Pembentukan Kelompok Siswa dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino.

6. Empati yaitu mirip dengan simpati, akan tetapi tidak semata-mata perasaan kejiwaan saja. Empati dibarengi dengan perasaan organisme tubuh yang sangat intensdalam. http:id.shvoong.comsocial-sciences sociology 1809953-interaksi-sebagai-proses-sosial Semua bentuk-bentuk interaksi sosial di atas selain dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari juga bisa dilihat dalam karya sastra, khususnya novel. Tokoh yang satu dengan yang lain saling berinteraksi sehingga menghasilkan sebuah cerita. Dalam novel grotesque interaksi dilakukan oleh dua kelompok siswa. Siswa kelompok orang dalam menunjukkan golongan atas dan siswa kelompok orang luar menunjukkan golongan bawah. Setiap perilaku masing- masing kelompok ini memberikan pengaruh terhadap kelompok lainnya. Setiap tindakan dan sikap dari siswa kelompok orang dalam mendapat tanggapan dari siswa kelompok orang luar begitu juga sebaliknya. Dari setiap interaksi tersebut juga dapat di lihat bagaimana hubungan yang terjadi antara kedua kelompok ini.

2.4. Pembentukan Kelompok Siswa dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino.

Berikut adalah cuplikan-cuplikan cerita yang akan menunjukkan pembentukan kelompok siswa dalam novel Grotesque. Cuplikan halaman 62-63 Itu karena Universitas Q tidak begitu saja menerima siapa pun. Dan karena itu siswa-siswa yang masuk ke system Q-yang akhirnya mampu meluncur Universitas Sumatera Utara masuk ke universitas Q-merasa berhak. Semakin awal si siswa masuk ke sistim ini, semakin kuat kesadaran elit mereka. Justru karena sistim ekskalator inilah orang tua yang kaya raya berupaya keras agar anak mereka masuk sekolah Q tingkat dasar. Kudengar dari orang lain bahwa keseriusan mereka dalam menghadapi ujian awal ini sudah mendekati histeri. Dari cuplikan diatas di jelaskan bahwa sistem perguruan Q bukanlah sistim yang menerima siswa dengan mudah, semakin cepat seorang siswa masuk ke dalam sistim ini maka mereka akan semakin dianggap elit. Perguruan Q memiliki sistim ekskalator maka siswa yang masuk saat sekolah dasar bisa masuk ke tingkat berikutnya dengan mudah tanpa test. Karena itulah maka para orang tua yang kaya raya berupaya keras agar anak mereka masuk dari tingkat dasar. Hal itu juga merupakan alasan kenapa semakin cepat siswa masuk ke dalam sistim perguruan Q semakin mereka dianggap elit karena siswa sekolah dasar perguruan Q merupakan siswa yang berasal dari keluarga yang kaya. Sistim perguruan Q ini juga menyebabkan siswa yang masuk pada tingkat berikutnya dianggap lebih rendah dibandingkan siswa yang masuk di tingkat sebelumnya dan melanjut tanpa ujian. Cuplikan halaman 64 Siswa-siswa tingkat satu dibagi atas dua kelompok besar: mereka yang melanjutkan dari dalam sistem sekolah Q dan mereka yang masuk tahun itu. Sekilas mudah melihat yang mana kelompok apa. Panjang rok seragam sekolah kamilah yang membedakan kami. Universitas Sumatera Utara Diantara kami yang masuk untuk pertama kali-masing-masing dari kami- sesudah berhasil lulus ujian masuk, memakai rok yang panjangnya tepat di atas lutut, tepat sesuai peraturan sekolah. Tetapi, separuh siswa yang sudah sejak tingkat sekolah dasar atau sekolah menengah ada di sistem itu, memakai rok yang pendek hingga ke paha mereka. Nah, aku bukan bicara tentang jenis rok yang di pakai gadis-gadis sekarang, rok yang hampir tidak menutupi apa pun sehingga seperti sama sekali tidak ada. Dari cuplikan di atas dijelaskan bagaimana kelompok siswa dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang masuk melalui sistim dan yang kedua yang masuk melalui test pada tahun itu. Pada cuplikan yang ingin dijelaskan bukanlah masalah panjang rok tetapi perbedaan yang sangat menonjol pada kedua kelompok tersebut. Kelompok pertama memakai rok yang sangat pendek yang tidak sesuai dengan peraturan sekolah, tanpa takut akan mendapat hukuman. Mereka merasa berkuasa di sekolah itu sehingga memiliki keberanian untuk melanggar peraturan yang ada. Sedangkan kelompok yang kedua adalah siswa-siswa baru yang taat dengan peraturan yang ada. Dari cuplikan sebelumnya kelompok pertama jelas merupakan siswa-siswa yang dianggap lebih elit dari pada siswa yang ada di kelompok kedua. Cuplikan halaman 65 Upacara matrikulasi pun dimulai. Kami orang luar memperhatikan dengan serius semua yang dikatakan. Tetapi sebaliknya siswa-siswa yang naik dari tingkat dasar hanya pura—pura mendengarkan. Mereka mengunyah permen karet, saling berbisik, dan bersikap seakan-akan mereka sama sekali tidak peduli Universitas Sumatera Utara dengan apa yang sedang berlangsung. Bukannya bersikap serius, mereka malah bertingkah laku seperti anak kucing yang lincah, sangat disayang, dan sulit diatur. Dan mereka tidak satu kali pun melirik kearah kami. Kontras sekali dengan para siswa pendatang, yang ketika memperhatikan cara orang dalam bersikap, merasa semakin gelisah. Cuplikan di atas juga menunjukkan bahwa siswa yang baru masuk disebut “orang luar” dan siswa yang masuk melalui sistim disebut “orang dalam”. Dalam cuplikan juga ditunjukkan bahwa perbedaan sikap antara dua kelompok siswa tersebut. Siswa yang termasuk ke dalam kelompok “orang dalam” bertindak sesuka hati dan sama sekali tidak mempedulikan siswa di kelompok “orang luar” Cuplikan halaman 76-77 “Di sini kami punya masyarakat berdasarkan golongan dalam seluruh kejayaan yang menjijikkan,” lanjut Mitsuru. “ Pasti lebih buruk di sini dari tempat lain mana pun di seluruh Jepang. Penampilan menguasai segalanya. Karena itulah orang-orang di lingkaran dalam dan mereka yang berorbit di luarnya tidak pernah berbaur.” “Lingkaran dalam? apa itu?” “Mereka yang mulai bersekolah disini sejak sekolah dasar adalah putri- putri berdarah biru sejati, anak-anak perempuan dari para ayah yang memiliki kartel-kartel raksasa. Mereka tidak pernah harus bekerja sama sekali dalam hidup mereka. Bahkan, kalau punya pekerjaan malah memalukan.” “Bukankah itu agak kuno?” aku mendengus jijik, tetapi Mitsuru melanjutkan dengan serius sekali. Universitas Sumatera Utara “Nah, aku setuju tentu saja. Tetapi begitulah sikap lingkaran dalam terhadap penaksiran nilai. Mungkin agak lepas dari kenyataan, tetapi mereka sangat kokoh dalam posisi mereka, maka semua orang lain terbawa menyimpang.” “Nah, bagaimana dengan orang-orang lain di sekeliling mereka?” “Mereka anak-anak orang upahan,” jawab Mitsuru dengan nada sedih. “ Anak perempuan dari orang yang bekerja untuk mendapatkan bayaran tidak pernah bisa menjadi bagian dari lingkaran dalam. Mungkin saja dia pintar dan berbakat, tetapi hal itu tidak menjadikannya berbeda. Ia bahkan tidak akan terperhatikan. Kalau ia mencoba bergerak dengan licin ke tengah mereka, ia akan diejek. Tambahan lagi, meskipun dia cukup cerdas, tetapi ia tidak keren dan jelek maka ia tidak lebih dari sampah di tempat ini.” Cuplikan diatas adalah merupakan percakapan antara tokoh pengarang sebagai tokoh “aku” dengan salah satu tokoh lain bernama Mitsuru. Cuplikan ini menjelaskan bagaimana keadaan kehidupan sosial dalam sekolah itu. Pembentukan kelompok siswa dalm novel ini terjadi didasarkan pada perbedaan kekayaan. Siswa kelompok orang dalam merupakan putri-putri orang-orang kaya dan di luarnya yaitu siswa kelompok orang luar merupakan putri dari orang-orang upahan. Siswa kelompok orang dalam dan siswa kelompok orang luar tidak dapat berbaur satu sama lain. Kepintaran dan bakat yang dimiliki siswa tidak memiliki pengaruh banyak, hal itu tidak bisa menjadikan siswa dari golongan luar biasa masuk ke golongan dalam. Bahkan jika ada yang berusa untuk masuk maka dia akan mendapatkan perlakuan buruk seperti diejek. Siswa-siswa yang berasal dari Universitas Sumatera Utara golongan luar atau anak dari orang upahan selalu dianggap tidak penting dan dianggap seperti sampah. Dari cuplikan-cuplikan di atas dapat diketahui bagaimana kedua kelompok siswa ini terbentuk. Perbedaan kekayaan yang dimiliki oleh siswa menjadi pembeda kedua kelompok siswa ini. Siswa yang ada di kelompok orang dalam adalah siswa yang berasal dari keluarga yang kaya raya dan masuk ke sekolah lanjutan atas perguruan Q melalui sistim. Sedangkan siswa yang ada di kelompok orang luar adalah siswa yang masuk melalui ujian di tahun itu. Antara kedua kelompok ini tidak bisa saling berbaur satu sama lain. Berada di kelompok mana menentukan juga dengan siapa para siswa boleh berhubungan atau berteman. Kelompok orang dalam dianggap lebih elit daripada kelompok orang luar. Kelompok orang dalam memiliki kekuasaan di sekolah dan mendapatkan banyak kebebasan sedangkan kelompok orang luar tidak memiliki kekuasaan mereka patuh terhadap peraturan yang ada. Universitas Sumatera Utara

BAB III ANALISIS INTERAKSI SOSIAL DUA KELOMPOK SISWA DALAM