BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gender adalah perbedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikonstruksikan oleh masyarakat sesuai
dengan perkembangan zaman akibat konstruksi sosial Widyastuti, et al. 2009. Laki-laki dan perempuan di semua lapisan masyarakat memainkan
peranyang berbeda, mempunyai kebutuhan yang berbeda dan menghadapi kendala yang berbeda pula. Gender berkaitan dengan peran dan tanggung jawab antara
perempuan dan laki-laki. Hal ini ditentukan oleh nilai-nilai sosial budaya yang berkembang Ramadhani, 2009.
Di zaman Yunani Kuno pada kalangan kerajaan, mereka menempatkan perempuan sebagai makhluk yang terkurung dalam istana. Kalangan di bawahnya
menjadikan perempuan bebas diperdagangkan. Saat perempuan sudah menikah, suami berhak melakukan apa saja terhadap istrinya. Pada peradaban Romawi
perempuan kedudukannyadi bawah kekuasaan sang ayah, dimana setelah menikah berpindah kepada suami. Kekuasaan yang dimiliki sangatlah mutlak, sehingga
berhak menjual, mengusir, menganiaya bahkan sampai membunuh Widyastuti, et al. 2009.
Isu gender telah menjadi perbincangan di berbagai negara sejak tahun 1979 dengan diselenggarakannya konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan
tema The Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Agains Women CEDAW yang membahas tentang penghapusan segala bentuk
Universitas Sumatera Utara
diskriminasi terhadap perempuan. Hasil konferensi tersebut menjadi acuan dalam memperjuangkan Hak Asasi Perempuan HAP. Konferensi ini kemudian
diratifikasi kembali oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1984 menjadi Undang- undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap WanitaRamadhani, 2009. Menurut World Health Organization WHO, pada tahun 2007 sekitar
500.000 wanita hamil di dunia menjadi korban proses reproduksi setiap tahun. Sekitar 4 juta bayi meninggal karena sebagian besar penanganan kehamilan dan
persalinan yang kurang bermutu, sebagian besar kematian ibu dan bayi tersebut terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia. WHO memperkirakan 15 ribu
dari sekitar 4,5 juta wanita melahirkan di Indonesia mengalami komplikasi yang menyebabkan kematian Hidayat Sujiatini, 2009.
Bila dibandingkan Angka Kematian Ibu AKI di negara berkembang dan di negara maju sangatlah mencolok. Di negara maju, AKI hanyalah sekitar 26 per
100.000 kelahiran hidup, sedangkan di negara berkembang AKI mencapai angka ratusan per 100.000 kelahiran hidup. Dengan demikian ibu-ibu hamil di negara
berkembang berada pada resiko tinggi untuk menemui ajal sehubungan dengan kehamilannya dengan perbandingan 50-100 kali dibandingkan dengan ibu-ibu di
negara maju Achsin, et al.2003. Di negara miskin sekitar 25-50 kematian wanita usia subur disebabkan
hal yang berkaitan dengan kehamilan. Kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor mortalitas wanita muda pada puncak produktivitasnya Hidayat
Sujiatini, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Angka kematian ibu di Indonesia mengalami pasang surut. Berdasarkan data WHO, angka kematian ibu di Indonesia pada tahun 2000 adalah 390 per
100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2005 mengalami penurunan sebesar 270 per 100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 220
per 100.000 kelahiran hidup WHO, 2010. Angka kematian ibu dilahirkan di Indonesia termasuk tertinggi di kawasan
Asia. Reformasi selama hampir 6 tahun berjalan tidak memperbaiki persoalan perempuan Indonesia. Kasus kekerasan, perdagangan, tekanan budaya dan adat
istiadat, rendahnya pendidikan, serta dominasi kaum pria dalam rumah tangga masih terjadi. Pemerintah daerah belum memiliki kesungguhan mengangkat
harkat dan kebijakan perempuan secara keseluruhan terutama menekan angka kematian ibu melahirkan Widyastuti, et al. 2009.
Menurut hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2012, angka kematian ibu meningkat dari 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007
menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2012 Tribun, 2013 ¶ 1. Kenaikan tajam ini harus dilihat komprehensif dari sisi pemenuhan
kebutuhan layanan reproduksi perempuan. Meskipun tersedia fasilitas layanan kesehatan bagi ibu hamil dan melahirkan, tidak serta-merta perempuan dapat
mengakses. Relasi kuasa dalam rumah tangga dan masyarakat dapat membuat perempuan tidak dapat mengambil keputusan atas kebutuhan reproduksinya
sendiri Tribun, 2013 ¶ 2. Menurut pakar sosial Linda Rahmawati, pembangunan sektor masyarakat
merupakan salah satu andalan keberhasilan program pemerintah sejak masa orde baru, sehingga kalau angka kematian ibu meningkat maka pertanyaan besarnya
Universitas Sumatera Utara
adalah seberapa besar kegagalan program puskesmas, posyandu dan program penerangan kesehatan selama ini Tribun, 2013¶ 3.
Menurut data profil kabupatenkota Departemen Kesehatan tahun 2007, jumlah penduduk di Sumatera Utara sebesar 12.855.845 jiwa dimana jumlah
penduduk laki-laki 6.397.970 jiwa dan penduduk perempuan 6.457.875. dari data tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak jumlah penduduk perempuan
dibandingkan dengan laki-laki. AKI di Sumatera Utara pada tahun 2007 yaitu sebesar 132100.000 kelahiran hidup Depkes RI, 2007.
Tingginya angka kematian ibu maternal yang berhubungan dengan kelahiran, persalinan dan nifas, bukan semata-mata dipengaruhi oleh faktor derajat
kesehatan, tapi tak kalah pentingnya pengaruh faktor-faktor di luar bidang kesehatan. Mc. Carthy dan Maine 1992 dan Tinker dan Koblinsky 1993
mengajukan konsep yang mengaitkan morbiditas dan mortalitas maternal dengan 3 hal yaitu determinasi dekatlangsung, determinasi antara dan determinasi
jauhtidak langsung. Determinasi dekatlangsung termasuk padanya kehamilan, komplikasi kehamilan, persalinan dan postpartum. Determinan dekatlangsung
dapat dipengaruhi determinan antara, yaitu status reproduksi, status kesehatan, akses terhadap pelayanan kesehatan serta perilaku pelayanan kesehatan.
Selanjutnya determinasi antara dipengaruhi oleh determinasi jauhtidak langsung, seperti status wanita dalam keluarga dan masyarakat, tingkat pendidikan, sosial
ekonomi dan budaya Achsin, et al. 2003. Supriadi dan Siskel 2004, dalam Nurhayati, 2008, hal. 1 menyatakan
bahwa tingginya angka kematian ibu dilatarbelakangi oleh berbagai masalah salah satu diantaranya adanya masalah gender yaitu adanya ketidakmampuan
Universitas Sumatera Utara
perempuan dalam pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan kesehatan dirinya sendiri misalnya siapa yang menjadi penolong persalinan dan sebagainya.
Data dari Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia tahun 2005 menunjukkan bahwa kurangnya hak perempuan dalam
pengambilan keputusan terutama untuk kepentingan kesehatan dirinya misalnya dalam ber-KB, menentukan kapan akan hamil, memilih bidan sebagai penolong
persalinan atau mendapat pertolongan segera di rumah sakit ketika diperlukan, disamping kurangnya kesempatan untuk mendapatkan penghasilan bagi keluarga.
Tidak dapat dipungkiri bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih ada. Hal ini mengakibatkan timpangnya kesempatan, partisipasi, pengambilan
keputusan dan manfaat dari segi pendidikan, pemeliharaan kesehatan, kesempatan kerja, maupun akses terhadap perekonomian. Hal ini juga menghambat
perkembangan kemakmuran masyarakat dan menambah sulitnya perkembangan potensi kaum perempuan dalam pengabdiannya terhadap negara Ramadhani,
2009. Data dari Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di
Indonesia tahun 2005 menunjukkan bahwaAnak perempuan masih belum diprioritaskan untuk sekolah, sehingga tingkat pendidikan perempuan secara rata-
rata masih jauh lebih rendah dari pada laki-laki. Hal ini mengakibatkan sulitnya memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi dan tentang kesehatan secara
umum. Apabila pendidikan perempuan cukup tinggi, maka perempuan dapat meningkatkan rasa percaya diri, wawasan dan kemampuan untuk mengambil
keputusan yang baik bagi diri dan keluarga, termasuk yang berkaitan dengan kesehatan reproduksinya Komisi Kesehatan Reproduksi, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Azwar 2001, dalam Nurhayati, 2008, hal. 2 mengatakan bahwa adanya hambatan dalam akses pelayanan terhadap pelayanan kesehatan terutama dialami
oleh perempuan karena adanya status perempuan yang tidak mendapatkan izin dari suami serta pemegangan keputusan, siapa yang menolong persalinan istri
kebanyakan masih ditentukan oleh suami, sehingga terjadi subordinasi terhadap perempuan dengan keterbatasan perempuan dalam pengambilan keputusan untuk
kepentingan dirinya. ditinjau dari segi hak reproduksi jelas dinyatakan bahwa seriap orang baik laki-laki maupun perempuan tanpa memandang kelas, sosial,
suku, umur, agama dan lain-lain mempunyai hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab. Lebih praktisnya dapat dinyatakan bahwa
perempuan berhak mengambil keputusan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya.
Biro Pemberdayaan Perempuan Sekdapropsu 2001, dalam Nurhayati, 2008, hal. 1mengatakan Saat ini pembangunan perempuan sedang ditingkatkan.
Kita dapat melihat kedudukan perempuan Indonesia dan berbagai peran dan posisi strategis. Keragaman peran tersebut menunjukkan bahwa perempuan Indonesia
merupakan sumber daya yang potensial apabila ditingkatkan kualitasnya dan diberikan kesempatan yang sama untuk berperan. Meskipun berbagai kemajuan
perempuan telah dapat terwujudkan, presentasi jumlah penduduk perempuan yang saat ini berhasil menduduki posisi strategis tetapi dalam posisi pengambilan
keputusan masih sangat kecil termasuk yang berkaitan dengan kesehatan dirinya sendiri.
Upaya untuk mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagian besar telah mencapai sasaran MDGs tahun 2015. Pada tahun 2011, rasio
Universitas Sumatera Utara
Angka Partisipasi Murni APM perempuanlaki-laki di tingkat Sekolah Dasar SD adalah 90,80; di tingkat Sekolah Menengah Pertama SMP adalah 103,45;
dan tingkat pendidikan tinggi adalah 97,82. Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia 15-24 tahun telah mencapai 99,95 pada
tahun yang sama. Peran bidan sangatlah penting khususnya dalam menurunkan AKI dan
AKB dalam proses melahirkan yang hingga saat ini masih tinggi. Karenanya, keahlian dan kecakapan seorang bidan menjadi bagian yang menentukan dalam
menekan angka kematian saat melahirkan. Bidan diharapkan mampu mendukung usaha peningkatan derajat kesehatan masyarakat yakni melalui peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan terutama dalam perannya mendukung pemeliharaan kesehatan kasus ibu saat mengandung hingga membantu proses kelahiran
Hidayat Sujiatini. 2009. Berdasarkan hasil penelitian indepth interview yang dilakukan oleh
Fibriana, Setyawan dan Palarto tahun 2007 di Kabuapten Cilacap diperoleh informasi bahwa ketika terjadi kegawat daruratan pada persalinan, pengambilan
keputusan masih berdasarkan pada budaya ‘berunding’, yang berakibat pada keterlambatan merujuk. Peran suami sebagai pengambilan keputusan utama juga
masih tinggi, sehingga pada saat terjadi komplikasi yang membutuhkan keputusan ibu segera dirujuk menjadi tertunda karena suami tidak berada di tempat. Kendala
biaya juga merupakan alasan terjadinya keterlambatan dalam pengambilan keputusan. Keterlambatan juga terjadi akibat ketidaktahuan ibu maupun keluarga
mengenai tanda bahaya yang harus segera mendapatkan penanganan untuk mencegah terjadinya kematian maternal.
Universitas Sumatera Utara
Budaya pasrah dan menganggap kesakitan dan kematian ibu sebagai takdir masih tetap ada dalam masyarakat, sehingga hal tersebut membuat anggota
keluarga dan masyarakat tidak segara mengupayakan secara maksimal penanganan kegawatdaruratan yang ada.
Keterlambatan mencapai tempat rujukan setelah pengambilan keputusan untuk merujuk ibu ke tempat pelayanan kesehatan yang lebih lengkap diambil.
Hal ini dapat terjadi akibat kendala geografi, kesulitan mencari alat transportasi, sarana jalan dan sarana alat transportasi yang tidak memenuhi syarat.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan terhadap ibu yang mengalami masa persalinan multigravida pada tahun 2008 di Rumah Bersalin Sari Simpang Limun
Medan Periode Januari-Februari 2008 oleh Nurhayati didapatkan data bahwa suami mempunyai peranan yang paling dominan dalam menentukan keputusan
dalam pengambilan tindakan dalam persalinan. Berdasarkan latar belakang diatas dan menurut survei awal yang penulis
lakukan pada bulan Januari tahun 2014 di Klinik Delima Medan, diperoleh datajumlah persalinan normal pada 3 bulan terakhir yaitu pada bulan Desember
sebanyak 10 persalinan normal anak pertama, bulan Januari sebanyak 15 persalinan normal anak pertama dan bulan Februari sebanyak 15 persalinan
normal anak pertama, dimana total dari jumlah persalinan dalam 3 bulan terakhiradalah sebanyak 40 persalinan. Dalam hal ini penulis tertarik untuk
melakukan penelitian lebih lanjut tentang Peran Gender dalam Pengambilan Keputusan Pelayanan Kebidanan Pada masa Persalinan Primigravida di Rumah
Sakit Mitra Sejati Medan Tahun 2014.
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah