Dimensi Kemandirian Kemandirian Autonomy

23 c bertanggung jawab atas konsekuensi dari keputusan yang diambilnya. 2 Kedua, mereka memiliki kekuatan terhadap pengaruh pihak lain yang ditandai oleh: a tidak mudah terpengaruh dalam situasi yang menuntut konformitas b tidak mudah terpengaruh tekanan teman sebaya dan orang tua dalam mengambil keputusan c memasuki kelompok sosial tanpa tekanan. 3 Ketiga, mereka memiliki rasa percaya diri self reliance yang ditandai oleh: a merasa mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah dan di sekolah b merasa mampu memenuhi tanggung jawab di rumah dan di sekolah c merasa mampu mengatasi sendiri masalahnya d berani mengemukakan ide atau gagasan. c. Kemandirian Nilai Values Autonomy Kemandirian nilai values autonomy merupakan proses yang paling kompleks, tidak jelas bagaimana proses berlangsung dan pencapaiannya, terjadi melalui proses internalisasi yang pada lazimnya tidak disadari, umumnya berkembang paling akhir dan paling sulit dicapai secara sempurna dibanding kedua tipe kemandirian lainnya. 24 Kemandirian nilai values autonomy yang dimaksud adalah kemampuan individu menolak tekanan untuk mengikuti tuntutan orang lain tentang keyakinan belief dalam bidang nilai. Menurut Steinberg 1995, dalam perkembangan kemandirian nilai, terdapat tiga perubahan yang teramati pada masa remaja: 1 Pertama, keyakinan akan nilai-nilai semakin abstrak abstract belief. Perilaku yang dapat dilihat ialah remaja mampu menimbang berbagai kemungkinan dalam bidang nilai. Misalnya, remaja mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada saat mengambil keputusan yang bernilai moral. 2 Kedua, keyakinan akan nilai-nilai semakin mengarah kepada yang bersifat prinsip principled belief. Perilaku yang dapat dilihat: a berpikir b bertindak sesuai dengan prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan dalam bidang nilai. 3 Ketiga, keyakinan akan nilai-nilai semakin terbentuk dalam diri remaja sendiri dan bukan hanya dalam sistem nilai yang diberikan oleh orang tuanya atau orang dewasa lainnya independent belief. Perilaku yang dapat dilihat: a remaja mulai mengevaluasi kembali keyakinan dan nilai-nilai yang diterimanya dari orang lain b berpikir sesuai dengan keyakinan dan nilainya sendiri 25 c bertingkah laku sesuai dengan keyakinan dan nilainya sendiri. Misalnya remaja menggali kembali nilai-nilai yang selama ini diyakini kebenarannya. Upaya remaja ini hakekatnya merupakan proses evaluasi akan nilai-nilai yang diterimanya dari orang lain. Sebagian besar perkembangan kemandirian nilai dapat ditelusuri pada karakteristik perubahan kognitif. Dengan meningkatnya kemampuan rasional dan makin berkembangnya kemampuan berpikir hipotetis remaja, maka timbul minat-minat remaja pada bidang-bidang ideologi dan filosofi dan cara mereka melihat persoalan-persoalan semakin mendetail. Steinberg 1995 menyatakan bahwa perkembangan kemandirian nilai didukung oleh perkembangan kemandirian emosional dan kemandirian perilaku. Kemandirian emosional membekali remaja dengan kemampuan untuk melihat pandangan orang tua mereka secara lebih objektif sedangkan kemandirian perilaku dapat menjadi bekal bagi remaja dalam upayanya mencari kejelasan dari nilai-nilai yang telah ditanamkan orang tua selaku figur otoritas kepadanya. Oleh karena itu perkembangan kemandirian nilai berlangsung belakangan, umumnya pada masa remaja akhir atau dewasa muda. 26

B. Perkembangan Kemandirian

Kemandirian autonomy merupakan salah satu tugas perkembangan yang fundamental pada tahun-tahun perkembangan masa remaja. Steinberg 1995 menegaskan bahwa menjadi orang yang mandiri, dapat menentukan diri sendiri, merupakan tugas perkembangan yang fundamental pada tahun-tahun remaja. Disebut fundamental karena pencapaian kemandirian pada remaja sangat penting artinya dalam kerangka menjadi individu dewasa. Bahkan pentingnya kemandirian diperoleh individu pada masa remaja sama dengan pentingnya pencapaian identitas diri oleh mereka. Steinberg 1995 menegaskan bahwa kebanyakan remaja membangun kemandiriannya sebagai bagian menjadi orang dewasa seperti membangun identitas diri. Oleh karena itu mereka begitu gigih dalam memperjuangkan kemandirian. Sesungguhnya tidak mudah bagi remaja dalam memperjuangkan kemandiriannya. Kesulitannya terletak pada upaya pemutusan ikatan infantile yang telah berkembang dan dinikmati dengan penuh rasa nyaman selama masa kanak-kanak. Bahkan pemutusan ikatan infantile itu seringkali menimbulkan reaksi yang sulit dipahami misunderstood bagi kedua belah pihak remaja dan orang tua Rice, 1996. Terkadang remaja sering kali kesulitan dalam memutuskan simpul-simpul ikatan emosional kekanak-kanakannya secara logis dan objektif. Dalam upayanya itu mereka kadang-kadang harus menentang keinginan dan aturan orang tua. Orang tua terkadang mempersepsi upaya pemutusan simpul-simpul ikatan infantil yang dilakukan remaja sebagai pemberontakan atau peminggatan. 27 Steinberg 1995 menyatakan kemandirian sering dikaitkan dengan pemberontakan dan sering disamakan dengan berpisah dari keluarga. Jika remaja, terutama remaja awal, mampu memutuskan simpul-simpul ikatan infantile maka ia akan melakukan separasi, yakni pemisahan diri dari keluarga. Hal ini berarti kemandirian yang pertama muncul pada diri individu adalah kemandirian yang bersifat independence, yakni lepasnya ikatan-ikatan emosional infantile individu sehingga ia dapat menentukan sesuatu tanpa harus selalu ada dukungan emosional dari orang tua. Oleh karena itu pada masa remaja ada suatu pergerakan kemandirian yang dinamis dari ketidakmandirian individu pada masa kanak-kanak menuju kemandirian yang lebih bersifat autonomi pada masa dewasa.

C. Faktor-Faktor Kemandirian

Dalam proses perkembangannya, kemandirian dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kecerdasan Blair dalam Suryadi Damayanti, 2003, pola asuh orang tua Baumrind dalam Bee, 1981, tingkat pendidikan orang tua Widjaja dalam Suryadi Damayanti, 2003, jumlah anak dalam keluarga dan sebagainya. Dengan demikian kemandirian tidak muncul begitu saja atau terjadi dalam tempo yang singkat melainkan harus dimulai sejak kecil melalui latihan kemandirian dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berikut ini akan diberikan penjelasan singkat tentang masing-masing faktor tersebut. Blair dalam Suryadi Damayanti, 2003 menyatakan bahwa kecerdasan seseorang berhubungan dengan tingkat kemandiriannya, artinya semakin tinggi tingkat kecerdasan semakin tinggi pula tingkat kemandiriannya. Penelitian yang 28 dilakukan oleh Gilmore dalam Suryadi Damayanti, 2003 pada subyek anak cerdas dan kurang cerdas menunjukkan bahwa anak yang cerdas lebih berperilaku mandiri dibandingkan dengan anak yang kurang cerdas. Williams dalam Suryadi Damayanti, 2003 berpendapat bahwa orang yang paling dekat atau paling sering berhubungan dengan anak di dalam keluarga pada umumnya adalah ibu, sehingga sikap ibu merupakan faktor yang penting dalam perkembangan anak. Tingkat pendidikan ibu akan mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya dalam menghadapi anak-anaknya Watson dalam Suryadi Damayanti, 2003. Conger dalam Suryadi Damayanti, 2003 menyatakan bahwa perlakuan yang diberikan oleh orang tua berpengaruh terhadap kemandirian anak-anaknya. Dalam penelitian Widjaja dalam Suryadi Damayanti, 2003 ditemukan bahwa faktor pendidikan ibu berperan dalam pembentukan kemandirian pada anak, dalam arti makin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka ia akan lebih mendorong kemandirian sehingga anak-anak juga menjadi lebih mandiri. Baumrind dalam Bee, 1981 menyatakan bahwa anak-anak yang diasuh secara demokratik oleh orang tuanya menunjukkan rata-rata kemandirian yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang tidak diasuh secara demokratik. Hurlock 1980 menyatakan bahwa keluarga kecil mempunyai kemungkinan paling besar untuk menerapkan pola asuh yang demokratik pada anak-anaknya. Cole 1973 mengatakan bahwa pola asuh demokratik adalah orang tua sebagai individu yang matang secara emosional selalu mengajak anak-anak mereka untuk ikut berpartisipasi dalam membuat keputusan dan bersikap secara obyektif dalam 29 mengasuh anak. Dalam pola asuh yang demikian, anak dihargai sebagai individu, didorong untuk mengemukakan pendapatnya dan keputusan yang mereka buat dihargai tanpa ada tekanan dari pihak orang dewasa lainnya.

D. Gaya Pengasuhan

1. Definisi Gaya Pengasuhan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Widowati, 2013, pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk struktur yang tetap. Sedangkan, kata asuh dapat berarti menjaga merawat dan mendidik anak kecil, membimbing membantu; melatih, dan sebagainya, memimpin menggepalai dan menyelenggarakan satu badan atau lembaga. Elaine Donelson dalam Widowati, 2013 berpendapat bahwa kata asuh adalah mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan, dan bantuan sehingga anak tetap berdiri dan menjalani hidupnya secara sehat. Widowati 2013 berpendapat bahwa pola asuh orang tua diidentifikasi melalui adanya perhatian dan kehangatan, yaitu orang tua dalam mengasuh dan menjalin hubungan interpersonal dengan anak disadari adanya perhatian, penghargaan dan kasih sayang, kebebasan berinisiatif, yaitu kesediaan orang tua untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk menyampaikan dan mengembangkan pendapat ide, pemikiran dengan tetap mempertimbangkan hak-hak orang lain, nilai dan norma yang berlaku; Kontrol terarah, yaitu pola pengawasan dan pengendalian orang tua dengan 30 cara memberikan bimbingan, arahan dan pengawasan terhadap sikap dan perilaku anak; Pemberian tanggung jawab, yaitu kesediaan orang tua memberikan peran dan tanggung jawab kepada anak atas segala sesuatu yang dilakukan. Aisyah 2010 berpendapat bahwa pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Pola asuhan merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya. Berdasarkan beberapa definisi yang telah diuraikan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa definisi pola pengasuhan itu sendiri adalah kegiatan merawat, membimbing, mendidik, dan memberi dukungan kepada anak sehingga anak dapat memperoleh kehangatan kasih sayang dan perhatian berupa kontrol, kedisiplinan, dan kesempatan untuk berkembang yang diberikan orang tua kepada anak.

2. Bentuk-bentuk Pengasuhan

Diana Baurimnd dalam Santrock, 2002 menekankan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam