Analisis Hukum Acara Pidana Terhadap KesaksianDe Auditu

dipercaya, maka keterangan saksi seperti itu dikecualikan dari de auditu. Artinya keterangan saksi seperti itu dapat diakui sebagai alat bukti meskipun secara tidak langsung yakni lewat alat bukti petunjuk. Senada dengan hal tersebut Wirjono Prodjodikoro juga mengemukakan pendapatnya tentang saksi de auditu yang dapat dipergunakan dalam persidangan sebagai alat bukti petunjuk. Menurutnya: “larangan terhadap saksi testimonium de auditu adalah baik dan semestinya. Akan tetapi harus diperhatikan, bahwa kalau ada saksi yang menerangkan telah mendengar terjadinya suatu keadaan dari orang lain, kesaksian semacam itu tidak selalu dapat dikesampingkan begitu saja. Mungkin hal pendengaran suatu peristiwa dari orang lain dapat berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa.” 61 Penulis sependapat dengan kedua sarjana hukum tersebut bahwa saksi de auditu tidak dapat dikesampingkan begitu saja untuk tidak di dengar keterangannya. Kecermatan hakim untuk menilai kebenaran dari kesaksian de auditu sangat diperlukan untuk membangun keyakinan hakim. Saksi de auditu dapat saja di terima sebagai sebuah alat bukti asal hakim mempunyai alasan yang rasionable untuk itu. Prinsip umum yang diterima secara meluas dalam praktik pengadilan adalah bahwa saksi de auditu tidak berharga sebagai alat bukti. Namun 61 Hari Sasangka dan lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003, h. 40 pendapat tentang dapat dipakainya keterangan saksi de auditu oleh hakim, baik sebagai alat bukti petunjuk dalam acara pidana maupun lewat alat bukti persangkaan dalam acara perdata, juga diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia MARI meskipun belum ada arah dan sasaran yang jelas. Contoh kasus dapat dikemukakan disini yaitu dalam perkara pidana yang menyangkut delik kesusilaan yang di putuskan oleh Mahkamah Agung dalam putusan Peninjauan Kembali PK Nomor 193 PKPid.Sus2010 pada pembahasan diatas tersebut. Putusan PK yang pada intinya menolak keberatan pemohon PK dan menguatkan putusan Kasasi Mahkamah Agung tersebut yang dalam salah satu pertimbangan hukum nya membenarkan apa yang telah sebelum nya dilakukan oleh Majelis Kasasi Mahkamah Agung dalam hal menerima keterangan saksi Amintas Lumban Raja Bin D. Lumban Raja, saksi Anis Sirait Binti Ahiya Sirait, saksi Dyah Ariiani Pudjilestari Binti Soedjadi, saksi Ucok Sabar Lumban Raja Bin Amintas Lumban Raja sebagai salah satu alat bukti. Padahal saksi-saksi tersebut bukan saksi asli yang melihat, mendengar atau mengalami kejadian tersebut, tetapi diperoleh dari keterangan saksi korban yakni Farida Lumban Raja, sehingga dapat dikategorikan bahwa saksi tersebut merupakan saksi de auditu. Dalam praktik peradilan di Indonesia, memang mayoritas para hakim menolak kesaksian de auditu, namun ada beberapa putusan pengadilan yang menggunakan kesaksian de auditu sebagai alat bukti persangkaan dalam hukum acara perdata maupun sebagai alat bukti petunjuk dalam hukum acara pidana. Seperti: 1. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia MARI Nomor 239 KSip1973, tanggal 25 September 1975. Dalam hal ini dengan pertimbangan bahwa banyak peristiwa hukum masa lalu tidak dilakukan dalam bentuk tulisan, tetapi dilakukan dengan pesan lisan secara turun temurun, maka saksi yang mendengar dari orang lain pesan secara turun temurun tersebut dapat diterima sebagai alat bukti karena dalam hal ini, saksi-saksi yang langsung mengalami perbuatan hukum tersebut semuanya sudah meninggal dunia. 2. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia MARI Nomor 818 KSip1983 tanggal 18 Agustus 1984, yang dapat menerima keterangan dua orang saksi de auditu untuk memperkuat keterangan dari seorang saksi lain yang tidak de auditu sehingga terhindar dari ketentuan Unnus Testis Nullus Testis,satu orang saksi bukanlah saksi. 3. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia MARI Nomor 308 KSip1959, tanggal 11 November 1959, yang diputuskan oleh majelis hakim yang terdiri atas: - R. Wirjono Prodjodikoro ketua - Sutan Kali Malikul Adil anggota - Mr. Subekti anggota Yang pada intinya menyatakan bahwa “kesaksian testimony de auditu tidak dapat digunakan sebagai bukti langsung, namun kesaksian ini dapat digunakan sebagai bukti persangkaan, yang dari persangkaan ini dapat dibuktikan suatu halfakta. Hal yang demikian ini tidaklah dilarang.” 62 Secara umum menolak kesaksian de auditu tapi dari beberapa putusan pengadilan ada yang mencoba menerimanya baik lewat bukti persangkaan ataupun melalui bukti petunjuk. Tetapi belum ada pedoman yang jelas dari Mahkamah Agung selaku pemegang kekuasaan tertinggi di bidang kehakiman di Indonesia untuk memberikan pengarahan serta petunjuk yang jelas bagi perkara-perkara pidana yang menyangkut saksi de auditu di kemudian hari.

C. Analisis HukumAcara Pidana Islam Terhadap KesaksianDe Auditu

Pembuktian kriminal pidana dalam hukum Islam pada intinya selalu berdasarkan pada kesaksian. 63 Karena kesaksian merupakan dasar awal untuk membuktikan telah terjadinya suatu tindak pidana dalam hukum Islam. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pada prinsipnya hukum pidana Islam mensyaratkan kesaksian terbaik yaitu kesaksian berdasarkan pada apa yang dilihat, dialami dan didengarnya sendiri. Namun dalam keadaan-keadaan tertentu saksi yang mengalami dan melihatnya tidak dapat hadir dipersidangan untuk memberikan kesaksian seperti saksi sudah 62 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, h. 149. 63 Ma’amoun M. Salama, General Principles Of Criminal Evidence In Islamic Jurisprudence, dalam M. Cherif Bassiouni,ed, The Islamic Criminal Justice System, New York: Oceana Publications, 1982, h. 115. meninggal, sakit yang amat parah atau alasan-alasan lain yang dibenarkan oleh Syara ’. Sehingga kemudian untuk membuktikan tentang terjadi nya suatu tindak pidana digunakanlah saksi yang tidak melihat atau mengalaminya secara langsung melainkan berita tersebut di dapat dari orang lain. Dalam masalah-masalah yang bersifat keperdataan ahli hukum Islam sepakat untuk menerima kesaksian tersebut. Namun lain halnya dengan perkara pidana, dalam perkara yang berkaitan dengan hukum qishas seperti pembunuhan serta pidana qadzaf kesaksian tersebut dapat diterima sedangkan untuk had zina, minuman keras, serta pencurian tidak dapat diterima karena menurut Imam Syafi’i hal tersebut menjadi haknya Allah. 64 Kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana Islam dilarang penggunaannya karena kebenaran dari saksi de auditu sangat diragukan. Berbeda dengan pendapat yang ada, golongan Hanafiyah mengatakan bahwa saksi de auditu khabar istifadlah, setara dengan berita mutawatir yakni berita yang sudah menyebar dikalangan umum dan ini merupakan suatu jenis berita dari berita-berita yang boleh dijadikan sandaran persaksian. Misalnya seorang suami dibolehkan berpegang pada berita itu dalam menuduh isterinya telah berzina, apabila zina si isteri telah tersebar beritanya dikalangan manusia. Dan hakim dibolehkan berpegang terhadapnya. 65 64 Ibnu Abi Dam, Kitab Adab Al-Qadla, Beirut: Darul Kitab Al-ilmiya, 1987, h. 295. 65 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 82. Namun dalam hukum acara pidana Islam dikenal juga model kesaksian atas kesaksian. Yakni kesaksian seseorang yang diperoleh dari orang lain yang melihat, mendengar atau mengalami suatu peristiwa tindak pidana tersebut. Tetapi saksi asli berhalangan hadir disidang pengadilan baik karena telah meninggal atau sakit yang amat parah. Dalam memutuskan dapat diterima atau tidaknya kesaksian seseorang yang tidak melihat, mendengar dan mengalaminya secara langsung tergantung pada hak-hak yang dipersengketakan. Hak-hak tersebut ialah; 1. Hak-hak yang dihati-hatikan dalam menetapkannya, yaitu harta benda, 2. Hak-hak yang diwajibkan syara’ berhati-hati dalam menolaknya, yaitu perkara had dan qishas. Terkait dengan hak yang pertama Fuqoha sepakat memperbolehkannya. Sedangkan mengenai hak yang kedua terjadi perselisihan . Abu Hanifah, An Nakha’i tidak menerima kesaksian atas kesaksian dalam perkara Hududdan Qishas. Sedangkan As- Syafi’i menerima kesaksian atas kesaksian dalam hak-hak hamba semuanya baik hukuman atau lainnya. Namun terkait dengan had-had yang menjadi hak Allah ada dua pendapat beliau: 1. Tidak diterima, karena kesaksian mereka atas kesaksian asli menempati kesaksian atas pengakuan orang-orang yang mengaku dan yang demikian tidak diterima dalam had-had yang jadi hak Allah,