Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

Saksi Istifadlah ialah berita yang mencapai derajat antara berita mutawatir dan berita orang perorangan, yaitu berita yang sudah menyebar dan menjadi pembicaraan dikalangan manusia masyhur.Terkait dengan kekuatan pembuktian melalui khabar Istifadlah kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat ada yang memperbolehkan tetapi dalam kasus-kasus tertentu ada pula yang memperbolehkan nya pada semua perkara. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bahwa saksi Istifadlah adalah merupakan suatu cara dari cara-cara pengetahuan yang meniadakan kecurigaan tentang seorang saksi dan hakim dan ia lebih kuat dari kesaksian saksi dua orang laki-laki yang diterima kesaksiannya. 3 Dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis dipersidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian. 4 Pembuktian merupakan masalah yang sangat penting dalam proses dipengadilan, karena dapat menentukan bersalah atau tidak nya seseorang. 3 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 82. 4 Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011, h. 21. Macam-macam alat bukti dalam hukum acara pidana diatur didalam Undang- undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pasal 184 ayat 1 yaitu: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. Menurut KUHAP pasal 1 butir 26 yang dimaksud dengan saksi ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi kecuali yang dilarang oleh undang-undang. Mereka tersebut ialah: a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama- sama sebagai terdakwa. Alasan bagi keluarga untuk tidak dapat didengar sebagai saksi antara lain: - Pada umumnya mereka tidak objektif bila didengar sebagai saksi; - Agar hubungan kekeluargaan mereka tidak retak; - Agar mereka tidak merasa tertekan waktu memberikan keterangan; - Secara moral adalah kurang etis apabila seseorang menerangkan perbuatan yang kurang baik keluarga nya. 5 Selain itu yang dapat dikecualikan menjadi saksi menurut pasal 170 KUHAP yaitu mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatan nya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.Menurut Andi Hamzah pengecualian ini hanya bersifat relatif, karena frasa pasal ter sebut mengatakan”dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi…” maka berarti jika mereka bersedia menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim. 6 Keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan yang bertitik berat sebagai alat bukti ditujukan kepada permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian. Syarat sahnya keterangan saksi, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara 5 Ibid.,h. 45. 6 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika, 2009, h. 262. pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang- kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain. 7 Keterangan saksi yang dapat bernilai sebagai alat bukti ialah keterangan saksi yang di lakukan didepan sidang pengadilan terhadap sebuah kejadian tindak pidana yang ia lihat sendiri, ia dengar sendiri dan ia alami sendiri. Satu orang saksi bukanlah saksi unnus testis, nullus testis asas ini bisa di simpangi berdasarkan pasal 185 ayat 3 KUHAP, yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu alat bukti lain yang sah. Adapun keterangan saksi yang di peroleh dari orang lain yang di dalam ilmu hukum acara pidana di sebut testimonium de auditu atau hearsay evidence bukanlah alat bukti yang sah. 8 Menurut pendapat Andi Hamzah tidak diperkenankan nya kesaksian de auditu sebagai alat bukti selaras dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana keterangan saksi yang hanya mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya, sehingga patut tidak dipakai di Indonesia. 9 Senada dengan hal tersebut Wirjono Prodjodikoro juga melarang menggunakan keterangan saksi de auditu sebagai alat bukti. Lebih lanjut ia 7 Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, h. 58-59. 8 Ansori Sabuan, dkk, Hukum Acara Pidana, Bandung: Angkasa, 2010, h.179. 9 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, h. 262. mengatakan bahwa hakim dilarang memakai sebagai alat bukti suatu keterangan saksi deauditu yaitu tentang suatu keadaan yang saksi itu hanya dengar saja terjadinya dari orang lain. Larangan semacam ini baik bahkan sudah semestinya. Akan tetapi harus diperhatikan, bahwa kalau ada saksi yang menerangkan telah mendengar terjadinya suatu keadaan dari orang lain, kesaksian semacam ini tidak selalu dapat disampingkan begitu saja. Mungkin sekali hal pendengaran suatu peristiwa dari orang lain itu, dapat berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa. 10 Pasal 185 ayat 5 KUHAP mengatakan bahwa baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. Hal ini menunjukan bahwa KUHAP tidak menerima keterangan saksi de auditu sebagai alat bukti, namun hakim tidak dapat menolak begitu saja keterangan saksi de auditu. Keterangan semacam ini dapat berguna untuk menyusun serangkaian fakta hukum terhadap keyakinan hakim untuk menjatuhkan putusan terhadap terdakwa. Senada dengan hal tersebut M.Yahya Harahap juga menolak keterangan saksi de auditu sebagai alat bukti. Menurutnya, jelas bagi kita kebenaran yang “relevan” untuk dikemukakan saksi, terbatas hal-hal yang berhubungan dengan yang dilihat, didengar atau dialaminya sendiri. Saksi tidak di tuntut untuk menerangkan sesuatu yang berupa”cerita orang lain” 10 M.Karjadi dan R.Soesilo, KUHAP dengan Penjelasan dan Komentar, Bogor: Politea, 1983, h.160. kepada nya maupun “perkiraan”, atau “pendapat” atau “dugaan”. 11 Demikian juga hal-hal yang bersifat persangkaan tidak perlu dikemukakan di sidang pengadilan. Berdasarkan pada latar belakang pemikiran tersebut maka penulis ingin mengajukan nya menjadi sebuah penelitian skripsi sebagai upaya untuk memahami secara lebih utuh dan mendalam mengenai pembuktian saksi de auditudalam hukum acara pidana dengan memperbandingkannya dalam hukum Islam.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah Dari latar belakang masalah yang telah penulis paparkan, maka dapat diidentifikasi masalah-masalah yang meliputi permasalahan mengenai kesaksian de auditu dalam pandangan hukum Islam ini, diantaranya: 1. Apa macam-macam alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam? 2. Apa yang dimaksud dengan kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana diIndonesia dan hukum acara Pidana Islam? 3. Bagaimana kekuatan pembuktian kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana? 11 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika,2009 ed.2 cet ke IX, h.183. 4. Bagaimana kekuatan pembuktian saksi de auditu dalam hukum acara pidana Islam? 2. Pembatasan Masalah Dalam membahas masalah ini, penulis hanya ingin menitikberatkan dan memfokuskan pada bagaimana kekuatan pembuktian kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana Islam dan hukum acara Pidana di Indonesia dengan menganalisis salah satu putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan kesaksian de auditu ini. 3. Perumusan Masalah Berdasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasannya, maka penulis merumuskan kajian dalam permasalahan ini sebagai berikut: 1. Bagaimana kekuatan pembuktian kesaksian de auditu dalam pandangan hukum acara pidana di Indonesia dan hukum Acara pidana Islam? 2. Bagaimana putusan dan pertimbangan hakim Mahkamah Agung tentang saksi de auditudalam putusan Peninjauan Kembali PK Nomor 193 PKPid.Sus2010?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ilmiah bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran atas suatu obyek penelitian. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menjelaskantentang kekuatan pembuktian kesaksian de auditu dalam pandangan hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam 2. Menganalisis putusan dan pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung tentang saksi de auditusebagai alat bukti dalam putusan Peninjauan Kembali PK Nomor 193 PKPid.Sus2010

D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian

Terkait dengan signifikansi dan manfaat penelitian, maka paling tidak terdapat tiga manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini; 1. Manfaat bagi penulis, penelitian ini menjadi penting karena merupakan syarat akademik untuk mencapai gelar Sarjana Syariah di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Manfaat bagi Institusi, penelitian ini menjadi salah satu sumbangsih pemikiran bagi dunia akademik, khususnya dilingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Manfaat bagi masyarakat luas, penelitian ini berguna bagi kalangan akademisi, praktisi hukum maupun masyarakat umum untuk memahami mengenai kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana di Indonesia dan hukum Acara pidana Islam.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini akan memfokuskan kajiannya pada kekuatan pembuktian kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana Islam dengan