34
E. Remaja Clubbers
Sarwono 2011 mengatakan bahwa batasan remaja yang mendekati batasan usia PBB adalah kurun usia 14
–24 tahun. Ichsan dan Handoyo 2014 mengatakan remaja clubber merupakan remaja yang menghibur diri karena mendapat tekanan
dari orang tua mereka. Solusi yang ditempuh untuk menghilangkan masalah tersebut yakni dengan cara berdugem. Ajakan dari teman-teman juga
mempengaruhi subjek karena akan membawa suasana baru dan semangat. Selain itu, permasalahan dalam keluarga mereka membuat remaja tersebut kesepian
karena tidak ada yang menemani mereka di rumah. Hal ini membuat para remaja memanfaatkan waktu luang mereka yang kosong tanpa keluarga dengan pergi ke
club. Kepenatan akan jadwal sekolah yang padat juga menjadi alasan mereka untuk pergi ke club. Noerham 2012 menambahkan bahwa remaja menjadi
clubber karena ingin mencari uang di dalam club itu sendiri. Selain itu, jauh dari orang tua seperti harus kos membuat mereka merasa bebas melakukan segala hal.
Hal ini juga berhubungan dengan rasa ingin tahu remaja yang cukup besar. Ichsan Handoyo 2014 mengatakan bahwa permasalahan dalam keluarga
membuat remaja clubber merasa kesepian karena tidak ada yang menemani di rumah karena orang tua sudah bercerai, dan tidak peduli lagi dengan anak. Remaja
clubber tinggal bersama dengan ibunya sedangkan ayahnya sudah menikah lagi dan sudah tidak peduli dengan anaknya. Ibu subjek mempunyai kesibukan bekerja
sehingga tidak ada yang mengawasi dan mengurusi. Tindakan dari orang tua untuk mengontrol anak juga tidak ada karena kurangnya pengawasan. Subjek
35
memanfaatkan waktu luangnya dengan cara memilih dugem sebagai media untuk menghabiskan waktu luang karena merasa kesepian.
Kondisi atau situasi dalam keluarga seperti kurangnya perhatian dan komunikasi yang berkaitan dengan eksistensi diri di dalam keluarga
mengakibatkan remaja mencari jalan keluar di luar lingkungan keluarga, yaitu lingkungan teman sebaya dan dengan cara berdugem Nindyastari, 2008. Hal
tersebut ditunjukkan apabila terjadi masalah dengan remaja clubber, maka mereka cenderung untuk mencari penyelesaian masalah dengan bercerita kepada teman
dibandingkan keluarga. Remaja clubber lebih mendapatkan kenyamanan di luar rumah. Hal ini juga disebabkan kemampuan mereka diakui dan dihargai saat
berada di luar rumah. Nindyastari 2008 melakukan penelitian pada tiga subjek remaja dimana subjek 1 dan 3 memiliki latar belakang kondisi yang kurang baik,
dimana kedua orang tua subjek harus terpisah. Terutama bagi subjek 3 yang menjadikan clubbing sebagai pelarian karena orang tuanya bercerai. Meskipun
orang tua subjek 3 sudah bercerai, ibu subjek 3 memberikan nasehat-nasehat yang bertujuan agar subjek terhindar dari hal-hal yang buruk berkaitan dengan dunia
malam namun yang terjadi adalah subjek melakukan hal-hal yang menyimpang di luar sepengetahuan ibunya.
Subjek 1 dan 2 memiliki kebebasan dalam menjalankan aktivitas termasuk melakukan aktivitas clubbing, bahkan subjek 2 tidak mendapatkan larangan untuk
merokok dan meminum alkohol. Orang tua subjek 2 lebih menegakkan norma- norma kecil seperti tidak boleh menyisakan makanan yang tinggal sedikit, atau
harus mengisi ulang botol minum yang sudah kosong.
36
F. Hubungan Antara Pola Pengasuhan Orang tua Dan Tingkat
Kemandirian Clubbers Usia Remaja
Remaja berasal dari istilah adolescence yang memiliki arti tumbuh untuk mencapai kematangan, baik mental, emosional, sosial, dan fisik Hurlock, 1994.
Pada masa ini pula timbul banyak perubahan yang terjadi, baik secara fisik maupun psikologis, seiring dengan tugas-tugas perkembangan yang harus
dipenuhi oleh remaja Hurlock, 1994. Kemandirian dianggap penting karena seseorang khususnya remaja berusaha untuk menyesuaikan diri secara aktif
dengan lingkungan Guritno dalam Monica, 2008. Kemandirian adalah suatu tindakan untuk mengatur perilaku, memilih dan memandu tindakan dan keputusan
sehingga dapat menghubungkan perilaku dan tujuan pribadi dan nilai. Hal tersebut berhubungan dengan kebebasan individu dalam fungsinya sebagai anggota
kelompok untuk mempengaruhi kinerja seseorang dan membantunya mencapai tujuan hidup sehingga akan sangat membantu baginya untuk mencapai hasil yang
maksimal dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Mutadin dalam Santosa Marheni, 2013 menjelaskan bahwa selama
masa remaja tuntutan terhadap kemandirian sangat besar dan jika tidak di respon secara tepat bisa menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi
perkembangan psikologis remaja di masa datang. Rice dalam Santosa Marheni, 2013 mengatakan bahwa pencapaian tingkat kemandirian pada masa
remaja merupakan suatu hal yang tidak mudah karena pada masa remaja terjadi pergerakan psikososial dari arah lingkungan keluarga menuju lingkungan luar
keluarga. Kondisi atau situasi dalam lingkungan keluarga yang tidak dapat
37
memberikan hubungan komunikasi yang baik dan bentuk perhatian yang cukup berkaitan dengan eksistensi diri remaja mengakibatkan remaja mencari jalan
keluar di luar lingkungan keluarga Nindyastari, 2008. Hubungan keluarga yang kurang harmonis membuat remaja melakukan aktivitas lain sebagai bentuk
pelarian, seperti pergi clubbing Nindyastari, 2008. Menurut Steinberg 1995, terdapat tiga dimensi kemandirian yaitu
emotional autonomy, behavioral autonomy, dan value autonomy. Emotional autonomy berhubungan dengan emosi, personal feelings, dan bagaimana cara
berhubungan dengan orang-orang di sekitar kita. Behavioral autonomy berhubungan dengan tindakan. Tipe otonomi ini merujuk pada kemampuan untuk
membuat keputusan sendiri, dan bertindak sesuai keputusan yang sudah diambil tadi. Value autonomy memiliki tingkah laku yang mandiri, dan kepercayaan dalam
spiritual, politik, dan moral. Banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian remaja, seperti kecerdasan
Blair dalam Suryadi Damayanti, 2003, pola asuh orang tua Baumrind dalam Bee, 1981, tingkat pendidikan orang tua Widjaja dalam Suryadi Damayanti,
2003, jumlah anak dalam keluarga dan sebagainya. Faktor yang paling mempengaruhi ialah pola pengasuhan orang tua di dalam keluarga Nuryoto
dalam Monica, 2008. Pola pengasuhan yang baik akan menghasilkan kemandirian yang baik pada remaja. Baumrind dalam Santrock, 2002
mengatakan bahwa pola asuh adalah segala bentuk dan proses yang tejadi antara orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang
akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Baurimnd
38
dalam Santrock, 2002 menekankan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial anak: otoriter, otoritatif, dan
permisif. Para ahli perkembangan berpendapat bahwa pengasuhan anak yang permisif terjadi dalam dua bentuk: permissive-indulgent dan permissive-
indifferent Santrock, 2002. Pola asuh otoriter memiliki ciri membatasi hak anak tetapi dituntut untuk
tanggung jawab, memberi hukuman berupa hukuman fisik, serta kontrol sangat ketat Aisyah, 2010. Pola pengasuhan otoriter yang diterapkan orang tua
merupakan sumber terjadi stress dan perasaan cemas yang dialami oleh remaja Puspitaningtyas, 2007. Remaja yang diasuh oleh pola asuh otoriter cenderung
merasakan emosi yang tidak terkontrol seperti mudah marah, sedih, dan kecewa Puspitaningtyas, 2007. Pola asuh otoriter juga membuat remaja selalu dirundung
kesedihan dan merasa masalah selalu menghampiri dirinya Puspitaningtyas, 2007. Hal tersebut menunjukkan ketidakmandirian secara emosional. Steinberg
1995 mengatakan remaja yang mandiri secara emosional adalah remaja yang mampu untuk mengelola emosinya sehingga tidak mudah untuk segera
menumpahkan perasaan. Pola asuh otoriter tidak memberi peluang pada anak untuk berbicara
Baumrind, dalam Santrock, 2002. Barnadib dalam Aisyah, 2010 mengatakan bahwa orang tua yang tidak membiarkan anak mengemukakan pendapat serta
mengutarakan perasaan-perasaan memberikan peluang pada anak untuk menjadi agresi. Adanya hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku agresi remaja itu
dikarenakan keluarga yang suka melakukan hukuman terutama hukuman fisik