Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

8

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan manusia, religi merupakan unsur yang teramat penting. Hal ini disebabkan karena religi telah mengambil tempat yang teramat besar dalam jiwa manusia. Kurft mengatakan bahwa kepercayaan adalah urusan hati, menyita seluruh hidup, berakar dalam jiwa manusia sebagai keseluruhan dengan segala ungkapan yang banyak seginya. 1 Dengan kepercayaan yang dimiliki, manusia menjawab pertanyaan yang timbul sebagai akibat dari berbagai pengalaman yang tidak dapat dimengerti, pengalaman yang timbul dalam konfrontasi dengan alam dan dalam kehidupan pribadi dan sekitarnya. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan terkadang tidak dapat dijawab misalnya adalah masalah upacara yang berkaitan erat dengan kepercayaan manusia. Kepercayaan bagi manusia menjadi suatu pegangan dalam meyakini sebuah upacara yang sifatnya mungkin bisa dikatakan supranatural yang berada di luar batas pemikirannya. Suparlan mengatakan bahwa kepercayaan merupakan suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan dalam suatu masyarakat dalam menginterpretasi atau memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai sesuatu yang gaib dan suci. 2 Pandangan 1 A.C. Kruyt, Keluarga Dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1976, h. 76 2 Ronald Robert ed, Agama; Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta : Rajawali Press, 1988, h. v - vi 9 terhadap adanya suatu dunia yang gaib dan suci yang sifatnya supranatural itu adalah sesuatu yang universal dalam setiap kepercayaan yang dimiliki manusia yang selanjutnya kepercayaan ini dapat diwujudkan dalam bentuk berbagai aktivitas upacara. Aktivitas dan tindakan religius tersebut yang diperagakan pada suatu upacara merupakan usaha manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan, dewa- dewa dan penghuni-penghuni dunia gaib lainnya. Tindakan-tindakan religius itu sendiri memang cenderung bersifat simbolis, sehingga dalam upacara itu dipahami dengan simbol-simbol. Hal tersebut pada dasarnya menguatkan dan membuat suatu kepercayaan menjadi nyata. Dalam hal ini C. Greetz mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : Agama adalah suatu sistem simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana-suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat dan tahan lama dalam diri manusia, dengan merumuskan konsep-konsep tentang suatu tatanan umum, eksistensi dan membungkus konsep-konsep itu dengan aura faktualitas, sehingga suasana-suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak nyata. 3 Upacara dengan segala perlengkapannya senantiasa mewujudkan emosi keagamaan yang menjadi perhatian anggota masyarakat. Penyelenggaraan upacara, selain berfungsi komunikatif juga dapat mensosialisasikan norma-norma dan nilai-nilai yang diajarkan oleh sistem kepercayaan. Sosialisasi memang dapat ditempuh dengan berbagai cara, tetapi upacara bersama adalah suatu cara yang mempercepat terjadinya sosialisasi. Hal ini bukan saja menampilkan materi dan tahap-tahap upacara, melainkan terkandung di dalamnya ungkapan-ungkapan 3 C. Greezt, Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta : Kanisius, 1992, h. 5 10 emosional yang merangsang terciptanya kekokohan norma dan nilai yang bersifat kohesif pada anggota masyarakat. Masyarakat Indonesia yang bersifat bhinneka terdiri dari berbagai suku yang tersebar di seluruh nusantara pada hakekatnya adalah eka atau satu adanya. Demikian pula agama-agama yang hidup dan berkembang di Indonesia bersifat bhineka yang terdiri dari agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu, Konghuchu dan Buddha serta setiap agama mempunyai kitab suci yang berbeda- beda. Walaupun agama tersebut tidak mungkin dapat dipersatukan, namun sebagai bangsa yang besar, seluruh umat beragama dapat dipersatukan di bawah landasan hukum Pancasila. Salah satu agama yang hidup dan berkembang di Indonesia serta berada di bawah landasan hukum Pancasila adalah agama Buddha. Agama Buddha merupakan salah satu agama yang hidup dan berkembang di Indonesia. Agama ini terdiri dari beberapa aliran yang terorganisir dalam majelis-majelis serta Sangha yang tergabung dalam perwalian umat Buddha Indonesia WALUBI. Ada tiga aspek yang menjadi kerangka dasar dari ajaran agama Buddha yaitu aspek Bakti, Saddha dan Sila. Mengenai aspek bakti, setiap aliran dalam agama Buddha memiliki perbedaan dalam hal cara pelaksanaan upacara kebaktian. Akan tetapi ada juga persamaan dan keseragaman pada saat mereka mengadakan upacara kebaktian tersebut. Aspek bakti ini terbagi ke dalam dua bagian yaitu : 4 Tata kebaktian menurut agama Buddha terdiri atas kebaktian umum yang dihadiri oleh Bhikkhu Sangha, kebaktian umum yang tidak dihadiri oleh Bhikkhu 4 Tim Penyusun Paritta Suci dan Penuntun Kebaktian dan Upacara , Jakarta : Departemen Agama RI, 1998, h. 1 - 2 11 Sangha, kebaktian pembukaan pendidikan agama Buddha dan kebaktian penutupan pendidikan agama Buddha. Sedangkan upacara menurut agama Buddha terdiri dari upacara suci waisak, upacara asaddha, upacara magha puja, upacara perkawinan, upacara kematian dan upacara kathina. 5 Tidak dapat dipungkiri bahwa memang setiap agama memiliki perayaan dan upacara keagamaan. Demikian pula dengan umat Buddha, memiliki berbagai upacara keagamaan berikut tata caranya yang wajib dilaksanakan untuk memohon kepada Tuhan agar senantiasa memberikan tuntunan, perlindungan dan kesejahteraan, baik lahir maupun batin. Oleh sebab itu, dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan, umat Buddha melaksanakan upacara kebaktian dan berbagai upacara lainnya dengan tujuan untuk dapat meningkatkan kehidupannya dalam melaksanakan sembahyang yang sudah seharusnya dilaksanakan oleh seluruh umat Buddha di manapun mereka berada. Salah satu upacara yang tidak kalah pentingnya bagi kalangan umat Buddha adalah upacara kathina. Dari beberapa kebaktian agama Buddha, upacara kathina 6 merupakan salah satu upacara penting dalam agama Buddha. Upacara ini dimaksudkan untuk menghormati dan merenungi sifat-sifat Sang Buddha. Para umat Buddha diharapkan dapat saling asih, saling asuh dan saling asah, demi solidaritas dan kelangsungan agama Buddha – Sasana. Di samping itu, upacara kathina mendorong seorang Bhikkhu menjadi bhikkhu yang baik dan taat pada Vinaya 5 Suwarno T., Buddha Dharma Mahayana, Jakarta : Majelis Agama Buddha Indonesia, 1999, h. 15 6 Upacara kathina merupakan upacara pemberian jubah kepada Sangha. Lihat Warta Visudha , No. 4, Edisi Oktober 1990, h. 3 12 serta mendorong umat yang baik serta taat pada sila. Hal ini sesuai dengan sabda Sang Buddha : “Engkaulah yang harus mengingatkan dan memeriksa dirimu sendiri. Oh Bhikkhu, bila engkau dapat menjaga dirimu sendiri dan selalu sadar, maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan ”. 7 Demikian sabda Sang Buddha yang tentunya sangat berkaitan dengan perayaan kathina. Adapun yang mendorong penulis untuk mengangkat ke permukaan tentang masalah ini dilandasi oleh beberapa hal yaitu : 1. Perayaan kathina merupakan praktek kehidupan beragama Buddha, yakni melaksanakan kewajiban umat terhadap Sangha. Para rahib Buddha tidak mengucilkan diri, namun mengabdikan diri kepada masyarakat luas. 2. Upacara kathina memiliki keunikan tersendiri, bahwa upacara ini tidak dapat diselenggarakan tanpa kehadiran bhikhu. 3. Sejauh pengamatan penulis, masalah ini belum pernah dibahas oleh mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Perbandingan Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Berangkat dari pola pikir di atas, penulis merasa tertarik untuk menuangkan sebuah obsesi yang terdapat dalam diri penulis yang kemudian diwujudkan dalam bentuk skripsi yang diberi judul : “UPACARA KATHINA DALAM AGAMA BUDDHA Studi Kasus pada Vihara Buddha Metta Arama Menteng-Jakarta” . Topik ini menarik untuk dikaji, karena implikasinya sangat 7 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Budhis 1996 – 2026, Jakarta : Yayasan Dhammadiepa Arama, 1997, Cet. ke-1, h. 29 13 luas sehingga dapat dijadikan gambaran bagi umat lain untuk mengeluarkan dana dalam melakukan kebajikanjasa sepanjang hayatnya.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah