Alasan Pengecualian Hukum bagi Direksi atas Penjatuhan Pidana

f. Requiring the corporation to acquire environmental software to assist management in complying with applicable laws. For example, several software packages are available to assist companies in managing the use of chemicals and in preparing hazardous materials management plans and facility information required by applicable governmental agencies. g. Requiring immediate reporting by management to the board of all significant environmental liabilities. Managements report should be accompanied by a description of the response and mitigation measures that have been and must be undertaken to correct the problem and prevent its recurrence. h. Requiring management to implement programs to reduce employee error and exposure of employees to workplace contaminants, including compulsory and comprehensive employee training programs, purchase of special protective equipment and, in appropriate cases, institution of a periodic employee health screening program. i. Requiring establishment of adequate reserves for environmental liabilities. …the corporation to take the lowest reasonable estimate of the liability as a contingency reserve, the establishment of such loss reserve or a large adjustment to an under-funded reserve in a single fiscal quarter can have a significant adverse effect on corporate profitability and stock price. Moreover, if a significant liability arises and the corporation does not have the fiscal ability to respond, the board of directors of the corporation may face personal liability for the loss. Dengan melakukan tindakan-tindakan tersebut, setidak-tidaknya tindakan direksi yang mengakibatkan tindak pidana lingkungan tersebut hanya dapat dikategorikan sebagai kealpaan negligence bukan kesengajaan. 150

B. Alasan Pengecualian Hukum bagi Direksi atas Penjatuhan Pidana

Dunia hukum mengenal adanya lambang seorang dewi dengan mata tertutup sambil memegang pedang di tangan kanannya dan timbangan di tangan kirinya. Dewi itu dikenal dengan nama Dewi Iustitia. Makna dari lambang tersebut yaitu hukum tidak memandang kedudukan, kekayaan, atau prestise seseorang yang dihadapkan 150 Alvi Syahrin, 2, Op. Cit., hal 80 Universitas Sumatera Utara kepadanya. Semua hal itu sama di hadapan hukum. Hal yang ditimbang oleh dewi Iustitia yaitu kesalahan pada orang itu dan apabila memang dijumpai kesalahan pada orang itu, dengan pedangnya sang Dewi akan menghukumnya. Dengan demikian, lambang tersebut menyatakan bahwa tiada seorang pun berada lebih tinggi daripada hukum. 151 Dalam pemikiran filosofis, hukum berorientasi terhadap keadilan dan ketertiban. 152 Berdasarkan sifatnya, hukum itu mengatur dan memaksa masyarakat untuk patuh dan mentaatinya, sehingga tercapai keseimbangan dalam hubungan antar-masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari tujuan hukum yang menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Sehingga setiap pelanggaran peraturan hukum yang ada, maka pelanggar tersebut harus bertanggung jawab dan akan dikenakan sanksi berupa hukuman sebagai reaksi terhadap perbuatan yang melanggar peraturan hukum yang dilakukannya. 153 Masalah pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur kesalahan. Dan menurut Sauer, masalah pertanggungjawaban pidana memiliki tiga pengertian dasar di dalam hukum pidana, yaitu: 151 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, hal 256 152 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum, Bandung: Nusa Media, 2010, hal 259 153 Lihat, C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2001, hal 13-14 Universitas Sumatera Utara a. Sifat melawan hukum unrecht; b. Kesalahan schuld; c. Pidana strafe. 154 Menurut Sudarto 155 , dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang- undang dan tidak dibenarkan an objective breach of a penal provision, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah subjective guilt. Dengan perkataan lain, orang itu harus bisa dipertanggungjawabankan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Disini berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan” keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau nulla poena sine culpa, culpa disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa unsur, antara lain 156 : 1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat; 2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan dolus atau kealpaan culpa ini disebut bentuk kesalahan; dan 3. Tidak adanya alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf. 154 Lihat Muladi, Dwidja Priyatno, Op. Cit., hal 68 155 Ibid. 156 Sudarto, Op. Cit., hal 91 Universitas Sumatera Utara Di dalam perusahaan, seringkali perbuatan yang mengakibatkan tindak pidana disebabkan oleh tindakan pegawai ataupun pekerja di perusahaan tersebut. Direktur sebagai pengurus perusahaan dimintakan pertanggungjawabannya dikarenakan dianggap gagal untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran dan mengambil tindakan yang tepat untuk mencegahnya. Namun, kegagalan direktur tersebut biasanya tidak akan menimbulkan tanggung jawab pidana dikarenakan ketidakadaan legal duty dalam bertindak, dan ketidakjelasan apakah kewajiban direksi tersebut telah melampaui fiduciary obligation atau tidak. Seandainyapun legal duty ditemukan, direksi bisa berpendapat bahwa tindakan itu merupakan tindakan karyawannya, atau kegagalan dari supervisor. Hal inilah yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk memutuskan mata rantai hukum sebab akibat. 157 Secara analogi, direktur perusahaan dapat mengatakan bahwa tujuan mereka dalam pembuatan kebijakan perusahaan yaitu untuk menguntungkan pemegang saham, bukannya malah mendorong para karyawan untuk melakukan tindak pidana. direksi dapat berargumen bahwasanya mereka tidak memiliki pengetahuan bahwa kebijakan yang mereka buat dapat mengakibatkan seorang karyawan dapat melakukan kejahatan. 158 157 James Gobert, Maurice Punch, Op. Cit., hal 269 158 Ibid., hal 270 Universitas Sumatera Utara Dalam KUHP terdapat beberapa ketentuan yang memuat alasan-alasan yang mengecualikan atau menghapuskan pidana 159 . Alasan pengecualian hukuman tersebut di dalam KUHP dibagi menjadi: 160 a. Dasar penghapusan pidana umum algemene strafuitsluitingsgronden Algemene srtafuitsluitingsgronden berlaku untuk tiap delik, yang tercantum dalam pasal-pasal 44 dan 48-51 KUHP. b. Dasar penghapusan pidana khusus bijzondere strafuitsluitingsgronden Bijzondere strafuitsluitingsgronden hanya berlaku untuk satu delik tertentu, yang tercantum dalam pasal-pasal 166, 221 ayat 2, 310 ayat 3 367 ayat 1 KUHP dan dalam beberapa undang-undang lain dan peraturan-peraturan daerah. Keistimewaan bijzondere strafuitsluitingsgronden yaitu mengecualikan dijatuhkannya hukuman tidak berdasarkan tidak adanya wederrechtelijkheid atau tidak adanya schuld kesalahan dalam arti kata luas tetapi dasar bijzondere strafuitsluitingsgronden adalah kepentingan umum tidak akan tertolong oleh suatu penuntutan pidana, pembuat undang-undang pidana menganggap lebih baik dan lebih bijaksana tidak menuntut dimuka hakim pidana. Dari sudut doktrin, alasan penghapusan pidana dapat dibagi menjadi dua, yaitu 161 : a. alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan dari si pelakuterdakwa. Oleh karena itu alasan ini menyangkut tentang kesalahan pelaku, maka alasan penghapus pidana ini berlaku hanya untuk diri pribadi pelaku. b. alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Oleh karena itu alasan ini berlaku untuk semua orang yang melakukan perbuatan tersebut. 159 Penyebutan istilah ini berbeda-beda. Utrech menyebutnya dengan istilah “alasan-alasan yang mengecualikan dijatuhkannya hukuman”. A. Zainal Abidin Farid menyebutnya dengan istilah “dasar peniadaan pisana. Roeslan Saleh menyebutnya dengan “alasan yang menghapuskan pidana”. 160 Alvi Syahrin, Alasan Penghapusan Pidana, http:alviprofdr.blogspot.com201011alasan- penghapusan-pidana.html , diakses tanggal 9 Juni 2011 161 Hamdan, Alasan Penghapusan Pidana dalam Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya melalui Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Disertasi, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010, hal 84 Universitas Sumatera Utara Jika alasan pengecualian hukuman ini dikaitkan dengan pertanggungjawaban pidana, maka seseorang yang perbuatannya menurut isi rumusan undang-undang dianggap sebagai perbuatan yang dapat dihukum tindak pidana, tidak dihukum dipidana. Alasan pengecualian hukuman ini merupakan pembelaan dari pelaku terhadap tuntutan dari perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Sehingga dapat berfungsi sebagai pelindung bagi terdakwa dari ancaman hukuman. 162

C. Prinsip Business Judgment Rule sebagai Alasan Pengecualian Hukum bagi