Aktivitas antihiperglikemik dan antioksidan dari Spirulina platensis pada umur panen yang berbeda

(1)

AKTIVITAS ANTIHIPERGLIKEMIK DAN ANTIOKSIDAN

DARI Spirulina platensis PADA UMUR PANEN YANG

BERBEDA

TRINITA RIAHNA SURBAKTI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

RINGKASAN

TRINITA RIAHNA SURBAKTI. C34080039. Aktivitas Antihiperglikemik dan Antioksidan dari Spirulina platensis pada Umur Panen yang Berbeda. Dibimbing oleh IRIANI SETYANINGSIH dan KUSTIARIYAH TARMAN.

Diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah (hiperglikemia) disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat ketidakmampuan insulin untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Pengobatan diabetes yang digunakan dalam dunia kedokteran adalah injeksi insulin ke dalam tubuh secara berkala atau mengkonsumsi obat sintetik. Selain memerlukan biaya yang cukup mahal, obat sintetik tidak begitu responsif dan dapat menimbulkan efek samping jika dikonsumsi dalam kurun waktu yang cukup lama. Spirulina platensis merupakan salah satu alga hijau biru (Cyanophyceae) yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, salah satunya untuk meringankan penyakit diabetes melitus. Biomassa kering dan biopigmen fikosianin Spirulina platensis diduga mempunyai aktivitas inhibitor enzim α-glukosidase yang menghambat pemecahan karbohidrat menjadi glukosa.

Tujuan penelitian ini untuk menentukan potensi inhibisi enzim α -glukosidase dan aktivitas antioksidan biomassa dan biopigmen fikosianin Spirulina platensis pada umur panen yang berbeda dan menentukan komponen fitokimia dari biomassa kering dan biopigmen fikosianin Spirulina platensis.

Kultivasi dilakukan dengan umur panen 12 dan 16 hari. Jumlah biomassa Spirulina platensis umur panen 12 dan 16 hari adalah 31,76 gram dan 37,98 gram dalam 50 liter skala kultivasi. Hasil ekstraksi fikosianin yang diperoleh dari sampel umur 12 dan 16 hari adalah 0,137 mg/mL dan 0,140 mg/mL.

Biomassa kering umur panen 12 dan 16 hari dengan konsentrasi 2000 ppm dapat menghambat kerja enzim α-glukosidase sebesar 16% dan 33%. Nilai

inhibisi enzim α-glukosidase yang dihasilkan fikosianin menunjukkan angka negatif pada setiap konsentrasinya. Aktivitas antioksidan Spirulina platensis dapat dilihat dari nilai Inhibitor Concentration 50% (IC50) yang dihasilkan. Nilai IC50 biomassa kering umur panen 12 dan 16 hari adalah 1313,33 mg/L dan 1040,69 mg/L. Nilai IC50 fikosianin umur panen 12 dan 16 hari yaitu 6608,714 mg/L dan 15919 mg/L. Selain itu juga diukur komponen aktif secara kualitatif. Komponen fitokimia biomassa kering Spirulina platensis yaitu alkaloid, steroid, saponin, dan fenol hidrokuinon. Komponen fenol hidrokuinon tidak ditemukan pada ekstrak fikosianin.


(3)

AKTIVITAS ANTIHIPERGLIKEMIK DAN ANTIOKSIDAN

DARI Spirulina platensis PADA UMUR PANEN YANG

BERBEDA

TRINITA RIAHNA SURBAKTI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(4)

PENELITIAN

Judul : Aktivitas antihiperglikemik dan antioksidan dari Spirulina platensis pada umur panen yang berbeda Nama : Trinita Riahna Surbakti

NRP : C34080039

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui,

Pembimbing I

Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, MS NIP : 19600925 198601 2 002

Pembimbing II

(Dr. Kustiariyah Tarman, S.Pi, M.Si) NIP. 19750818 200501 2 001

Mengetahui Ketua Departemen

(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil.) NIP: 19580511 198503 1 002


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul ”Aktivitas Antihiperglikemik dan Antioksidan dari Spirulina platensis pada Umur Panen yang Berbeda” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun di Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2013

Trinita Riahna Surbakti C34080039


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat, rahmat serta anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan kegiatan penelitian ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan usulan kegiatan penelitian ini, terutama kepada:

1 Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, MS selaku dosen pembimbing pertama yang telah membimbing, memberikan saran, arahan dan semangat dalam penulisan dan pelaksanaan kegiatan penelitian ini.

2 Dr. Kustiariyah Tarman, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing kedua yang telah membimbing, memberikan saran dan arahan dalam menyelesaikan penulisan ini.

3 Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan arahan kepada penulis.

4 Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl. Biol selaku Ketua Komisi Pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan.

5 Orang tua tersayang, Salim Surbakti dan Asmarana Tarigan, serta kakak-kakak saya Debby Surbakti dan Sri Mei Ita Surbakti yang senantiasa memberikan dorongan moril, material dan doanya.

6 Teman seperjuangan selama menjalani perkuliahan di departemen, THP 45 terima kasih atas kebersamaannya.

7 Teman seperjuangan selama menjalani penelitian, tim Spirulina (Desi Kinandari, Diah Anggraini, Dita Barus, Dita Masluha dan Oktarina), terima kasih atas semangat, suka cita dan bantuan yang diberikan.

8 Teman-teman kelompok kecil PMK (kak Diana, Lia, Shanty dan Puyun) terima kasih atas dukungan doa dan semangatnya.

9 Teman-teman Wisma Dwi Regina (Juita, Ria, Intan, Ulan, Putri, Nova dan Laurensia) dan teman-teman KOPRAL 45, terima kasih atas semangat dan suka citanya.

10 Keluarga besar Departemen Teknologi Hasil Perairan, staf dosen dan Tata Usaha (TU), kakak dan adik THP 43, 44, 45, 46, dan 47 yang telah


(7)

memberikan semangat kepada penulis serta pihak lain yang telah banyak membantu dalam kegiatan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini memiliki banyak kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dalam penyempurnaan laporan penelitian ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Februari 2013

Trinita Riahna Surbakti


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pematangsiantar, pada tanggal 28 April 1990. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Ayah bernama Salim Surbakti dan Ibu bernama Asmarana Tarigan. Pendidikan formal yang ditempuh penulis dimulai dari TK RK Cinta Rakyat 1 Pematangsiantar, kemudian dilanjutkan ke SD RK Cinta Rakyat 2 Pematangsiantar dan lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikannya di SMP RK Bintang Timur Pematangsiantar dan lulus pada tahun 2005. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan formalnya di SMA Negeri 4 Pematangsiantar dan lulus pada tahun 2008. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) pada tahun 2009 dan pada kepengurusan Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) tahun 2010 penulis aktif sebagai anggota divisi Informasi dan Komunikasi serta UKM PMK sebagai sekretaris kegiatan CAMP KOPRAL PMK tahun 2012.

Penulis melakukan penelitian dengan judul “Aktivitas antihiperglikemik dan antioksidan dari Spirulina platensis yang dipanen pada umur yang berbeda” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dibawah bimbingan Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, MS dan Dr. Kustiariyah Tarman, S.Pi, M.Si.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... ..vii

DAFTAR TABEL ... .viii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... .1

1.2 Tujuan ...3

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Spirulina platensis ... ….4

2.2 Diabetes Melitus ... ….6

2.3 Glukosa ...….7

2.4 Pengobatan Diabetes Melitus ...….8

2.5 Inhibisi α-Glukosidase... ….9

2.6 Fikosianin ... 11

2.7 Antioksidan ... 12

2.8 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH ... 14

2.9 Komponen Bioaktif ... 16

2.9.1 Alkaloid ... 16

2.9.2 Steroid/Triterpenoid ... 17

2.9.3 Flavonoid ... 17

2.9.4 Saponin ... 18

2.9.5 Fenol hidrokuinon ... 19

3 METODOLOGI ... 20

3.1 Waktu dan Tempat ...20

3.2 Alat dan Bahan ...20

3.3 Metode Penelitian ...21

3.3.1 Tahapan penelitian ... 22

3.3.1.1 Kultivasi Spirulina platensis ... 22

3.3.1.2 Pemanenan dan pengeringan biomassa ... 23

3.3.1.3 Ekstraksi fikosianin ... 23

3.3.2 Prosedur analisis ... 27

3.3.1.1 Uji inhibisi α-glukosidase ... 27

3.3.1.2 Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH ... 28

3.3.1.3 Uji fitokimia ... 29

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1 Pertumbuhan Spirulina platensis ...31

4.2 Fikosianin Spirulina platensis ...32


(10)

Halaman

4.4 Aktivitas Antioksidan Spirulina platensis ...38

4.5 Senyawa Fitokimia Spirulina platensis ...43

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48


(11)

Halaman

1 Spirulina sp. ... …5

2 Struktur kimia D-glukosa ... …8

3 Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida ... 12

4 Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi ... 13

5 Diagram alir penelitian... 21

6 Diagram alir metode ekstraksi fikosianin dengan vortex ... 24

7 Diagram alir metode ekstraksi fikosianin dengan shaker ... 25

8 Diagram alir metode ekstraksi fikosianin dengan oven ... 26

9 Reaksi hidrolisis pNG oleh enzim α-glukosidase ... 34

10 Aktivitas antioksidan biomassa kering umur 12 hari... …... 38

11 Aktivitas antioksidan biomassa kering umur 16 hari... ……39

12 Aktivitas antioksidan fikosianin umur 12 hari ... …... 40

13 Aktivitas antioksidan fikosianin umur 16 hari ... ... 40


(12)

Halaman

1 Kandungan nutrisi Spirulina sp. ... …..6

2 Komposisi media MT. ... …..22

3 Sistem reaksi inhibisi α-glukosidase. ... …..27

4 Nilai optical density Spirulina platensis dengan metode yang berbeda. .... …..33

5 Nilai inhibisi enzim α-glukosidase biomassa kering umur 12 dan 16 hari. ...35

6 Nilai inhibisi enzim α-glukosidase fikosianin umur 12 dan 16 hari. ... …..35

7 Nilai inhibisi enzim α-glukosidase acarbose. ... …..36

8 Nilai Inhibitory Concentration 50 (IC50) Spirulina platensis. ... …..41


(13)

Halaman

1 Komposisi media Walne ... …..59

2 Inhibisi antioksidan biomassa kering Spirulina platensis. ... …..59

3 Inhibisi antioksidan fikosianin Spirulina platensis ... …..60

4 Inhibisi antioksidan tokoferol. ... …..60


(14)

1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Masyarakat Indonesia mengkonsumsi bahan makanan pokok seperti beras, jagung, sagu dan terkadang singkong atau umbi-umbian lainnya. Bahan makanan tersebut memiliki kandungan utama berupa karbohidrat sebagai sumber penghasil tenaga, yang terdapat sebagai amilum atau pati. Poedjiadi (1994) menyatakan bahwa pola makan dengan konsumsi makanan yang mengandung karbohidrat tinggi dapat menyebabkan tubuh kelebihan karbohidrat yang kemudian oleh tubuh akan disimpan dalam darah atau glikogen dalam otot.

Jumlah glukosa yang terlalu banyak dalam darah menyebabkan kadar gula menjadi tinggi atau hiperglikemia. Bila konsentrasinya terlalu tinggi maka sebagian glukosa dalam darah dikeluarkan dari tubuh melalui urin. Hiperglikemia juga dapat disebabkan karena tubuh tidak dapat menghasilkan insulin atau fungsi insulin dalam tubuh tidak maksimal, hal ini disebut dengan Diabetes Melitus (DM) (Subroto 2006).

Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang mengalami peningkatan secara signifikan. Pola makan dan gaya hidup yang tidak seimbang merupakan salah satu dari beberapa faktor yang mendukung hal tersebut. World Health Organization (WHO) (2011) melaporkan bahwa sekitar 346 juta penduduk dunia menderita DM. The International Diabetes Federation (IDF) (2011) memperkirakan bahwa pada tahun 2030 penderita diabetes akan meningkat menjadi 438 juta jiwa.

Pengobatan diabetes yang saat ini digunakan dalam dunia kedokteran adalah dengan injeksi insulin ke dalam tubuh secara berkala atau dengan mengkonsumsi obat sintetik. Pengobatan dengan cara tersebut memerlukan biaya yang cukup mahal, selain itu obat sintetik juga tidak begitu responsif dan dapat menimbulkan efek samping seperti kembung, diare dan kejang perut jika dikonsumsi dalam kurun waktu yang cukup lama sehingga penggunaannya dibatasi (Lee 2007). Jumlah penderita diabetes di Indonesia semakin meningkat, maka diperlukan pengobatan dengan biaya


(15)

yang terjangkau, efektif dan tanpa efek samping sehingga semua lapisan masyarakat dapat merasakan manfaatnya.

Spirulina platensis merupakan salah satu varian dari mikroalga Spirulina sp. yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat karena kandungan nutrisinya yang lengkap. Oliveira et al. (2008) menyatakan bahwa Spirulina platensis mengandung karbohidrat (rhamnosa, frukstosa, ribosa, mannosa) dan mineral (tembaga, magnesium, seng, potasium dan zat besi). Karbohidrat yang terkandung dalam Spirulina platensis dengan cepat merangsang sistem imun pada tubuh, karena itu mikroalga ini disebut sebagai imunostimulator. Kandungan lain misalnya vitamin B1, B2, asam pantotenat, seng dan protein yang tinggi dapat mendorong sekresi insulin alami. Hasil penelitian Karkos et al. (2008) spirulina memiliki antioksidan, yaitu mampu menghambat peroksidasi lemak lebih baik (65%) dibandingkan dengan antioksidan kimia contoh tokoferol (35%) dan BHA (45%).

Kurniasih (2001) menunjukkan bahwa enzim superoksida dismutase (SOD) pada spirulina mampu meningkatkan metabolisme kulit, mencegah keratinisasi, dan menangkap radikal bebas. Spirulina platensis juga dapat menurunkan kadar Low Density Lipoprotein (LDL) dan hipertensi serta meringankan penyakit degeneratif, salah satunya diabetes. Demikian halnya Ruitang dan Te-jin (2010) yang melaporkan bahwa penderita diabetes melitus tipe 2 mengkonsumsi spirulina dengan dosis 2 gram/hari selama 2 bulan dapat menurunkan kadar glukosa darah secara signifikan.

Spirulina platensis juga memiliki beberapa pigmen alami. Fikosianin adalah salah satu dari tiga pigmen (klorofil dan karotenoid) yang bermanfaat dalam proses fotosintesis. Arlyza (2005) menyatakan bahwa fikosianin mengandung 20% protein dari berat keringnya dan memiliki kemampuan sebagai antioksidan, antiinflamatori, dan neuroprotective.

Senyawa-senyawa fitokimia yang umum terdapat pada tanaman yaitu golongan alkaloid, flavonoid, kuinon, saponin, steroid dan lain sebagainya. Senyawa-senyawa tersebut saling melengkapi dalam mekanisme kerja yang terjadi dalam tubuh, termasuk di dalamnya adalah antioksidan, detoksifikasi oleh enzim, stimulasi dari sistem imun, metabolisme hormon dan antibakteri serta antivirus (Juniarti et al.


(16)

2009). Penelitian Alfarabi (2010) menyatakan bahwa daun sirih merah (Piper crocatum) dengan kandungan bioaktif fenol, flavonoid, alkaloid, dan triterpenoid

mampu menghambat aktivitas α-glukosidase.

Penelitian tentang kemampuan Spirulina sebagai antidiabetes sudah banyak dilakukan, salah satunya hasil penelitian Madina (2011) yang menunjukkan bahwa biomassa dan fikosianin Spirulina fusiformis mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus setelah ½, 1 dan 2 jam perlakuan, kecuali sebelum perlakuan (0 jam).

Penelitian tentang antihiperglikemik dari biopigmen fikosianin dan biomassa kering Spirulina platensis serta jenis komponen aktifnya pada umur panen yang berbeda belum banyak dilakukan. Hal inilah yang mendorong dilakukannya penelitian potensi antihiperglikemik dan aktivitas antioksidan dari Spirulina platensis pada umur panen yang berbeda.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini untuk:

1 Menentukan potensi inhibisi enzim α-glukosidase dan aktivitas antioksidan biomassa dan biopigmen fikosianin Spirulina platensis pada umur panen yang berbeda.

2 Menentukan komponen fitokimia dari biomassa kering dan biopigmen fikosianin Spirulina platensis.


(17)

2.1 Spirulina platensis

Spirulina platensis merupakan salah satu alga hijau biru (Cyanophyceae), yang digolongkan sebagai protista yang dapat melakukan fotosintesis untuk menghasilkan oksigen. Spirulina platensis mampu tumbuh dalam berbagai kondisi pertumbuhan yang dapat ditemukan di perairan dengan berbagai tingkat salinitas dengan pH basa, biasanya berkisar 8-11. Kondisi pH basa ini memberikan keuntungan dari sisi budidaya karena relatif tidak mudah terkontaminasi oleh mikroalga lain, yang pada umumnya hidup pada pH yang lebih rendah atau lebih asam (Arlyza 2005).

Pertumbuhan mikroalga biasanya diukur dari kepadatan selnya pada setiap volume kulturnya (sel/mL). Pengukuran kepadatan sel dilakukan pada selang waktu yang tetap sehingga dapat dibuat kurva pertumbuhan mikroalga (Sugiyono dan Amini 2008). Pertumbuhan Spirulina platensis mengikuti pola pertumbuhan normal yaitu fase lag, fase eksponensial, fase stasioner, fase penurunan pertumbuhan dan fase kematian. Pada fase awal terjadi pertumbuhan yang lambat karena alokasi energi dipusatkan untuk penyesuaian diri terhadap media kultur dan untuk pemeliharaan sehingga hanya sebagian kecil bahkan tidak ada energi yang digunakan untuk pertumbuhan. Setelah hari ke-3 terjadi pertumbuhan yang sangat cepat yang ditandai dengan meningkatnya jumlah sel pada populasi. Setelah pertumbuhan sel mencapai puncak, maka terjadi penambahan jumlah sel lagi karena laju pertumbuhan seimbang dengan laju kematian (fase stasioner). Fase berikutnya adalah penurunan pertumbuhan yang ditandai dengan menurunnya jumlah sel. Pertumbuhan populasi terus berkurang seiring dengan waktu kultur dan laju kematian lebih tinggi dari laju pertumbuhan (fase kematian) (Utomo et al. 2005).

Pemanfaatan Spirulina platensis sebagai makanan kesehatan sudah banyak. Beberapa faktor yang menyebabkan, diantaranya adalah mudah dicerna dan mengandung senyawa-senyawa yang diperlukan oleh tubuh, yaitu protein 55-72%, lipid 5-8%, karbohidrat 16-20%, asam lemak tidak jenuh, vitamin-vitamin, mineral,


(18)

asam amino, dan beberapa jenis pigmen yang sangat bermanfaat (Arlyza 2005). Spirulina platensis banyak digunakan sebagai makanan fungsional dan penghasil berbagai bahan aktif penting bagi kesehatan, antara lain asam lemak tak jenuh majemuk (polyunsaturated fatty acids/ PUFA) sekitar 1,3-15% dari lemak total (6-6,5%) yaitu asam linoleat (LA) dan γ-linolenat (GLA). Asam linoleat (LA) dan

γ-linolenat (GLA) berguna untuk pengobatan hiperkolesterolemia. Spirulina juga dapat membantu menurunkan berat badan, meringankan diabetes dan hipertensi, efektif melawan virus HIV-1, memberikan perlindungan terhadap efek radiasi dan meningkatkan flora intestinal (Diharmi 2001). Klasifikasi Spirulina (Pamungkas 2005) adalah sebagai berikut:

Domain : Bacteria Kingdom : Archaeplastida Division : Cyanobacteria Class : Cyanophyceae Orde : Oscillatoriales Family : Pseudanabaenaceae Subfamily : Spirulinoideae Species : Spirulina platensis

Gambar 1 Spirulina sp. (Bachtiar 2007).

Belay (2008) menyatakan bahwa selain mengandung protein yang cukup tinggi, Spirulina juga mengandung asam lemak esensial terutama GLA-gamma acid, polisakarida, pikobiliprotein, karotenoid, vitamin terutama vitamin B12 dan mineral. Kandungan mineral dan vitamin yang terdapat dalam Spirulina antara lain kalium


(19)

(15,400 mg/kg), kalsium (1,315 mg/kg), seng (39 mg/kg), magnesium (1,915 mg/kg), mangan (25 mg/kg), besi (580 mg/kg), selenium (0,40 ppm), dan fosfor (8,942 mg/kg), serta vitamin A, B1, B2 dan B3. Kandungan nutrisi Spirulina sp. dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan nutrisi Spirulina sp.

Jenis Nutrisi Nilai % (bobot kering)1 Nilai % (bobot kering)2

Protein 55-70 56,39

Lemak 6-8 17,92

Karbohidrat 15-25 8,03

Mineral 7-13 12,70

Serat 8-10 6,56

Sumber : 1) Belay (2008); 2) Handayani (2003).

2.2 Diabetes Melitus (DM)

Diabetes melitus didefenisikan sebagai suatu penyakit kelainan metabolik kronis secara serius yang memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan, yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah (hiperglikemia) disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin (Subroto 2006). Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produk insulin oleh sel-sel β-Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Matsumoto 2002). Akibatnya, terjadi kelebihan gula di dalam darah sehingga menjadi racun bagi tubuh. Sebagian glukosa yang tertahan dalam darah tersebut melimpah ke sistem urin untuk dibuang (Garret dan Grisham 2002).

Klasifikasi Diabetes Melitus (Subroto 2006) adalah sebagai berikut: 1) Diabetes melitus tipe I (Diabetes melitus tergantung Insulin)

Tipe ini disebabkan oleh kerusakan sel β-pankreas sehingga kekurangan insulin absolut. Faktor keturunan juga merupakan salah satu penyebab. Penderita diabetes melitus tipe I tergantung pada terapi insulin dan tidak dianjurkan


(20)

mengonsumsi obat antidiabetika oral. Penderita diabetes melitus tipe I tidak dapat disembuhkan dan tergantung pada injeksi insulin selama hidupnya.

2) Diabetes melitus tipe II (Diabetes melitus tidak tergantung Insulin)

Tipe ini disebabkan oleh gangguan sekresi insulin yang progresif karena resistensi insulin. Diabetes melitus tipe II dipicu oleh pola hidup yang kurang sehat. Rata-rata penderita berumur lebih dari 40 tahun. Proses penuaan juga menjadi penyebab akibat penyusutan sel-sel beta yang progresif sehingga sekresi insulin semakin berkurang dan kepekaan reseptornya juga menurun. Diabetes melitus tipe II dapat dikontrol dengan mengubah pola hidup terutama dengan mengatur pola makan yang baik dan seimbang, berolah raga dengan teratur, tidak merokok, dan menghindari konsumsi minuman beralkohol.

3) Diabetes melitus kehamilan

Diabetes tipe ini hanya diderita oleh wanita selama kehamilannya dan umumnya akan kembali normal setelah hamil. Walaupun demikian, beberapa kasus yang tidak dikontrol dapat berkembang lebih lanjut pasca-kelahiran. Penanganan yang kurang baik terhadap penderita akan berakibat buruk pada janin serta kelainan bawaan, gangguan pernapasan pada bayi bahkan kematian janin.

4) Diabetes melitus tipe lain

Diabetes tipe ini disebabkan oleh keadaan atau sindrom tertentu diantaranya penyakit pankreas, penyakit hormonal, keadaan yang disebabkan oleh obat atau zat kimia, gangguan reseptor insulin, dan sindrom genetik tertentu.

2.3 Glukosa

Glukosa memiliki rumus molekul C6H12O6 termasuk dalam aldoheksosa, yaitu suatu gula pereduksi dengan 6 atom karbon yang memiliki gugus –CHO. Berdasarkan bentuknya, molekul glukosa dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu molekul D-Glukosa dan L-Glukosa. Faktor yang menjadi penentu dari bentuk glukosa ini adalah posisi gugus hidrogen (-H) dan alkohol (–OH) dalam struktur molekulnya. Glukosa yang berada dalam bentuk molekul D dan L-glukosa dapat


(21)

dimanfaatkan oleh sistem tumbuh-tumbuhan, sedangkan sistem tubuh manusia hanya dapat memanfaatkan D-glukosa.

Gambar 2 Struktur Kimia D-Glukosa(Subroto 2006).

Darah manusia normal mengandung glukosa dengan konsentrasi yang tetap, yaitu antara 70 dan 100 mg per 100 mL darah. Setelah mengkonsumsi karbohidrat, glukosa darah dapat meningkat tetapi setelah 2 jam kemudian akan kembali normal. Pada penderita kencing manis (diabetes melitus) jumlah glukosa darah lebih besar dari 130 mg per 100 mL darah (Poedjiadi 1994).

2.4 Pengobatan Diabetes Melitus (DM)

Diabetes melitus merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol. Pengendalian penyakit DM dapat dilakukan dengan pengaturan pola konsumsi makanan, olahraga, pengontrolan berat badan, dan penggunaan obat antihiperglikemik. Antihiperglikemik oral dapat dibagi dalam 4 golongan (Subroto 2006), yaitu:

1) Golongan sulfonilurea

Derivat sulfonilurea bekerja dengan cara merangsang sel beta pulau langerhans pankreas untuk mengekskresikan insulin. Obat-obat yang termasuk golongan sulfonilurea yaitu tolbutamide, chlorpropamide, tolazamide, acetohexamide, glibenklamide, glipizide, dan glibonuride.

2) Golongan biguanid

Derivat biguanid mempunyai mekanisme kerja yang berlainan dengan derivat sulfonilurea. Obat golongan ini bekerja dengan mengurangi resistensi insulin, sehingga glukosa dapat memasuki sel-sel hati, otot dan organ tubuh lainnya. Obat-obat yang termasuk golongan biguanid adalah metformin, phenformin, dan buformin.


(22)

3) Golongan thiazolidinedion

Derivat thiazolidinedion bekerja dengan cara yang sama dengan derivat biguanid, yaitu dengan resistensi insulin sehingga glukosa dapat memasuki sel-sel hati, otot dan organ tubuh lainnya. Obat yang tergolong thiazolidinedion adalah troglitazone.

4) Golongan miglitinida

Obat ini bekerja dengan cara mencetuskan pelepasan insulin dari pankreas segera setelah makan. Obat golongan ini adalah replaginida. Efek samping dari obat ini yaitu hipoglikemia dan peningkatan berat badan.

5) Golongan inhibitor α-glukosidase

Obat ini bekerja dengan cara menginhibisi secara reversibel kompetitif

terhadap enzim hidrolase α-amilase pankreatik dan enzim-enzim pencernaan di usus halus, seperti isomaltase, sukrase dan maltase. Enzim-enzim ini berperan pada hidrolisis karbohidrat makanan menjadi glukosa dan monosakarida lainnya.

Pada penderita diabetes melitus, inhibisi terhadap enzim ini menyebabkan penghambatan absorbsi glukosa sehingga menurunkan keadaan hiperglikemia setelah makan. Obat yang termasuk golongan ini adalah acarbose dan di Indonesia telah dipasarkan dengan nama Glucobay®. Acarbose merupakan suatu oligosakarida yang diperoleh dari proses fermentasi mikroorganisme Actinoplanes utahensis. Acarbose merupakan serbuk berwarna putih dengan berat molekul 645,6 bersifat larut dalam air dan memiliki pKa 5,1. Rumus empirik acarbose adalah C25H43NO18 (Bayer 2004).

2.5 Inhibisi α-Glukosidase

Enzim α-glukosidase merupakan jenis enzim hidrolase yang mengkatalisis reaksi hidrolisis terminal non pereduksi dari substrat menghasilkan α-glukosa (Nashiru et al. 2001). Enzim α-glukosidase berfungsi memecah karbohidrat menjadi glukosa pada usus halus manusia. Enzim ini merupakan enzim yang terlibat dalam degradasi glikogen. Degradasi glikogen oleh fosforilase dapat terjadi setelah kerja enzim glukanotransferase dan α-glukosidase yang mengkatalis dua reaksi. Pada reaksi pertama, enzim glukanotransferase memindahkan tiga dari residu glukosa yang


(23)

tersisa ke ujung cabang-cabang di sebelah luar molekul lain. Enzim α-glukosidase

menghidrolisis ikatan α(1-6) pada titik percabangan rantai glikogen dan menghasilkan D-glukosa dan membuat residu glukosa dengan ikatan α(1-4). Pada rantai lanjutan molekul tersebut kini terbuka terhadap kerja glikogen fosforilase yang menghasilkan glukosa 1-fosfat (Lehninger 2004).

Substrat p-nitrofenil-α-D-glukopiranosa merupakan model yang digunakan

untuk mempresentasikan karbohidrat yang akan dipecah oleh enzim α-glukosidase.

Inhibisi enzim α-glukosidase terjadi karena enzim α-glukosidase akan menghidrolisis p-nitrofenil-α-D-glukopiranosa (berwarna kuning) menjadi p-nitrofenol dan glukosa (Sutedja 2003 diacu dalam Sugiwati 2005).

Aktivitas enzim diukur berdasarkan hasil absorbansi p-nitrofenol. Apabila

memiliki kemampuan menghambat aktivitas enzim α-glukosidase, maka p-nitrofenol yang dihasilkan akan berkurang. Semakin tinggi selisih absorbansi sampel dengan penambahan enzim dan absorbansi sampel tanpa penambahan enzim, maka

persentase inhibisi α-glukosidase semakin rendah (Sugiwati 2005).

Enzim α-glukosidase dapat dihambat secara efektif oleh naringenin, kaemferol, luteolin, apigenin, katekin dan epikatekin, diadzein dan epigalokatekin galat. Berbagai kelas senyawa fenolik memang telah banyak diinformasikan sebagai

inhibitor enzim α-glukosidase (Tadera et al. 2006). Senyawa kafeat dan sinamat juga

berperan sebagai penghambat aktivitas α-glukosidase. Berdasarkan struktur molekul kafeat dan sinamat mempunyai gugus fungsi alkena yang terkonjugasi dengan cincin benzena dan gugus karbonil (Ngadiwiyana et al. 2011).

Berbagai jenis fitokimia telah dilaporkan memiliki daya hambat terhadap beberapa enzim. Senyawa kimia tersebut antara lain dieckol (sejenis florotanin) dari alga coklat Ecklonia cava yang dapat menghambat enzim α-amilase dan α -glukosidase (Lee et al. 2010), vasicine dan vasicinol pada daun Adhatoda vasica

Nees sebagai inhibitor enzim α-amilase, α-glukosidase dan sukrase (Gao et al. 2008). Scleroderma aurantium termasuk golongan jamur yang tidak dapat dimakan dan

beracun, mengandung komponen zat aktif penghambat enzim α-glukosidase (IC50 = 115 ppm) (Dewi dan Kardono 2001).


(24)

2.6 Fikosianin

Fikosianin merupakan salah satu dari tiga pigmen (klorofil dan karotenoid) yang mampu menangkap radiasi sinar matahari paling efisien (Hall dan Rao 1999). Fikosianin merupakan kompleks pigmen-protein yang saling berhubungan dan terlibat dalam pemanenan cahaya dan energi transduksi. Fikosianin dapat bertindak sebagai bahan penyimpan nitrogen. Konsentrasi fikosianin tinggi bila Spirulina platensis ditumbuhkan dalam kondisi nitrogen yang optimal (Boussiba dan Richmond 1980).

Pigmen fikosianin yang berwarna biru tua yang dapat memancarkan warna merah tua (Henrikson 2009). Fikosianin termasuk golongan biliprotein. Fikosianin sebagai biliprotein diketahui mampu menghambat pembentukan sel kanker (Adams 2005). Biliprotein atau biasa dikenal dengan fikobiliprotein adalah kelompok pigmen yang ditemukan pada Rhodophyta (alga merah), Cyanophyta (alga hijau-biru), dan Cryptophyta (alga Crytomonad). Pigmen ini berfungsi sebagai penyerap cahaya pada sistem fotosintesis. Kelompok pigmen ini diantaranya adalah R-phycoerythrine, C-phycoerythrine dan B-phycoerythrine, allophycocyanine, R-phycocyanine dan B-phycocyanine (Henrikson 2009).

Fikosianin merupakan pigmen yang paling banyak pada alga hijau biru, termasuk spirulina dan kandungannya mencapai 20% dari berat kering alga (Richmond 1988). Kandungan fikosianin dalam 500 mg tablet Spirulina adalah sebanyak 333 mg (Tietze 2004). Fikosianin mempunyai cahaya absorbansi maksimum pada panjang gelombang 546 nm, serta mempunyai bobot molekul sebesar 134 kDa (c-fikosianin), namun ditemukan bobot molekul yang lebih besar (262 kDa) dari ekstrak fikosianin segar pada banyak spesies. Bobot molekul yang lebih besar ini diduga disebabkan oleh keberadaan fragmen fikobilisom (Henrikson 2009).

Struktur fikosianin mengandung rantai tetraphyrolles terbuka yang diduga mempunyai kemampuan menangkap radikal oksigen (Romay et al. 1998). Struktur kimia Chromophores pada c-fikosianin, (tetraphyrolles terbuka), sangat mirip dengan bilirubin. Romay et al. (1998) melaporkan bahwa bilirubin adalah antioksidan yang


(25)

diduga penting dalam fisiologis karena mampu mengikat radikal peroksida lipid dengan cara mendonorkan atom hidrogen yang terikat pada atom C ke 10 pada molekul tetraphyrrolles.

2.7 Antioksidan

Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein dan lemak. Antioksidan bereaksi dengan radikal bebas dengan cara mengurangi konsentrasi oksigen, mencegah pembentukan singlet oksigen yang reaktif, mencegah inisiasi rantai pertama dengan menangkap radikal primer seperti radikal hidroksil, mengikat katalis ion logam, mendekomposisi produk-produk primer radikal menjadi senyawa non-radikal, dan memutus rantai hidroperoksida.

Antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya dikelompokkan menjadi (Mardawati et al. 2008):

1) Antioksidan primer yaitu antioksidan yang bereaksi dengan radikal lipid berenergi tinggi untuk menghasilkan produk yang memiliki kestabilan termodinamis lebih baik. Antioksidan golongan fenol seperti isoflavon termasuk dalam antioksidan yang memiliki mekanisme ini.

2) Antioksidan sekunder yang juga dikenal dengan antioksidan pencegah (preventive antioxidant) yang dapat memperlambat reaksi inisiasi dengan cara memutus rantai (chain-breaking antioxidant) hidroperoksida. Contoh antioksidan ini yaitu dilauril thiodipropionate dan asam thiodipropionic. Antioksidan golongan ini adalah antioksidan yang berikatan dengan gugus thiol. Mekanisme penghambatan antioksidan primer dapat dilihat pada Gambar 3.

Inisiasi : R* + AH RH + A*

Radikal lipida Antioksidan

Propagasi : ROO* + AH ROOH + A*

Gambar 3 Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida (Gordon 1990).


(26)

Besarnya konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering lenyap, bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan. Pengaruh jumlah konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi dan sampel yang akan diuji.

AH + O2 A* + HOO*

AHH + ROOH RO* + H2O + A

Gambar 4 Antioksidan sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi (Gordon 1990).

Senyawa antioksidan AH dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (ROO, RO, R, OH) dan mengubahnya menjadi bentuk yang lebih stabil. Sementara turunan radikal antioksidan (A*) yang dihasilkan lebih stabil dibandingkan radikal lipida karena akan terjadi delokalisasi perbaikan elektron dari ikatan rangkap pada cincin benzen sebagai indikasi oleh ikatan isomer valensi. Peningkatan jumlah gugus hidroksil (alkil hidrogen pada struktur kimianya) pada posisi para atau ortho seperti pada genistein dapat meningkatkan aktivitas antioksidan isoflavon. Reaksi radikal bebas dengan komponen sel baik komponen struktural (molekul penyusun membran) maupun komponen fungsional yaitu enzim dan DNA dapat merusak sel melalui oksidasi lemak tidak jenuh dan protein sel. Kerusakan lebih lanjut pada organel sel dapat mencapai kerusakan DNA dan membran sel. Berdasarkan mekanisme tersebut, radikal bebas tentunya akan turut memengaruhi timbulnya berbagai jenis penyakit degeneratif, contohnya aterosklerosis (pengendapan lemak yang mengeras pada arteri) (Mardawati et al. 2008).

Reaksi ini akan berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan akan menimbulkan berbagai penyakit misalnya kanker, jantung, katarak, penuaan dini, serta penyakit degeneratif lainnya. Tubuh mempunyai senyawa antioksidan yaitu senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas, yaitu enzim superoksida dismutase (SOD), gluthatione, dan katalase. Antioksidan juga dapat diperoleh dari sumber alami misalnya tumbuhan. Senyawa antioksidan alami tumbuhan adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan


(27)

flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, dan kalkon (Andayani et al. 2008).

Yudiati et al. (2011) melaporkan keberhasilannya dalam ekstraksi pigmen fikosianin, salah satu pigmen dari mikroalga Spirulina platensis yang merupakan pewarna alami dan mempunyai aktivitas antioksidan tinggi (IC50=34,85 ppm) dengan cara menangkap oksigen singlet dan melakukan resonansi maupun vibrasi untuk membuang energi yang berlebihan ke lingkungan. Hal ini juga didukung oleh penelitian Karkos et al. (2008) bahwa efek antioksidan dari Spirulina platensis mampu menghambat peroksidasi lemak lebih signifikan (65%) dibandingkan dengan antioksidan kimia seperti tokoferol (35%) dan BHA (45%).

Mikroalga mempunyai kemampuan menetralkan radikal bebas melalui mekanisme enzimatis dan non enzimatis. Karotenoid dan asam lemak termasuk kelompok non enzimatis yang mampu melindungi organisme dari kerusakan oksidasi. Tokoferol, flavonoid, alkaloid termasuk kelompok enzimatis. Mekanisme enzimatis dan non enzimatis sama-sama menurunkan radikal hanya berbeda pada kecepatan dan kecenderungan reaksinya. Antioksidan menetralkan radikal bebas dengan mendonorkan atom hidrogennya (Marxen et al. 2007).

2.8 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH)

Metode yang umum digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan suatu bahan adalah menggunakan radikal bebas Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH). Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) adalah radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokasi elektron bebas pada suatu molekul sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas yang lain. Proses delokasi ini ditunjukkan dengan adanya warna ungu (violet) pekat yang dapat dikarakterisasi pada pita absorbansi dalam pelarut etanol pada panjang gelombang 520 nm (Molyneux 2004).

Metode uji aktivitas antioksidan dengan radikal bebas DPPH banyak dipilih karena metode ini sederhana, mudah, cepat, peka dan hanya memerlukan sedikit


(28)

sampel (Hanani et al. 2005). Kapasitas antioksidan pada uji ini tergantung pada struktur kimia dan antioksidan. Pengurangan radikal DPPH tergantung pada jumlah grup hidroksil yang ada pada antioksidan sehingga metode ini memberikan sebuah indikasi dari ketergantungan struktural kemampuan antioksidan dari antioksidan biologis (Vattem dan Shetty 2006).

Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan prinsip spektrofotometri. Senyawa DPPH (dalam metanol) berwarna ungu tua terdeteksi pada panjang gelombang sinar tampak sekitar 517 nm. Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya untuk berikatan dengan DPPH membentuk DPPH tereduksi, ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu (menjadi kuning pucat) (Molyneux 2004). Antioksidan akan mendonorkan proton atau hidrogen kepada DPPH dan selanjutnya akan terbentuk radikal baru yang bersifat stabil atau tidak reaktif (1,1-difenil-2- pikrilhidrazin) (Wikanta et al. 2005). Hal ini dapat digambarkan dalam persamaan berikut.

DPPH + AH DPPH-H + A*

(Radikal bebas) (Antioksidan) (Netral) (Radikal bebas, stabil, tidak reaktif)

Warna ungu Warna kuning

Persen inhibisi pada peredaman radikal bebas merupakan kemampuan suatu bahan dalam menghambat radikal bebas yang berhubungan dengan konsentrasi bahan yang diuji, sedangkan IC50 merupakan parameter yang sering digunakan dalam menyatakan hasil dari pengujian DPPH. Nilai IC50 dapat didefenisikan sebagai besarnya konsentrasi yang dapat menghambat aktivitas radikal bebas, yaitu menghambat aktivitas radikal bebas DPPH sebanyak 50%. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/mL, kuat untuk IC50 antara 0,05-0,10mg/mL, sedang jika IC50 bernilai 0,10-0,15 mg/mL dan lemah jika IC50 bernilai 0,15-0,20 mg/mL (Molyneux 2004).


(29)

2.9 Komponen Bioaktif

Komponen bioaktif merupakan kelompok senyawa fungsional yang terkandung dalam bahan pangan dan dapat memberikan pengaruh biologis. Sebagian besar komponen bioaktif adalah kelompok alkohol aromatik seperti polifenol dan komponen asam (phenolic acid). Komponen bioaktif tidak terbatas pada hasil metabolisme sekunder saja, tetapi juga termasuk metabolit primer yang memberikan aktivitas biologis fungsional, misalnya protein dan peptida (Kannan et al. 2009). Pengujian kualitatif komponen bioaktif ini dapat dilakukan dengan metode uji fitokimia.

Istilah fitokimia (dari kata “phyto” = tanaman) berarti kimia tanaman. Fitokimia menguraikan aspek kimia suatu tanaman. Kajian fitokimia meliputi uraian tentang isolasi dan konstitusi senyawa kimia dalam tanaman, perbandingan struktur senyawa kimia tanaman dan perbandingan komposisi senyawa kimia dari bermacam-macam jenis tanaman atau penelitian untuk pengembangan senyawa kimia dalam tanaman (Sirait 2007).

2.9.1 Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait 2007). Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid biasanya tanpa warna, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar (Harborne 1984).

Beberapa contoh senyawa alkaloid yang telah umum dikenal dalam bidang farmakologi, diantaranya adalah nikotin (stimulan pada syaraf otonom), morfin (analgesik), kodein (analgesik dan obat batuk), atropin (obat tetes mata), skopolamin (sedatif/ obat penenang menjelang operasi), kokain (analgesik), piperin (antifeedant), quinine (obat malaria), vinkristin (obat kanker) (Putra 2007).

Hasil penelitian Rahman (2011) menunjukkan bahwa biomassa kering Porphyridium cruentum yang mengandung komponen bioaktif alkaloid, mempunyai


(30)

aktivitas antihiperglikemik dengan nilai inhibisi α-glukosidase rata-rata 33,28%. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Samson (2010) yang menyatakan bahwa 1% (b/v) ekstrak alkaloid buah mahkota dewa yang berwarna merah dan merah-hijau memiliki

aktivitas inhibitor enzim α-glukosidase sebesar 35,16% dan 36,80%. 2.9.2 Steroid/ Triterpenoid

Triterpenoid adalah senyawa dengan kerangka karbon yang disusun dari 6 unit isoprena dan dibuat secara biosintesis dari skualen, suatu C30 hidrokarbon asiklik. Senyawa tersebut mempunyai struktur siklik yang relatif kompleks, terdiri atas alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Senyawa tersebut tidak berwarna, kristalin, sering mempunyai titik lebur tinggi, umumnya sulit untuk dikarakterisasi karena secara kimia tidak reaktif, yang banyak digunakan untuk tes adalah reaksi Liebermann-Burchard (asam asetat anhidrida-H2SO4 pekat), yang membentuk warna biru hijau untuk sebagian besar triterpen dan sterol (Sirait 2007).

Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Tiga senyawa yang biasa disebut fitosterol mungkin terdapat pada setiap tumbuhan tingkat tinggi yaitu sitosterol, stigmasterol dan kampesterol. Sterol tertentu hanya terdapat dalam tumbuhan tingkat rendah, contohnya ergosterol yang terdapat dalam khamir dan sejumlah fungi. Sterol lain terutama terdapat dalam tumbuhan tingkat rendah tetapi kadang-kadang terdapat juga dalam tumbuhan tingkat tinggi, misalnya fukosterol, yaitu steroid utama pada alga coklat dan juga terdeteksi pada kelapa (Harborne 1984). Hasil penelitian Gunawan et al. (2008) menunjukkan bahwa komponen steroid dari herba meniran (Phyllantus niruri Linn) aktif terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Permatasari (2011) menyatakan bahwa komponen steroid dari selada air (Nasturtium officinale L. R. Br) pada bagian batang, daun dan utuh dapat dimanfaatkan sebagai anti tumor dan meningkatkan stamina tubuh.

2.9.3 Flavonoid

Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Gugusan gula bersenyawa pada satu atau lebih grup hidroksil fenolik. Flavonoid diklasifikasikan menjadi flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, isoflavon, kalkon,


(31)

dihidrokalkon, auron, antosianidin, katekin dan flavan-3,4-diol (Sirait 2007). Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid dapat diekstraksi dengan etanol 70%. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia sehingga mudah dideteksi pada kromatogram atau dalam larutan. Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi dan karena itu menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum Ultra Violet (UV) dan spektrum tampak (Harborne 1984). Terbentuknya warna merah, kuning atau jingga di lapisan amil alkohol pada uji fitokimia menunjukkan adanya flavonoid.

Senyawa golongan flavonoid bersifat multifungsional karena dapat bereaksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas, pengkelat logam dan peredam terbentuknya singlet oksigen. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Yudiati et al. (2011), bahwa aktivitas penghambatan radikal bebas pada Spirulina sp. hampir sama dengan ekstrak batang tumbuhan rempah Kneuma laurina, yaitu 39,72 ppm (Praptiwi et al. 2006) yang berperan sebagai reduktor pada proses oksidasi. Penelitian Rahman (2011) menunjukkan bahwa biomassa kering Porphyridium cruentum mengandung komponen bioaktif flavonoid dan mempunyai aktivitas

antihiperglikemik dengan nilai inhibisi α-glukosidase rata-rata 33,28%. 2.9.4 Saponin

Saponin merupakan glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna akan menghasilkan gula dan satu fraksi non-gula yang disebut sapogenin atau genin. Gula-gula yang terdapat dalam saponin jumlah dan jenisnya bervariasi, diantaranya glukosa, galaktosa, arabinosa, ramnosa, serta asam galakturonat dan glukoronat. Sapogenin sendiri dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sapogenin triterpenik dan steroidik (Muchtadi 1989).

Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun. Saponin dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah (Harborne 1984). Hasil penelitian Hardyanti (2011) menunjukkan bahwa ekstrak anemon laut ukuran besar mengandung komponen saponin. Komponen saponin berperan dalam mereduksi kolesterol dan melawan


(32)

kanker kolon. Saponin juga memiliki aktivitas antimikroba, merangsang sistem imun dan mengatur tekanan darah (Astawan dan Kasih 2008).

2.9.5 Fenol hidrokuinon

Komponen fenolat merupakan struktur aromatik yang berikatan dengan satu atau lebih gugus hidroksil, beberapa mungkin digantikan dengan gugus metal atau glikosil. Komponen fenolat bersifat larut air selama komponen tersebut berikatan dengan gula membentuk glikosida, dan biasanya terdapat dalam vakuola sel. Flavonoid merupakan kelompok yang terbesar diantara komponen fenolat alami yang strukturnya telah diketahui, tetapi fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoid dan fenolat kuinon terdapat dalam jumlah sedikit (Harborne 1984).

Pigmen kuinon alami berada pada kisaran warna kuning muda hingga hitam. Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon (Ketaren 2008). Kuinon dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftakuinon, antrakuinon dan isoprenoid kuinon. Tiga kelompok pertama umumnya terhidrolisis dan memiliki sifat fenol, sedangkan isoprenoid kuinon terdapat pada respirasi seluler (ubikuinon) dan fotosintesis (plastokuinon) (Harborne 1984).

Miranda et al. (1998) menyatakan bahwa komponen fenol pada Spirulina memiliki aktivitas antioksidan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian El Backy et al. (2009), bahwa komponen fenol pada Spirulina maxima dapat menurunkan pembentukan radikal pada model hepatotoxicity. Hasil penelitian Rahman (2011) menunjukkan bahwa polisakarida ekstraseluler Porphyridium cruentum mengandung komponen fenol hidrokuinon, yang mempunyai aktivitas antihiperglikemik dengan


(33)

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2012 hingga September 2012, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan II, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan THP, Laboratorium Genetika BDP, Laboratorium Proling MSP dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah tabung kultur, akuarium, lampu TL, aerator, selang, plankton net, timbangan digital, oven Yamato DV 41, penangas air, kertas saring Whattman 42, refrigerator, lampu UV, mikroskop Cole Parmer, freeze dryer Christ Alpha 2-4, tabung reaksi, bulb, kapas, pipet volumetrik, pipet mikro, labu Erlenmeyer 250 mL dan 500 mL, gelas ukur , rotary vacuum evaporator, corong kaca, tabung reaksi, spektrofotometri (SP 300 OPTIMA), pipet tetes, vortex, rotavapor (Buchi R-205), penangas (Buchi heating bath B-490), Eppendorf scientific, whell, sentrifuse (select-a-fuge 24), dan inkubator WTB Binder.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah inokulum mikroalga Spirulina platensis, air laut, media Walne, media MT (Modifikasi Teknis), tiosulfat dan klorin. Komposisi media Walne dapat dilihat pada Lampiran 1. Bahan uji fitokimia antara lain pereaksi Wagner, pereaksi Meyer, pereaksi Dragendorff (uji alkaloid), kloroform, anhidra asetat, asam sulfat pekat (uji steroid), serbuk magnesium, amil alkohol (uji flavonoid), air panas, larutan HCl 2 N (uji saponin), etanol 70%, larutan FeCl3 5% (uji fenol hidrokuinon). Bahan uji antioksidan l,l-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH), metanol, alfa-tokoferol. Bahan uji inhibisi α -glukosidase (Na2CO3, buffer (KH2PO4 + KOH) enzim α-glukosidase, p-nitrofenil-α -D-glukopiranosa, Glukobay®, dan Dimethyl Sulfoxide (DMSO). Mikroalga Spirulina platensis yang digunakan diperoleh dari koleksi mikroalga Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara.


(34)

3.3 Metode Penelitian

Tahapan penelitian terdiri dari kultivasi Spirulina platensis (penentuan umur panen), pemanenan dan ekstraksi fikosianin. Diagram alir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Diagram alir penelitian.

Uji antioksidan Uji fitokimia Uji inhibisi α-glukosidase Spirulina platensis

Kultivasi Spirulina sp.

Pemanenan

Umur panen 12 hari Umur panen 16 hari

Pengeringan

Rendemen fikosianin tertinggi

Biomassa Ekstraksi fikosianin

Kering, shaker

Kering, vortex

Basah, shaker


(35)

3.3.1 Tahapan penelitian

1) Kultivasi Spirulina platensis

Kultivasi Spirulina platensis pada media Walne untuk pembuatan bibit. Media Walne merupakan media umum yang digunakan dalam kultivasi Spirulina platensis. Media Walne memiliki kandungan makronutrien dan mikronutrien yang lengkap. Komposisi media Walne dapat dilihat pada Lampiran 1. Media Walne yang digunakan diperoleh dari Laboratorium Pakan Alami, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara yang sudah tersedia dalam bentuk cairan. Kultivasi Spirulina platensis dilakukan dengan media MT (Modifikasi Teknis). Komposisi media MT dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi media modifikasi teknis (MT) Bahan Konsentrasi (g/L) Mg SO4.7H2O 0,02

CaCl2.7H2O 0,004

EDTA 0,008

K2SO4 0,04

FeCl3 0,001

NaHCO3 (soda kue) 2 (NH2)2CO (Urea) 0,13 (NH4)2SO4 (ZA) 0,06

Na2HPO4 0,04

Vit.B12 10-6

Tempat media kultur yang digunakan akuarium volume 75 L sebanyak 2 buah. Sebelum dilakukan scale up dalam skala 50 L, dilakukan penyegaran menggunakan media walne dalam stoples ukuran 2,5 L. Akuarium yang akan digunakan untuk kultur, dicuci dan disterilisasi menggunakan alkohol 2% setiap hari.

Air laut mengalami penyaringan dengan ceramic filter. Salinitas air laut dibuat 15 ppt dengan mencampurkan air tawar. Air media kultur diberi klorin 60 ppm, natrium thiosulfat 20 ppm, dan diaerasi selama 24 jam. Akuarium ditempatkan di bagian ruangan yang bercahaya sinar lampu neon dengan rata-rata intensitas cahaya sekitar 3.000 lux selama pencahayaan 24 jam. Air media kultur dimasukkan ke dalam akuarium sebesar 75 L, kemudian dimasukkan nutrien sesuai perbandingan.


(36)

Bibit Spirulina platensis sebesar 15% kultivasi yang diinginkan yaitu 7,5 L dimasukkan ke dalam akuarium. Akuarium diberikan aerasi secukupnya selama penelitian.

2) Pemanenan dan pengeringan biomassa

Panen Spirulina platensis dilakukan saat kultur mencapai umur pertumbuhan 12 hari dan umur pertumbuhan 16 hari. Puncak populasi dapat diketahui dari perubahan warna pada media kultur dan jumlah populasi atau kepadatan sel yang dibuat dalam pola pertumbuhan (Handayani 2003). Kultur yang sudah mencapai puncak populasi diendapkan terlebih dahulu dengan cara mematikan aerasi. Pemanenan biomassa Spirulina platensis menggunakan plankton net 25 mikron.

Biomassa dicuci dengan akuades sebanyak 3 kali, lalu ditimbang untuk mengetahui biomassa yang dihasilkan. Pemanenan dilakukan pada umur panen yang dibutuhkan yaitu 12 hari dan 16 hari. Umur panen 12 dan 16 hari diduga dapat menghasilkan metabolit sekunder terbaik dari kultivasi Spirulina platensis dengan media MT (komunikasi pribadi Barus 2012). Biomassa kemudian ditimbang dan digunakan dalam bentuk berat basah. Setelah itu Spirulina platensis yang telah ditimbang dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer - 20°C selama 2 hari. Biomassa yang

dihasilkan kemudian dianalisis kemampuan inhibisi enzim α-glukosidase, aktivitas antioksidan dan komponen fitokimia.

3) Ekstraksi fikosianin

Pengujian analisis kuantitatif fikosianin dilakukan dalam beberapa metode, yaitu metode penggunaan vortex, shaker, dan oven. Metode yang memberikan nilai optical density (OD) tertinggi diduga memberikan hasil ekstraksi fikosianin terbaik sehingga akan digunakan untuk analisis kuantitatif fikosianin. Diagram alir metode penggunaan vortex, shaker dan oven dapat dilihat pada Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8. Analisis kuantitatif fikosianin Spirulina platensis dilakukan dengan metode ekstraksi menggunakan larutan bufer fosfat fikosianin. Persiapan yang dilakukan berupa pemanasan tabung Eppendorf dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan pada desikator untuk menghilangkan kadar air pada tabung Eppendorf. Tabung Eppendorf ditimbang dan dicatat beratnya (bobot cawan kering). Setelah itu


(37)

cawan ditera di atas timbangan digital dan ditimbang bobot kering dari tabung Eppendorf (W0) serta bobot sampel kering (Wt).

Gambar 6 Diagram alir proses ekstraksi dan pengukuran konsentrasi fikosiani dengan vortex.

Penimbangan 40 mg bobot kering

Penambahan larutan bufer fosfat 10 mL

Vortex

Penyimpanan dalam freezer ± 24 jam

Pemusingan dengan sentrifugasi selama 30 menit; 100-120 rpm; 28°C

Pengukuran supernatan dengan spektrofotometer pada λ = 615nm dan λ = 652 nm

Spirulina platensis

Data konsentrasi fikosianin Pemisahan antara supernatan


(38)

Gambar 7 Diagram alir proses ekstraksi dan pengukuran konsentrasi fikosianin dengan shaker.

Penimbangan 40 mg bobot kering

Penambahan larutan bufer fosfat 10 mL

Shaking

Pemusingan dengan sentrifugasi selama 30 menit; 100-120 rpm; 28°C

Pengukuran supernatan dengan spektrofotometer pada λ = 615nm dan λ = 652 nm

Spirulina platensis

Data konsentrasi fikosianin Pemisahan antara supernatan


(39)

Gambar 8 Diagram alir proses ekstraksi dan pengukuran konsentrasi fikosianin dengan oven.

Setelah diukur absorbansinya maka konsentrasi fikosianin dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Bennet dan Bogoard 1973 di acu dalam Silveira et al. 2006).

(OD615 – 0.474 (OD652)) PC =

5.34

Pemasukan dalam tabung Eppendorf

Pengeringan dengan Oven, suhu 50°C; 24-48 jam

Pengeringan dan pendinginan di dalam desikator

Penambahan bufer fosfat 1 mL untuk 0,04 gr biomassa

Pemusingan dengan sentrifugasi selama 25 menit; 100-120 rpm; 28°C

Pengukuran supernatan dengan spektrofotometer pada λ = 615nm dan λ = 652 nm

Spirulina platensis

Data konsentrasi fikosianin Pemisahan antara supernatan


(40)

PC x V Yield =

DB

Keterangan: PC = Konsentrasi fikosianin (mg/mL) V = Volume pelarut (mL)

DB = Biomassa kering (gram)

Metode yang memberikan hasil konsentrasi fikosianin terbaik adalah fikosianin dengan nilai optical density (OD) tertinggi yang akan digunakan untuk analisis

inhibisi enzim α-glukosidase, aktivitas antioksidan dan komponen fitokimia.

3.3.2 Prosedur analisis

1) Uji inhibisi α-glukosidase (Sutedja 2003 diacu dalam Sugiwati 2005)

Larutan enzim dibuat dengan melarutkan 1 mg α-glukosidase dalam 100 mL bufer fosfat (pH 7) yang mengandung 200 mg bovin serum albumin. Sebelum digunakan, 1 mL larutan enzim tersebut diencerkan 25 kali dengan bufer fosfat (pH 7). Campuran reaksi terdiri dari 250 μL p-nitrofenil-α-D-glukopiranosa (20 mM)

sebagai substrat, 490 μL bufer fosfat (100 mM, pH 7) dan 10 μL larutan ekstrak fikosianin dalam bufer dan biomassa Spirulina platensis dalam DMSO. Setelah campuran reaksi diinkubasi pada suhu 37°C selama 5 menit, 250 μL larutan enzim ditambahkan dan selanjutnya diinkubasi selama 15 menit. Reaksi enzim dihentikan

dengan penambahan 1000 μL natrium karbonat (200 mM), kemudian nilai absorbansi

p-nitro fenol dibaca pada panjang gelombang 400 nm. Sistem reaksi enzim dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Sistem reaksi inhibisi α-glukosidase

Blanko (μL) Kontrol (μL) S0 (μL) S1 (μL)

Sampel - - 10 10

DMSO 10 10 - -

Bufer 490 490 490 490

Substrat 250 250 250 250

Inkubasi selama 5 menit dengan suhu 37°C

Bufer 250 - 250 -

Enzim - 250 - 250

Inkubasi selama 15 menit dengan suhu 37°C


(41)

Larutan standar (acarbose) dibuat dengan konsentrasi yang sama dengan larutan sampel dengan melarutkan tablet acarbose (Glucobay®) dalam akuades dan HCl 2 N. Larutan disentrifugasi dan supernatannya digunakan sebagai standar. Larutan standar diperlakukan sama dengan sampel. Masing-masing pengujian daya

hambat sampel terhadap aktivitas α-glukosidase dihitung dalam persen inhibisi dengan rumus sebagai berikut.

K- (S1-S0)

% inhibisi = x 100%

K

Keterangan :

K : Absorbansi terkoreksi dari blanko (enzim + substrat) S1 : Absorbansi terkoreksi dari enzim + substrat + inhibitor S0 : Absorbansi terkoreksi dari substrat + inhibitor

2) Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH

Sampel biomassa kering dan fikosianin dilarutkan dalam metanol dengan konsentrasi 200 ppm, 400 ppm, 600 ppm, 800 ppm, dan 1.000 ppm untuk biomassa kering dan 200 ppm, 400 ppm, 800 ppm, 1.600 ppm, dan 2.000 ppm untuk fikosianin. Pembanding dan kontrol positif menggunakan antioksidan sintetik tokoferol yang dibuat dengan cara dilarutkan dalam pelarut metanol dengan konsentrasi 2 ppm, 4ppm, 6 ppm, dan 8 ppm. Larutan l,l-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) yang akan digunakan dibuat menggunakan kristal DPPH dalam pelarut metanol dengan konsentrasi 1 mM. Proses pembuatan larutan DPPH 1 mM dilakukan dalam kondisi suhu rendah dan terlindung dari cahaya matahari.

Sebanyak 2,25 mL larutan sampel dan larutan tokoferol, masing-masing direaksikan dengan 0,25 mL larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi. Uji dilakukan secara duplo. Campuran larutan DPPH dan sampel dihomogenisasi dengan vorteks, lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit dan diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer dengan λ= 517 nm. Larutan blanko dibuat dengan 2,25 mL pelarut metanol direaksikan dengan 0,25 mL larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi. Persen inhibisi diukur dari data absorbansi larutan blanko. Setelah itu,


(42)

aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding tokoferol dinyatakan dengan persen inhibisi yang dihitung dengan rumus berikut:

absorbansi blanko – absorbansi sampel

% inhibisi = x 100%

absorbansi blanko

Nilai konsentrasi sampel dan persen inhibisinya diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada persamaan regresi linear. Persamaan regresi linear yang diperoleh dalam bentuk persamaan y = a + bx digunakan untuk mencari nilai Inhibitor Concentration 50% (IC50) dari masing-masing sampel dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang akan diperoleh sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk mereduksi radikal bebas DPPH sebesar 50%.

3) Uji fitokimia

Pengujian fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponen-komponen bioaktif yang terdapat pada biomassa Spirulina platensis yang memiliki aktivitas antioksidan yang terbaik. Uji fitokimia meliputi uji alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin dan fenol hidrokuinon. Metode uji ini berdasarkan Harborne (1984).

a) Alkaloid

Sejumlah sampel (± 10 mg) dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat (H2SO4) 2 N. Pengujian menggunakan tiga pereaksi alkaloid yaitu pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer dan pereaksi Wagner.

Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara 0,8 gram bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 mL asam asetat dan 40 mL air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 mL air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume asam asetat glasial dan 100 mL air. Pereaksi ini berwarna jingga.


(43)

Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 gram HgCl2 dengan 0,5 gram KI, lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 mL dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna.

Pereaksi Wagner dibuat dengan cara 10 mL akuades ditambahkan 2,5 gram iodin dan 2 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 mL dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat.

Hasil uji dinyatakan positif, bila dengan pereaksi Dragendorff terbentuk endapan merah hingga jingga, endapan putih kekuningan dengan pereaksi Meyer dan endapan coklat dengan pereaksi Wagner.

b) Steroid/triterpenoid

Sejumlah sampel (± 10 mg) dilarutkan dalam 2 mL kloroform dalam tabung reaksi yang kering. Setelah itu ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau.

c) Flavonoid

Sejumlah sampel (± 10 mg) ditambahkan 0,1 mg serbuk magnesium dan 0,4 mL amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama) dan 4 mL alkohol kemudian campuran dikocok. Adanya flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol. d) Saponin

Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan adanya saponin.

e) Fenol hidrokuinon

Sejumlah sampel (± 1 gram) diekstrak dengan 20 mL etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 mL kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5%. Warna hijau atau hijau biru yang terbentuk menunjukkan adanya senyawa fenol dalam bahan.


(44)

4.1 Pertumbuhan Spirulina platensis

Pertumbuhan organisme didefinisikan sebagai suatu peningkatan massa atau ukuran sel yang disertai oleh sintesis makromolekul dan menghasilkan struktur organisme baru. Pertumbuhan jaringan terjadi melalui peningkatan ukuran sel yang diikuti peningkatan jumlah sel (Becker 1994). Kultivasi dilakukan dengan umur panen 12 dan 16 hari. Umur panen ini merupakan puncak pertumbuhan dari Spirulina platensis. Jumlah biomassa Spirulina platensis umur panen 12 dan 16 hari adalah 31,76 gram dan 37,98 gram dalam 50 liter skala kultivasi. Jumlah biomassa Spirulina platensis pada umur panen 16 hari lebih besar dari pada umur panen 12 hari.

Barus (2012) mengatakan bahwa nilai optical density (OD) Spirulina platensis dengan media modifikasi teknis (MT), umur panen 12 hari merupakan fase n-log dan umur panen 16 hari merupakan fase awal stasioner pada pola pertumbuhan. Panji et al. (2005) melaporkan bahwa pertumbuhan Spirulina platensis pada fase pertumbuhan cepat (n-log) laju metabolisme berlangsung cepat. Umur panen 16 hari Spirulina platensis sudah memasuki fase pertumbuhan cepat. Metabolit primer Spirulina platensis cenderung mengikuti kurva pertumbuhan. Menurut Prihantini (2007), pada fase pertumbuhan cepat, ketersediaan unsur nitrogen dalam medium cukup besar sehingga biosintesis dan metabolisme sel juga cepat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Utomo et al. (2005) bahwa pertumbuhan cepat merupakan umur panen yang baik untuk menghasilkan metabolit sekunder dan komponen bioaktif terbaik.

Goldman (1979) diacu dalam Chrismadha (2006) menyatakan bahwa pola jumlah kepadatan sel Spirulina platensis dipengaruhi oleh faktor tumbuh (growth factors) yang diklasifikasikan sebagai faktor sumber daya (resource factors) dan faktor pendukung (non resource factors). Faktor sumberdaya terdiri dari sumberdaya yang secara langsung dipergunakan oleh sel-sel alga untuk pertumbuhannya, seperti unsur hara, cahaya dan CO2. Faktor pendukung terdiri dari faktor lingkungan yang mempengaruhi metabolisme dalam sel mikroalga, antara lain suhu dan pH.


(45)

Pada penelitian ini media yang digunakan adalah media pupuk modifikasi teknis (MT). Harga pupuk komersial (pupuk Walne) yang mahal menjadi dasar penggunaan pupuk MT. Komposisi pupuk MT disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan Spirulina platensis. Kurniasih (2001) menyatakan bahwa Spirulina platensis membutuhkan makronutrien (N, P, S, K, Si dan Ca) dan mikronutrien (Fe, Mo, Cu, Ca, Mn, Zn dan Co) yang dibutuhkan dalam jumlah yang lebih kecil tetapi harus ada dalam budidaya. Komponen makro dan mikronutrien ini memiliki peranan dalam pertumbuhan Spirulina platensis. Unsur C dan N dalam media berperan penting dalam pembentukan protein dan lemak pada Spirulina (Widianingsih et al. 2008). Nitrogen dan fosfor sangat berperan sebagai penyusun senyawa protein dalam sel yang berkaitan dengan sintesis protein termasuk klorofil-a dan pigmen lainnya (Chrismadha et al. 2006). Unsur Cu, Mn, Zn dan Fe dimanfaatkan sebagai kofaktor logam untuk aktivitas enzim superoksidase dismutase (SOD) pada pertumbuhan S. platensis. (Panji et al. 2005). Ethylenediaminetetraacetic Acid (EDTA) pada media dimanfaatkan sebagai chelator agar mikronutrien tetap larut di dalam media (Kurniasih 2001).

Spirulina platensis merupakan mikroalga yang tidak memiliki heterosis, sehingga spesies ini tidak mampu memfiksasi nitrogen dari udara. Pemenuhan kebutuhan nitrogennya sangat bergantung pada ketersediaannya dalam medium. Selain itu, menurut Andersen (2005), mikroalga juga membutuhkan mikronutrien organik berupa unsur vitamin yang menunjang pertumbuhannya, antara lain cobalamin (B12), thiamin (B1) dan biotin.

4.2 Fikosianin Spirulina platensis

Fikosianin adalah pigmen yang paling banyak pada alga hijau biru dan 20% dari berat kering alga. Fikosianin adalah pigmen dominan pada Spirulina (Richmond 1988). Nilai optical density (OD) dari biomassa Spirulina platensis dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai optical density (OD) tertinggi untuk ekstraksi fikosianin diperoleh dari ekstraksi yang menggunakan vortex, yaitu 1,013 (λ=615 nm) dan 0,463 (λ=652 nm). Berdasarkan hasil tersebut, penentuan kadar fikosianin untuk tahap penelitian


(46)

selanjutnya menggunakan metode ekstraksi penggunaan vortex (Bennet dan Bogoard 1973 diacu dalam Silveira et al. 2007).

Tabel 4 Nilai optical density (OD) Spirulina platensis dengan metode yang berbeda Metode λ = 615 nm λ = 652 nm Yield (gram)

Oven 0,225 0,191 0,25

Vortex 1,013 0,463 0,04

Shaker 0,751 0,344 0,04

Pelarut yang digunakan adalah bufer fosfat. Menurut Arlyza (2005), biomassa sel dari Spirulina platensis akan jauh lebih mudah larut dalam pelarut polar, seperti pada air dan larutan penyangga (bufer) terutama bufer fosfat bila dibandingkan dengan pelarut kurang polar seperti aseton dan kloroform.

Hasil ekstraksi fikosianin yang diperoleh dari sampel umur 12 dan 16 hari adalah 0,137 mg/mL dan 0,140 mg/mL. Berdasarkan hasil ekstraksi yang diperoleh, biomassa Spirulina platensis dengan umur panen 12 dan 16 hari memberikan nilai yang hampir sama. Namun, hasil biomassa Spirulina platensis dengan umur panen 16 hari lebih tinggi dari pada umur panen 12 hari. Hal ini diduga bahwa jumlah kepadatan Spirulina platensis dipengaruhi oleh jumlah suplai nitrogen yang dikonsumsinya dan berbanding lurus terhadap jumlah fikosianin yang terkandung di dalam biomassa sel. Arlyza (2005) menyatakan bahwa kekurangan atau penurunan nitrogen dapat menyebabkan tingkat selektif yang rendah pada kandungan fikosianin dalam fikobiliprotein. Faktor lain yang juga mempengaruhi kadar fikosianin biomassa adalah intensitas cahaya dan lama penyinaran. Hasil penelitian Chrismadha et al. (2006) menunjukkan bahwa kandungan nitrogen dan fosfor pada media memberikan pengaruh terhadap produktivitas fikosianin dengan kandungan fikosianin yang dicapai pada konsentrasi nitrogen 22,5 mM yaitu 1,2% berat kering dan konsentrasi fosfor 360 mM yaitu 1,1% berat kering.

4.3 Hasil Analisis Inhibisi Enzim α-Glukosidase Spirulina platensis

Uji inhibisi terhadap enzim α-glukosidase dilakukan untuk mengetahui kemampuan Spirulina platensis sebagai antihiperglikemik. Daya hambat terhadap


(47)

aktivitas α-glukosidase dilihat secara pseudo-substrat dengan mengetahui kemampuan sampel untuk menghambat reaksi hidrolisis glukosa pada substrat p-nitrofenil- α-D-glukopiranosa (pNG). Substrat akan terhidrolisis menjadi α-D-glukosa dan p-nitrofenol yang berwarna kuning. Reaksi yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Reaksi hidrolisis pNG oleh enzim α-glukosidase (Sutedja 2003 diacu dalam Sugiwati 2005).

Warna kuning yang dihasilkan oleh p-nitrofenol menjadi indikator kemampuan inhibitor untuk menghambat reaksi yang terjadi. Semakin besar kemampuan inhibitor untuk menghambat maka produk yang dihasilkan semakin sedikit atau warna larutan setelah inkubasi lebih cerah dibandingkan dengan larutan tanpa inhibitor (Basuki et al. 2002). Nilai inhibisi α-glukosidase biomassa kering umur 12 dan 16 hari dapat dilihat pada Tabel 5, sedangkan nilai inhibisi enzim α -glukosidase fikosianin umur 12 dan 16 hari dapat dilihat pada Tabel 6.

Sistem reaksi enzim yang diujikan dengan terlebih dahulu menginkubasi substrat dan ekstrak dalam pelarut buffer fosfat pada suhu 37°C selama 5 menit. Hal

ini dilakukan untuk menyamakan suhu substrat dengan suhu optimum enzim α -glukosidase, kemudian ketika enzim ditambahkan ke dalam sistem dan diinkubasi kembali maka reaksi enzimatis akan segera terjadi.

Sampel biomassa kering Spirulina platensis umur panen 12 dan 16 hari dengan konsentrasi 2000 ppm menghambat kerja enzim α-glukosidase sebesar 16% dan 33%. Kemampuan inhibisi dengan nilai tertinggi dari sampel yang diuji adalah biomassa kering Spirulina platensis dengan umur panen 16 hari. Umur kultur 16 hari merupakan fase pertumbuhan cepat. Menurut Panji et al. (2005), fase pertumbuhan cepat menyebabkan laju metabolismenya, termasuk produksi enzim intraseluler maupun komponen bioaktif juga berlangsung maksimal. Spirulina platensis umur 16


(48)

hari merupakan fase awal stasioner mempunyai komponen aktif yang menghambat aktivitas enzim α-glukosidase lebih banyak.

Tabel 5 Nilai inhibisi enzim α-glukosidase biomassa kering umur 12 dan 16 hari Konsentrasi sampel

(ppm) % inhibisi 12 hari % inhibisi 16 hari

62,5 -28,536 -31,792

125 -45,849 -36,579

250 -80,135 -61,272

500 -79,112 -79,397

1000 -97,710 -94,286

2000 16,004 32,976

Fikosianin Spirulina platensis tidak memiliki kemampuan untuk menghambat

aktivitas enzim α-glukosidase (Tabel 6). Nilai inhibisi yang dihasilkan menunjukkan angka negatif pada setiap konsentrasinya. Hal ini diduga bahwa komponen aktif

inhibisi enzim α-glukosidase tidak terdapat pada biopigmen fikosianin Spirulina platensis. Hal ini sesuai dengan hasil pengujian fitokimia sampel biopigmen fikosianin yang menunjukkan negatif pada uji flavonoid dan fenol hidrokuinon yang merupakan bagian komponen aktif inhibisi enzim α-glukosidase.

Tabel 6 Nilai inhibisi enzim α-glukosidase fikosianin umur 12 dan 16 hari Konsentrasi sampel

(ppm) % inhibisi 12 hari % inhibisi 16 hari

62,5 -15,545 -22,448

125 -17,018 -21,477

250 -14,740 -26,268

500 -20,455 -22,462

1000 -17,783 -30,417

2000 -29,394 -25,051

Menurut Kim et al. (2006), efek hipoglikemik komponen bioaktif pada tanaman dapat mengembalikan fungsi sel pankreas sehingga dapat meningkatkan sekresi insulin, menghambat absorbsi glukosa di usus dan menghambat kerja enzim


(49)

α-amilase dan α-glukosidase. Kebanyakan tumbuhan yang mengandung senyawa bioaktif seperti glikosida, alkaloid, terpenoid, flavonoid, dan karotenoid mempunyai aktivitas antidiabetes.

Pada penelitian ini sampel dilarutkan dalam DMSO untuk biomassa kering dan larutan buffer untuk fikosianin dengan tujuan agar sampel dapat terlarut secara sempurna. Pengujian inhibisi acarbose dilakukan sebagai kontrol positif untuk hasil yang diberikan. Hasil pengujian acarbose dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Nilai inhibisi enzim α-glukosidase Acarbose Konsentrasi sampel

(ppm) % inhibisi

0,015625 0,750

0,03125 24,815

0,0625 35,667

0,125 55,000

0,25 72,233

0,5 75,858

Acarbose merupakan oligosakarida yang diperoleh dari proses fermentasi mikroorganisme Actinoplanes utahensis. Acarbose merupakan obat komersial dan dipasarkan di Indonesia dengan nama glukobay®. Obat ini digunakan untuk menghambat kerja enzim yang memecah karbohidrat menjadi glukosa (Lehninger 2004). Nilai inhibisi acarbose yang dihasilkan pada konsentrasi 0,5 ppm adalah 75,86%, artinya acarbose mampu menghambat kerja enzim α-glukosidase dengan menutup 75,86% sisi aktif enzim yang akan berikatan dengan substrat. Nilai inhibisi sampel pada konsentrasi 2000 ppm jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai inhibisi acarbose dengan konsentrasi 0,5 ppm. Menurut Reddy et al. (1999) diacu dalam Ngadiwiyana et al. (2011), senyawa dikatakan aktif apabila mempunyai nilai IC50 dibawah 50 ppm sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel biomassa kering Spirulina platensis tidak mempunyai potensi yang baik sebagai inhibisi enzim


(50)

Pada penderita diabetes melitus, penghambatan terhadap enzim yang berperan dalam hidrolisis karbohidrat menyebabkan penghambatan absorbsi glukosa sehingga menurunkan keadaan hiperglikemia. Zat yang dapat menghambat kerja enzim disebut zat penghambat atau inhibitor enzim. Penghambatan enzim dapat dibagikan menjadi dua jenis, yaitu penghambat yang bekerja secara tidak balik (irreversible) dan dapat balik (reversible). Penghambat irreversible yang bereaksi dengan atau merusak suatu gugus fungsional pada molekul enzim yang penting bagi aktivitas katalitiknya. Inhibitor terikat secara kovalen pada sisi aktif enzim dan membentuk kompleks enzim inhibitor yang bersifat tetap (Sugiwati 2005).

Penghambat reversible dibagi menjadi dua golongan, yaitu kompetitif dan non kompetitif. Penghambat kompetitif berlomba dengan substrat untuk berikatan dengan sisi aktif enzim, tetapi apabila sekali terikat maka tidak dapat diubah oleh enzim tersebut. Penghambat kompetitif dapat dibalikkan atau diatasi dengan meningkatkan konsentrasi substrat. Penghambat non kompetitif terjadi bila penghambat berikatan pada sisi enzim selain sisi tempat substrat berikatan, mengubah konformasi molekul enzim sehingga menurunkan aktivitas katalitik enzim (Lehninger 2004). Mekanisme kerja inhibisi dari biomassa kering Spirulina platensis terhadap enzim α-glukosidase yaitu mengikat enzim secara reversibel dan kompetitif. Inhibisi dengan inhibitor yang mempunyai tempat ikatan substrat pada enzim. Inhibitor mirip dengan substrat sehingga terjadi kompetisi antara substrat dan inhibitor (Liu et al. 2006).

Wulandari dan Irwanti (2011) mengungkapkan bahwa Arthrospira platensis (Spirulina platensis) memiliki bermacam-macam kemampuan biologis dan nutrisional selain memiliki kemampuan sebagai biomodulator dan imunomodulator. Arthrospira sp. juga berperan dalam regulasi metabolisme lipid dan karbohidrat dengan mengoreksi profil glukosa dan lipid pada hewan percobaan dan pasien diabetes. Polisakarida ekstraseluler biomassa kering mikroalga Porphyridium cruentum memiliki aktivitas antihiperglikemik dengan nilai inhibisi α-glukosidase 71,57 % (Rahman 2011).


(51)

4.4 Aktivitas Antioksidan Spirulina platensis

Aktivitas antioksidan diukur dengan melihat kemampuan biomassa kering dan fikosianin dari Spirulina platensis dalam menghambat aktivitas radikal bebas DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl). Diphenyl picrylhydrazyl (DPPH) adalah radikal bebas yang stabil dalam larutan berair atau larutan dalam metanol serta memiliki serapan yang kuat pada panjang gelombang 517 nm dalam bentuk teroksidasi (Masuda et al. 1999). DPPH mampu menerima elektron atau radikal hidrogen dari senyawa lain sehingga membentuk molekul diamagnetik yang stabil. Metode DPPH dipilih karena memiliki beberapa kelebihan yaitu sederhana, cepat dan mudah untuk skrening aktivitas penangkap radikal beberapa senyawa (Marxen et al. 2007), selain itu metode ini terbukti akurat, reliabel dan praktis (Prakash et al. 2007). Hasil aktivitas antioksidan terhadap biomassa sel Spirulina platensis pada umur 12 dan 16 hari dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11. Data inhibisi dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.

Gambar 10 Aktivitas antioksidan biomassa kering umur 12 hari.

y = 0,0429x - 5,1602 R² = 0,9392

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

0 200 400 600 800 1000 1200

In

h

ib

is

i (

%)


(52)

Gambar 11 Aktivitas antioksidan biomassa kering umur 16 hari.

Metanol dipilih sebagai pelarut karena dapat melarutkan kristal DPPH (Molyneux 2004). Senyawa antioksidan bereaksi dengan radikal DPPH melalui mekanisme penyumbangan atom hidrogen yang menyebabkan terjadinya peluruhan warna DPPH dari ungu menjadi kuning yang diukur pada panjang gelombang 517 nm. Hasil uji aktivitas antioksidan Spirulina platensis menunjukkan IC50 biomassa kering umur 12 hari yaitu 1.313,33 mg/L lebih tinggi dibandingkan dengan IC50 biomassa kering umur 16 hari yaitu 1.040,69 mg/L. Konsentrasi larutan biomassa kering Spirulina platensis yang diuji adalah sebesar 200, 400, 600, 800 dan 1.000 ppm. Konsentrasi tersebut diperoleh melalui proses pengenceran dari larutan stok biomassa kering Spirulina platensis 1.000 ppm. Hasil aktivitas antioksidan terhadap biopigmen fikosianin Spirulina platensis pada umur 12 dan 16 hari dapat dilihat pada Gambar 12 dan Gambar 13.

y = 0,0426x + 6,2919 R² = 0,9844

0 10 20 30 40 50 60

0 200 400 600 800 1000 1200

In

h

ib

is

i (

%)


(53)

Gambar 12 Aktivitas antioksidan fikosianin Spirulina platensis umur 12 hari.

Gambar 13 Aktivitas antioksidan fikosianin Spirulina platensis umur 16 hari.

Hasil uji aktivitas antioksidan fikosianin Spirulina platensis menunjukkan nilai IC50 fikosianin umur 12 hari yaitu 6.608,71 mg/L lebih rendah dibandingkan dengan nilai IC50 fikosianin umur 16 hari yaitu 15919 mg/L. Konsentrasi larutan fikosianin Spirulina platensis yang diuji adalah sebesar 200 ppm, 400 ppm, 800 ppm, 1.600 ppm dan 2.000 ppm. Konsentrasi tersebut diperoleh melalui proses pengenceran dari masing-masing larutan stok biomassa kering Spirulina platensis 2.000 ppm. Konsentrasi yang digunakan lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi biomassa kering. Hal ini bertujuan agar komponen aktif antioksidan fikosianin dapat bekerja maksimal. Aktivitas antioksidan dilihat dari nilai IC50 yang

y = 0,0076x + 3,7398 R² = 0,9893

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

0 500 1000 1500 2000 2500

In h ib is i ( %) Konsentrasi (ppm)

y = 0,0036x + 2,2439 R² = 0,9429

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 500 1000 1500 2000 2500

In h ib is i ( %) Konsentrasi (ppm)


(54)

dihasilkan. Semakin kecil nilai IC semakin besar aktivitas antioksidannya. Nilai IC50 dari tiap sampel yang diuji dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Nilai Inhibitory Concentration 50 (IC50) Spirulina platensis

Sampel IC50

Biomassa kering 12 hari 1.313,33 mg/L Biomassa kering 16 hari 1.040,69 mg/L Fikosianin 12 hari 6.608,71 mg/L Fikosianin 16 hari 15.919,00 mg/L

Aktivitas antioksidan biomassa kering Spirulina platensis umur 12 hari lebih kecil dari pada umur 16 hari, sedangkan aktivitas antioksidan fikosianin S. platensis umur 12 hari lebih besar dari pada umur 16 hari. Hal ini sesuai dengan uji fitokimia yang menunjukkan bahwa biomassa kering dan fikosianin Spirulina platensis tidak mengandung flavonoid. Pieta (2000) menyatakan bahwa flavonoid sangat berperan dalam aktivitas antioksidan karena flavonoid bekerja dengan memerangkap (scavenging) radikal bebas dan ROS seperti radikal anion superoksida, dan radikal bebas hidroksil. Antioksidan alami dapat berupa senyawa karotenoid, asam askorbat, fenol dan flavonoid. Spirulina platensis mengandung beberapa bahan aktif misalnya senyawa karotenoid, asam nikotinat, riboflavin (Vit B2), sianokobalamin (Vit B12), thiamin (Vit B1) dan pigmen.. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komponen fenol terdapat pada biomassa kering Spirulina platensis namun tidak pada fikosianin. Miranda et al. (1998) menyatakan komponen fenol hidrokuinon pada Spirulina platensis memiliki aktivitas antioksidan

Konsentrasi sampel yang digunakan untuk uji aktivitas antioksidan fikosianin dua kali lebih besar dari konsentrasi biomassa kering. Hal ini dilakukan agar komponen antioksidan pada sampel fikosianin terdeteksi. Oleh karena itu, aktivitas antioksidan dari fikosianin tidak dapat dibandingkan dengan aktivitas antioksidan biomassa kering. Adanya aktivitas antioksidan dari sampel mengakibatkan perubahan warna larutan DPPH dalam metanol yang semula berwarna violet pekat menjadi kuning pucat (Andayani et al. 2008).


(55)

Antioksidan pembanding yang digunakan adalah antioksidan sintetik tokoferol. Larutan tokoferol dibuat dengan konsentrasi 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm dan 8 ppm. Tokoferol (vitamin E) murni memiliki sifat kimia tidak berbau dan tidak berwarna, sedangkan tokoferol komersial biasanya berwarna kuning muda hingga kecoklatan. Pada penelitian ini tokoferol yang digunakan adalah tokoferol komersil. Vitamin E larut dalam lemak dan sebagian besar pelarut organik, tetapi tidak larut dalam air. Fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan yang mudah memberikan hidrogen dari gugus hidroksil (-OH) pada struktur cincin ke radikal bebas (Almatsier 2006). Aktivitas antioksidan vitamin E dapat dilihat pada Gambar 14. Nilai IC50 yang dihasilkan sebesar 49,55 mg/L. Hasil ini membuktikan bahwa aktivitas antioksidan yang dimiliki tokoferol sangat kuat dan jauh dari nilai IC50 yang dihasilkan Spirulina platensis yang diuji.

Gambar 14 Aktivitas antioksidan tokoferol.

Menurut Ariyanto (2006), tingkatan aktivitas antioksidan dengan metode DPPH adalah sangat kuat (IC50<50 µg/mL), kuat (IC50 50-100 µg/mL), sedang (IC50 101-150 µg/mL), lemah (IC50>150 µg/mL). Biomassa kering dan biopigmen fikosianin Spirulina platensis termasuk kategori antioksidan rendah karena mempunyai nilai IC50>150 µg/mL.

y = 5,493x + 2,441 R² = 0,987

0 10 20 30 40 50

0 2 4 6 8 10

%

I

nhi

bi

si


(56)

4.5 Senyawa Fitokimia Spirulina platensis

Biomassa kering dan ekstraksi fikosianin yang diperoleh diuji kandungan komponen bioaktif menggunakan metode uji fitokimia. Uji ini akan menunjukkan komponen bioaktif apa saja yang terlarut pada masing-masing pelarut. Fitokimia pada dasarnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bagian primer dan bagian sekunder, tergantung fungsinya pada metabolisme tanaman. Bagian primer terdiri dari gula, asam amino, protein dan klorofil. Bagian sekunder terdiri dari alkaloid, terpenoid, saponin, komponen fenol, flavonoid, tannin dan lain-lain (Koche et al. 2010). Hasil uji fitokimia pada biomassa kering dan ekstrak fikosianin Spirulina platensis dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Hasil analisis fitokimia biomassa kering dan fikosianin Spirulina platensis

Uji Fitokimia Biomassa kering (Kultur 12 hari) Biomassa kering (Kultur 16 hari) Fikosianin (Kultur 12 hari) Fikosianin (Kultur 16

hari) Keterangan

Alkaloid :

Dragendorff + + + + Endapan merah

atau jingga

Meyer + + + + Endapan putih

kekuningan

Wagner - - + + Endapan coklat

Steroid + + + +

Perubahan dari merah menjadi biru/hijau

Flavonoid - - - -

Lapisan amil alkohol warna merah/kuning/hijau

Saponin + + + + Terbentuk busa

Fenol

Hidrokuinon + + - -

Warna hijau atau hijau biru

Keterangan: (+) = terdeteksi; (-) = tidak terdeteksi

Adanya kandungan alkaloid ditandai dengan adanya endapan. Hal ini terjadi karena senyawa alkaloid mengandung atom nitrogen yang memiliki pasangan elektron bebas. Elektron bebas ini akan disumbangkan pada atom logam berat


(1)

(2)

Lampiran 1 Komposisi media Walne

Bahan Walne (gram/L)

NH4NO3 100

NaH2PO4 20

H3BO3 33,60

MnCl2 0,36

FeCl3 1,30

EDTA 45

Trace element 1 mL

Vitamin B12 1 μL

Trace element media Walne

Bahan Jumlah

(gram/L)

ZnCl2 2,1

CoCl2 2,0

(NH4)6Mo7O24 0,9

CuSO4 2,0

Lampiran 2 Inhibisi antioksidan biomassa kering Spirulina platensis Konsentrasi DPPH

(ppm)

Inhibisi (%)

Biomassa kering 12 hari Biomassa kering 16 hari

200 5,886 12,989

400 12,557 24,581

600 16,024 34,078

800 26,880 39,316


(3)

Lampiran 3 Inhibisi antioksidan fikosianin Spirulina platensis Konsentrasi DPPH

(ppm)

Inhibisi (%)

Fikosianin 12 hari Fikosianin 16 hari

200 4,603 2,039

400 7,399 4,341

800 9,733 5,460

1600 16,484 8,388

2000 18,361 8,882

Lampiran 4 Inhibisi antioksidan tokoferol Konsentrasi DPPH

(ppm)

Inhibisi (%) alfa-tokoferol

0 0,942

2 0,808 4 0,731 6 0,593 8 0,509


(4)

Lampiran 5 Sertifikat Uji inhibisi enzim α-Glukosidase

Keterangan :

S1 : U1, U2 Absorbansi

S0 : K-


(5)

(6)