e. Memberikan keterangan yang tidak benar,
Yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
q. Pasal 114 UUPPLH
Penanggung jawab usaha danatau kegiatan: Tidak melaksanakan paksaan pemerintah
r. Pasal 115 UUPPLH
Melakukan perbuatan: Mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas
pejabat pengawas lingkungan hidup danatau pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Jika ditinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal 115 UUPPLH tersebut di atas, terdapat tindak pidana materiil yang
menekankan pada akibat perbuatan, dan tindak pidana formil yang menekankan kepada perbuatan. Tindak pidana materiil yaitu bentuk tindak pidana yang
memerlukan perlu terlebih dahulu dibuktikan adanya akibat dalam hal terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan. Sedangkan tindak pidana formal tidak
memerlukan adanya akibat, namun jika telah melanggar rumusan ketentuan pidana ketentuan peraturan perundang-undangan, maka telah dapat dinyatakan sebagai
telah terjadi tindak pidana dan karenanya pelaku dapat dijatuhi hukuman.
124
C. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam UUPPLH
Di dalam Pasal 1 angka 32 UUPPLH, yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah orang perorangan atau badan usaha baik yang berbadan hukum maupun yang
tidak berbadan hukum.
124
Alvi Syahrin, Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Makalah, di
Seminar Nasional dalam Rangka Menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2001, Medan, 2011
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal badan usaha sebagai pelaku tindak pidana lingkungan, yang dapat dituntut bisa saja bukan hanya badan hukumnya saja, melainkan juga seseorang
natuurlijk persoon. Seseorang itu dituntut baik sebagai yang memberi perintahtugas ataupun sebagai pemimpin.
125
Korporasi sebagai artificial person tidak dapat melakukan perbuatannya sendiri. Dalam melakukan suatu tindakan atau perbuatan korporasi memerlukan
natural person di dalamnya yang memiliki kedudukan dan kekuasaan untuk berperan sebagai otak dari korporasi. Natural person itu dapat saja berupa pejabat senior, yaitu
seseorang yang mengendalikan korporasi, baik sendirian maupun bersama-sama dengan pejabat senior yang lain, yang mencerminkan dan mewakili pikiran atau
kehendak dari korporasi. Namun, dalam arti luas, para pengedali korporasi terdiri dari para direktur dan manajer. Sedangkan, para pegawai biasa dan agen yang hanya
melaksanakan apa yang telah diarahkan oleh pejabat senior. Tindak pidana yang dilakukan korporasi seringkali tidak tampak kelihatan
karena kompleksitas dan dilakukan dengan perencanaan yang matang, serta pelaksanaannya yang rapi dan terkoordinasi serta memiliki dimensi ekonomi.
Selanjutnya, tidak tampaknya tindak pidana yang dilakukan korporasi oleh karena dari tingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan bahkan dalam penegakan
hukumnya lemah, karena ketentuan hukum positif yang mengaturnya masih dapat
125
Tristam P. Moeliono, trans., Op. Cit., hal 224
Universitas Sumatera Utara
dimultitafsirkan serta ketidak-acuhan masyarakat atas tindak pidana yang telah dilakukan oleh korporasi.
126
Namun, dalam menentukan apakah suatu kasus tindak pidana merupakan corporate crime atau bukan, James Gobert dan Maurice Punch
127
, membuat suatu parameter yaitu:
a. What sort of offence was committed?
b. Who was involved and at what level in the organisasion?
c. Why did the individuals in question make the choices that they did; what
was their motive recognizing that motives can be mixed, and that many explanations are little more than after-the-fact rationalisations?
d. How was the offence committed?
e. How far-reaching was the offence?
f. What was the nature and extent of the damage?
g. Who were the victims?
h. How serious was the offence in the eyes of society?
i. What was the nature of the regulatory environment and did this affect the
decision to turn to criminal means?” Kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup selalu timbul dikarenakan
adanya tujuan dan kepentingan korporasi yang bersifat menyimpang sehubungan dengan peranannya dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam, serta
kegiatan-kegiatan perindustrian dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi maju untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang ekonomi. Hal ini
dilakukan tanpa mempedulikan eksistensi makhluk hidup lainnya, baik manusia, hewan maupun tumbuhan, serta memandang dan menempatkan lingkungan hidup
sebagai objek yang berkonotasi komoditi dan dapat dieksploitasi untuk tujuan dan kepentingan organisasional dalam hal mengutamakan keuntungan. Perilaku
126
Alvi Syahrin, 2, Op. Cit., hal 57
127
James Gobert, Maurice Punch, Op. Cit., hal 26
Universitas Sumatera Utara
menyimpang oleh korporasi tersebut telah membawa banyak bencana bagi lingkungan hidup dan juga kemanusiaan.
128
Mengenai sifat pertanggungjawaban koporasi badan hukum dalam Hukum Pidana terdapat beberapa cara atau sistem perumusan yang ditempuh oleh pembuat
undang-undang, yaitu: a.
Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab; b.
Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab; c.
Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab. Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat pelaku dan penguruslah
bertanggung jawab, kepada pengurus dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan tersebut sebenarnya merupakan kewajiban dari
korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat suatu alasan yang menghapuskan pidana. Dasar
pemikirannya yaitu korporasi itu sendiri tidak dapat dipertangungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan tindak pidana itu,
dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.
129
Dalam hal korporasi sebagai pembuat pelaku dan pengurus yang bertanggung jawab, dipandang dilakukan oleh korporasi yaitu apa yang dilakukan oleh alat
perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang
128
Muhammad Topan, Op. Cit., hal 52
129
Muladi, Dwidja Priyatno, Op. Cit., hal 84
Universitas Sumatera Utara
tertentu sebagai pengurus dari badan hukum itu. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi
bertanggung jawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu.
130
Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab perlu memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri. Ditetapkannya pengurus saja
sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup karena badan hukum menerima keuntungan dan masyarakat sangat menderita kerugian atas tindak terlarang
tersebut.
131
Namun, perusahaan dapat menghindari pertanggungjawaban tersebut dengan memisahkan diri dari perbuatan personelnya yang diambil berdasarkan
ketidaktahuan mereka terhadap hukum.
132
Menurut Muladi
133
, berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi dan memperhatikan dasar pengalaman pengaturan hukum positif serta pemikiran yang
berkembang maupun kecenderungan internasional, maka pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hendaknya memperhatikan hal-hal:
1. Korporasi mencakup baik badan hukum legal entity maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya;
2. Korporasi dapat bersifat privat private juridical entity dan dapat pula bersifat publik public entity;
3. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah managers, agents, employess
dan korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bi- punishmentprovision;
130
Alvi Syahrin, 2, Op. Cit., hal 63
131
Ibid.
132
James Gobert, Maurice Punch, Op. Cit., hal 79
133
Muladi, Op. Cit., hal 84
Universitas Sumatera Utara
4. Terdapat kesalahan main manajemen korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of
-
a statutory or regulatory provision; 5. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang
yang bertanggung jawab di dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut dan dipidana;
6. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada
korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa Amerika Serikat mulai dikenal apa yang dinamakan corporate death
penalty dan corporate imprisonment yang mengandung pengartian larangan suatu korporasi untuk berusaha di bidang-bidang usaha tertentu dan pembatasan-
pembatasan lain terhadap langkah-langkah korporasi dalam berusaha;
7. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan;
8. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan korporasi, melalui kebijakan pengurus atau para pengurus
corporate executive officers yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan power of decision dan keputusan tersebut telah diterima accepted oleh
korporasi tersebut.
Sedangkan Alvi Syahrin
134
menyatakan bahwa tindak pidana lingkungan yang dilakukan untuk dan atau atas nama korporasi badan usaha, setidak-tidaknya di
dalamnya terdapat, bahwa: 1
Tindakan illegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur adminsitrasi.
Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan
hukum administrasi.
2 Baik korporasi sebagai “subjek hukum perorangan atau legal persons dan
perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan as illegal actors, dimana dalam praktek yudisialnya, antara lain bergantung pada kejahatan yang
dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.
3 Motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan hanya bertujuan untuk
keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut
ditopang pula oleh norma operasional internal dan sub-kultur organisasional.
134
Alvi Syahrin, 2, Op. Cit., hal 58
Universitas Sumatera Utara
Penyimpangan yang dilakukan korporasi tersebut di atas dapat dibedakan dalam beberapa jenis berdasarkan daya rusaknya terhadap lingkungan hidup. Adapun John
Elkington menyusun empat jenis korporasikorporasi berdasarkan daya rusaknya terhadap lingkungan hidup dengan menggunakan metafora serangga. Empat jenis
korporasi tersebut yaitu sebagai berikut:
135
1. korporasi ulat caterpillar
Ulat merupakan serangga yang mampu melahap dedaunan dalam waktu sekejap, dan hanya menyisakan rangka dan sirip. Dalam sistem ekonomi yang
didominasi oleh korporasi ulat, sumberdaya alam akan dilahap sedemikian rupa untuk kepentingannya sendiri di atas pengorbanan sustainabilitas lingkungan
hidup dan kehidupan sosial ekonomi setempat. Korporasi ulat ini dimasukkan pada korporasi berperingkat hitam.
2. korporasi belalang locust
Korporasi yang termasuk pada jenis ini merupakan korporasi berperingkat merah. Korporasi belalang, biasanya mengeksploitasi sumber daya alam
melampaui daya dukungan ekologi, sosial dan ekonomi. Dampaknya sangat degeneratif, regional dan internasional. Korporasi ini menganggap CSR
Corporate Social Responsibility sebagai cost. Karena itu, mereka baru menyelenggarakan CSR ketika mendapat tekanan dari masyarakat.
3. korporasi kupu-kupu butterfly
Korporasi ini memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup dan sosial. Korporasi yang termasuk kategori ini memperoleh peringkat hijau. Adapun
korporasi-korporasi yang termasuk peringkatjenis ini, seperti PT. Petrokimia Gresik, PT. Semen Gresik Tbk., dan PT Riau Andalam Pulp dan Paper.
4. korporasi lebah madu honeybee
Korporasi jenis ini bersifat regeneratif, dan menurut versi Proper, korporasi jenis ini berperingkat emas. Namun, sampai saat ini belum ada satu pun
korporasi yang bisa dimasukkan dalam jenis ini.
Pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut, dapat didasarkan kepada hal-hal berikut ini:
136
135
Muhammad Topan, Op. Cit., hal 50-52
136
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung: CV Utomo, 2004, hal 66
Universitas Sumatera Utara
1. atas dasar falsafah intergralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas
dasar keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial;
2. atas dasar asas kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945;
3. untuk memberantas anomie of success kesuksesan tanpa aturan;
4. untuk perlindungan konsumen;
5. untuk kemajuan teknologi.
Berikut beberapa alasan mengapa pertanggungjawaban korporasi diperlukan:
137
a Tanpa adanya pertanggungjawaban pidana, korporasi dapat menghindari
peraturan yang berlaku di dalam hukum pidana, dan individu yang ada di korporasi itu dapat saja dihukum, padahal tindak pidana itu merupakan tindak
pidana yang benar-benar berasal dari kegiatan korporasi.
b Dalam beberapa kasus, lebih mudah untuk menuntut korporasi daripada
karyawannya. c
Pada saat terjadi pelanggaran serius, korporasi cenderung lebih mampu untuk membayar denda daripada individu karyawannya.
d Ancaman penuntutan pidana dapat mendorong para pemegang saham untuk
melakukan pengawasan atas kegiatan perusahaan di mana mereka berinvestasi. e
Jika sebuah perusahaan telah mendapatkan keuntungan dari kegiatan illegal, maka perusahaan itulah yang seharusnya membayar, bukan si karyawan.
f Pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan memberikan
tekanan kepada para karyawannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menaikkan keuntungan dengan cara yang tidak legal – seperti
contoh, jika suatu perusahaan pengangkutan menentukan penggunaan waktu yang harus digunakan oleh supir mereka dalam proses pengiriman, dimana
waktu tersebut dapat tercapai apabila supir ngebut, paksaan korporasi atau vicarious liability bisa menjadi cara untuk memastikan bahwa perusahaan tidak
akan bebas dari scot-free jika supir dihukum karena ngebut.
g Pemberitaan yang buruk dan adanya denda dapat mencegah perusahaan untuk
melakukan tindakan yang illegal dan ini mungkin saja tidak akan berlaku jika yang dituntut yaitu individunya.
Pertanggungjawaban pidana suatu badan usaha dalam kasus lingkungan hidup,
di dalam UUPPLH diatur dalam Pasal 116 UUPPLH. Berdasarkan Pasal 116 ayat 1 UUPPLH, pertanggungjawaban pidana badan usaha dapat dimintakan kepada badan
137
Catherine Elliott, Frances Quinn, Criminal Law, England: Pearson Education Ltd, Fifth ed., 2004, hal 248
Universitas Sumatera Utara
usaha, dan atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
Kemudian Pasal 116 ayat 2 UUPPLH menetapkan bahwa: “Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berdasarkan hubungan lain
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan
tindak pidana tersebut dilakuan secara sendiri atau bersama-sama.”
138
D. Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Pasal 116 UUPPLH