenis Insektisida

Tarumingkeng (1992) membagi insektisida menjadi 3 jenis berdasarkan mekanisme dalam meracuni makanan serangga, yaitu:


(34)

Insektisida sistemik adalah insektisida yang diserap oleh bagian-bagian tanaman melalui stomata, meristem akar, lentisel batang dan celah-celah alami yang terdapat di permukaan tanaman. Insektisida ini akan melewati sel-sel menuju ke jaringan pengangkut dan akan meninggalkan residunya pada sel-sel yang dilewatinya. Melalui pembuluh angkut insektisida ditranslokasikan ke bagian-bagian tanaman lainnya baik kearah atas (akropetal) atau ke bawah (basipetal), termasuk ke tunas yang baru tumbuh. Serangga akan mati apabila memakan bagian tanaman yang mengandung residu insektisida.

2. Insektisida non-sistemik

Insektisida non-sistemik adalah insektisida yang tidak dapat diserap oleh jaringan tanaman, tetapi hanya menempel pada bagian luar tanaman. Serangga akan mati apabila memakan bagian tanaman yang permukaannya terkena insektisida.

3. Insektisida sistemik lokal

Insektisida sistemik lokal adalah insektisida yang mampu diserap oleh jaringan daun, tetapi tidak dapat ditranslokasikan ke jaringan bagian tanaman lainnya. Misalnya insektisida yang jatuh ke permukaan atas daun akan menembus epidermis atas kemudain masuk ke jaringan parenkim pada mesofil dan menyebar ke seluruh mesofil daun hingga mampu masuk kedalam sel pada lapisan epidermis daun bagian bawah.


(35)

Serangga akan mati apabila memakan bagian tanaman yang tersebar insektisida.

Menurut Untung (1993) insektisida dapat dibagi lagi menurut sifat dasar senyawa kimianya yaitu:

(1) Insektisida anorganik yang tidak mengandung unsur Karbon. (2) Insektisida organik yang mengandung unsur Karbon. Insektisida

organik masih dapat dibagi menjadi insektisida organik alami dan insektisida organik sintesis. Insektisida organik alami merupakan insektisida yang terbuat dari tanaman (insektisida botanik) dan bahan alami lainnya. Sedangkan insektisida sintetik merupakan hasil buatan pabrik dengan melalui proses sintesis kimiawi. Insektisida modern pada umumnya merupakan insektisida organik sintetik. Pembagian insektisida organik sintetik menurut susunan kimia bahan aktif (senyawa yang memiliki sifat racun) terdiri dari 4 kelompok besar yaitu organoklorin (OK), organofosfat (OP), karbamat, dan piretroid sintetik. Sedangkan, insektisida botanik (insektisida nabati) diambil secara langsung dari tanaman atau dari hasil tanaman. Insektisida jenis ini termasuk insektisida yang paling tua dan banyak digunakan untuk pengendalian hama sebelum insektisida organik sintetik ditemukan. Karena kesulitannya dalam mengadakan ekstraksi dan memperoleh bahan dasar (tanaman), maka penggunaannya semakin lama semakin berkurang.


(36)

4. Insektisida Nabati

Insektisida nabati atau insektisida botani adalah bahan alami berasal dari tumbuhan yang mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung beribu-ribu senyawa bioaktif seperti alkaloid, fenolik, dan zat kimia sekunder lainnya. Senyawa bioaktif tersebut apabila diaplikasikan ke tanaman yang terinfeksi organisme pengganggu tidak berpengaruh terhadap fotosintesa, pertumbuhan atau aspek fisiologi tanaman lainnya, namun berpengaruh terhadap Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) (Deptan, 1994).

Menurut Setiawati dkk. (2008) insektisida nabati adalah bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang dapat digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Sifat insektisida nabati dapat berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh dan bentuk lainnya. Insektisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang relatif murah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami/ nabati maka jenis insektisida ini bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan, dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residu mudah hilang. Banyak jenis tumbuhan telah diketahui secara luas memproduksi berbagai jenis metabolit/ senyawa sekunder seperti flavonoid, terpenoid, alkaloid, saponin, dan lain-lain yang berguna sebagai sarana pertahanan diri yang dapat merugikan organisme yang tumbuhan,


(37)

hal ini membuktikan bahwa metabolit sekunder tumbuhan digunakan sebagai agen perlindungan tanaman.

Sedangkan menurut Indriani (2006) insektisida nabati adalah herbal dari bahan tumbuhan yang diekstraksi menjadi konsentrat dengan tidak mengubah struktur kimianya. Insektisida ini mudah terurai atau terdegradasi sehingga tidak persisten di alam ataupun pada bahan makanan. Insektisida nabati aman bagi lingkungan, untuk mendukung pertanian organik dalam upaya mengurangi penggunaan insektisida sintesis dan harganya pun lebih murah.

Sudarmo (2005) menyatakan bahwa pestisida nabati dapat membunuh atau mengganggu serangga hama dan penyakit melalui cara kerja yang unik yaitu dapat melalui perpaduan berbagai cara atau secara tunggal. Cara kerja pestisida nabati sangat spesifik yaitu:

1. Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa. 2. Menghambat pergantian kulit.

3. Mengganggu komunikasi serangga. 4. Menyebabkan serangga menolak makan. 5. Menghambat reproduksi serangga betina. 6. Mengurangi nafsu makan.

7. Memblokir kemampuan makan serangga. 8. Mengusir serangga (Repellent).


(38)

Sedangkan menurut Sonyaratri (2006) peranan insektisida alami dalam mematikan serangga adalah sebagai:

1. Repellent, merupakan senyawa yang dapat menolak kehadiran serangga. Senyawa ini memiliki bau yang menyengat, sehingga dapat menolak kehadiran serangga dan mencegah serangga meletakkan telur serta menghentikan proses penetasan telur.

2. Antifeedant, merupakan senyawa yang dapat mencegah serangga untuk memakan tanaman yang telah disemprot. Hal ini dikarenakan tanaman yang telah disemprot oleh insektisida alami menjadi terasa pahit. 3. Racun syaraf.

4. Atractant, merupakan senyawa yang mampu memikat kehadiran serangga, sehingga senyawa ini dapat digunakan sebagai perangkap serangga.

Dadang dan Prijono (2008) menyatakan bahwa pilihan penggunaan insektisida nabati tentunya harus didasari oleh alasan-alasan yang kuat dan tepat yang berkaitan dengan sifat dasar insektisida nabati itu sendiri. Secara umum insektisida nabati bersifat:

a) Mudah terurai di alam (biodegradable) sehingga diharapkan tidak meninggalkan residu pada produk pertanian.

b) Relatif aman terhadap organisme bukan sasaran termasuk musuh alami hama (selectivity) sehingga dapat menjaga keseimbangan ekosistem dan menjaga bioversitas organism pada suatu ekosistem pertanian.


(39)

c) Dapat dipadukan dengan komponen pengendalian lainnya (compatibility) yang memungkinkan penerapan teknologi atau strategi lain yang dapat dilakukan secara bersama-sama sehingga tidak ada komponen pengendalian yang mendominan.

d) Dapat memperlambat laju resistensi yang sangat penting dalam rangka manejemen resistensi (insect pest resistant management).

e) Dapat menjamin ketahanan dan keberlanjutan dalam usaha tani (sustainability) karena dapat menjamin semua komponen dalam ekosistem berjalan dengan baik.

Menurut Naria (2005) kelemahan dari pemakaian insektisida nabati, antara lain:

1. Frekuensi penggunaan insektisida nabati lebih tinggi dibandingkan dengan insektisida sintesis. Tingginya frekuensi penggunaan insektisida botani adalah karena sifatnya yang mudah terurai di lingkungan sehingga harus lebih sering diaplikasikan.

2. Insektisida nabati memiliki bahan aktif yang kompleks (multiple active ingredient) dan kadang kala tidak semua bahan aktif dapat dideteksi. 3. Tanaman insektisida nabati yang sama, tetapi tumbuh di tempat yang

berbeda, umur tanaman berbeda, iklim berbeda, jenis tanah berbeda, umur tanaman berbeda, dan waktu panen yang berbeda mengakibatkan bahan aktifnya menjadi sangat bervariasi.


(40)

C. Tanaman Ageratum conyzoides L. 1. Klasifikasi

Klasifikasi tanaman Ageratum conyzoides L. menurut Planmor (2012) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Sub Kingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Asterales

Famili : Asteraceae

Genus : Ageratum

Spesies : Ageratum conyzoides L.

Tumbuhan ini dikenal sebagai tumbuhan yang mengeluarkan aroma mirip dengan kambing, sehingga dalam bahasa daerah disebut Babadotan/ Bandotan/ Wedusan. Nama ilmiah babadotan adalah Ageratum conyzoides L. berasal dari bahasa Yunani (“a geras” berarti tumbuhan berumur panjang seperti Dewi Konyz). Memiliki kemampuan untuk beradaptasi pada berbagai kondisi ekologi, bijinya sangat kecil dan ringan, bersifat positif photoblastik (biji yang memerlukan cahaya yang cukup), viabilitas biji bisa bertahan hingga 12 bulan dengan suhu optimum untuk perkecambahan 20-50°C. Keistimewaan tersebut menyebabkan tumbuhan

Gambar 2.6 Tanaman Ageratum Conyzoides L. (Dok. Pribadi)


(41)

ini sangat mudah tumbuh, berkembang dan tersebar luas. Jika tumbuh di sekitar pertanaman atau pekarangan sering dianggap sebagai gulma yang menurunkan hasil dan menimbulkan kerugian pada usaha tani (Mildaerizanti, 2015).

2. Nama Daerah Tanaman Ageratum conyzoides L.

Bandotan, daun tombak, siangit, tombak jantan, siangik kahwa, rumput tahi ayam (Sumatera); babadotan, babadotan leutik, babandotan, babadotan beureum, babadotan hejo, jukut bau, ki bau (Sunda); bandotan, berokan, wedusan, dus wedusan, dus bedusan, tempuyak (Jawa); dan dawet, lawet, rukut manooe, rukut weru, sopi (Sulawesi) (Agromedia, 2008).

3. Morfologi Tanaman Ageratum conyzoides L.

Habitus berupa tumbuhan terna semusim, tumbuh tegak atau bagian bawahnya berbaring, tingginya sekitar 30-90 cm dan bercabang. Batang berbentuk bulat berbulu tebal. Daun tunggal bertangkai, letaknya saling berhadapan dan bersilang, helaian daun bulat telur dengan pangkal membulat dan ujung meruncing, tepi bergerigi, panjangnya 1-10 cm, lebar 0,5-7 cm, kedua permukaan daun meroma dengan kelenjar yang terletak di permukaan bawah daun, warnanya hijau. Bunga majemuk berkumpul 3 atau lebih, berbentuk malai rata yang keluar dari ujung tangkai, biasanya berwarna biru hingga ungu, terkadang putih. Panjang bonggol bunga 6-8


(42)

mm, dengan tangkai yang berambut. Buah bulat panjang berwarna hitam dan bentuknya kecil (Badan POM RI, 2008).

4. Ekologi dan Penyebaran Tanaman Ageratum conyzoides L.

Bandotan (Ageratum conyzoides L.) merupakan herba 1 tahun. Bandotan berasal dari daerah tropis di Amerika. Di Indonesia, bandotan merupakan salah satu tumbuh-tumbuhan pengganggu yang terkenal. Bandotan tumbuh di ladang, semak belukar, halaman kebun, tepi jalan dan tepi air. Tumbuh dengan baik pada ketinggian 1-2.100 m di atas permukaan laut (Steenis, 1997).

5. Manfaat Tanaman Ageratum conyzoides L.

Tanaman ini dikenal secara luas sebagai tanaman obat juga dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Sebagai tanaman obat di Indonesia, bagian akar dari tumbuhan ini digunakan untuk menurunkan demam, sedangkan bagian daunnya digunakan sebagai pencuci mata serta mengobati sakit perut dan luka. Di Malaysia, daun A. conyzoides digunakan untuk mengurangi sakit gigi, keseluruhan tumbuhan digunakan

Gambar 2.7 Morfologi Tanaman Ageratum conyzoides L.: (a) Akar (b) Batang (c) Daun (Dok. Badan POM RI, 2008).


(43)

untuk mengobati asma dan akarnya digunakan untuk mengobati batuk. Di Brazil larutan ekstrak daun atau keseluruhan tanaman ini digunakan untuk mengobati kolik, demam, flu, diare, rematik, kejang-kejang atau sebagai tonik. Sebagai pestisida nabati, ekstrak kloroform tanaman ini telah diuji toksisitasnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kloroform A. conyzoides mempunyai efek toksik terhadap larva Artemia salina. Ekstrak metanol daun dan akar tanaman juga dapat menghambat bakteri S. Pyogenes. Daun yang diekstrak dengan metanol pada konsentrasi 1% beracun terhadap serangga. Tepung daunnya yang dicampur dengan tepung terigu mampu menghambat pertumbuhan larva sehingga menjadi pupa, seperti nyamuk, hama pascapanen (Sitophilus sp. dan Callosobuchus sp.), nematoda (Meloidogyne incognita) dan sebagainya (Wijayanto, 2016). Sedangkan, menurut Agromedia (2008) herba bandotan berasa sedikit pahit, pedas, dan sifatnya netral. Karena itulah bandotan dapat digunakan sebagai penolak serangga (insectrepellent).

6. Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Ageratum conyzoides L. Berikut kandungan senyawa metabolit sekunder pada tanaman Ageratum conyzoides L. :

a. Flavonoid

Flavonoid adalah kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam terutama pada jaringan tumbuhan tinggi. Senyawa


(44)

ini merupakan produk metabolik sekunder yang terjadi dari sel dan terakumulasi dari tubuh tumbuhan sebagai zat racun (Robinson, 1995). Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau dengan mengecualikan alga. Flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, nectar, bunga, buah, dan biji. Penyebaran jenis flavonoid pada golongan tumbuhan yang terbesar, yaitu angiospermae. Selain itu, flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai gugus hidroksil yang tak tersulih, atau suatu gula, sehingga flavonoid cukup larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, dan air (Markham, 1988).

Menurut Dinata (2009) flavonoid merupakan senyawa kimia yang memiliki sifat insektisida. Flavonoid menyerang bagian syaraf pada beberapa organ vital serangga sehingga timbul suatu perlemahan syaraf, seperti pernapasan dan menimbulkan kematian. Flavonoid juga dapat menghambat daya makan serangga (antifeedant). Bila senyawa ini masuk dalam tubuh serangga, maka alat pencernaannya akan terganggu. Senyawa ini juga bekerja dengan menghambat reseptor perasa pada daerah mulut serangga. Hal ini mengakibatkan serangga gagal mendapatkan stimulus rasa sehingga tidak mampu mengenali makanannya. Akibatnya serangga mati kelaparan.

b. Alkaloid

Menurut Harbone (1996) alkaloid sekitar 5500 telah diketahui merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Alkaloid


(45)

mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen. Sedangkan, menurut Sjamsul Arifin Achmad (1986) alkaloid adalah golongan senyawa organik yang banyak ditemukan di alam. Sebagian besar alkaloid berasal dari tumbuhan dan tersebar luar dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloid mengandung paling sedikit sebuah atom nitrogen yang biasanya bersifat basa. Sebagian besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Definisi tentang alkaloid harus dibatasi karena asam amino, peptida dan nukleotida bukanlah suatu alkaloid.

Bagi tumbuhan, alkaloid berfungsi sebagai senyawa racun yang melindungi tumbuhan dari serangga atau herbivora (hama dan penyakit), pengatur tumbuh atau sebagai basa mineral untuk mempertahankan keseimbangan ion (Sudarma, 2014). Umumnya alkaloid merupakan senyawa padat, berbentuk kristal, tidak berwarna dan mempunyai rasa pahit. Menurut Harborne (1996) alkaloid umumnya tidak ditemukan pada gymnospermaae, paku-pakuan, lumut dan tumbuhan rendah lainnya. Alkaloid juga mampu menghambat pertumbuhan serangga, terutama tiga hormon utama dalam serangga yaitu hormon otak (brain hormone), hormon edikson, dan hormon pertumbuhan (juvenile hormone). Tidak berkembangnya hormon tersebut dapat menyebabkan kegagalan metamorphosis.

Alkaloid dapat ditemukan pada biji, daun, ranting dan kulit dari tumbuh-tumbuhan. Kadar alkaloid dari tumbuhan dapat mencapai 10 –


(46)

15 %. Alkaloid kebanyakan bersifat racun, tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan. Alkaloid merupakan senyawa tanpa warna, sering kali bersifat optik aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotin) pada suhu kamar (Sabirin, et al., 1994). Berdasarkan penelitian Janzen et.al (1977) pada konsentrasi 0,1% alkaloid telah bersifat toksik dan berpengaruh secara farmakologi terhadap hewan.

c. Saponin

Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida ataupun glikosida steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel darah mupun glikosida steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel darah merah (Harborne, 1996).

Glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin. Saponin tersebar luas di antara tanaman tinggi, keberadaan saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil. Saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan dapat menyebabkan bersin dan bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, banyak di antaranya digunakan sebagai racun ikan (Gunawan dan Mulyani, 2004).


(47)

Saponin termasuk ke dalam senyawa terpenoid. Aktivitas saponin ini di dalam tubuh serangga adalah mengikat sterol bebas dalam saluran pencernaan makanan dimana sterol itu sendiri adalah zat yang berfungsi sebagai perkusor hormon edikson, sehingga dengan menurunnya jumlah sterol bebas dalam tubuh serangga akan mengakibatkan terganggunya proses pergantian kulit (moulting) pada serangga. Saponin memiliki efek lain menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehingga dinding traktus digestivus larva menjadi korosif (Aminah dkk., 2001). Menurut Marfu’ah (2005) saponin dapat merusak sistem saraf hama, efeknya nafsu makan hilang. Hal tersebut menyebabkan hama kurang makan dan akhirnya mati.

d. Minyak Atsiri

Minyak atsiri adalah zat berbau yang terkandung dalam tanaman. Minyak ini disebut juga minyak menguap, minyak eteris, minyak esensial karena pada suhu kamar mudah menguap. Istilah esensial dipakai karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya. Dalam keadaan segar dan murni, minyak atsiri umumnya tidak berwarna. Namun, pada penyimpanan lama minyak atsiri dapat teroksidasi. Untuk mencegahnya, minyak atsiri harus disimpan dalam bejana gelas yang berwarna gelap, diisi penuh, ditutup rapat, serta disimpan di tempat yang kering dan sejuk (Gunawan dan Mulyani, 2004).


(48)

Properti minyak atsiri berhubungan dengan senyawa yang dikandungnya terutama dari golongan terpen, alkohol, aldehid, dan fenol seperti karvakrol, eugenol, timol, sinamaldehid, asam sinamat, dan perilaldehid (Burt, 2007). Selain itu, Rodriguez & Levin (1975) dalam Sukandar dkk., (2007:1) mengemukakan bahwa minyak atsiri memiliki pengaruh sebagai penarik, atau sebagai insektisida pada serangga.

Menurut Sudaryani dan Sugiharti (1998) pada tanaman, minyak atsiri mempunyai tiga fungsi, yaitu: (1) membantu proses penyerbukan dan menarik beberapa jenis serangga atau hewan, (2) mencegah kerusakan tanaman oleh serangga atau hewan, dan (3) sebagai cadangan makanan bagi tanaman.

Menurut Hartati (2012) minyak atsiri juga mempunyai peluang untuk dikembangkan menjadi produk-produk derivat lainnya seperti pestisida. Pengembangan produk-produk derivat dari minyak atsiri diharapkan dapat mengurangi atau menggantikan produk-produk yang berasal dari bahan kimia sintetik.

7. Potensi Tanaman Ageratum conyzoides L. sebagai Insektisida Nabati Seperti halnya tanaman beracun lainnya, babadotan juga memiliki kemampuan sebagai insektisida nabati (racun serangga), karena dalam daun dan bunga babadotan terkandung senyawa penting atau senyawa


(49)

metabolit yang bersifat sebagai insektisida seperti alkaloid, flavonoid, kumarin, saponin, polifenol, dan minyak atsiri (Kardinan, 2004).

Menurut Agromedia (2008) herba bandotan mengandung asam amino, organacid, pectic substance, minyak atsiri, kumarin, ageratochromene, friedelin, β-sitosterol, stigmasterol, tanin, sulfur, dan pottasium kloida.

Menurut Badan POM RI (2008) daun dan bunga Ageratum conyzoides mengandung saponin, flavonoid, terpen dan polifenol, di samping itu daunnya juga mengandung minyak atsiri.

Samsudin (2008) menyatakan bahwa babadotan (Ageratum conyzoides L.) memiliki senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai insektisida dan nematisida. Kandungan senyawa bioaktif di antaranya saponin, flavonoid, polifenol, dan minyak atsiri yang mampu mencegah hama mendekati tanaman (penolak) dan menghambat pertumbuhan larva menjadi pupa.

Menurut Marfu’ah (2005) dalam Damayanti (2006) daun babadotan dapat berfungsi sebagai repellent (zat penolak) pada serangga karena memiliki aroma menyengat dan kandungan minyak atsiri yang berguna untuk menggempur hama. Selain itu, daun babadotan juga mengandung zat antifeedant yang disebabkan oleh adanya kandungan minyak atsiri sehingga nafsu makan serangga berkurang. Saponin yang ada pada daun babadotan juga tidak disukai oleh serangga karena rasanya yang pahit.


(50)

Ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. juga menghasilkan beberapa minyak yang berpotensi sebagai insektisida. Komposisi yang terkandung dalam minyak-minyak tersebut adalah prococene I dan prococene II, beta-caryophyllene, gamma-bisabolene, 3,3-dimethyl-5-tertbutilindone dan fenil asetat. Selain itu juga diidentifikasi adanya senyawa 2-(2’-methylethyl)-5,6-dimethoxybenzofuran dan asam 6-methyl-12-heptadecenoic (Amelot et all., 2003).

Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat racun dari insektisida khususnya dari daun Ageratum conyzoides L. adalah toksisitas dari senyawa insektisida, dosis insektisida khususnya konsentrasi, lama terkena insektisida dan cara pestisida masuk dalam tubuh serangga (Prijono dalam Latif, 2001). Sistem kerja zat aktif pestisida nabati masuk melalui oral maupun kulit hama. Racunnya akan menyerang sistem saraf maupun pencernaan sehingga dapat melumpuhkan dan mematikan hama (Marfu’ah, 2005).

D. Lethal Concentration (LC50)

LC50 (Lethal Concentration) merupakan konsentrasi yang menyebabkan kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang diestimasi dengan grafik dan perhitungan, pada suatu waktu pengamatan tertentu, misalnya LC50 48 jam, LC50 96 jam (Dhahiyat dan Djuangsih, 1997).


(51)

Menurut Meyer et.al (1982) suatu bahan kimia dinyatakan berkemampuan toksik akut bila aksi langsungnya mampu membunuh 50% atau lebih populasi uji dalam selang waktu yang pendek, missal 24 jam, 48 jam s/d 14 hari.

Penentuan LC50 biasanya banyak digunakan dalam uji toksisitas pada farmakologi. LC50 adalah suatu perhitungan untuk menentukan keaktifan dari suatu ekstrak atau senyawa. Makna LC50 adalah pada konsentrasi berapa ekstrak dapat mematikan 50 % dari organisme uji, misalnya larva Artemia salina (brine shrimp) (Fadhillah, 2013).

E. Hasil Penelitian Relevan

Penelitian yang dilakukan Damayanti (2006) mengenai pengaruh ekstrak babadotan (Ageratum conyzoides L.) sebagai insektisida botani terhadap mortalitas dan perkembangan ulat kubis (Plutella xylostella L.) dari hasil ANOVA menunjukkan bahwa ekstrak daun babadotan berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap mortalitas dan perkembangan Plutella xylostella L. Pada pengamatan mortalitas 24 jam dan 48 jam mortalitas paling tinggi adalah konsentrasi 4,50%. Dari hasil analisis probit diperoleh LC50-24 jam sebesar 1,9916% dan LC90-24 jam sebesar 6,2706%. Sedangkan untuk LC50-48 jam sebesar 1,3443% dan LC90-48 jam sebesar 4,2325%. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah menggunakan tanaman A. conyzoides sebagai alternatif insektisida nabati terhadap ulat P. xylostella. Perbedaannya adalah pada penelitian Damayanti (2006) ini hanya menggunakan ekstrak daun A. conyzoides, sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan


(52)

ekstrak daun dan bunga A. conyzoides. Selain itu, proses maserasi penelitian ini menggunakan pelarut methanol untuk membuat ekstraknya, sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan pelarut etanol sebagai pelarut maserasi simplisia dikarenakan lebih aman serta ramah lingkungan dibanding methanol. Dalam pengaplikasian penelitian ini menggunakan metode pencelupan, sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan metode penyemprotan menggunakan handsprayer.

Penelitian yang dilakukan Lumowa (2011) mengenai efektivitas ekstrak babadotan (Ageratum conyzoides L.) terhadap tingkat kematian larva Spodoptera litura F. menunjukkan bahwa pada uji pendahuluan dengan perlakuan konsentrasi 10% ekstrak babadotan menghasilkan tingkat kematian larva uji sebesar 60% , sedangkan uji lanjutan dengan perlakuan konsentrasi 20% ekstrak babadotan menghasilkan tingkat kematian larva uji sebesar 100% dengan lama kematian larva uji 26-60 menit. Persamaan dengan penelitian ini adalah menggunakan ekstrak dari tanaman gulma babadotan (Ageratum conyzoides L.) yang diuji efektivitasnya sebagai alternatif pengendali hama. Perbedaannya adalah pada penelitian ini target hamanya adalah larva Spodoptera litura F., sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan ulat kubis (Plutella xylostella L.). Penelitian ini tidak menggunakan metode LC50 sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan LC50. Berdasarkan penelitian Lumowa (2011) membuktikan bahwa ekstrak babadotan (Ageratum conyzoides L.) bersifat sebagai insektisida botanis terhadap larva instar IV S.


(53)

litura. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak babadotan yang diberikan maka ekstrak babadotan semakin tinggi tingkat mortalitas larva uji.

Penelitian yang dilakukan oleh Mahendra (2010) mengenai perbedaan toksisitas ekstrak daun babadotan (Ageratum conyzoides L.) dan ekstrak daun sereh wangi (Andropogon nardus L.) terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti L. membuktikan bahwa ekstrak daun babadotan (Ageratum conyzoides L.) lebih efektif digunakan sebagai larvasida. Hal ini berdasaran pada besarnya LC50 dan LC90 dari ekstrak daun babadotan pada masa dedah 24 jam dan 48 jam membutuhkan konsentrasi yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan ekstrak daun sereh wangi (Andropogon nardus L.). Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah menggunakan ekstrak tanaman babadotan (Ageratum conyzoides L.) dan perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan oleh Mahendra (2010) juga menggunakan ekstrak daun sereh wangi (Andropogon nardus L.) sebagai pembanding dan diaplikasikan pada larva nyamuk Aedes aegypti L., sedangkan pada penelitian yang dilakukan diaplikasikan pada ulat kubis (Plutella xylostella L.). Penelitian ini hanya menggunakan ekstrak daun tanaman A. conyzoides, sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan ekstrak daun dan bunga tanaman A. conyzoides.

Berikut adalah gambar 2.8 yang menunjukkan kebaharuan penelitian ini terhadap penelitian-penelitian relevan yang telah dilakukan.


(54)

37 Gambar 2.8 Bagan Literature Map


(55)

F. Kerangka Berpikir

Hama ulat kubis (Plutella xylostella L.) merupakan hama tanaman yang menyerang tanaman kubis-kubisan yang menyebabkan kerusakan kubis pada bagian daunnya dan membuat para petani kubis mengalami gagal panen dan penurunan produksi kubis akibat hama ulat tersebut. Dalam pengendaliannya, Petani cenderung menggunakan insektisida kimiawi yang ampuh tetapi sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh dan lingkungan sekitar.

Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai insektisida nabati dari ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. yang mengandung senyawa metabolit sekunder yang bersifat sebagai insektisida seperti flavonoid, alkaloid, saponin, dan minyak atsiri. Dengan bahan baku berupa daun dan bunga Ageratum conyzoidez L. yang dijadikan insektisida nabati, maka hal tersebut dapat dijadikan suatu alternatif bagi para petani dalam pengendalian hama dan kualitas tanaman pun tidak berkurang. Bagan kerangka berpikir dari penelitian yang dilakukan ditampilkan pada Gambar 2.9:


(56)

Gambar 2.9 Kerangka Berpikir

G. Hipotesa

1. Ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. berpengaruh toksik terhadap mortalitas hama ulat kubis (Plutella xylostella L.).

2. Konsentrasi ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. pada tingkat konsentrasi tertentu berperan sebagai nilai LC50 24 jam dan 48 jam yang berpengaruh terhadap mortalitas hama ulat kubis (Plutella xylostella L.).


(57)

40 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh toksisitas ekstrak tanaman A. conyzoides sebagai insektisida nabati terhadap mortalitas hama ulat kubis (P. xylostella) dan mengetahui nilai LC50 24 jam dan 48 jam dari ekstrak tanaman A. conyzoides yang berpengaruh terhadap mortalitas hama ulat kubis (P. xylostella).

Dalam penelitian ini menggunakan tiga variabel antara lain: 1. Variabel bebas : konsentrasi ekstrak tanaman A. conyzoides 2. Variabel terikat : tingkat mortalitas ulat kubis (P. xylostella) 3. Variabel kontrol : tanaman A. conyzoides, ulat P. xylostella, daun

kubis, penyemprotan

B. Desain Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 1 kontrol (0%) dan 3 perlakuan (2%, 6%, 10%) dengan ekstrak tanaman A. conyzoides, yang dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Pada setiap pengulangan menggunakan 10 ulat P. xylostella instar IV berwarna hijau yang berumur 10 hari dan merupakan fase terakhir dari stadium ulat. Penelitian ini dilakukan dalam stoples pemeliharaan dan menggunakan metode penyemprotan daun. Berikut kombinasi perlakuan pada pengamatan mortalitas P. xylostella:


(58)

Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan pada Pengamatan Mortalitas P. xylostella

Keterangan:

P0 = konsentrasi 0% (Kontrol dengan akuades) P1 = Perlakuan dengan konsentrasi 2%

P2 = Perlakuan dengan konsentrasi 6% P3 = Perlakuan dengan konsentrasi 10% C. Batasan Penelitian

1. Penelitian ini berfokus pada penggunaan ekstrak tanaman A. conyzoides terhadap mortalitas hama ulat kubis (P. xylostella) yang dilakukan dalam stoples pemeliharaan

2. Tanaman A. conyzoides yang digunakan sebagai insektisida nabati adalah bagian daun dan bunganya yang dicampur secara acak

3. Pembuatan ekstrak tanaman A. conyzoides dilakukan dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol

4. Pengujian esktrak tanaman A. conyzoides dilakukan dengan konsentrasi 0%, 2%, 6%, 10% dan 3 kali pengulangan

5. Ulat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ulat P. xylostella instar IV memiliki panjang 6 – 8 mm, lebar 1 – 1,5 mm, berwarna hijau, dan berumur 10 hari (Rukmana, 1994 dalam Purba, 2007)

6. Untuk setiap pengulangan pada masing-masing perlakuan diujikan P. xylostella sebanyak 10 ekor

Ulangan Konsentrasi (%)

P0 P1 P2 P3

U1 P0U1 P1U1 P2U1 P3U1

U2 P0U2 P1U2 P2U2 P3U2


(59)

7. Pengamatan mortalitas yang terjadi diamati selama 24 jam setelah aplikasi dan dilanjutkan sampai 48 jam dari perlakuan ekstrak daun A. conyzoides (waktu dedah aplikasi ekstrak A. conyzoides sampai 48 jam)

8. Mortalitas adalah tingkat kematian pada suatu populasi 9. Metode analisis data menggunakan analisis probit LC50

10.LC50 merupakan salah satu metode untuk mengetahui kadar toksik dari suatu zat melalui analisa konsentrasi zat tersebut dalam mematikan 50% populasi hewan uji.

D. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret – Juni 2017, bertempat di Laboratorium Biologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sebagai tempat peminjaman alat lab, Kos Zusiarib Paingan Maguwoharjo sebagai tempat pembuatan ekstrak A. conyzoides dan budidaya ulat P. xylostella, Kavling Sawahan, Kedu, Temanggung sebagai tempat perlakuan, dan di Laboratorium Chem-Mix Pratama Bantul sebagai tempat pengujian secara kuantitatif senyawa alkaloid dan flavonoid dari ekstrak tanaman A. conyzoides.

E. Alat dan Bahan 1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitan ini, yaitu gelas ukur 100 ml dan 5 ml, gelas beker 1 L, erlenmeyer 1 L, timbangan digital, batang pengaduk, corong gelas 100 mm, pipet tetes, blender, baskom, nampan,


(60)

stoples plastik, kertas saring, alumunium foil, kapas, gunting/ cutter, kain kasa, kipas angin, mangkuk kaca, kardus, label, karet gelang, alat tulis, dan kamera digital.

2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu daun dan bunga A. conyzoides, ulat P. xylostella, daun kubis, serbuk gergaji, larutan madu 10%, akuades, larutan etanol

F. Cara Kerja

1. Pembuatan Ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L.

Tanaman A conyzoides diambil di sekitar Kampus III Universitas Sanata Dharma dan Kebun Percobaan Biologi Universitas Sanata Dharma. Cara membuat ekstrak tanaman A. conyzoides dilakukan dengan memetik helaian daun dan bunga A. conyzoides sebanyak-banyaknya, lalu dibersihkan sampai bersih dicuci dengan air, kemudian dikeringkan atau dijemur sampai kering selama lebih kurang 1 minggu, kemudian diblender dan ditimbang berat kering 368 gram. Bubuk simplisia tanaman A. conyzoides dilakukan maserasi dengan menggunakan pelarut etanol 90% di dalam Erlenmeyer dengan perbandingan 1 (simplisia) : 4 (pelarut etanol) sampai simplisia terendam semua. Selama 3 hari simplisia direndam dan sesekali diaduk dengan menggunakan batang pengaduk. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan


(61)

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel maka larutan terpekat didesak keluar (Ditjen POM, 2000).

Setelah 3 hari hasil rendaman tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring dan corong ke dalam gelas beker. Dilakukan maserasi kembali dengan menggunakan larutan etanol 96% dari sisa ampas maserasi sebelumnya hingga ekstraksi yang dihasilkan jernih. Kemudian hasil larutan ekstraksi maserasi tersebut diuapkan sampai kering menggunakan kipas angin. Mangkuk kaca yang berisi larutan hasil ekstraksi maserasi diletakkan di dalam kardus. Selanjutnya, kipas angin diletakkan di depan mangkuk kaca berisi larutan hasil ekstraksi maserasi yang berfungsi untuk mengeringkan hasil penyaringan atau membantu penguapan larutan hasil maserasi. Pengeringan dilakukan selama 2 sampai 3 hari hingga didapatkan ekstrak kental (wujudnya menyerupai pasta). Kemudian disimpan dalam lemari es dengan suhu 4°C sampai saatnya digunakan dan dilakukan pengenceran dengan akuades sesuai konsentrasi perlakuan, sebagai berikut:

P0 = Konsentrasi 0% (0 gr ekstrak A. conyzoides + 50 ml akuades) P1 = Konsentrasi 2% (1 gr ekstrak A. conyzoides + 50ml akuades) P2 = Konsentrasi 6% (3 gr ekstrak A.conyzoides + 50 ml akuades)


(62)

P3 = Konsentrasi 10% (5 gr ekstrak A. conyzoides + 50 ml akuades)

(a) (b)

(c)

Gambar 3.1 Hasil Pengenceran Ekstrak Tanaman A. conyzoides dengan Akuades (a) P1 (konsentrasi 2%) (b) P2 (konsentrasi 6%) (c) P3 (konsentrasi 10%)

2. Penyiapan dan Pemeliharaan Ulat Kubis (Plutella xylostella L.)

Penyiapan ulat uji dilakukan dengan mengumpulkan ulat uji P. xylostella dari lapangan, kemudian ulat-ulat yang dikumpulkan dan di pindahkan ke dalam stoples plastik berdiameter 9 cm, kemudian ditutup dengan kain kasa dan diikat dengan karet gelang. Ulat-ulat kubis (P. xylostella) tersebut dipelihara hingga ulat-ulat tersebut berubah menjadi stadium pupa. Selama pemeliharaan ulat-ulat diberi makanan setiap hari dengan daun kubis segar. Kemudian pupa akan berubah menjadi ngengat. Ngengat yang sudah muncul dipindahkan ke dalam stoples pemeliharaan ngengat dan diberi makanan berupa larutan madu 10%. Ngengat dibiarkan


(63)

berkopulasi dan meletakkan telurnya pada kertas atau daun kubis yang telah disediakan sampai telur yang diletakkan cukup banyak, kemudian telur yang telah dikumpulkan tersebut dipindahkan ke dalam stoples pemeliharaan ulat yang telah diisi serbuk gergaji dengan daun kubis segar sampai sekitar 3 – 4 hari telur menetas menjadi ulat. Selanjutnya ulat-ulat tersebut terus dipelihara dengan diberikan makanan berupa daun kubis segar hingga memasuki hari ke-10 yang berlangsung selama 3 hari (ulat instar IV) yang merupakan fase terakhir larva P. xylostella yang digunakan dalam penelitian. Ulat-ulat P. xylostella instar IV tersebut kemudian dipindahkan ke dalam stoples sesuai perlakuan konsentrasi ekstrak tanaman A. conyzoides. Stoples diberi label sesuai dengan konsentrasi larutan ekstrak tanaman A. conyzoides yang disemprotkan pada masing-masing perlakuan.

(a) (b)


(64)

3. Pengamatan Siklus Hidup Ulat Kubis (Plutella xylostella L.)

Siklus hidup ulat kubis (P. xylostella) memiliki 4 siklus, yaitu meliputi telur, ulat, pupa/ kepompong, dan ngengat/ imago. Sebelum dilakukan pengujian ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. pada ulat kubis (P. xylostella), maka dilakukan penyiapan ulat uji yang digunakan terlebih dahulu. Penyiapan ulat uji dilakukan dengan mengembangbiakan ulat uji terlebih dahulu yang diambil dari lapangan sehingga diperoleh dalam jumlah ulat yang sesuai dengan kebutuhan penelitian dengan usia yang sama. Ulat uji yang diambil dari lapangan merupakan ulat P. xylostella instar IV yang memiliki ciri-ciri panjang 6 – 8 mm, lebar 1 – 1,5 mm dan berwarna hijau. Setelah 3 – 4 hari ulat tersebut berubah menjadi pupa dengan membuat kokon yang berwarna putih sebagai pelindung sehingga tampak seperti jala dan berbentuk silinder. Pembentukan kepompong mula-mula dibuat dasarnya, sisi, kemudian tutupnya, kemudian pada bagian ujungnya dibiarkan terbuka untuk keperluan pernapasan (aerasi). Pembuatan kepompong (pra pupa) ini diselesaikan dalam waktu 24 jam dan pupa masih berwarna hijau, setelah selesai ulat akan berubah menjadi pupa yang berwarna kecoklatan. Stadium pupa berlangsung sekitar 4 – 6 hari kemudian berubah menjadi ngengat/ imago. Berikut gambar siklus hidup dari ulat kubis (P. xylostella) yang terdiri dari stadium ulat, pra pupa, pupa, ngengat/ imago, dan telur:


(65)

Gambar 3.3 Siklus Hidup Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) : ulat (a) pra pupa (b), pupa (c), ngengat/ imago (d), telur (e)

Ngengat akan mengakhiri stadium pupanya dengan melepaskan diri dari kokon pupa yang berbentuk jala. Sesuai dengan pernyataan Deptan (2008) ngengat berbentuk abu-abu sampai coklat kelabu dan pada sayapnya nampak tiga buah tanda berupa gelombang seperti berlian (diamond) atau terdapat bentuk segitiga sepanjang punggungnya. Maka dari itu, hama ini juga disebut ngengat punggung berlian. Ngengat beristirahat pada siang hari dan aktif pada malam hari. Stadium ngengat sekitar 7 – 14 hari. Ngengat memiliki panjang tubuh sekitar 5 – 9 mm.

(b) (a)

(e) (c)


(66)

Waktu ngengat istirahat, antenna lurus ke depan. Sesuai dengan pernyataan Sudarmo (1994) ngengat jantan kelihatan lebih kecil dibanding dengan betina, demikian pula warnanya lebih cerah. Ngengat betina dapat menghasilkan telur sekitar 180 – 320 butir. Ngengat betina akan meletakkan telurnya secara mengelompok dalam satu daun ke daun lainnya, sehingga satu ngengat dapat bertelur pada banyak tanaman kubis.

Telur P. xylostella berwarna kuning pucat, berbentuk oval dan rata, ukurannya seitar 0,44 – 0,26 mm. Telur P. xylostella disimpan sendiri atau secara berkelompok kecil dari dua sampai delapan telur pada cekungan di permukaan dedaunan. Telur tersebut akan menetas setelah 3 – 4 hari. Ulat yang baru menetas berwarna hijau pucat sedang yang telah dewasa ulat berwarna hijau lebih tua. Telur yang baru menetas akan masuk ke dalam jaringan daun dan memakannya sehingga hanya menyisakan bagian epidermisnya saja yang terlihat bercak putih dan apabila diterawang akan nampak seperti lubang.

Gambar 3.4 Stadium Ulat Kubis (Plutella xylostella L.): instar I (a), instar II (b), instar III (c), instar IV (d)

(b) (a)

(d) (c)


(1)

jurnal/ artikel ilmiah) 5 - Hanya mencakup beberapa

aspek yang ada di judul - Penulisan kurang benar dan

kurang dalam menggunakan sumber yang jelas (buku dan jurnal/ artikel ilmiah)

Hasil 20 - Penyajian data (tabel dan grafik) sangat sesuai dengan apa yang diteliti

- Penjelasan hasil data sangat lengkap dan mudah dimengerti 15 - Penyajian data (tabel dan grafik)

sesuai dengan apa yang diteliti - Penjelasan hasil data kurang

lengkap dan mudah dimengerti 10 - Penyajian data (tabel dan grafik)

hanya beberapa yang sesuai dengan apa yang diteliti - Penjelasan hasil data kurang

lengkap

5 - Penyajian data kurang lengkap hanya menyajikan tabel atau grafik saja dan kurang sesuai dengan apa yang diteliti - Penjelasan hasil data kurang

lengkap

Pembahasan 30 - Analisis secara kualitatif mencakup semua hasil penelitian

- Mampu mengaitkan antara hasil dengan kajian pustaka

20 - Analisis secara kualitatif mencakup semua hasil penelitian

- Hanya beberapa yang kurang mampu mengaitkan antara hasil dengan kajian pustaka

10 - Analisis secara kualitatif kurang mencakup semua hasil

penelitian

- Hanya beberaa yang kurang mampu mengaitkan antara hasil dengan kajian pustaka

Kesimpulan 10 - Kesimpulan ditulis singkat - Menjawab tujuan


(2)

- Mudah dipahami

7 - Kesimpulan ditulis panjang dan berbelit-belit

- Menjawab tujuan - Mudah dipahami

5 - Kesimpulan ditulis panjang dan berbelit-belit

- Kurang menjawab tujuan - Kurang mudah dipahami Keterangan:

Jumlah skor sesuai dengan indikator, dimana setiap indikator memiliki skor 10 Jumlah skor maksimum = 100

Nilai yang diperoleh :


(3)

Penilaian Afektif

Materi : - Cabang dan Manfaat Imu Biologi - Metode Ilmiah

Kelas/ Semester : X/ 1 No. Nama

Siswa

Aspek yang dinilai Jum-lah Skor

Nilai Disiplin Berpikir

kritis

Kerja

sama Jujur

Tnggung jawab 1. 2. Dst. Kategori Skor: 3 = Baik 2 = Cukup 1 = Kurang

Rubrik Penilaian Afektif

No.

Aspek yang dinilai

Skor Indikator penilaian

1. Disiplin 3 Masuk kelas tepat waktu, berpakaian rapi dan sopan, serta menyelesaikan tugas tepat waktu

2 Jika hanya 2 indikator yang terlihat 1 Jika hanya 1 indikator yang terlihat 2. Berpikir

kritis

3 Mengajukan pertanyaan-pertanyaan terhadap hal baru kepada guru maupun teman sejawat, menjawab pertanyaan guru maupun teman sejawat dengan antusias, dan mengklarifikasi jawaban/pendapat teman maupun guru

2 Jika hanya 2 indikator yang terlihat 1 Jika hanya 1 indikator yang terlihat

3. Kerjasama 3 Berkontribusi dalam penyelesaian tugas kelompok, mengahargai pendapat teman, dan mematuhi keputusan diskusi kelompok

2 Jika hanya 2 indikator yang terlihat 1 Jika hanya 1 indikator yang terlihat

4. Jujur 3 Tidak melakukan plagiarisme, melaporkan hasil diskusi apa adanya, dan tidak menyontek

2 Jika hanya 2 indikator yang terlihat 1 Jika hanya 1 indikator yang terlihat 5 Tanggung

Jawab

3 Bertanggungjawab dalam kelompoknya, mengerjakan tugas yang diberikan guru, dan


(4)

bertanggungjawab dengan apa yang dikerjakan 2 Jika hanya 2 indikator yang terlihat

1 Jika hanya 1 indikator yang terlihat Keterangan:

Jumlah skor maksimum = 15

Kriteria nilai:

- 76 – 100 = A (Sangat Baik) - 51 – 75 = B (Baik)

- 26 – 50 = C (Cukup)


(5)

Penilaian Psikomotorik

Materi : - Cabang dan Manfaat Imu Biologi - Metode Ilmiah

Kelas/ Semester : X/ 1 No Nama

Aspek yang dinilai

Skor Nilai Ber-tanya Mengi-dentifikasi Meran-cang Presen-tasi Kekom-pakkan kelom-pok 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

1

2

Dst

Kategori Skor: 3 = Baik 2 = Cukup 1 = Kurang

Rubrik Penilaian Psikomotorik

Aspek yang dinilai Skor Indikator

Bertanya 3 Sangat kritis, berani dalam bertanya, pertanyaanya mudah dimengerti

2 Jika hanya 2 indikator yang terlihat 1 Jika hanya 1 yang terlihat

Mengidentifikasi 3 Sangat rinci ketika mengidentifikasi, benar ketika mengidentifikasi, teliti

2 Jika hanya 2 indikator yang terlihat 1 Jika hanya 1 indikator yang terlihat

Merancang 3 Terampil ketika merancang, merancangkan sesuatu yang menarik, runtun dalam merancang

2 Jika hanya 2 indikator yang terlihat 1 Jika hanya 1 indikator yang terlihat

Presentasi 3 Materi presentasi lengkap, kalimat mudah dipahami, runtut, menarik

2 Jika hanya 2 indikator yang terlihat 1 Jika hanya 1 indikator yang terlihat Kekompakkan

Kelompok

3 Pembagian materi presentasi secara merata, pembagian tugas untuk menjawab pertanyaan secara merata, dan semua anggota kelompok memiliki pemikiran yang sama


(6)

2 Jika hanya 2 indikator yang terlihat 1 Jika hanya 1 indikator yang terlihat Keterangan:

Jumlah skor maksimum = 15

Kriteria nilai:

- 76 – 100 = A (Sangat Baik) - 51 – 75 = B (Baik)

- 26 – 50 = C (Cukup)


Dokumen yang terkait

Uji Efektifitas Ekstrak Babadotan (Ageratum conyzoides ) Terhadap Hama Plutella xylostella (Lepidoptera : Plutellidae) Di Laboratorium

1 45 66

Efektivitas Ekstrak Daun Babandotan (Ageratum Conyzoides L) Terhadap Mortalitas Nyamuk Aedes Aegypti

3 102 86

Uji Efektivitas Beberapa Insektisida Nabati Terhadap Hama Ulat Tritip (P. xylostella L.) dan Hama Ulat krop (C. binotalis Zell.) pada Tanaman Kubis (B. oleracea L.)

7 44 124

Toksisitas Ekstrak Daun Ageratum Conyzoides L. (Asteraceae) Terhadap Mortalitas Dan Oviposisi Scirpophaga Incertulas Walker (Lepidoptera : Pyralidae).

0 0 1

pemanfaatan ekstrak daun paitan (Tithonia diversifolia Hemsl.) sebagai insektisida nabati terhadap ulat daun kubis (Plutella xylostella L.).

0 0 11

UJI POTENSI DAUN BABADOTAN (Ageratum conyzoides L.) SEBAGAI INSEKTISIDA BOTANI TERHADAP HAMA (Plutella xylostella L.) DI LABORATORIUM

1 2 8

UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN ANTING-ANTING (Acalypha indica L.) SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI ULAT KROP (Crocidolomia binotalis Z.) PADA TANAMAN KUBIS (Brassica oleraceae L. var. capitata) - Raden Intan Repository

0 0 88

UJI EFEKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP MORTALITAS ULAT TRITIP(Plutella xylostella) PADA TANAMAN KUBIS

0 1 16

UJI EFEKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP MORTALITAS ULAT TRITIP(Plutella xylostella) PADA TANAMAN KUBIS

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kubis - PENGARUH EKSTRAK DAUN BABANDOTAN (Ageratum conyzoides L.) TERHADAP TINGKAT MORTALITAS ULAT TRITIP (Plutella xylostella) PADA TANAMAN KUBIS - repository perpustakaan

0 1 16