21
3. Produk Cacat Defect a. Cacat produk dalam proses Process Defect Losses
b. Hasil rendah Reduced Yield Losses
2.3.5. OEE Overall Equipment Effectiveness
Overall  equipment  effectiveness  OEE  merupakan  produk  dari  six  big losses  pada  mesinperalatan.  Keenam  faktor  dalam  six  big  losses  seperti  telah
dijelaskan  di  atas,  dapat  dikelompokkan  menjadi  tiga  komponen  utama  dalam OEE  untuk  dapat  digunakan  dalam  mengukur  kinerja  mesinperalatan  yakni,
downtime losses, speed losses dan defect losses seperti dapat dilihat pada Gambar 2.3. berikut ini :
Gambar 2.3. Overall Equipment Effectiveness Sumber : http:www.plant-maintenance.comarticlesRCMvTPM.shtml
Overall  equipment  effectiveness  OEE  merupakan  ukuran  menyeluruh yang mengindikasikan tingkat produktivitas mesinperalatan dan kinerjanya secara
teori.  Pengukuran  ini  sangat  penting  untuk  mengetahui  area  mana  yang  perlu untuk ditingkatkan produktivitas ataupun efisiensi mesinperalatan dan juga dapat
Universitas Sumatera Utara
22
menunjukkan  area  bottleneck  yang  terdapat  pada  lintasan  produksi.  OEE  juga merupakan alat ukur untuk mengevaluasi dan memberikan cara  yang tepat untuk
menjamin peningkatan produktivitas penggunaan mesinperalatan. Formula  matematis  dari  overall  equipment  effectiveness  OEE
dirumuskan sebagai berikut :
OEE = Availability x Performance efficiency x Rate of quality product x 100 Kondisi  operasi  mesinperalatan  produksi  tidak  akan  akurat  ditunjukkan
jika  hanya  didasarkan  pada  perhitungan  satu  faktor  saja,  misalnya  performance efficiency  saja.  Enam  faktor  pada  six  big  losses  baru  minor  stoppages  saja  yang
dihitung  pada  performance  efficiency  mesinperalatan.  Rugi-rugi  lainnya  belum dihitung.  Keenam  faktor dalam  six big  losses  harus diikutkan dalam perhitungan
OEE, kemudian kondisi aktual dari mesinperalatan dapat dilihat secara akurat. 1.
Ketersediaan Availability Availability Merupakan  rasio  operation  time  terhadap  waktu  loading  timenya.  Sehingga
untuk dapat menghitung availability mesin dibutuhkan nilai-nilai dari : 1. Waktu Operasi Operation time
2. Waktu Persiapan Loading time 3. Waktu tidak bekerja Downtime
Nilai availability dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Operation time merupakan hasil pengurangan loading time dengan waktu downtime  mesin  non-operation  time,  dengan  kata  lain  operation  time  adalah
waktu operasi yang tersedia available time setelah waktu-waktu downtime mesin dikeluarkan dari total available time yang direncanakan. Downtime mesin adalah
waktu  proses  yang  seharusnya  digunakan  mesin  akan  tetapi  karena  adanya gangguan  pada  mesinperalatan  equipment  failures  mengakibatkan  tidak  ada
output  yang  dihasilkan.  Downtime  mesin  berhenti  beroperasi  akibat  kerusakan
Universitas Sumatera Utara
23
mesinperalatan,  penggantian  cetakan  dies,  pelaksanaan  prosedur  set-up  dan adjusment dan lain sebagainya.
Loading  time  adalah  waktu  yang  tersedia  availability  time  perhari  atau perbulan  dikurangi  dengan  waktu  downtime  mesin  yang  direncanakan  planned
downtime. Loading time = Total availability time
– Planned downtime Planned  downtime  adalah  jumlah  waktu  downtime  yang  telah
direncanakan  dalam  rencana  produksi  termasuk  didalamnya  waktu  downtime mesin  untuk  pemeliharaan  scheduled  maintenance  atau  kegiatan  manajemen
lainnya.
2. Performance Effieciency
Merupakan  hasil  perkalian  dari  operating  speed  rate  dan  net  operating speed, atau rasio kuantitas produk yang dihasilkan dikalikan dengan waktu siklus
idealnya  terhadap  waktu  yang  tersedia  untuk  melakukan  proses  produksi operation time.
Operating  speed  rate  merupakan  perbandingan  antara  kecepatan  ideal mesin  sebenarnya  theoretichalideal  cycle  time  dengan  kecepatan  aktual  mesin
actual cycle time. Persamaan matematikanya dapat ditunjukkan sebagai berikut :
Net  operating  time  merupakan  perbandingan  antara  jumlah  produk  yang diproses processed amount dikalikan dengan actual cycle time dengan operation
time.  Net  operating  time  berguna  untuk  menghitung  rugi-rugi  yang  diakibatkan oleh minor stoppages dan menurunnya kecepatan produksi reduced speed. Tiga
faktor penting yang dibutuhkan untuk menghitung Performance efficiency : 1. Ideal cycle time waktu siklus idealwaktu standar
Universitas Sumatera Utara
24
2. Processed amount jumlah produk yang diproses 3. Operation time waktu operasi mesin
Performancy effieciency dapat dihitung sebagai berikut : Performance effieciency = Net operating x operating speed rate
3. Rasio Kualitas Produk Rate of Quality Products Rate of quality products
Adalah rasio jumlah produk yang baik terhadap jumlah total produk yang diproses.  Jadi  Rate  of  quality  products  adalah  hasil  perhitungan  dengan
menggunakan dua faktor berikut : 1. Processed amount jumlah produk yang diproses
2. Defect amount jumlah produk yang cacat
Rate of quality products dapat dihitung sebagai berikut :
TPM  mereduksi  rugi-rugi  mesinperalatan  dengan  cara  meningkatkan availability,  performance  efficiency  dan  rate  of  quality  products.  Sejalan  dengan
meningkatnya  ketiga  faktor  yang  terdapat  dalam  OEE  maka  kapabilitas perusahaan juga meningkat.
Dengan  memasukkan  keenam  faktor  yang  terdapat  dalam  six  big  losses dalam  perhitungan  OEE  pada  pertama  kali  umumnya  perusahaan  hanya
mempunyai tingkat OEE sekitar 50 sampai 60, dengan kata lain pabrik hanya menggunakan  setengah  dari  potensi  kapasitas  efektivitas  mesinperalatan  yang
mereka miliki.
Universitas Sumatera Utara
25
Japan  Institute  of  Plant  Maintenance  JIPM  telah  menetapkan  standar benchmark  yang  telah  dipraktekan  secara  luas  di  seluruh  dunia.  Berikut  OEE
Benchmark tersebut :
Jika  OEE  =  100,  produksi  dianggap   sempurna:  hanya  memproduksi produk tanpa cacat, bekerja dalam performance yang cepat, dan tidak ada
downtime.
Jika OEE = 85, produksi dianggap kelas dunia. Bagi banyak perusahaan, skor ini merupakan skor yang cocok untuk dijadikan goal jangka panjang.
Jika  OEE  =  60,  produksi  dianggap  wajar,  tapi  menunjukkan  ada  ruang yang besar untuk improvement.
Jika  OEE  =  40,  produksi  dianggap  memiliki  skor  yang  rendah,  tapi dalam  kebanyakan  kasus  dapat  dengan  mudah  di-improve  melalui
pengukuran  langsung  misalnya  dengan  menelusuri  alasan-alasan downtime dan menangani sumber-sumber penyebab downtime secara satu
per satu. Untuk standar benchmark world class yang dianjurkan JIPM, yaitu OEE =
85,  Tabel  2.1.  menunjukkan  skor  yang  perlu  dicapai  untuk  masing-masing faktor OEE.
Tabel 2.1. World Class OEE
OEE Factor World Class
Availability 90.0
Performance
95.0
Quality 99.0
OEE
85.0 Sumber :
www.oee.comworld-class-oee.html Standar   benchmark  world  class  OEE  tersebut  relatif   karena  pada
beberapa  buku dan perusahaan menunjukkan standar skor  yang berbeda, standar word  class  ini  selalu  didorong  lebih  tinggi  sejalan  meningkatnya  persaingan  dan
Universitas Sumatera Utara
26
harapan. Misal jika di pabrik sepatu mungkin  quality rate  90 dapat diterima, tapi  jika  di  pabrik  ban  pesawat  terbang  quality  rate
99.9  atau  setara  ~3σ mungkin  merupakan  minimal  word  class,  dan   tentu  saja  bagi  perusahaan  yang
mempunyai  program  kualitas  six  sigma  tidak  akan  puas  dengan  quality  rate
99.9.
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perawatan  terhadap  mesin –  mesin  dalam  dunia  industrimanufaktur
merupakan  aspek  penting  yang  tidak  bisa  diabaikan.  Karena  setiap  mesin  pasti membutuhkan perawatan yang tepat demi berlangsungnya proses produksi secara
berkelanjutan. Maka dengan itu dibutuhkan manajemen yang baik serta metode –
metode yang tepat dalam perawatan mesin tersebut sehingga umur mesin pun bisa lebih lama dan dapat menekan biaya pengeluaran.
Berhentinya  suatu  proses  pada  suatu  proses  produksi  cenderung disebabkan  adanya  masalah  dalam  mesinperalatan  produksi,  misalnya  mesin
berhenti secara tiba-tiba, menurunnya kecepatan  produksi mesin,  lamanya waktu setup  dan  adjusment,  mesin  menghasilkan  produk  yang  cacat  dan  mesin
beroperasi tetapi tidak menghasilkan produk. Total Productive Maintenance atau TPM adalah  salah satu  metode proses
maintenance yang dikembangkan untuk meningkatkan produktifitas di area kerja, dengan  cara  membuat  proses  tersebut  lebih  reliable  dan  lebih  sedikit  terjadi
pemborosan waste. Metode ini merupakan bagian dari Lean Manufacturing. TPM  berfungsi  untuk  memelihara  pabrik  dan  peralatannya  agar  selalu
dalam  kondisi  prima.  Untuk  memenuhi  tujuan  ini,  diperlukan  maintenance  yang prefentif  dan  prediktif.  Dengan  mengaplikasikan  prinsip  TPM  kita  dapat
meminimalisir  kerusakan  pada  mesin.  Masalah  yang  umum  terjadi  pada  mesin misalnya  kotor,  mur  dan  baut  hilang,  oli  jarang  diganti,  kebocoran,  bunyi-bunyi
tak  normal,  getaran  berlebihan,  filter  kotor,  dan  sebagainya  dapat  diminimalisir dengan TPM.
PT. PP  LONDON SUMATERA  INDONESIA,  Tbk  BEGERPANG  POM merupakan  perusahaan  yang  bergerak  dalam  produksi  Crude  Palm  Oil  CPO
yang  tidak  terlepas  dari  masalah  yang  berkaitan  dengan  efektivitas mesinperalatan.  Oleh  karena  itu  diperlukan  langkah-langkah  untuk  mencegah
atau mengatasi masalah tersebut.
Universitas Sumatera Utara