35 Keterangan:
KA = Kadar air
A = Kadar abu
L = Kadar lemak
P = Kadar protein
f. Analisis Serat Kasar AOAC 1999
Analisis serat kasar pada prinsipnya merupakan analisis untuk menentukan residu setelah sampel pangan direaksikan dengan asam dan kuat
basa. Residu yang dihasilkan menunjukkan karbohidrat yang tidak dapat dicerna. Sampel dihaluskan sehingga dapat melalui saringan berdiameter 1
mm, kemudian ditimbang sebanyak 1-2 gram dan diekstraksi lemaknya dengan metode soxhlet. Setelah bebas lemak, contoh dipindahkan secara
kuantitatif ke dalam erlenmeyer 600 ml dan ditambahkan 200 ml larutan H
2
SO
4
0.255 N. Letakkan erlenmeyer pada pendingin balik dengan wadah harus dalam keadaan tertutup dan didihkan selama 30 menit. Tambahkan
200 ml NaOH 0.625 N ke dalam campuran dan didihkan kembali selama 30 menit dengan pendingin balik. Saring kembali sampel melalui kertas saring
yang telah diketahui beratnya sambil dicuci dengan larutan K
2
SO
4
10. Cuci residu di kertas saring dengan air mendidih, kemudian alkohol 95.
Kertas saring beserta isinya dikeringkan di oven pada suhu 100
o
C sampai berat konstan, didinginkan dalam desikator kemudian timbang. Kadar serat
kasar dihitung berdasarkan rumus: Kadar serat kasar BB =
x 100 Keterangan:
W1 = berat kertas saring dan residu yang telah dikeringkan g
W2 = berat kertas saring kosong W
= berat sampel awal g
4. Analisis Total Fenol Strycharz dan Shetty 2002
Pengukuran total fenol dengan menggunakan reagen Folin-Ciocalteu didasarkan pada reaksi oksidasi reduksi. Reagen Folin-Ciocalteu yang terdiri
dari asam fosfomolibdat dan asam fosfotungstat akan tereduksi oleh senyawa polifenol menjadi malibdenumtungsen. Reaksi ini membentuk kompleks warna
36 biru. Semakin tinggi kadar fenol pada sampel, semakin banyak molekul
kromagen biru yang terbentuk, akibatnya nilai absorbansi sampel meningkat. Larutan standar dibuat dengan melarutkan 2.5, 3.5, 4.5, 5.5, 6.5, dan 7.5
mg asam galat standar dalam 100 ml air akuades. Larutan reagen dibuat dengan mencampurkan 50 ml reagen Folin-Ciocalteu dengan 50 ml air
akuades. Larutan Na
2
CO
3
5 dibuat dengan melarutkan 5 g Na
2
CO
3
dalam 100 ml air akuades. Ekstraksi sampel dilakukan dengan menggunakan etanol
PA dengan perbandingan 1:2 dalam penangas bergoyang pada suhu 37
o
C selama 2 jam.
Larutan standar maupun ekstrak sampel sebanyak 1 ml ditambahkan 1 ml etanol 95 dan 5 ml akuades di dalam tabung reaksi yang telah diselimuti
aluminium foil, selanjutnya ditambahkan 0.5 ml reagen Folin-Ciocalteu dalam air destilasi 1:1. Campuran larutan selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang
selama 5 menit dan ditambahkan 1 ml Na
2
CO
3
5. Larutan diinkubasi kembali selama 60 menit pada suhu ruang sambil dikocok dengan shaker. Absorbansi
diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 725 nm. Hasil pengujian kadar fenol total dibaca sebagai mg asam galatg sampel. Total fenol
dihitung berdasarkan rumus: Total Fenol
mg GAE g
= Keterangan:
C = konsentrasi total fenol dari kurva standar
mg GAE L
FP = faktor pengenceran
M = bobot sampel kering gram
FK = faktor konversi
5. Analisis Anti Radikal Bebas DPPH Kubo et al. 2002 dikutip oleh
Prangdimurti et al. 2006
Analisis anti radikal bebas DPPH dilakukan berdasarkan metode Kubo et al. 2002 dengan modifikasi. Prinsip analisis anti radikal bebas DPPH, yaitu
proses reduksi senyawa DPPH oleh antioksidan yang menghasilkan pengurangan intensitas warna dari larutan DPPH. Pemudaran warna
menyebabkan penurunan nilai absorbansi sinar tampak dari spektrofotometer,
37 namun semakin pudarnya warna DPPH setelah direaksikan dengan antioksidan
menunjukkan kapasitas antioksidan yang semakin besar pula. Langkah pertama dalam analisis anti radikal bebas DPPH, yaitu
persiapan buffer asetat 100 mM pH 5.5 sebanyak 1.5 ml. Buffer asetat tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 2.805 ml
metanol PA, 0.085 ml DPPH 2.5360 mM dalam metanol dan 0.045 ml ekstrak yang digunakan untuk pengujian kadar total fenol. Campuran divorteks dan
disimpan pada ruang gelap dengan suhu kamar selama 30 menit. Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 517 nm. Asam askorbat digunakan sebagai
standar dengan konsentrasi 0.009, 0.06, 0.12, 0.18, 0.24 dan 0.30 mgml. Selanjutnya, kurva standar asam askorbat dibuat dengan perbandingan antara
kapasitas antioksidan dan konsentrasi asam askorbat ppm. Aktivitas antioksidan dinyatakan dalam mg vitamin C ekuivalen AEACAscorbic acid
Equivalent Antioxidant Capacity per bobot sampel g. Nilai tersebut menunjukkan kesetaraan aktivitas antioksidan 1 gram sampel dengan 1 mg
vitamin C. Kapasitas antioksidan dapat dihitung berdasarkan rumus:
Kapasitas antioksidan = x 100
38
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Pembuatan Tepung Sorgum
Biji sorgum yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sorgum varietas Kawali yang didatangkan dari Surabaya. Tepung sorgum diproduksi
dengan proses penyosohan dan penepungan biji sorgum. Penyosohan biji sorgum dilakukan dengan waktu sosoh selama 0, 20, dan 60 detik. Penentuan waktu
sosoh biji sorgum berdasarkan pada penelitian terdahulu mengenai aktivitas antioksidan serealia non beras Yanuwar 2009.
Pembuatan tepung sorgum dengan waktu sosoh biji sorgum selama 0 detik tanpa penyosohan diawali dengan tahap sortasi, perendaman dalam air
selama 1 jam, penirisan dan pengeringan selama 24 jam, penepungan, dan diakhiri dengan pengayakan menggunakan pengayak bergetar berskala 100 mesh.
Perendaman biji sorgum selama 1 jam dilakukan untuk mengurangi rasa berpasir dan kering pada tepung yang dihasilkan karena biji sorgum tanpa penyosohan
memiliki karakteristik kulit biji yang keras Napitupulu 2006. Pembuatan tepung sorgum dengan waktu sosoh selama 20 dan 60 detik diawali dengan tahap sortasi,
penyosohan, penepungan, dan diakhiri dengan pengayakan menggunakan pengayak bergetar berskala 100 mesh. Pembuatan tepung sorgum dengan
perlakuan penyosohan tidak memerlukan tahap perendaman biji sorgum dalam air.
Melalui proses sortasi, bagian-bagian tidak terpakai dalam pembuatan tepung, seperti tangkai, pecahan biji sorgum yang hancur, serta cemaran lainnya
tali dan batu-batu kecil dipisahkan dari biji sorgum. Bobot total biji sorgum setelah penyosohan dan rendemen tepung sorgum yang dihasilkan dapat dilihat
pada Tabel 7.
Semakin lama penyosohan yang dilakukan maka rendemen tepung sorgum yang dihasilkan akan semakin rendah. Hal ini dikarenakan semakin
banyak bagian dari kulit biji sorgum yang terbuang saat penyosohan, sehingga bagian dari biji yang dapat ditepungkan juga semakin sedikit. Selain itu, semakin
lama penyosohan, warna tepung yang dihasilkan akan semakin putih.