Hubungan antara pola pengasuhan orang tua dan tingkat kemandirian clubbers usia remaja.

(1)

DAN TINGKAT KEMANDIRIAN REMAJA CLUBBERS

Vienna Aniella Nauli

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter,

permissive – indulgent, dan permissive indifferent dengan kemandirian emosional, perilaku, dan

nilai pada remaja clubber. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan positif antara pola asuh otoritatif dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai remaja clubber.

Subjek penelitian ini adalah remaja dengan kriteria seorang clubbers berusia sekitar 15 tahun sampai 24 tahun. Koefisien reliabilitas pola asuh dari yang tertinggi sampai yang terendah, yaitu 0,904 untuk pola asuh otoritatif, 0,821 untuk pola asuh otoriter, 0,797 untuk pola asuh

permissive-indifferent, dan 0,606 untuk pola asuh permissive-indulgent.

Hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji statistika spearman, menunjukkan tidak adanya hubungan antara pola asuh otoriter, permissive – indulgent, dan permissive indifferent

dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai (p > 0,05). Selain itu, Hasil uji hipotesis dengan menggunakan spearman, menunjukkan tidak adanya hubungan negatif antara pola asuh otoritatif dengan kemandirian emosional remaja clubbers (p > 0,05).


(2)

Vienna Aniella Nauli

ABSTRACK

This study aimed to determine the relationship between authoritarian parenting, permissive - indulgent, and permissive indifferent to emotional independence, behaviors, and values in young clubber. In addition, this study aimed to determine the negative relationship between authoritative parenting with emotional independence, behaviors, and values teenage clubber.

The subjects were adolescents with a criterion clubbers around 15 years old to 24 years old. Reliability coefficient parenting from the highest to the lowest is 0.904 for authoritative parenting, 0.821 for authoritarian parenting, permissive parenting 0.797 for-indifferent, and 0.606 for the permissive-indulgent parenting.

The results showed no relationship between authoritarian parenting, permissive - indulgent, and permissive indifferent to emotional independence, behaviors, and values (p> 0.05). In addition, the results of hypothesis testing used Spearman, indicating the absence of a negative relationship between authoritative parenting adolescents with emotional independence clubbers (p> 0.05).


(3)

TINGKAT KEMANDIRIAN REMAJA CLUBBERS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Vienna Aniella Nauli

109114060

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

Saya mempersembahkan hasil perjuangan saya ini kepada:

“orang tua saya yang saya sayangi, lalu untuk opung boru saya dan

opung doli saya, beserta oma saya karena berkat dukungan dan doa-doa

mereka, saya berhasil menyelesaikan ini, mereka adalah orang-orang

yang memiliki peran penting dalam hidup saya”


(7)

HALAMAN MOTTO

Opung boru saya pernah berkata:

“Saat kamu sudah memulai segala sesuatu

dari

start

,

maka kamu

harus menyelesaikannya sampai

finish

. Jangan pernah kamu

berhenti di tengah-

tengah”


(8)

(9)

DAN TINGKAT KEMANDIRIAN REMAJA CLUBBERS

Vienna Aniella Nauli

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter,

permissive – indulgent, dan permissive indifferent dengan kemandirian emosional, perilaku, dan

nilai pada remaja clubber. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan positif antara pola asuh otoritatif dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai remaja clubber.

Subjek penelitian ini adalah remaja dengan kriteria seorang clubbers berusia sekitar 15 tahun sampai 24 tahun. Koefisien reliabilitas pola asuh dari yang tertinggi sampai yang terendah, yaitu 0,904 untuk pola asuh otoritatif, 0,821 untuk pola asuh otoriter, 0,797 untuk pola asuh

permissive-indifferent, dan 0,606 untuk pola asuh permissive-indulgent.

Hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji statistika spearman, menunjukkan tidak adanya hubungan antara pola asuh otoriter, permissive – indulgent, dan permissive indifferent

dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai (p > 0,05). Selain itu, Hasil uji hipotesis dengan menggunakan spearman, menunjukkan tidak adanya hubungan negatif antara pola asuh otoritatif dengan kemandirian emosional remaja clubbers (p > 0,05).

Kata kunci : kemandirian, pola asuh


(10)

Vienna Aniella Nauli

ABSTRACK

This study aimed to determine the relationship between authoritarian parenting, permissive - indulgent, and permissive indifferent to emotional independence, behaviors, and values in young clubber. In addition, this study aimed to determine the negative relationship between authoritative parenting with emotional independence, behaviors, and values teenage clubber.

The subjects were adolescents with a criterion clubbers around 15 years old to 24 years old. Reliability coefficient parenting from the highest to the lowest is 0.904 for authoritative parenting, 0.821 for authoritarian parenting, permissive parenting 0.797 for-indifferent, and 0.606 for the permissive-indulgent parenting.

The results showed no relationship between authoritarian parenting, permissive - indulgent, and permissive indifferent to emotional independence, behaviors, and values (p> 0.05). In addition, the results of hypothesis testing used Spearman, indicating the absence of a negative relationship between authoritative parenting adolescents with emotional independence clubbers (p> 0.05).

Keywords: autonomy, parenting


(11)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA

ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN

AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Vienna Aniella Nauli

1091 14060 Nama

Nomor Mahasiswa :

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Hubungan antara pola pengasuhan orang tua

pada kemandirian remaja clubbers

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan

kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma

hak untuk

menyimpan, mengalihkan bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk

kepentingan akademis tanpa perlu memrntaizindari saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal :

Yang menyatakan,

ml, saya

lh Nauli


(12)

Ungkapan rasa syukur penulis tujukan untuk Tuhan yang Maha Esa atas berkat rahmat kebijaksanaan yang Dia berikan kepada penulis. Rahmat kebijaksanaa dariNya membuat penulis dapat menyelesaikan skripsi penulis yang berjudul “Hubungan Antara Pola Pengasuhan Orang tua Pada Kemandirian Remaja Clubbers” dengan sebaik-baiknya.

Penulis juga sangat berterima kasih kepada para dosen baik dosen pembimbing maupun dosen penguji yang telah rela meluangkan waktunya untuk membimbing penulis sehingga dapat melengkapi kekurangan yang penulis miliki.

Selanjutnya, ucapan terima kasih penulis tujukan pada:

1. Orang tua penulis yang selalu mendukung penulis dalam setiap proses penulisan skripsi dalam bentuk dukungan dan selalu mendoakan keberhasilan penulis.

2. Bapak/Ibu dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membimbing penulis selama proses perkuliahan dari awal semester hingga akhir semester.

3. Rekan-rekan mahasiswa di Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang mendukung saya dengan memberikan banyak masukan terkait skripsi saya.

4. Sahabat-sahabat penulis di Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang terdiri dari Daning, Pudji, Ghea, Fiona, Esti, Lusi, Lolla, Pinno, Tista yang selalu


(13)

5.

6.

mendukung penulis

dari

awal semester hingga saya mencapai tahap

nenulislllkripsi.

Sahabat-sahabat penulis di di Gereja yang terdiri dari Evi, Yanti, Paskah,

Tiffany yang selalu memberikan dukungan dalam bentuk apapun sehingga membuat penulis termotivasi untuk menyelesaikan skripsi.

Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi saya.

Masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi penulis sehingga

penulis membutuhkan

kritik

dan

saran

yang

bersifat membangun demi

kesempurnaan skripsi ini.

Yogyakarta, art2015


(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACK ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 16

BAB II LANDASAN TEORI ... 18

A. Kemandirian (Autonomy) ... 18


(15)

1. Definisi Kemandirian ... 18

2. Dimensi Kemandirian ... 20

a) Kemandirian Emosional (Emotional Autonomy) ... 20

b) Kemandirian Behavioral (Behavioral Autonomy) . 22 c) Kemandirian Nilai (Values Autonomy) ... 23

B. Perkembangan Kemandirian ... 26

C. Faktor-Faktor Kemandirian ... 27

D. Gaya Pengasuhan ... 29

1. Definisi Gaya Pengasuhan ... 29

2. Bentuk-bentuk Pengasuhan ... 31

a) Pengasuhan otoriter (authoritarian parenting) ... 32

b) Pengasuhan otoritatif (authoritative parenting) ... 32

c) Pengasuhan permissive-indulgent ... 33

d) Pengasuhan permissive-indifferent ... 33

E. Remaja Clubbers ... 34

F. Hubungan Antara Pola Pengasuhan Orang tua Dan Tingkat Kemandirian Clubbers Usia Remaja ... 36

G. Hipotesis ... 45

BAB III METODE PENELITIAN ... 50

A. Jenis Penelitian ... 50

B. Variabel Penelitian ... 50

1. Variabel dependen ... 50


(16)

2. Variabel independen ... 50

C. Definisi Operasional ... 50

1. Kemandirian ... 50

2. Pola pengasuhan ... 51

D. Subjek Penelitian ... 52

E. Metode Dan Alat Pengumpulan Data ... 53

1. Metode ... 53

2. Alat Pengumpulan Data ... 53

a) Kemandirian ... 53

b) Pola Asuh ... 55

F. Validitas, Seleksi Item, Dan Reliabilitas ... 57

1. Validitas Skala ... 57

2. Seleksi Item ... 58

a) Skala Kemandirian ... 58

b) Skala Pola Asuh ... 58

3. Reliabilitas ... 65

a) Skala Kemandirian ... 65

b) Skala Pola Asuh ... 65

G. Pengkategorian Pola Asuh ... 66

H. Analisis Data ... 68

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 69

A. Persiapan Penelitian ... 69

1. Uji coba alat ukur ... 69


(17)

B. Pelaksanaan Penelitian ... 70

C. Hasil Penelitian ... 70

1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 70

2. Deskripsi Data Penelitian ... 72

a) Data kemandirian ... 72

b) Data pola asuh orang tua ... 72

3. Uji asumsi data penelitian ... 72

a) Uji normalitas ... 73

b) Uji Linearitas ... 75

c) Uji Hipotesis ... 80

D. Pembahasan ... 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

A. KESIMPULAN ... 87

B. SARAN ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 91 LAMPIRAN


(18)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Karakteristik Anak Berdasarkan Pola Asuh ... 33

Tabel 2: Blueprint Skala Kemandirian Sebelum Uji Coba ... 54

Tabel 3: Blueprint Pola Asuh ... 56

Tabel 4: Blueprint Pola Asuh Orang Tua Sebelum Uji Coba ... 56

Tabel 5: Blueprint Skala Kemandirian Setelah Uji Coba ... 58

Tabel 6: Blueprint Skala Kemandirian Untuk Penelitian ... 60

Tabel 7: Blueprint Skala Pola Asuh Setelah Uji Coba ... 63

Tabel 8: Blueprint Skala Pola Asuh Untuk Penelitian ... 64

Tabel 9: Deskripsi Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 71

Tabel 10: Tabel Deskripsi Usia Subjek Penelitian ... 71

Tabel 11: Tabel Data Kemandirian Subjek ... 72

Tabel 12: Tabel Data Pola Asuh Orangtua ... 72

Tabel 13: Ringkasan Sebaran Distribusi Variabel Kemandirian ... 73

Tabel 14: Ringkasan Sebaran Distribusi Variabel Pola Asuh ... 74

Tabel 15: Ringkasan Uji Linearitas Pola Asuh dengan Kemandirian Emosional ... 75

Tabel 16: Ringkasan Uji Linearitas Pola Asuh dengan Kemandirian Perilaku ... 77

Tabel 17: Ringkasan Uji Linearitas Pola Asuh dengan Kemandirian Nilai ... 78


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Grafik Persentase jumlah pengunjung klub malam ... 3 Gambar 2. Skema Hubungan antara pola asuh otoriter

dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai ... 46 Gambar 3. Skema Hubungan antara pola asuh permissive - indulgent dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai ... 47 Gambar 4. Skema Hubungan antara pola asuh permissive - indifferent dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai ... 48 Gambar 5. Skema Hubungan antara pola asuh otoritatif

dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai ... 49


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A: Skala Kemandirian Dan Skala Pola Asuh ... 94 Lampiran B: Reliabilitas Uji Coba Dan Penelitian ... 107 Lampiran C: Uji Normalitas Dan Uji Linearitas ... 128


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Remaja berasal dari istilah adolescence yang memiliki arti tumbuh untuk mencapai kematangan, baik mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1994). Pada masa ini ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis dan sosialnya (Hurlock, 1994). Pada masa ini pula timbul banyak perubahan yang terjadi, baik secara fisik maupun psikologis, seiring dengan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja (Hurlock, 1994). Kemandirian dianggap penting karena seseorang khususnya remaja berusaha untuk menyesuaikan diri secara aktif dengan lingkungan (Guritno dalam Monica, 2008). Tanpa kemandirian usaha penyesuaian diri tidak mungkin berhasil untuk mempengaruhi dan menguasai lingkungan, tapi sebaliknya akan dipengaruhi dan dikuasai lingkungan (Guritno dalam Monica, 2008). Dengan kata lain, kemandirian merupakan modal dasar bagi manusia dalam menentukan sikap dan perbuatan terhadap lingkungan (Guritno dalam Monica, 2008).

Mutadin (dalam Santosa & Marheni, 2013) menjelaskan bahwa selama masa remaja tuntutan terhadap kemandirian sangat besar dan jika tidak di respon secara tepat bisa menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologis remaja di masa datang. Rice (dalam Santosa & Marheni, 2013) mengatakan bahwa pencapaian tingkat kemandirian pada masa remaja merupakan suatu hal yang tidak mudah karena pada masa remaja terjadi


(22)

pergerakan psikososial dari arah lingkungan keluarga menuju lingkungan luar keluarga. Kondisi atau situasi dalam lingkungan keluarga yang tidak dapat memberikan hubungan komunikasi yang baik dan bentuk perhatian yang cukup berkaitan dengan eksistensi diri remaja mengakibatkan remaja mencari jalan keluar di luar lingkungan keluarga (Nindyastari, 2008). Hubungan keluarga yang kurang harmonis membuat remaja melakukan aktivitas lain sebagai bentuk pelarian, seperti pergi clubbing (Nindyastari, 2008).

Clubbing adalah bentuk aktivitas yang dilakukan oleh remaja dengan

kegiatan bersenang-senang ke tempat hiburan yang sedang menjadi trendsetter seperti kafe dan diskotik (Ichsan & Handoyo, 2014). Hal yang perlu diperhatikan mengenai aktivitas ini adalah bahwa clubbing memiliki dua persepsi dari masyarakat (Nindyastari, 2008). Pertama, aktivitas ini hanyalah suatu aktivitas untuk melepas stres, mencari kesenangan atau refreshing di akhir pekan (Ruz dalam Nindyastari, 2008). Kedua, aktivitas ini dipandang negatif karena menyertakan obat-obatan terlarang dan salah satu penghubung masuknya seks bebas (Stevenio dalam Nindyastari, 2008). Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari Panjaitan (2009) yang mengatakan bahwa clubbing identik dengan hal-hal negatif. Retno (dalam Nindyastari, 2008) mengungkapkan bahwa clubbing saat ini merupakan kehidupan malam remaja perkotaan yang sedang menjadi tren. Tempat-tempat clubbing mayoritas 50% pengunjung dipenuhi oleh anak muda berusia 25 tahun kebawah yang masih berstatus pelajar atau mahasiswa. Dengan kata lain, remaja masih ditemukan di klub malam. Berdasarkan survei dari


(23)

sekitar 19 tahun–40 tahun (90% dari total pengunjung keseluruhan), baik musisi atau pengunjung. Remaja yang peneliti gunakan sebagai subjek penelitian masuk dalam rentang umur yang peneliti sebutkan di atas. Mereka mempunyai kehidupan yang berbeda-beda dalam kehidupan bermasyarakat sehari-harinya, dari yang berprofesi sebagai mahasiswa, karyawan kantor, pengusaha, selebriti, atau bahkan seseorang yang bergelut dalam bidang musik.

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45% 50%

18-25 tahun (Pelajar, Mahasiswa)

26-34 tahun (Eksekutif Muda)

35-40 tahun (Profesional, pengusaha)

> 40 tahun (Profesional, pengusaha)

Nindyastari (2008) mengatakan bahwa lingkungan keluarga berperan besar pada kehidupan remaja. Dalam hasil penelitian tersebut terdapat tiga subjek penelitian dimana dua subjek diantaranya memiliki kebebasan untuk melakukan aktivitas clubbing (Nindyastari, 2008). Salah satu subjek juga tidak mendapatkan larangan untuk merokok dan meminum alkohol. Subjek yang lainnya sudah mendapatkan larangan dari orang tua untuk melakukan aktivitas clubbing karena akan memberikan dampak negatif (Nindyastari, 2008). Nasehat dari orang tua tidak dilakukan oleh subjek. Subjek justru melakukan hal-hal menyimpang di luar pengetahuan orang tuanya (Nindyastari, 2008).


(24)

Perilaku remaja dalam penelitian tersebut yang melanggar larangan orang tuanya untuk pergi clubbing merupakan ketidakmandirian secara emosional (Steinberg, 1995). Hal tersebut dapat dilihat dari ketidakmampuan remaja tersebut untuk berkomunikasi secara nyaman dengan orang tuanya sehingga menimbulkan pemberontakan (Steinberg, 1995). Liyansyah (2009) yang mengatakan bahwa remaja clubbers tetap pergi ke tempat clubbing pada jam malam, walaupun sudah dilarang oleh orang tua mereka. Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara emosional dapat menganggap orang tuanya sebagaimana individu pada umumnya sehingga dapat berhubungan secara baik.

Ichsan dan Handoyo (2014) mengatakan remaja clubber merupakan remaja yang menghibur diri karena mendapat tekanan dari orang tua mereka. Motif yang melatarbelakangi karena dalam keseharian sering dimarahi oleh orang tuanya tanpa alasan yang jelas (Ichsan; Handoyo, 2014). Solusi yang ditempuh untuk menghilangkan masalah tersebut yakni dengan cara pergi clubbing (Ichsan; Handoyo, 2014). Selain itu, permasalahan dalam keluarga mereka membuat remaja tersebut kesepian karena tidak ada yang menemani mereka di rumah (Ichsan; Handoyo, 2014). Hal ini membuat para remaja memanfaatkan waktu luang mereka yang kosong tanpa keluarga dengan pergi ke club (Ichsan; Handoyo, 2014).

Ajakan dari teman-teman untuk pergi clubbing juga mempengaruhi subjek. Teman-teman subjek mengatakan bahwa pergi clubbing akan membawa suasana baru dan semangat (Ichsan; Handoyo, 2014). Keputusan remaja dalam penelitian ini untuk mengikuti ajakan teman-teman demi membawa suasana baru dan


(25)

semangat merupakan salah satu bentuk ketidakmandirian secara perilaku. Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara perilaku mampu menghindari situasi konformitas.

Salah satu contoh kasus remaja clubber pada siswi kelas 3 di salah satu SMA Negeri di Medan yang melakukan clubbing mengatakan bahwa alasan atau motifnya mengikuti clubbing karena diajak oleh teman-temannya untuk berpesta di klub dan lambat laun menjadi ketagihan untuk clubbing (Panjaitan, 2009). Siswi yang mengikuti ajakan teman-temannya untuk pergi clubbing (konformitas) menunjukkan ketidakmandirian secara perilaku (Steinberg, 1995).

Seorang remaja bernama Bito (bukan nama sebenarnya) mengatakan bahwa ia berani terjun ke dunia malam karena penasaran dan lambat laun menjadi ketagihan (Panjaitan, 2009). Bito berasal dari keluarga yang kurang harmonis. Bito kurang kasih sayang dari orang tuanya karena orang tua Bito sibuk bekerja (Panjaitan, 2009). Hubungan Bito dengan saudara-saudaranya biasa saja (Panjaitan, 2009). Hal itu membuat Bito sering merasa kesepian karena ia juga hanya diasuh oleh pembantu dan tantenya (Panjaitan, 2009). Orang tua Bito tidak mempunyai cukup waktu untuk meluangkan waktu untuk mengurus anak. Orang tua tidak memiliki kontrol sama sekali terhadap Bito (Panjaitan, 2009). Pergaulan Bito di klub malam membuat Bito terjerumus ke hal negatif seperti, mabuk dan memakai narkoba. Bito menjadi biseksual dan menjalin hubungan dengan pria pengedar narkoba (Panjaitan, 2009). Perilaku Bito yang terjerumus ke hal negatif dan tidak menyadari resiko akibat perilakunya tersebut menunjukkan ketidakmandiriannya secara perilaku (Steinberg, 1995). Steinberg (1995)


(26)

mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara perilaku akan menyadari adanya resiko dari tingkah lakunya.

Noerham (2012) mengatakan bahwa remaja yang menjadikan clubbing sebagai alternatif pergaulannya lambat laun terjerumus ke dalam hal-hal negatif seperti merokok, mabuk, narkoba, dan free sex. Perilaku remaja yang tidak menyadari resiko dari perilaku negatifnya menunjukkan ketidakmandirian secara perilaku (Steinberg, 1995). Salah satu alasan remaja pergi clubbing karena keadaan keluarga yang broken home (Noerham, 2012). Kondisi atau situasi yang tegang di rumah dan hilangnya keharmonisan dalam keluarga memacu anak remaja untuk mencari kebahagiaan (Noerham, 2012). Broken home menjadi salah satu faktor karena remaja kurang mendapat kasih sayang, sibuknya orang tua atau dididik terlalu keras akan membuat mereka rapuh, sehingga mencari tempat yang lebih nyaman yang dapat menerima kekurangannya, mendapat perhatian, dan menawarkan kebebasan (Noerham, 2012).

Istilah broken home biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga yang tidak utuh atau tidak ideal, dimana orang tua tidak lagi peduli dengan situasi dan keadaan keluarga di rumah, tidak adanya perhatian orang tua terhadap anak remaja sehingga membuat si anak remaja menjadi mudah frustasi, brutal dan susah diatur, baik itu di rumah, sekolah, sampai pada perkembangan pergaulan anaknya di masyarakat (Noerham, 2012). Remaja yang mudah frustasi sangat sulit untuk mengelola emosinya sehingga menunjukkan ketidakmandirian secara emosional (Steinberg, 1995). Jika remaja sulit untuk mengelola emosi, maka remaja dapat menjadi brutal dan susah diatur baik di rumah atau di sekolah


(27)

sehingga remaja tidak menunjukkan kemandirian secara perilaku (Noerham, 2012). Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara perilaku mampu bertanggung jawab atas situasi yang dihadapi baik di rumah atau di sekolah.

Gea (2013) mengungkapkan alasan mahasiswa pergi ke klub malam untuk dugem berawal dari penasaran dan ajakan teman. Mereka takut dianggap tidak gaul dan ketinggalan zaman. Remaja yang mengikuti ajakan teman-temannya untuk pergi clubbing (konformitas) menunjukkan ketidakmandirian secara perilaku (Steinberg, 1995).

Noerham (2012) mengatakan bahwa remaja yang pergi clubbing sudah tidak lagi menghiraukan arti sebuah nilai dan norma yang di tanamkan kepada mereka sejak kecil, dimana mereka diajarkan agar menjadi sosok yang lembut, mandiri, sopan, dan yang lebih penting menjaga kehormatan keluarga, harga diri dan kesucian diri mereka. Hal ini menunjukkan remaja belum menunjukkan kemandirian secara nilai karena menghiraukan hal tersebut. Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara nilai mampu untuk mempertimbangkan konsekuensi yang akan diterima saat mengambil keputusan terkait norma dan nilai yang diajarkan.

Banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian remaja, seperti kecerdasan (Blair dalam Suryadi & Damayanti, 2003), pola asuh orang tua (Baumrind dalam Bee, 1981), tingkat pendidikan orang tua (Widjaja dalam Suryadi & Damayanti, 2003), jumlah anak dalam keluarga dan sebagainya. Faktor yang paling mempengaruhi ialah pola pengasuhan orang tua di dalam keluarga (Nuryoto dalam Monica, 2008). Pola pengasuhan yang baik akan menghasilkan kemandirian yang baik pada remaja. Baumrind (dalam Santrock, 2002)


(28)

mengatakan bahwa pola asuh adalah segala bentuk dan proses yang tejadi antara orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Baurimnd (dalam Santrock, 2002) menekankan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial anak: otoriter, otoritatif, dan

permisif. Para ahli perkembangan berpendapat bahwa pengasuhan anak yang

permisif terjadi dalam dua bentuk: indulgent dan

permissive-indifferent (Santrock, 2002)

Pola asuh otoriter memiliki ciri membatasi hak anak tetapi dituntut untuk tanggung jawab, memberi hukuman berupa hukuman fisik, serta kontrol sangat ketat (Aisyah, 2010). Pola pengasuhan otoriter yang diterapkan orang tua merupakan sumber terjadi stress dan perasaan cemas yang dialami oleh remaja (Puspitaningtyas, 2007). Remaja yang diasuh oleh pola asuh otoriter cenderung merasakan emosi yang tidak terkontrol seperti mudah marah, sedih, dan kecewa (Puspitaningtyas, 2007). Pola asuh otoriter juga membuat remaja selalu dirundung kesedihan dan merasa masalah selalu menghampiri dirinya (Puspitaningtyas, 2007). Hal tersebut menunjukkan ketidakmandirian secara emosional. Steinberg (1995) mengatakan remaja yang mandiri secara emosional adalah remaja yang mampu untuk mengelola emosinya sehingga tidak mudah untuk segera menumpahkan perasaan.

Pola asuh otoriter tidak memberi peluang pada anak untuk berbicara (Baumrind, dalam Santrock, 2002). Barnadib (dalam Aisyah, 2010) mengatakan bahwa orang tua yang tidak membiarkan anak mengemukakan pendapat serta


(29)

mengutarakan perasaan-perasaan memberikan peluang pada anak untuk menjadi agresi. Adanya hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku agresi remaja itu dikarenakan keluarga yang suka melakukan hukuman terutama hukuman fisik menyebabkan anak mempunyai sifat pemarah. Selain itu, anak yang ditekan karena aturan suatu saat akan meluapkan amarahnya sebagai perilaku agresi (Baumrind, dalam Aisyah 2010). Herbert (dalam Aisyah, 2010) berpandangan bahwa tingkah laku agresi menyebabkan luka fisik, psikis pada orang lain, atau yang bersifat merusak benda. Agresi merupakan salah satu bentuk ketidakmandirian secara perilaku karena remaja tidak memikirkan resiko dari tingkah laku agresinya (Steinberg, 1995).

Baumrind (dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa pola asuh otoriter tidak pernah memberi kesempatan pada anak untuk berpendapat. Hal tersebut menyebabkan remaja sulit diminta untuk menjelaskan sesuatu dengan bahasa mereka sendiri, dan melontarkan pertanyaan yang dilontarkan persis yang dicantumkan di buku (Rahmawati, 2007). Hal tersebut menunjukkan ketidakmandirian secara perilaku. Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara perilaku dapat dengan percaya diri dan berani untuk mengemukakan ide atau gagasan.

Hurlock (2004) mengatakan bahwa pola asuh otoriter untuk mendesak anak remaja mengikuti aturan yang sudah dibuat oleh orang tua, menetapkan disiplin ketat pada kehidupan anak. Anak yang tidak diberikan kesempatan untuk bereskplorasi orang tuanya, akan mencari hal-hal di luar keluarganya yang dapat lebih memberi dirinya kebebasan tanpa sepengetahuan orang tuanya. Petranto


(30)

(dalam Kustanti, 2014) mengatakan bahwa remaja yang diasuh secara otoriter memiliki kecenderungan untuk melanggar norma-norma yang diberikan. Remaja yang cenderung melanggar norma yang diajarkan belum mandiri secara nilai (Steinberg, 1995). Remaja yang mandiri secara nilai adalah remaja yang bertindak sesuai dengan prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan dalam bidang nilai (Steinberg, 1995)

Pola asuh permisif dibagi menjadi dua, yaitu permissive indulgent dan

permissive indifferent. Permissive – indulgent merupakan suatu gaya pengasuhan

di mana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali terhadap mereka (Baumrind, dalam Santrock, 2002). Pola asuh permisif yang tinggi juga menyebabkan remaja kurang dapat mengelola emosinya sendiri (Wahyuni, 2014). Apabila remaja kurang dapat mengelola emosinya, mudah untuk menumpahkan perasaannya, maka dapat dipastikan remaja tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain (Wahyuni, 2014). Baumrind (dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa pola asuh permisif menyebabkan anak jarang belajar menaruh hormat karena orang tua tidak memberi kontrol dalam kehidupan anak. Remaja yang mudah untuk menumpahkan perasaannya dan kurang dapat mengelola emosinya menunjukkan ketidakmandirian secara emosional (Steinberg, 1995). Steinberg (1995) mengatakan remaja yang mandiri secara emosional adalah remaja yang mampu untuk mengelola emosinya sehingga tidak mudah untuk segera menumpahkan perasaan.


(31)

Orang tua permissive – indulgent sangat terlibat dan memiliki kasih sayang

tinggi sehingga cenderung memanjakan (Wahyuni, 2014). Hal ini membuat remaja menjadi tidak bertanggung jawab (Wahyuni, 2014). Remaja yang belum mampu untuk bertanggung jawab atas dirinya dikatakan tidak percaya diri dalam menghadapi kehidupannya, sehingga dikatakan belum mandiri secara perilaku (Steinberg, 1995).

Pola asuh permissive – indulgent tidak mampu membedakan membuat anak

remaja tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah karena orang tua tidak mengajarkannya (Wahyuni, 2014). Remaja juga cenderung menyalahgunakan kebebasan bahkan jika mereka tahu itu salah karena orang tua sedikit memberi batasan atau kontrol kepada anak (Wahyuni, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa remaja belum mandiri secara nilai. Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara nilai adalah remaja yang memiliki kemampuan untuk memaknai seperangkat prinsip benar dan salah, serta penting dan tidak penting.

Permissive – indifferent merupakan merupakan suatu gaya dimana orang tua

sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak (Baumrind, dalam Santrock, 2002). Anak remaja dengan pola asuh permissive – indifferent belum memiliki perilaku bertanggung jawab karena cenderung berperilaku buruk terhadap orang lain (Mahmud, dalam). Remaja yang belum memiliki perilaku bertanggung jawab dikatakan belum mandiri secara emosional (Steinberg, 1995). Steinberg (1995) memberi istilah belum terindividuasi bagi perilaku yang belum bertanggung jawab.


(32)

Orang tua permissive – indifferent berkonsentrasi pada diri sendiri dan tidak

mempedulikan kebutuhan anak (Baumrind, dalam Santrock, 2002). Aisyah (2010) mengatakan bahwa saat anak tidak digubris oleh orang tuanya, anak cenderung mencari perhatian dengan cara melakukan perbuatan yang negatif. Apabila cara yang ditempuh dapat membuat anak mendapatkan reinforcement, maka anak akan terus melakukan perbuatan negatif (Aisyah, 2010). Saat anak mencari perhatian dengan melakukan perbuatan negatif tanpa memikirkan resiko yang terjadi, maka ini merupakan suatu bentuk ketidakmandirian secara perilaku (Steinberg, 1995).

Orang tua permissive – indifferent yang sama sekali tidak peduli pada

kehidupan anak membuat anak remaja kurang dapat membedakan nilai yang baik dan yang buruk (Monica, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa remaja belum mandiri secara nilai belum mampu untuk memaknai seperangkat prinsip benar dan salah, serta penting dan tidak penting (Steinberg, 1995)

Beberapa kasus mengenai kehidupan keluarga remaja yang pergi clubbing yang sudah peneliti uraikan sebelumnya, menunjukkan keluarga menerapkan pola asuh otoriter dan permisif. Pola asuh otoriter ini tampak dari perilaku orang tua dari remaja clubbers yang sering memarahi remaja tanpa alasan yang jelas sehingga remaja merasa stress dan penuh tekanan di dalam rumah (Ichsan; Handoyo, 2014). Ajakan dari teman-teman mempengaruhi remaja demi membawanya ke suasana baru dan menyenangkan daripada di rumahnya yang penuh stress dan tekanan ((Ichsan; Handoyo, 2014). Pola asuh permisif tampak dari pengabaian orang tua atas perilaku remaja sehingga remaja memiliki kebebasan untuk clubbing disertai dengan merokok dan meminum alkohol


(33)

(Nindyastari, 2008). Pengabaian orang tua juga terjadi sehingga membuat remaja melakukan clubbing karena merasa kesepian di rumahnya (Ichsan; Handoyo, 2014). Hal ini terjadi karena orang tua sibuk melakukan aktivitas tanpa mempedulikan remaja di rumah (Ichsan; Handoyo, 2014).

Dari beberapa contoh kasus mengenai remaja clubbers yang peneliti uraikan di atas, orang tua tampak tidak menerapkan pola asuh otoritatif pada remaja

clubbers. Oleh karena itu, peneliti menangkap kesempatan untuk meneliti juga

terkait pola asuh otoritatif karena semakin orang tua remaja clubbers tidak mengasuh secara otoritatif, semakin remaja clubbers tidak mandiri secara emosional, perilaku, dan nilai. Widiana & Nugraheni (2008) mengatakan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara pola asuh demokratis dengan kemandirian. Pola asuh otoritatif mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka (Baumrind, dalam Santrock, 2002).

Pola asuh otoritatif merupakan pola asuh yang memberi kehangatan pada anak dan pendampingan kepada anak dalam menghadapi kehidupan mereka (Ngahu, 2006). Anak yang diberi kehangatan oleh orang tuanya cenderung mampu untuk mengelola emosi yang dimiliki, terutama saat memiliki emosi negatif (Ngahu, 2006). Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara emosional adalah remaja yang mampu mengelola emosinya sehingga tidak mudah untuk segera menumpahkan perasaan saat ada masalah.

Anak yang diasuh secara otoritatif akan memiliki rasa percaya diri (Baumrind, dalam Santrock, 2002). Nirwana (dalam Longkutoy, 2015)


(34)

mengatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri siswa dengan asumsi semakin tinggi pola asuh orang tua otoritatif pada anaknya, maka semakin tinggi tingkat kepercayaan diri. Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang memiliki kepercayaan diri adalah remaja yang mandiri secara perilaku.

Orang tua dengan pengasuhan otoritatif menerapkan nilai-nilai dan norma-norma yang diterapkan kepada anak remaja (Ngahu, 2006). Anak remaja dibiasakan untuk menaati nilai dan norma yang diajarkan (Ngahu, 2006). Hal tersebut akan melatih kemandirian remaja secara nilai. Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara nilai mampu menimbang segala kemungkinan yang terjadi dalam bidang nilai.

Perkembangan kemandirian nilai didukung juga oleh perkembangan kemandirian emosional (emotional autonomy) dan kemandirian perilaku (behavioral autonomy). Kemandirian emosional membekali remaja dengan kemampuan untuk melihat pandangan orang tua mereka secara lebih objektif sedangkan kemandirian perilaku dapat menjadi bekal bagi remaja dalam upayanya mencari kejelasan dari nilai-nilai yang telah ditanamkan orangtua selaku figur otoritas kepadanya. Oleh karena itu perkembangan kemandirian nilai berlangsung belakangan, umumnya pada masa remaja akhir atau dewasa muda.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, peneliti ingin melihat hubungan antara pola pengasuhan orang tua pada kemandirian clubbers usia remaja. Dari penelitian sebelumnya, peneliti menangkap kesempatan untuk meneliti secara khusus tentang bagaimana pola pengasuhan yang diterapkan orang tua di rumah sehingga membuat remaja clubbers menjadi tidak memiliki kemandirian. Peneliti


(35)

tertarik untuk melihat apakah pola pengasuhan memiliki hubungan dengan tingkat kemandirian clubbers pada usia remaja.

Peneliti mengambil variabel pola asuh dan kemandirian karena dari beberapa penelitian sebelumnya, beberapa peneliti belum menghubungkan secara spesifik hubungan antara keempat bentuk pola asuh dengan tiga dimensi kemandirian yang dimiliki oleh anak remaja. Para peneliti sebelumnya kebanyakan hanya menghubungkan satu bentuk pola asuh dengan tingkat kemandirian secara umum. Hal ini biasanya mereka nyatakan dengan belum mandiri dan sudah mandiri, serta memiliki tingkat kemandirian yang tinggi dan tingkat kemandirian yang rendah.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat hubungan signifikan antara pola asuh otoriter dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai pada remaja clubber?

2. Apakah terdapat hubungan signifikan antara pola asuh otoritatif dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai pada remaja

clubber?

3. Apakah terdapat hubungan signifikan antara pola asuh

permissive-indulgent dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai pada

remaja clubber?

4. Apakah terdapat hubungan signifikan antara pola asuh

permissive-indifferent dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai pada


(36)

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan antara pola pengasuhan orang tua pada kemandirian remaja clubbers.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis:

a. Bagi praktisi pengajar baik guru atau dosen diharapkan untuk dapat meningkatkan komunikasi dengan pelajar/mahasiswa sehingga dapat mengetahui permasalahan yang dialami anak didik. Hal ini juga dapat dilakukan sebagai pencegahan bagi pelajar/mahasiswa untuk beralih ke situasi yang tidak membuat mereka berkembang ke arah yang lebih baik.

b. Bagi profesi psikolog khususnya psikolog pendidikan untuk dapat lebih menjangkau pelajar/mahasiswa yang mempunyai masalah dengan keluarga. Hal ini bertujuan agar pelajar/mahasiswa diberikan tritmen positif.

2. Manfaat praktis

a. Bagi keluarga diharapkan dapat memberikan pola pengasuhan yang tepat bagi remaja sehingga anak meningkatkan perilaku mandiri dan perilaku positif dalam lingkungan pergaulan.

b. Bagi masyarakat umum diharapkan dapat membantu orang tua dengan melakukan pengawasan terhadap kegiatan remaja di luar


(37)

rumah, misalnya: memberikan peraturan yang harus ditaati remaja saat berada di luar rumah.


(38)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kemandirian (Autonomy)

1. Definisi Kemandirian

Ryan dan Lynch (dalam Newman & Newman, 1991) mendefinisikan kemandirian sebagai suatu kemampuan untuk mengatur perilaku, memilih dan memandu tindakan dan keputusan, tanpa kendali yang tak pantas dari orang tua atau ketergantungan pada orang tua.

Conell (dalam Kupermic, Allen, & Arthur, 1996) mendefinisikan kemandirian sebagai latihan untuk berinisiatif dalam memilih, memelihara, dan mengatur perilaku serta latihan dalam menghubungkan perilaku dan tujuan pribadi dan nilai. Shaw (dalam Suryadi, 2013) mengemukakan bahwa kemandirian berhubungan dengan kebebasan individu dalam fungsinya sebagai anggota kelompok.

Conger (dalam Suryadi, 2013) berpendapat bahwa kemandirian sebagai salah satu aspek kepribadian dapat mempengaruhi kinerja seseorang dan membantunya mencapai tujuan hidup, prestasi, kesuksesan serta memperoleh penghargaan. Dengan dukungan sifat mandiri dalam diri seseorang, maka akan sangat membantu baginya untuk mencapai hasil yang maksimal dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah diuraikan sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa kemandirian adalah suatu tindakan untuk


(39)

mengatur perilaku, memilih dan memandu tindakan dan keputusan sehingga dapat menghubungkan perilaku dan tujuan pribadi dan nilai. Hal tersebut berhubungan dengan kebebasan individu dalam fungsinya sebagai anggota kelompok untuk mempengaruhi kinerja seseorang dan membantunya mencapai tujuan hidup sehingga akan sangat membantu baginya untuk mencapai hasil yang maksimal dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.

2. Dimensi Kemandirian

Steinberg (1995) membagi kemandirian dalam tiga tipe, yaitu kemandirian emosional (emotional autonomy), kemandirian behavioral (behavioral autonomy), dan kemandirian nilai (values autonomy). Kemandirian emosional (emotional autonomy) pada remaja ialah dimensi kemandirian yang berhubungan dengan perubahan keterikatan hubungan emosional remaja dengan orang lain, terutama dengan orang tua. Oleh karena itu kemandirian emosional didefinisikan sebagai kemampuan remaja untuk tidak tergantung terhadap dukungan emosional orang lain, terutama orang tua. Kemandirian behavioral (behavioral autonomy) pada remaja ialah dimensi kemandirian yang merujuk kepada kemampuan remaja membuat keputusan secara bebas dan konsekuen atas keputusannya itu. Kemandirian nilai (values autonomy) pada remaja ialah dimensi kemandirian yang merujuk kepada kemampuan untuk memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, serta penting dan tidak penting.


(40)

a). Kemandirian Emosional (Emotional Autonomy)

Pemudaran ikatan emosional anak dengan orang tua pada masa remaja terjadi dengan sangat cepat. Percepatan pemudaran hubungan itu terjadi seiring dengan semakin mandirinya remaja dalam mengurus diri sendiri. Proses psikososial lainnya yang mendorong remaja mengembangkan kemandirian emosional adalah perubahan pengungkapan kasih sayang, meningkatnya pendistribusian kewenangan dan tanggung jawab, dan menurunnya interaksi verbal dan kesempatan perjumpaan bersama antara remaja dan orang tua, di satu pihak dan semakin larutnya remaja dalam pola-pola hubungan teman sebaya untuk menyelami hubungan dunia kehidupan yang baru di luar keluarga di pihak lain. Menurut Silverberg dan Steinberg (Steinberg, 1995: 291) ada empat aspek kemandirian emosional, yaitu:

(1) Aspek pertama dari kemandirian emosional adalah de-idealized, yakni kemampuan remaja untuk tidak mengidealkan orang tuanya. Perilaku yang dapat dilihat ialah remaja memandang orang tua tidak selamanya tahu, benar, dan memiliki kekuasaan, sehingga pada saat menentukan sesuatu maka mereka tidak lagi bergantung kepada dukungan emosional orang tuanya.

(2) Aspek kedua dari kemandirian emosional adalah pandangan tentang parents as people, yakni kemampuan remaja dalam memandang orang tua sebagaimana orang lain pada umumnya. Perilaku yang dapat dilihat ialah remaja melihat orang tua sebagai


(41)

individu selain sebagai orang tuanya dan berinteraksi dengan orang tua tidak hanya dalam hubungan orang tua-anak tetapi juga dalam hubungan antar individu.

(3) Aspek ketiga dari kemandirian emosional adalah nondependency, yakni suatu derajat di mana remaja tergantung kepada dirinya sendiri dari pada kepada orang tuanya untuk suatu bantuan. Perilaku yang dapat dilihat ialah mampu menunda keinginan untuk segera menumpahkan perasaan kepada orang lain, mampu menunda keinginan untuk meminta dukungan emosional kepada orang tua atau orang dewasa lain ketika menghadapi masalah. (4) Aspek keempat dari kemandirian emosional pada remaja adalah

mereka memiliki derajat individuasi dalam hubungan dengan orang tua (individuated). Individuasi berarti berperilaku lebih bertanggung jawab. Contoh perilaku remaja yang memiliki derajat individuasi di antaranya mereka mengelola uang jajan dengan cara menabung tanpa sepengetahuan orang tua. Collins dan Smatana (Steinberg, 1995) berkeyakinan bahwa perkembangan individuasi ke tingkat yang lebih tinggi didorong oleh perkembangan kognisi sosial mereka. Kognisi sosial remaja yang dimaksud merujuk pada pemikiran mereka tentang diri mereka dan hubungannya dengan

orang lain. Misalnya, remaja berpandangan “Teman saya

berpendapat bahwa saya adalah seorang gadis baik, maka saya harus menjadi gadis yang baik”.


(42)

b). Kemandirian Behavioral (Behavioral Autonomy)

Kemandirian perilaku (behavioral autonomy) merupakan kapasitas individu dalam menentukan pilihan dan mengambil keputusan. Remaja yang memiliki kemandirian perilaku (behavioral

autonomy) bebas dari pengaruh pihak lain dalam menentukan pilihan

dan keputusan. Hal ini bukan berarti mereka tidak perlu pendapat orang lain. Bagi remaja yang memiliki kemandirian behavioral memadai, pendapat/nasehat orang lain yang sesuai dijadikan sebagai dasar pengembangan alternatif pilihan untuk dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Ini bisa terjadi karena didukung oleh perkembangan kognitif mereka yang semakin berkualitas. Dengan perkembangan kognitif seperti ini remaja semakin mampu memandang ke depan, memperhitungkan risiko-risiko dan kemungkinan hasil-hasil dari alternatif pilihan mereka, dan mampu memandang bahwa nasehat seseorang bisa tercemar/ternoda oleh kepentingan-kepentingan dirinya sendiri. Menurut Steinberg (1995) ada tiga domain kemandirian perilaku (behavioral autonomy) yang berkembang pada masa remaja: (1) Pertama, mereka memiliki kemampuan mengambil keputusan yang

ditandai oleh:

(a) menyadari adanya resiko dari tingkah lakunya

(b) memilih alternatif pemecahan masalah didasarkan atas pertimbangan sendiri dan orang lain


(43)

(c) bertanggung jawab atas konsekuensi dari keputusan yang diambilnya.

(2) Kedua, mereka memiliki kekuatan terhadap pengaruh pihak lain yang ditandai oleh:

(a) tidak mudah terpengaruh dalam situasi yang menuntut konformitas

(b) tidak mudah terpengaruh tekanan teman sebaya dan orang tua dalam mengambil keputusan

(c) memasuki kelompok sosial tanpa tekanan.

(3) Ketiga, mereka memiliki rasa percaya diri (self reliance) yang ditandai oleh:

(a) merasa mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah dan di sekolah

(b) merasa mampu memenuhi tanggung jawab di rumah dan di sekolah

(c) merasa mampu mengatasi sendiri masalahnya (d) berani mengemukakan ide atau gagasan. c). Kemandirian Nilai (Values Autonomy)

Kemandirian nilai (values autonomy) merupakan proses yang paling kompleks, tidak jelas bagaimana proses berlangsung dan pencapaiannya, terjadi melalui proses internalisasi yang pada lazimnya tidak disadari, umumnya berkembang paling akhir dan paling sulit dicapai secara sempurna dibanding kedua tipe kemandirian lainnya.


(44)

Kemandirian nilai (values autonomy) yang dimaksud adalah kemampuan individu menolak tekanan untuk mengikuti tuntutan orang lain tentang keyakinan (belief) dalam bidang nilai. Menurut Steinberg (1995), dalam perkembangan kemandirian nilai, terdapat tiga perubahan yang teramati pada masa remaja:

(1) Pertama, keyakinan akan nilai-nilai semakin abstrak (abstract

belief). Perilaku yang dapat dilihat ialah remaja mampu

menimbang berbagai kemungkinan dalam bidang nilai. Misalnya, remaja mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada saat mengambil keputusan yang bernilai moral. (2) Kedua, keyakinan akan nilai-nilai semakin mengarah kepada yang

bersifat prinsip (principled belief). Perilaku yang dapat dilihat: (a) berpikir

(b) bertindak sesuai dengan prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan dalam bidang nilai.

(3) Ketiga, keyakinan akan nilai-nilai semakin terbentuk dalam diri remaja sendiri dan bukan hanya dalam sistem nilai yang diberikan oleh orang tuanya atau orang dewasa lainnya (independent belief). Perilaku yang dapat dilihat:

(a) remaja mulai mengevaluasi kembali keyakinan dan nilai-nilai yang diterimanya dari orang lain


(45)

(c) bertingkah laku sesuai dengan keyakinan dan nilainya sendiri. Misalnya remaja menggali kembali nilai-nilai yang selama ini diyakini kebenarannya. Upaya remaja ini hakekatnya merupakan proses evaluasi akan nilai-nilai yang diterimanya dari orang lain.

Sebagian besar perkembangan kemandirian nilai dapat ditelusuri pada karakteristik perubahan kognitif. Dengan meningkatnya kemampuan rasional dan makin berkembangnya kemampuan berpikir hipotetis remaja, maka timbul minat-minat remaja pada bidang-bidang ideologi dan filosofi dan cara mereka melihat persoalan-persoalan semakin mendetail.

Steinberg (1995) menyatakan bahwa perkembangan kemandirian nilai didukung oleh perkembangan kemandirian emosional dan kemandirian perilaku. Kemandirian emosional membekali remaja dengan kemampuan untuk melihat pandangan orang tua mereka secara lebih objektif sedangkan kemandirian perilaku dapat menjadi bekal bagi remaja dalam upayanya mencari kejelasan dari nilai-nilai yang telah ditanamkan orang tua selaku figur otoritas kepadanya. Oleh karena itu perkembangan kemandirian nilai berlangsung belakangan, umumnya pada masa remaja akhir atau dewasa muda.


(46)

B. Perkembangan Kemandirian

Kemandirian (autonomy) merupakan salah satu tugas perkembangan yang fundamental pada tahun-tahun perkembangan masa remaja. Steinberg (1995) menegaskan bahwa menjadi orang yang mandiri, dapat menentukan diri sendiri, merupakan tugas perkembangan yang fundamental pada tahun-tahun remaja. Disebut fundamental karena pencapaian kemandirian pada remaja sangat penting artinya dalam kerangka menjadi individu dewasa. Bahkan pentingnya kemandirian diperoleh individu pada masa remaja sama dengan pentingnya pencapaian identitas diri oleh mereka. Steinberg (1995) menegaskan bahwa kebanyakan remaja membangun kemandiriannya sebagai bagian menjadi orang dewasa seperti membangun identitas diri. Oleh karena itu mereka begitu gigih dalam memperjuangkan kemandirian.

Sesungguhnya tidak mudah bagi remaja dalam memperjuangkan kemandiriannya. Kesulitannya terletak pada upaya pemutusan ikatan infantile yang telah berkembang dan dinikmati dengan penuh rasa nyaman selama masa kanak-kanak. Bahkan pemutusan ikatan infantile itu seringkali menimbulkan reaksi yang sulit dipahami (misunderstood) bagi kedua belah pihak remaja dan orang tua (Rice, 1996). Terkadang remaja sering kali kesulitan dalam memutuskan simpul-simpul ikatan emosional kekanak-kanakannya secara logis dan objektif. Dalam upayanya itu mereka kadang-kadang harus menentang keinginan dan aturan orang tua. Orang tua terkadang mempersepsi upaya pemutusan simpul-simpul ikatan infantil yang dilakukan remaja sebagai pemberontakan atau peminggatan.


(47)

Steinberg (1995) menyatakan kemandirian sering dikaitkan dengan pemberontakan dan sering disamakan dengan berpisah dari keluarga. Jika remaja, terutama remaja awal, mampu memutuskan simpul-simpul ikatan infantile maka ia akan melakukan separasi, yakni pemisahan diri dari keluarga. Hal ini berarti kemandirian yang pertama muncul pada diri individu adalah kemandirian yang bersifat independence, yakni lepasnya ikatan-ikatan emosional infantile individu sehingga ia dapat menentukan sesuatu tanpa harus selalu ada dukungan emosional dari orang tua. Oleh karena itu pada masa remaja ada suatu pergerakan kemandirian yang dinamis dari ketidakmandirian individu pada masa kanak-kanak menuju kemandirian yang lebih bersifat autonomi pada masa dewasa.

C. Faktor-Faktor Kemandirian

Dalam proses perkembangannya, kemandirian dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kecerdasan (Blair dalam Suryadi & Damayanti, 2003), pola asuh orang tua (Baumrind dalam Bee, 1981), tingkat pendidikan orang tua (Widjaja dalam Suryadi & Damayanti, 2003), jumlah anak dalam keluarga dan sebagainya. Dengan demikian kemandirian tidak muncul begitu saja atau terjadi dalam tempo yang singkat melainkan harus dimulai sejak kecil melalui latihan kemandirian dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berikut ini akan diberikan penjelasan singkat tentang masing-masing faktor tersebut.

Blair (dalam Suryadi & Damayanti, 2003) menyatakan bahwa kecerdasan seseorang berhubungan dengan tingkat kemandiriannya, artinya semakin tinggi tingkat kecerdasan semakin tinggi pula tingkat kemandiriannya. Penelitian yang


(48)

dilakukan oleh Gilmore (dalam Suryadi & Damayanti, 2003) pada subyek anak cerdas dan kurang cerdas menunjukkan bahwa anak yang cerdas lebih berperilaku mandiri dibandingkan dengan anak yang kurang cerdas.

Williams (dalam Suryadi & Damayanti, 2003) berpendapat bahwa orang yang paling dekat atau paling sering berhubungan dengan anak di dalam keluarga pada umumnya adalah ibu, sehingga sikap ibu merupakan faktor yang penting dalam perkembangan anak. Tingkat pendidikan ibu akan mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya dalam menghadapi anak-anaknya (Watson dalam Suryadi & Damayanti, 2003). Conger (dalam Suryadi & Damayanti, 2003) menyatakan bahwa perlakuan yang diberikan oleh orang tua berpengaruh terhadap kemandirian anak-anaknya. Dalam penelitian Widjaja (dalam Suryadi & Damayanti, 2003) ditemukan bahwa faktor pendidikan ibu berperan dalam pembentukan kemandirian pada anak, dalam arti makin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka ia akan lebih mendorong kemandirian sehingga anak-anak juga menjadi lebih mandiri.

Baumrind (dalam Bee, 1981) menyatakan bahwa anak-anak yang diasuh secara demokratik oleh orang tuanya menunjukkan rata-rata kemandirian yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang tidak diasuh secara demokratik. Hurlock (1980) menyatakan bahwa keluarga kecil mempunyai kemungkinan paling besar untuk menerapkan pola asuh yang demokratik pada anak-anaknya. Cole (1973) mengatakan bahwa pola asuh demokratik adalah orang tua sebagai individu yang matang secara emosional selalu mengajak anak-anak mereka untuk ikut berpartisipasi dalam membuat keputusan dan bersikap secara obyektif dalam


(49)

mengasuh anak. Dalam pola asuh yang demikian, anak dihargai sebagai individu, didorong untuk mengemukakan pendapatnya dan keputusan yang mereka buat dihargai tanpa ada tekanan dari pihak orang dewasa lainnya.

D. Gaya Pengasuhan

1. Definisi Gaya Pengasuhan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Widowati, 2013), pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap. Sedangkan, kata asuh dapat berarti menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu; melatih, dan sebagainya), memimpin (menggepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga.

Elaine Donelson (dalam Widowati, 2013) berpendapat bahwa kata asuh adalah mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan, dan bantuan sehingga anak tetap berdiri dan menjalani hidupnya secara sehat.

Widowati (2013) berpendapat bahwa pola asuh orang tua diidentifikasi melalui adanya perhatian dan kehangatan, yaitu orang tua dalam mengasuh dan menjalin hubungan interpersonal dengan anak disadari adanya perhatian, penghargaan dan kasih sayang, kebebasan berinisiatif, yaitu kesediaan orang tua untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk menyampaikan dan mengembangkan pendapat ide, pemikiran dengan tetap mempertimbangkan hak-hak orang lain, nilai dan norma yang berlaku; Kontrol terarah, yaitu pola pengawasan dan pengendalian orang tua dengan


(50)

cara memberikan bimbingan, arahan dan pengawasan terhadap sikap dan perilaku anak; Pemberian tanggung jawab, yaitu kesediaan orang tua memberikan peran dan tanggung jawab kepada anak atas segala sesuatu yang dilakukan.

Aisyah (2010) berpendapat bahwa pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Pola asuhan merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah diuraikan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa definisi pola pengasuhan itu sendiri adalah kegiatan merawat, membimbing, mendidik, dan memberi dukungan kepada anak sehingga anak dapat memperoleh kehangatan kasih sayang dan perhatian berupa kontrol, kedisiplinan, dan kesempatan untuk berkembang yang diberikan orang tua kepada anak.

2. Bentuk-bentuk Pengasuhan

Diana Baurimnd (dalam Santrock, 2002) menekankan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam


(51)

perilaku sosial anak: otoriter, otoritatif, dan permisif. Para ahli perkembangan berpendapat bahwa pengasuhan anak yang permisif terjadi dalam dua bentuk: permissive-indulgent dan permissive-indifferent.

a) Pengasuhan otoriter (authoritarian parenting)

Suatu gaya membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang otoriter menetapkan batas-batas tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah). Pengasuhan yang otoriter diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak-anak.

Anak-anak yang orang tuanya otoriter seringkali cemas akan perbandingan sosial, gagal memprakarsai kegiatan, dan memiliki keterampilan komunikasi yang rendah. Disiplin awal yang terlalu kasar diasosiasikan dengan agresi anak (Weiss & Others dalam Santrock, 2002) b) Pengasuhan otoritatif (authoritative parenting)

Pola asuh otoritatif mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan, dan orang tua memperlihatkan kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Pengasuhan yang otoritatif diasosiasikan dengan kompetensi sosial anak-anak.

Anak-anak yang mempunyai orang tua yang otoritatif bekompeten secara sosial, percaya diri, dan bertanggung jawab.


(52)

Suatu gaya pengasuhan di mana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali terhadap mereka. Pengasuhan yang pemissive-indulgent diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak, khususnya kurang kendali diri. Orang tua seperti itu membiarkan anak-anak mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan, dan akibatnya ialah anak-anak tidak pernah belajar mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu mengharapkan kemauan mereka dituruti.

Anak-anak yang orang tuanya permissive-indulgent jarang belajar menaruh hormat pada orang lain dan mengalami kesulitan mengendalikan perilaku mereka.

d) Pengasuhan permissive-indifferent

Suatu gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Tipe pengasuhan ini diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak, khusunya kurang kendali diri. Anak-anak memiliki keinginan kuat agar orang tua mereka perduli terhadap mereka.

Anak-anak yang orang tuanya bergaya permissive-indifferent mengembangkan suatu perasaan bahwa aspek-aspek lain kehidupan orang tua lebih penting daripada anak mereka. Anak-anak yang orang tuanya bergaya permissive-inddiferent inkompeten secara sosial, mereka memperlihatkan kendali diri yang buruk dan tidak membangun kemandirian dengan baik.


(53)

Keempat klasifikasi pengasuhan mencakup dimensi penerimaan dan kemampuan untuk mendengar, serta menuntut dan mengendalikan.

Tabel 1: Karakteristik Anak Berdasarkan Pola Asuh

POLA ASUH KARAKTERISTIK ANAK

Pengasuhan otoriter

Kehangatan yang rendah serta keterlibatan positif yang rendah juga, tidak mempertimbangkan keinginan anak dan pendapat anak, memaksakan peraturan tanpa menjelaskan pada anak secara jelas, menunjukkan kemarahan dan perasaan tidak senang,

berkonfrontasi dengan anak terhadap perilaku buruknya dan menggunakan hukuman.

Temperamental, tidak senang, tidak memiliki tujuan, penuh ketakutan, mudah stress, menarik diri, tidak percaya terhadap orang lain.

Pengasuhan otoritatif

Hangat, terlibat, menunjukkan dukungan dan rasa senang terhadap tingkah laku anak yang konstruktif,

mempertimbangkan keinginan anak, memberikan berbagai alternatif pilihan, berkomunikasi dengan mereka secara jelas, menunjukkan rasa tidak senang terhadap tingkah laku yang buruk.

Ceria, memiliki tujuan, memiliki kontrol diri, mandiri orientasi terhadap prestasi, menunjukkan minat dan rasa ingin tahu terhadap situasi baru, memiliki energi yang banyak, menjaga hubungan dengan teman sebaya, dapat bekerja sama dengan orang dewasa, dapat mengatasi stress dengan baik. Pengasuhan permissive-indulgent

Memiliki kehangatan yang cukup, mendukung pengekspresian secara bebas terhadap keinginan anak, tidak

mengomunikasikan peraturan secara jelas dan tidak memaksa mereka untuk mematuhinya, membiarkan ataupun menerima perilaku buruk anak, memiliki kedisiplinan yang tidak konsisten, tingkah laku yang mandiri, tidak menuntut ataupun mengendalikan.

Agresif, cepat marah tetapi cepat pula untuk langsung dapat ceria, tidak memiliki kontrol diri, menunjukkan sifat mandiri yang rendah, impulsif, rendah dalam orientasi prestasi, tidak memiliki tujuan, kurang memiliki rasa ingin tahu.

Pengasuhan permissive-indifferent Berkonsentrasi pada diri sendiri, secara umum tidak responsif, berusaha memuaskan diri sendiri dan tidak memedulikan kebutuhan anak, gagal untuk memonitor kegiatan anak, hubungan dengan anak cenderung depresif, penuh kecemasan, dan butuh akan kedekatan emosi akibat dari perceraian.

Temperamental, memiliki perasaan tidak aman, impulsif, agresif, memiliki kepercayaan diri yang rendah, tidak bertanggung jawab, tidak dewasa, cenderung berteman dengan teman sebaya yang nakal.


(54)

E. Remaja Clubbers

Sarwono (2011) mengatakan bahwa batasan remaja yang mendekati batasan usia PBB adalah kurun usia 14–24 tahun. Ichsan dan Handoyo (2014) mengatakan remaja clubber merupakan remaja yang menghibur diri karena mendapat tekanan dari orang tua mereka. Solusi yang ditempuh untuk menghilangkan masalah tersebut yakni dengan cara berdugem. Ajakan dari teman-teman juga mempengaruhi subjek karena akan membawa suasana baru dan semangat. Selain itu, permasalahan dalam keluarga mereka membuat remaja tersebut kesepian karena tidak ada yang menemani mereka di rumah. Hal ini membuat para remaja memanfaatkan waktu luang mereka yang kosong tanpa keluarga dengan pergi ke

club. Kepenatan akan jadwal sekolah yang padat juga menjadi alasan mereka

untuk pergi ke club. Noerham (2012) menambahkan bahwa remaja menjadi

clubber karena ingin mencari uang di dalam club itu sendiri. Selain itu, jauh dari

orang tua seperti harus kos membuat mereka merasa bebas melakukan segala hal. Hal ini juga berhubungan dengan rasa ingin tahu remaja yang cukup besar.

Ichsan & Handoyo (2014) mengatakan bahwa permasalahan dalam keluarga membuat remaja clubber merasa kesepian karena tidak ada yang menemani di rumah karena orang tua sudah bercerai, dan tidak peduli lagi dengan anak. Remaja

clubber tinggal bersama dengan ibunya sedangkan ayahnya sudah menikah lagi

dan sudah tidak peduli dengan anaknya. Ibu subjek mempunyai kesibukan bekerja sehingga tidak ada yang mengawasi dan mengurusi. Tindakan dari orang tua untuk mengontrol anak juga tidak ada karena kurangnya pengawasan. Subjek


(55)

memanfaatkan waktu luangnya dengan cara memilih dugem sebagai media untuk menghabiskan waktu luang karena merasa kesepian.

Kondisi atau situasi dalam keluarga seperti kurangnya perhatian dan komunikasi yang berkaitan dengan eksistensi diri di dalam keluarga mengakibatkan remaja mencari jalan keluar di luar lingkungan keluarga, yaitu lingkungan teman sebaya dan dengan cara berdugem (Nindyastari, 2008). Hal tersebut ditunjukkan apabila terjadi masalah dengan remaja clubber, maka mereka cenderung untuk mencari penyelesaian masalah dengan bercerita kepada teman dibandingkan keluarga. Remaja clubber lebih mendapatkan kenyamanan di luar rumah. Hal ini juga disebabkan kemampuan mereka diakui dan dihargai saat berada di luar rumah. Nindyastari (2008) melakukan penelitian pada tiga subjek remaja dimana subjek 1 dan 3 memiliki latar belakang kondisi yang kurang baik, dimana kedua orang tua subjek harus terpisah. Terutama bagi subjek 3 yang menjadikan clubbing sebagai pelarian karena orang tuanya bercerai. Meskipun orang tua subjek 3 sudah bercerai, ibu subjek 3 memberikan nasehat-nasehat yang bertujuan agar subjek terhindar dari hal-hal yang buruk berkaitan dengan dunia malam namun yang terjadi adalah subjek melakukan hal-hal yang menyimpang di luar sepengetahuan ibunya.

Subjek 1 dan 2 memiliki kebebasan dalam menjalankan aktivitas termasuk melakukan aktivitas clubbing, bahkan subjek 2 tidak mendapatkan larangan untuk merokok dan meminum alkohol. Orang tua subjek 2 lebih menegakkan norma-norma kecil seperti tidak boleh menyisakan makanan yang tinggal sedikit, atau harus mengisi ulang botol minum yang sudah kosong.


(56)

F. Hubungan Antara Pola Pengasuhan Orang tua Dan Tingkat

Kemandirian Clubbers Usia Remaja

Remaja berasal dari istilah adolescence yang memiliki arti tumbuh untuk mencapai kematangan, baik mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1994). Pada masa ini pula timbul banyak perubahan yang terjadi, baik secara fisik maupun psikologis, seiring dengan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja (Hurlock, 1994). Kemandirian dianggap penting karena seseorang khususnya remaja berusaha untuk menyesuaikan diri secara aktif dengan lingkungan (Guritno dalam Monica, 2008). Kemandirian adalah suatu tindakan untuk mengatur perilaku, memilih dan memandu tindakan dan keputusan sehingga dapat menghubungkan perilaku dan tujuan pribadi dan nilai. Hal tersebut berhubungan dengan kebebasan individu dalam fungsinya sebagai anggota kelompok untuk mempengaruhi kinerja seseorang dan membantunya mencapai tujuan hidup sehingga akan sangat membantu baginya untuk mencapai hasil yang maksimal dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.

Mutadin (dalam Santosa & Marheni, 2013) menjelaskan bahwa selama masa remaja tuntutan terhadap kemandirian sangat besar dan jika tidak di respon secara tepat bisa menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologis remaja di masa datang. Rice (dalam Santosa & Marheni, 2013) mengatakan bahwa pencapaian tingkat kemandirian pada masa remaja merupakan suatu hal yang tidak mudah karena pada masa remaja terjadi pergerakan psikososial dari arah lingkungan keluarga menuju lingkungan luar keluarga. Kondisi atau situasi dalam lingkungan keluarga yang tidak dapat


(57)

memberikan hubungan komunikasi yang baik dan bentuk perhatian yang cukup berkaitan dengan eksistensi diri remaja mengakibatkan remaja mencari jalan keluar di luar lingkungan keluarga (Nindyastari, 2008). Hubungan keluarga yang kurang harmonis membuat remaja melakukan aktivitas lain sebagai bentuk pelarian, seperti pergi clubbing (Nindyastari, 2008).

Menurut Steinberg (1995), terdapat tiga dimensi kemandirian yaitu

emotional autonomy, behavioral autonomy, dan value autonomy. Emotional autonomy berhubungan dengan emosi, personal feelings, dan bagaimana cara

berhubungan dengan orang-orang di sekitar kita. Behavioral autonomy berhubungan dengan tindakan. Tipe otonomi ini merujuk pada kemampuan untuk membuat keputusan sendiri, dan bertindak sesuai keputusan yang sudah diambil tadi. Value autonomy memiliki tingkah laku yang mandiri, dan kepercayaan dalam spiritual, politik, dan moral.

Banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian remaja, seperti kecerdasan (Blair dalam Suryadi & Damayanti, 2003), pola asuh orang tua (Baumrind dalam Bee, 1981), tingkat pendidikan orang tua (Widjaja dalam Suryadi & Damayanti, 2003), jumlah anak dalam keluarga dan sebagainya. Faktor yang paling mempengaruhi ialah pola pengasuhan orang tua di dalam keluarga (Nuryoto dalam Monica, 2008). Pola pengasuhan yang baik akan menghasilkan kemandirian yang baik pada remaja. Baumrind (dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa pola asuh adalah segala bentuk dan proses yang tejadi antara orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Baurimnd


(58)

(dalam Santrock, 2002) menekankan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial anak: otoriter, otoritatif, dan

permisif. Para ahli perkembangan berpendapat bahwa pengasuhan anak yang

permisif terjadi dalam dua bentuk: indulgent dan

permissive-indifferent (Santrock, 2002).

Pola asuh otoriter memiliki ciri membatasi hak anak tetapi dituntut untuk tanggung jawab, memberi hukuman berupa hukuman fisik, serta kontrol sangat ketat (Aisyah, 2010). Pola pengasuhan otoriter yang diterapkan orang tua merupakan sumber terjadi stress dan perasaan cemas yang dialami oleh remaja (Puspitaningtyas, 2007). Remaja yang diasuh oleh pola asuh otoriter cenderung merasakan emosi yang tidak terkontrol seperti mudah marah, sedih, dan kecewa (Puspitaningtyas, 2007). Pola asuh otoriter juga membuat remaja selalu dirundung kesedihan dan merasa masalah selalu menghampiri dirinya (Puspitaningtyas, 2007). Hal tersebut menunjukkan ketidakmandirian secara emosional. Steinberg (1995) mengatakan remaja yang mandiri secara emosional adalah remaja yang mampu untuk mengelola emosinya sehingga tidak mudah untuk segera menumpahkan perasaan.

Pola asuh otoriter tidak memberi peluang pada anak untuk berbicara (Baumrind, dalam Santrock, 2002). Barnadib (dalam Aisyah, 2010) mengatakan bahwa orang tua yang tidak membiarkan anak mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaan memberikan peluang pada anak untuk menjadi agresi. Adanya hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku agresi remaja itu dikarenakan keluarga yang suka melakukan hukuman terutama hukuman fisik


(59)

menyebabkan anak mempunyai sifat pemarah. Selain itu, anak yang ditekan karena aturan suatu saat akan meluapkan amarahnya sebagai perilaku agresi (Baumrind, dalam Aisyah 2010). Herbert (dalam Aisyah, 2010) berpandangan bahwa tingkah laku agresi menyebabkan luka fisik, psikis pada orang lain, atau yang bersifat merusak benda. Agresi merupakan salah satu bentuk ketidakmandirian secara perilaku karena remaja tidak memikirkan resiko dari tingkah laku agresinya (Steinberg, 1995).

Baumrind (dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa pola asuh otoriter tidak pernah memberi kesempatan pada anak untuk berpendapat. Hal tersebut menyebabkan remaja sulit diminta untuk menjelaskan sesuatu dengan bahasa mereka sendiri, dan melontarkan pertanyaan yang dilontarkan persis yang dicantumkan di buku (Rahmawati, 2007). Hal tersebut menunjukkan ketidakmandirian secara perilaku. Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara perilaku dapat dengan percaya diri dan berani untuk mengemukakan ide atau gagasan.

Hurlock (2004) mengatakan bahwa pola asuh otoriter untuk mendesak anak remaja mengikuti aturan yang sudah dibuat oleh orang tua, menetapkan disiplin ketat pada kehidupan anak. Anak yang tidak diberikan kesempatan untuk bereskplorasi orang tuanya, akan mencari hal-hal di luar keluarganya yang dapat lebih memberi dirinya kebebasan tanpa sepengetahuan orang tuanya. Petranto (dalam Kustanti, 2014) mengatakan bahwa remaja yang diasuh secara otoriter memiliki kecenderungan untuk melanggar norma-norma yang diberikan. Remaja yang cenderung melanggar norma yang diajarkan belum mandiri secara nilai


(60)

(Steinberg, 1995). Remaja yang mandiri secara nilai adalah remaja yang bertindak sesuai dengan prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan dalam bidang nilai (Steinberg, 1995)

Pola asuh permisif dibagi menjadi dua, yaitu permissive indulgent dan

permissive indifferent. Permissive – indulgent merupakan suatu gaya pengasuhan

di mana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali terhadap mereka (Baumrind, dalam Santrock, 2002). Pola asuh permisif yang tinggi juga menyebabkan remaja kurang dapat mengelola emosinya sendiri (Wahyuni, 2014). Apabila remaja kurang dapat mengelola emosinya, mudah untuk menumpahkan perasaannya, maka dapat dipastikan remaja tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain (Wahyuni, 2014). Baumrind (dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa pola asuh permisif menyebabkan anak jarang belajar menaruh hormat karena orang tua tidak memberi kontrol dalam kehidupan anak. Remaja yang mudah untuk menumpahkan perasaannya dan kurang dapat mengelola emosinya menunjukkan ketidakmandirian secara emosional (Steinberg, 1995). Steinberg (1995) mengatakan remaja yang mandiri secara emosional adalah remaja yang mampu untuk mengelola emosinya sehingga tidak mudah untuk segera menumpahkan perasaan.

Orang tua permissive – indulgent sangat terlibat dan memiliki kasih sayang

tinggi sehingga cenderung memanjakan (Wahyuni, 2014). Hal ini membuat remaja menjadi tidak bertanggung jawab (Wahyuni, 2014). Remaja yang belum mampu untuk bertanggung jawab atas dirinya dikatakan tidak percaya diri dalam


(61)

menghadapi kehidupannya, sehingga dikatakan belum mandiri secara perilaku (Steinberg, 1995).

Pola asuh permissive – indulgent tidak mampu membedakan membuat anak

remaja tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah karena orang tua tidak mengajarkannya (Wahyuni, 2014). Remaja juga cenderung menyalahgunakan kebebasan bahkan jika mereka tahu itu salah karena orang tua sedikit memberi batasan atau kontrol kepada anak (Wahyuni, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa remaja belum mandiri secara nilai. Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara nilai adalah remaja yang memiliki kemampuan untuk memaknai seperangkat prinsip benar dan salah, serta penting dan tidak penting.

Permissive – indifferent merupakan merupakan suatu gaya dimana orang tua

sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak (Baumrind, dalam Santrock, 2002). Hal ini membuat anak remaja dengan pola asuh permissive – indifferent belum

memiliki perilaku bertanggung jawab karena cenderung berperilaku buruk terhadap orang lain (Mahmud, dalam Monica, 2008). Remaja yang belum memiliki perilaku bertanggung jawab dikatakan belum mandiri secara emosional (Steinberg, 1995). Steinberg (1995) memberi istilah belum terindividuasi bagi perilaku yang belum bertanggung jawab.

Orang tua permissive – indifferent berkonsentrasi pada diri sendiri dan tidak

mempedulikan kebutuhan anak (Baumrind, dalam Santrock, 2002). Aisyah (2010) mengatakan bahwa saat anak tidak digubris oleh orang tuanya, anak cenderung mencari perhatian dengan cara melakukan perbuatan yang negatif. Apabila cara


(62)

yang ditempuh dapat membuat anak mendapatkan reinforcement, maka anak akan terus melakukan perbuatan negatif (Aisyah, 2010). Saat anak mencari perhatian dengan melakukan perbuatan negatif tanpa memikirkan resiko yang terjadi, maka ini merupakan suatu bentuk ketidakmandirian secara perilaku (Steinberg, 1995).

Orang tua permissive – indifferent yang sama sekali tidak peduli pada

kehidupan anak, sehingga tidak pernah mengajarkan norma, membuat anak remaja kurang dapat membedakan nilai yang baik dan yang buruk (Monica, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa remaja belum mandiri secara nilai belum mampu untuk memaknai seperangkat prinsip benar dan salah, serta penting dan tidak penting (Steinberg, 1995)

Beberapa kasus mengenai kehidupan keluarga remaja yang pergi clubbing yang sudah peneliti uraikan sebelumnya, menunjukkan keluarga menerapkan pola asuh otoriter dan permisif. Pola asuh otoriter ini tampak dari perilaku orang tua dari remaja clubbers yang sering memarahi remaja tanpa alasan yang jelas sehingga remaja merasa stress dan penuh tekanan di dalam rumah (Ichsan; Handoyo, 2014). Ajakan dari teman-teman mempengaruhi remaja demi membawanya ke suasana baru dan menyenangkan daripada di rumahnya yang penuh stress dan tekanan ((Ichsan; Handoyo, 2014). Pola asuh permisif tampak dari pengabaian orang tua atas perilaku remaja sehingga remaja memiliki kebebasan untuk clubbing disertai dengan merokok dan meminum alkohol (Nindyastari, 2008). Pengabaian orang tua juga terjadi sehingga membuat remaja melakukan clubbing karena merasa kesepian di rumahnya (Ichsan; Handoyo,


(63)

2014). Hal ini terjadi karena orang tua sibuk melakukan aktivitas tanpa mempedulikan remaja di rumah (Ichsan; Handoyo, 2014).

Dari beberapa contoh kasus mengenai remaja clubbers yang peneliti uraikan di atas, orang tua tampak tidak menerapkan pola asuh otoritatif pada remaja

clubbers. Oleh karena itu, peneliti menangkap kesempatan untuk meneliti terkait

pola asuh otoritatif karena semakin orang tua remaja clubbers tidak mengasuh secara otoritatif, semakin remaja clubbers tidak mandiri secara emosional, perilaku, dan nilai. Widiana & Nugraheni (2008) mengatakan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh demokratis dengan kemandirian.

Pola asuh otoritatif merupakan pola asuh yang memberi kehangatan pada anak dan pendampingan kepada anak dalam menghadapi kehidupan mereka (Ngahu, 2006). Anak yang diberi kehangatan oleh orang tuanya cenderung mampu untuk mengelola emosi yang dimiliki, terutama saat memiliki emosi negatif karena orang tua mendampingi dan memberi arahan (Ngahu, 2006). Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara emosional adalah remaja yang mampu mengelola emosinya sehingga tidak mudah untuk segera menumpahkan perasaan saat ada masalah.

Anak yang diasuh secara otoritatif akan memiliki rasa percaya diri (Baumrind, dalam Santrock, 2002). Nirwana (dalam Longkutoy, 2015) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri siswa dengan asumsi semakin tinggi pola asuh orang tua otoritatif pada anaknya, maka semakin tinggi tingkat kepercayaan diri. Steinberg


(64)

(1995) mengatakan bahwa remaja yang memiliki kepercayaan diri adalah remaja yang mandiri secara perilaku.

Orang tua dengan pengasuhan otoritatif menerapkan nilai-nilai dan norma-norma yang diterapkan kepada anak remaja (Ngahu, 2006). Anak remaja dibiasakan untuk menaati nilai dan norma yang diajarkan (Ngahu, 2006). Hal tersebut akan melatih kemandirian remaja secara nilai. Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara nilai mampu menimbang segala kemungkinan yang terjadi dalam bidang nilai.

Perkembangan kemandirian nilai didukung juga oleh perkembangan kemandirian emosional (emotional autonomy) dan kemandirian perilaku (behavioral autonomy). Kemandirian emosional membekali remaja dengan kemampuan untuk melihat pandangan orang tua mereka secara lebih objektif sedangkan kemandirian perilaku dapat menjadi bekal bagi remaja dalam upayanya mencari kejelasan dari nilai-nilai yang telah ditanamkan orangtua selaku figur otoritas kepadanya. Oleh karena itu perkembangan kemandirian nilai berlangsung belakangan, umumnya pada masa remaja akhir atau dewasa muda.

Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa pola asuh otoriter,

permissive–indulgent, dan permissive–indifferent akan menghasilkan remaja yang

tidak mandiri secara emosional, perilaku, dan nilai. Pola asuh yang lebih baik diterapkan oleh orang tua kepada remaja clubbers adalah pola asuh otoritatif sehingga anak remaja akan mandiri secara emosional, perilaku, dan nilai.


(1)

Uji Linearitas

ANOVA Table

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

VAR00001 *

VAR00005

Between Groups (Combined) 255.506 14 18.250 1.226 .291

Linearity 13.603 1 13.603 .913 .344

Deviation from

Linearity 241.903 13 18.608 1.250 .278

Within Groups 670.144 45 14.892

Total 925.650 59

VAR00002 *

VAR00005

Between Groups (Combined) 1106.997 14 79.071 1.627 .108

Linearity 10.589 1 10.589 .218 .643

Deviation from

Linearity 1096.408 13 84.339 1.736 .086

Within Groups 2186.603 45 48.591


(2)

Deviation from

Linearity 118.520 13 9.117 .899 .561

Within Groups 456.432 45 10.143

Total 580.183 59

VAR00004 *

VAR00005

Between Groups (Combined) 345.621 14 24.687 2.199 .023

Linearity 5.066 1 5.066 .451 .505

Deviation from

Linearity 340.555 13 26.197 2.333 .018

Within Groups 505.229 45 11.227


(3)

ANOVA Table Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

VAR00001 *

VAR00006

Between Groups (Combined) 313.767 22 14.262 .862 .637

Linearity 46.871 1 46.871 2.834 .101

Deviation from

Linearity 266.896 21 12.709 .769 .736

Within Groups 611.883 37 16.537

Total 925.650 59

VAR00002 *

VAR00006

Between Groups (Combined) 1040.817 22 47.310 .777 .731

Linearity 74.251 1 74.251 1.220 .277

Deviation from

Linearity 966.566 21 46.027 .756 .749

Within Groups 2252.783 37 60.886

Total 3293.600 59

VAR00003 *

VAR00006

Between Groups (Combined) 165.400 22 7.518 .671 .838

Linearity .545 1 .545 .049 .827

Deviation from

Linearity 164.855 21 7.850 .700 .806

Within Groups 414.783 37 11.210


(4)

Linearity 327.025 21 15.573 1.103 .387

Within Groups 522.383 37 14.118


(5)

ANOVA Table Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

VAR00001 *

VAR00007

Between Groups (Combined) 128.284 11 11.662 .702 .730

Linearity 2.890 1 2.890 .174 .678

Deviation from

Linearity 125.393 10 12.539 .755 .670

Within Groups 797.366 48 16.612

Total 925.650 59

VAR00002 *

VAR00007

Between Groups (Combined) 553.349 11 50.304 .881 .564

Linearity 66.971 1 66.971 1.173 .284

Deviation from

Linearity 486.378 10 48.638 .852 .583

Within Groups 2740.251 48 57.089

Total 3293.600 59

VAR00003 *

VAR00007

Between Groups (Combined) 99.327 11 9.030 .901 .546

Linearity 3.046 1 3.046 .304 .584

Deviation from

Linearity 96.282 10 9.628 .961 .489

Within Groups 480.856 48 10.018


(6)

Linearity 134.329 10 13.433 .988 .466

Within Groups 652.495 48 13.594