Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Pertumbuhan Spirulina platensis

3 METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2012 hingga September 2012, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan II, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan THP, Laboratorium Genetika BDP, Laboratorium Proling MSP dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah tabung kultur, akuarium, lampu TL, aerator, selang, plankton net, timbangan digital, oven Yamato DV 41, penangas air, kertas saring Whattman 42, refrigerator, lampu UV, mikroskop Cole Parmer, freeze dryer Christ Alpha 2-4, tabung reaksi, bulb, kapas, pipet volumetrik, pipet mikro, labu Erlenmeyer 250 mL dan 500 mL, gelas ukur , rotary vacuum evaporator, corong kaca, tabung reaksi, spektrofotometri SP 300 OPTIMA, pipet tetes, vortex, rotavapor Buchi R-205, penangas Buchi heating bath B-490, Eppendorf scientific, whell, sentrifuse select-a-fuge 24, dan inkubator WTB Binder. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah inokulum mikroalga Spirulina platensis, air laut, media Walne, media MT Modifikasi Teknis, tiosulfat dan klorin. Komposisi media Walne dapat dilihat pada Lampiran 1. Bahan uji fitokimia antara lain pereaksi Wagner, pereaksi Meyer, pereaksi Dragendorff uji alkaloid, kloroform, anhidra asetat, asam sulfat pekat uji steroid, serbuk magnesium, amil alkohol uji flavonoid, air panas, larutan HCl 2 N uji saponin, etanol 70, larutan FeCl 3 5 uji fenol hidrokuinon. Bahan uji antioksidan l,l- diphenyl-2-picrylhydrazyl DPPH, metanol, alfa-tokoferol. Bahan uji inhibisi α- glukosidase Na 2 CO 3 , buffer KH 2 PO 4 + KOH enzim α-glukosidase, p-nitrofenil-α- D-glukopiranosa, Glukobay®, dan Dimethyl Sulfoxide DMSO. Mikroalga Spirulina platensis yang digunakan diperoleh dari koleksi mikroalga Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau BBPBAP Jepara.

3.3 Metode Penelitian

Tahapan penelitian terdiri dari kultivasi Spirulina platensis penentuan umur panen, pemanenan dan ekstraksi fikosianin. Diagram alir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Diagram alir penelitian. Uji antioksidan Uji fitokimia Uji inhibisi α-glukosidase Spirulina platensis Kultivasi Spirulina sp. Pemanenan Umur panen 12 hari Umur panen 16 hari Pengeringan Rendemen fikosianin tertinggi Biomassa Ekstraksi fikosianin Kering, shaker Kering, vortex Basah, shaker

3.3.1 Tahapan penelitian 1 Kultivasi

Spirulina platensis Kultivasi Spirulina platensis pada media Walne untuk pembuatan bibit. Media Walne merupakan media umum yang digunakan dalam kultivasi Spirulina platensis. Media Walne memiliki kandungan makronutrien dan mikronutrien yang lengkap. Komposisi media Walne dapat dilihat pada Lampiran 1. Media Walne yang digunakan diperoleh dari Laboratorium Pakan Alami, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau BBPBAP Jepara yang sudah tersedia dalam bentuk cairan. Kultivasi Spirulina platensis dilakukan dengan media MT Modifikasi Teknis. Komposisi media MT dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi media modifikasi teknis MT Bahan Konsentrasi gL Mg SO 4 .7H 2 O 0,02 CaCl 2 .7H 2 O 0,004 EDTA 0,008 K 2 SO 4 0,04 FeCl 3 0,001 NaHCO 3 soda kue 2 NH 2 2CO Urea 0,13 NH 4 2SO 4 ZA 0,06 Na 2 HPO 4 0,04 Vit.B 12 10 -6 Tempat media kultur yang digunakan akuarium volume 75 L sebanyak 2 buah. Sebelum dilakukan scale up dalam skala 50 L, dilakukan penyegaran menggunakan media walne dalam stoples ukuran 2,5 L. Akuarium yang akan digunakan untuk kultur, dicuci dan disterilisasi menggunakan alkohol 2 setiap hari. Air laut mengalami penyaringan dengan ceramic filter. Salinitas air laut dibuat 15 ppt dengan mencampurkan air tawar. Air media kultur diberi klorin 60 ppm, natrium thiosulfat 20 ppm, dan diaerasi selama 24 jam. Akuarium ditempatkan di bagian ruangan yang bercahaya sinar lampu neon dengan rata-rata intensitas cahaya sekitar 3.000 lux selama pencahayaan 24 jam. Air media kultur dimasukkan ke dalam akuarium sebesar 75 L, kemudian dimasukkan nutrien sesuai perbandingan. Bibit Spirulina platensis sebesar 15 kultivasi yang diinginkan yaitu 7,5 L dimasukkan ke dalam akuarium. Akuarium diberikan aerasi secukupnya selama penelitian. 2 Pemanenan dan pengeringan biomassa Panen Spirulina platensis dilakukan saat kultur mencapai umur pertumbuhan 12 hari dan umur pertumbuhan 16 hari. Puncak populasi dapat diketahui dari perubahan warna pada media kultur dan jumlah populasi atau kepadatan sel yang dibuat dalam pola pertumbuhan Handayani 2003. Kultur yang sudah mencapai puncak populasi diendapkan terlebih dahulu dengan cara mematikan aerasi. Pemanenan biomassa Spirulina platensis menggunakan plankton net 25 mikron . Biomassa dicuci dengan akuades sebanyak 3 kali, lalu ditimbang untuk mengetahui biomassa yang dihasilkan. Pemanenan dilakukan pada umur panen yang dibutuhkan yaitu 12 hari dan 16 hari. Umur panen 12 dan 16 hari diduga dapat menghasilkan metabolit sekunder terbaik dari kultivasi Spirulina platensis dengan media MT komunikasi pribadi Barus 2012. Biomassa kemudian ditimbang dan digunakan dalam bentuk berat basah. Setelah itu Spirulina platensis yang telah ditimbang dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer - 20°C selama 2 hari. Biomassa yang dihasilkan kemudian dianalisis kemampuan inhibisi enzim α-glukosidase, aktivitas antioksidan dan komponen fitokimia. 3 Ekstraksi fikosianin Pengujian analisis kuantitatif fikosianin dilakukan dalam beberapa metode, yaitu metode penggunaan vortex, shaker, dan oven. Metode yang memberikan nilai optical density OD tertinggi diduga memberikan hasil ekstraksi fikosianin terbaik sehingga akan digunakan untuk analisis kuantitatif fikosianin. Diagram alir metode penggunaan vortex, shaker dan oven dapat dilihat pada Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8. Analisis kuantitatif fikosianin Spirulina platensis dilakukan dengan metode ekstraksi menggunakan larutan bufer fosfat fikosianin. Persiapan yang dilakukan berupa pemanasan tabung Eppendorf dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan pada desikator untuk menghilangkan kadar air pada tabung Eppendorf. Tabung Eppendorf ditimbang dan dicatat beratnya bobot cawan kering. Setelah itu cawan ditera di atas timbangan digital dan ditimbang bobot kering dari tabung Eppendorf W serta bobot sampel kering Wt. Gambar 6 Diagram alir proses ekstraksi dan pengukuran konsentrasi fikosiani dengan vortex. Penimbangan 40 mg bobot kering Penambahan larutan bufer fosfat 10 mL Vortex Penyimpanan dalam freezer ± 24 jam Pemusingan dengan sentrifugasi selama 30 menit; 100-120 rpm; 28°C Pengukuran supernatan denga n spektrofotometer pada λ = 615 nm dan λ = 652 nm Spirulina platensis Data konsentrasi fikosianin Pemisahan antara supernatan dan residu Gambar 7 Diagram alir proses ekstraksi dan pengukuran konsentrasi fikosianin dengan shaker. Penimbangan 40 mg bobot kering Penambahan larutan bufer fosfat 10 mL Shaking Pemusingan dengan sentrifugasi selama 30 menit; 100-120 rpm; 28°C Pengukuran supernatan denga n spektrofotometer pada λ = 615 nm dan λ = 652 nm Spirulina platensis Data konsentrasi fikosianin Pemisahan antara supernatan dan residu Gambar 8 Diagram alir proses ekstraksi dan pengukuran konsentrasi fikosianin dengan oven. Setelah diukur absorbansinya maka konsentrasi fikosianin dihitung menggunakan rumus sebagai berikut Bennet dan Bogoard 1973 di acu dalam Silveira et al. 2006. OD 615 – 0.474 OD 652 PC = 5.34 Pemasukan dalam tabung Eppendorf Pengeringan dengan Oven, suhu 50°C; 24-48 jam Pengeringan dan pendinginan di dalam desikator Penambahan bufer fosfat 1 mL untuk 0,04 gr biomassa Pemusingan dengan sentrifugasi selama 25 menit; 100-120 rpm; 28°C Pengukuran supernatan denga n spektrofotometer pada λ = 615 nm dan λ = 652 nm Spirulina platensis Data konsentrasi fikosianin Pemisahan antara supernatan dan residu PC x V Yield = DB Keterangan: PC = Konsentrasi fikosianin mgmL V = Volume pelarut mL DB = Biomassa kering gram Metode yang memberikan hasil konsentrasi fikosianin terbaik adalah fikosianin dengan nilai optical density OD tertinggi yang akan digunakan untuk analisis inhibisi enzim α-glukosidase, aktivitas antioksidan dan komponen fitokimia.

3.3.2 Prosedur analisis 1

Uji inhibisi α-glukosidase Sutedja 2003 diacu dalam Sugiwati 2005 Larutan enzim dibuat dengan melarutkan 1 mg α-glukosidase dalam 100 mL bufer fosfat pH 7 yang mengandung 200 mg bovin serum albumin. Sebelum digunakan, 1 mL larutan enzim tersebut diencerkan 25 kali dengan bufer fosfat pH 7. Cam puran reaksi terdiri dari 250 μL p-nitrofenil-α-D-glukopiranosa 20 mM sebagai substrat, 490 μL bufer fosfat 100 mM, pH 7 dan 10 μL larutan ekstrak fikosianin dalam bufer dan biomassa Spirulina platensis dalam DMSO. Setelah campuran reaksi diinkubasi p ada suhu 37°C selama 5 menit, 250 μL larutan enzim ditambahkan dan selanjutnya diinkubasi selama 15 menit. Reaksi enzim dihentikan dengan penambahan 1000 μL natrium karbonat 200 mM, kemudian nilai absorbansi p-nitro fenol dibaca pada panjang gelombang 400 nm. Sistem reaksi enzim dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Siste m reaksi inhibisi α-glukosidase Blanko μL Kontrol μL S0 μL S1 μL Sampel - - 10 10 DMSO 10 10 - - Bufer 490 490 490 490 Substrat 250 250 250 250 Inkubasi selama 5 menit dengan suhu 37°C Bufer 250 - 250 - Enzim - 250 - 250 Inkubasi selama 15 menit dengan suhu 37°C Na 2 CO 3 1000 1000 1000 1000 Larutan standar acarbose dibuat dengan konsentrasi yang sama dengan larutan sampel dengan melarutkan tablet acarbose Glucobay ® dalam akuades dan HCl 2 N. Larutan disentrifugasi dan supernatannya digunakan sebagai standar. Larutan standar diperlakukan sama dengan sampel. Masing-masing pengujian daya hambat sampel terhadap aktivitas α-glukosidase dihitung dalam persen inhibisi dengan rumus sebagai berikut. K- S1-S0 inhibisi = x 100 K Keterangan : K : Absorbansi terkoreksi dari blanko enzim + substrat S1 : Absorbansi terkoreksi dari enzim + substrat + inhibitor S0 : Absorbansi terkoreksi dari substrat + inhibitor 2 Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH Sampel biomassa kering dan fikosianin dilarutkan dalam metanol dengan konsentrasi 200 ppm, 400 ppm, 600 ppm, 800 ppm, dan 1.000 ppm untuk biomassa kering dan 200 ppm, 400 ppm, 800 ppm, 1.600 ppm, dan 2.000 ppm untuk fikosianin. Pembanding dan kontrol positif menggunakan antioksidan sintetik tokoferol yang dibuat dengan cara dilarutkan dalam pelarut metanol dengan konsentrasi 2 ppm, 4ppm, 6 ppm, dan 8 ppm. Larutan l,l-diphenyl-2-picrylhydrazyl DPPH yang akan digunakan dibuat menggunakan kristal DPPH dalam pelarut metanol dengan konsentrasi 1 mM. Proses pembuatan larutan DPPH 1 mM dilakukan dalam kondisi suhu rendah dan terlindung dari cahaya matahari. Sebanyak 2,25 mL larutan sampel dan larutan tokoferol, masing-masing direaksikan dengan 0,25 mL larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi. Uji dilakukan secara duplo. Campuran larutan DPPH dan sampel dihomogenisasi dengan vorteks, lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit dan diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer dengan λ= 517 nm. Larutan blanko dibuat dengan 2,25 mL pelarut metanol direaksikan dengan 0,25 mL larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi. Persen inhibisi diukur dari data absorbansi larutan blanko. Setelah itu, aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding tokoferol dinyatakan dengan persen inhibisi yang dihitung dengan rumus berikut: absorbansi blanko – absorbansi sampel inhibisi = x 100 absorbansi blanko Nilai konsentrasi sampel dan persen inhibisinya diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada persamaan regresi linear. Persamaan regresi linear yang diperoleh dalam bentuk persamaan y = a + bx digunakan untuk mencari nilai Inhibitor Concentration 50 IC 50 dari masing-masing sampel dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang akan diperoleh sebagai IC 50 . Nilai IC 50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk mereduksi radikal bebas DPPH sebesar 50. 3 Uji fitokimia Pengujian fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponen- komponen bioaktif yang terdapat pada biomassa Spirulina platensis yang memiliki aktivitas antioksidan yang terbaik. Uji fitokimia meliputi uji alkaloid, steroidtriterpenoid, flavonoid, saponin dan fenol hidrokuinon. Metode uji ini berdasarkan Harborne 1984. a Alkaloid Sejumlah sampel ± 10 mg dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat H 2 SO 4 2 N. Pengujian menggunakan tiga pereaksi alkaloid yaitu pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer dan pereaksi Wagner. Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara 0,8 gram bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 mL asam asetat dan 40 mL air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 mL air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume asam asetat glasial dan 100 mL air. Pereaksi ini berwarna jingga. Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 gram HgCl 2 dengan 0,5 gram KI, lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 mL dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat dengan cara 10 mL akuades ditambahkan 2,5 gram iodin dan 2 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 mL dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Hasil uji dinyatakan positif, bila dengan pereaksi Dragendorff terbentuk endapan merah hingga jingga, endapan putih kekuningan dengan pereaksi Meyer dan endapan coklat dengan pereaksi Wagner. b Steroidtriterpenoid Sejumlah sampel ± 10 mg dilarutkan dalam 2 mL kloroform dalam tabung reaksi yang kering. Setelah itu ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau. c Flavonoid Sejumlah sampel ± 10 mg ditambahkan 0,1 mg serbuk magnesium dan 0,4 mL amil alkohol campuran asam klorida 37 dan etanol 95 dengan volume yang sama dan 4 mL alkohol kemudian campuran dikocok. Adanya flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol. d Saponin Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan adanya saponin. e Fenol hidrokuinon Sejumlah sampel ± 1 gram diekstrak dengan 20 mL etanol 70. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 mL kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl 3 5. Warna hijau atau hijau biru yang terbentuk menunjukkan adanya senyawa fenol dalam bahan. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pertumbuhan Spirulina platensis

Pertumbuhan organisme didefinisikan sebagai suatu peningkatan massa atau ukuran sel yang disertai oleh sintesis makromolekul dan menghasilkan struktur organisme baru. Pertumbuhan jaringan terjadi melalui peningkatan ukuran sel yang diikuti peningkatan jumlah sel Becker 1994. Kultivasi dilakukan dengan umur panen 12 dan 16 hari. Umur panen ini merupakan puncak pertumbuhan dari Spirulina platensis. Jumlah biomassa Spirulina platensis umur panen 12 dan 16 hari adalah 31,76 gram dan 37,98 gram dalam 50 liter skala kultivasi. Jumlah biomassa Spirulina platensis pada umur panen 16 hari lebih besar dari pada umur panen 12 hari. Barus 2012 mengatakan bahwa nilai optical density OD Spirulina platensis dengan media modifikasi teknis MT, umur panen 12 hari merupakan fase n-log dan umur panen 16 hari merupakan fase awal stasioner pada pola pertumbuhan. Panji et al. 2005 melaporkan bahwa pertumbuhan Spirulina platensis pada fase pertumbuhan cepat n-log laju metabolisme berlangsung cepat. Umur panen 16 hari Spirulina platensis sudah memasuki fase pertumbuhan cepat. Metabolit primer Spirulina platensis cenderung mengikuti kurva pertumbuhan. Menurut Prihantini 2007, pada fase pertumbuhan cepat, ketersediaan unsur nitrogen dalam medium cukup besar sehingga biosintesis dan metabolisme sel juga cepat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Utomo et al. 2005 bahwa pertumbuhan cepat merupakan umur panen yang baik untuk menghasilkan metabolit sekunder dan komponen bioaktif terbaik. Goldman 1979 diacu dalam Chrismadha 2006 menyatakan bahwa pola jumlah kepadatan sel Spirulina platensis dipengaruhi oleh faktor tumbuh growth factors yang diklasifikasikan sebagai faktor sumber daya resource factors dan faktor pendukung non resource factors. Faktor sumberdaya terdiri dari sumberdaya yang secara langsung dipergunakan oleh sel-sel alga untuk pertumbuhannya, seperti unsur hara, cahaya dan CO 2 . Faktor pendukung terdiri dari faktor lingkungan yang mempengaruhi metabolisme dalam sel mikroalga, antara lain suhu dan pH. Pada penelitian ini media yang digunakan adalah media pupuk modifikasi teknis MT. Harga pupuk komersial pupuk Walne yang mahal menjadi dasar penggunaan pupuk MT. Komposisi pupuk MT disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan Spirulina platensis. Kurniasih 2001 menyatakan bahwa Spirulina platensis membutuhkan makronutrien N, P, S, K, Si dan Ca dan mikronutrien Fe, Mo, Cu, Ca, Mn, Zn dan Co yang dibutuhkan dalam jumlah yang lebih kecil tetapi harus ada dalam budidaya. Komponen makro dan mikronutrien ini memiliki peranan dalam pertumbuhan Spirulina platensis. Unsur C dan N dalam media berperan penting dalam pembentukan protein dan lemak pada Spirulina Widianingsih et al. 2008. Nitrogen dan fosfor sangat berperan sebagai penyusun senyawa protein dalam sel yang berkaitan dengan sintesis protein termasuk klorofil-a dan pigmen lainnya Chrismadha et al. 2006. Unsur Cu, Mn, Zn dan Fe dimanfaatkan sebagai kofaktor logam untuk aktivitas enzim superoksidase dismutase SOD pada pertumbuhan S. platensis. Panji et al. 2005. Ethylenediaminetetraacetic Acid EDTA pada media dimanfaatkan sebagai chelator agar mikronutrien tetap larut di dalam media Kurniasih 2001. Spirulina platensis merupakan mikroalga yang tidak memiliki heterosis, sehingga spesies ini tidak mampu memfiksasi nitrogen dari udara. Pemenuhan kebutuhan nitrogennya sangat bergantung pada ketersediaannya dalam medium. Selain itu, menurut Andersen 2005, mikroalga juga membutuhkan mikronutrien organik berupa unsur vitamin yang menunjang pertumbuhannya, antara lain cobalamin B 12 , thiamin B 1 dan biotin.

4.2 Fikosianin Spirulina platensis