dengan: I = intensitas bunyi pada jarak r dari sumber bunyi wattm
2
P = daya atau kekuatan sumber bunyi watt r = jarak dari sumber bunyi m
3.5. Jarak Tempuh Gelombang Bunyi
Gelombang bunyi yang merambat dari sumber bunyi dan menempuh jarak tertentu akan menurun kekuatannya bunyi terdengar lebih pelan dan lama-
kelamaan hilang, meski sesungguhnya ketika dikaitkan dengan energi yang dimilikinya, energi tersebut tidak hilang, tetapi berubah bentuk. Melemahnya
energi yang dimiliki sumber bunyi disebabkan oleh karena energi yang sama harus merambat menyebar pada area yang lebih luas. Dapat diasumsikan bahwa
sumber bunyi sebagai sebuah objek yang berada bebas di udara, yang akan menyebar merambat ke segala arah sehingga area rambatannya akan berbentuk
seperti bola. Gelombang bunyi memerlukan waktu untuk merambat. Gelombang bunyi
merambat melalui udara. Dalam perjalanannya, gelombang bunyi akan mengalami penurunan intensitas karena gesekan dengan udara. Menurut penelitian
BRECIRIA, 1993, pada sumber bunyi tunggal, setiap kali jaraknya bertambah dua kali lipat dari sumber bunyi, kekuatan bunyi akan turun sebesar 6 dBA.
Sedangkan pada sumber bunyi majemuk, setiap kali jaraknya bertambah dua kali lipat dari sumber bunyi, maka kekuatan bunyi akan turun 3 dBA Mediastika,
2005.
Universitas Sumatera Utara
3.6. Sound Weighting
Respon telinga yang berbeda-beda terhadap bunyi pada frekuensi tertentu akhirnya mengelompokkan bunyi-bunyi dalam bobot tertentu, sesuai kesan atau
sensasi yang diterima oleh telinga. Dalam bahasa Inggris, metode ini disebut
sound weighting. Kurva sound weighting dengan bobot A, B, C, dan D dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Sumber: Wikipedia, 2011
Gambar 3.2. Kurva Sound Weighting pada Frekuensi 10 Hz – 20 kHz
Pembobotan bunyi dibedakan menjadi: 1.
Bobot A adalah kategori yang diciptakan pada kondisi telinga kurang baik merespons bunyi-bunyi rendah, sehingga telinga beradaptasi hebat agar
mampu mendengar bunyi berfrekuensi rendah. Oleh karenanya, agar telinga tetap memiliki respons yang wajar, frekuensi-frekuensi yang terlalu rendah di
Universitas Sumatera Utara
bawah 100 Hz seringkali diabaikan hampir identik dengan 40 phon pada
frekuensi 1 kHz.
2. Bobot B: skala yang diciptakan pada kondisi telinga merespons bunyi-bunyi
sedang hampir identik dengan 70 phon pada frekuensi 1 kHz. 3.
Bobot C: skala yang diciptakan ketika telinga seolah mendapat sensasi yang sama atau melakukan respons yang sama terhadap bunyi pada hampir semua
frekuensi, sehingga kurvanya hampir mendatar. 4.
Bobot D: skala yang diciptakan ketika telinga merespons bunyi-bunyi yang muncul dari kapal terbang pada frekuensi sensitif 2 sd 5 kHz.
Pada pengukuran secara subjektif terhadap respons telinga tiap-tiap orang, ternyata ditemukan bahwa bobot B dan C seringkali tidak tepat. Hal ini terjadi
karena grafik yang dijadikan acuan lebih cenderung untuk mengukur bunyi-bunyi dengan satu jenis tone penekanan saja, sementara dalam kehidupan sehari-hari,
dalam waktu yang bersamaan, seringkali didengar bunyi-bunyi dalam bermacam- macam tone. Sebaliknya pada bobot A, hasil pengukuran sensasi tingkat
kekerasan yang dirasakan orang umumnya tepat. Itu sebabnya, bobot inilah yang lebih banyak dipakai sebagai pedoman pengukuran.
3.7. Ambang Batas Kebisingan