Syarat-syarat Menjadi Saksi KESAKSIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA DAN

contrario menurut Alfitra keterangan seorang saksi cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai satu alat bukti lain, misalnya satu keterangan saksi ditambah keterangan terdakwa, satu keterangan saksi ditambah satu alat bukti surat. 28 Dalam hukum Islam persyaratan seseorang untuk menjadi saksi sangat ketat dan selektif, hal ini dikarenakan kesaksian merupakan unsur terpenting dalam persidangan qadla yang bertujuan untuk menumbuhkan dan menguatkan keyakinan hakim dalam memutuskan perkara pidana terhadap terdakwa. Karena berhubungan tidak hanya dengan hak-hak terdakwa tetapi juga dengan hak-hak Allah. Adapun syarat menjadi saksi menurut Sayid Sabiq 29 yaitu: 1. Islam 2. Adil Hal ini sebagaimana firman Allah SWT: ّّ ا ّا ا قأ ْم ْم ْ ع ْ ا ْشأ Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” QS. Ath-Thalaq: 2. Para ulama ahli fiqih berpendapat bahwa sifat adil itu berkaitan dengan kesalehan dalam agama dan memiliki sifat Muru ‟ah kewibawaan. Kesalehan 28 Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011, h. 60. 29 Sayid Sabiq, Fiqih Sunah,h.1038. dalam agama dapat dipenuhi dengan melaksanakan amalan-amalan yang bersifat Fardlu dan Sunnah, dan menjauhi diri dari hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan, serta tidak melakukan perbuatan dosa besar dan menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil. 30 Menurut Abu Bakr Utsman bin Muhammad Syata’ al-Dimyati dalam kitab nya Hasyiyah I’anah at-Tholibin hal-hal yang dapat menghilangkan Muru‟ah seseorang diantaranya makan dan minum dipasar, makan dan minum sambil berjalan, bermain catur, tertawa terbahak-bahak serta berdansa. 31 3. Baligh 4. Berakal 5. Dapat berbicara 6. Memiliki ingatan yang baik 7. Bebas dari tuduhan negatif tidak ada permusuhan. Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan sebagaimana dikutip oleh Anshoruddin dalam bukunya mengatakan bahwa seseorang yang hendak memberikan kesaksian harus dapat memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Dewasa 2. Berakal 3. Mengetahui apa yang disaksikan 4. Beragama islam 30 Ibid., h. 1039. 31 Abi Bakr Usman bin Muhammad Syata’ Addimyati, Hasyiyah I‟anah Attholibin, h. 452. 5. Adil 6. Saksi itu harus dapat melihat 7. Saksi itu harus dapat berbicara. 32 Selain itu saksi juga disyaratkan tidak ada paksaan terhadap dirinya, hal ini dimaksudkan agar saksi dapat memberikan keterangan seobjektif mungkin berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.

D. Larangan Menjadi Saksi

Pada dasarnya menjadi saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang yang mempunyai pengetahuan terhadap perkara pidana tersebut. Akan tetapi terdapat pengecualian terhadap beberapa orang yang dilarang untuk menjadi saksi. Pasal 168 KUHAP menyebutkan: “Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi: a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; 32 Anshoruddin, Hukum Pembuktian menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, h.76. c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama- sama sebagai terdakwa. Alasan tidak dapat didengarnya keluarga sebagai saksi diantaranya ialah, pada umumnya mereka tidak dapat bersikap objektif bila didengar sebagai saksi, agar hubungan kekeluargaan mereka tidak menjadi pecah disebabkan karena keterangan yang diberikan sebagai saksi, dan agar mereka tidak merasa tertekan pada saat memberikan kesaksian serta secara moral psikologi sangat tidak etis apabila seseorang menerangkan perbuatan yang kurang baik dari keluarganya. Ketentuan pasal 168 tersebut tidak secara mutlak melarang orang- orang tersebut untuk menjadi saksi. Namun apabila orang-orang yang dikecualikan sebagai saksi tersebut menghendaki untuk memberikan kesaksian dan penuntut umum serta terdakwa menyetujuinya maka ia diperbolehkan untuk didengar keterangannya dibawah sumpah, tetapi jika tidak mendapat persetujuan maka keterangannya dilakukan tanpa sumpah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 169 yaitu: 1 Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas menyetujuinya dapat memberi keterangan dibawah sumpah. 2 Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah. Selain itu yang dapat di kecualikan menjadi saksi menurut pasal 170 KUHAP yaitu mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatan nya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka. Menurut Andi Hamzah pengecualian ini hanya bersifat relatif, karena frasa pasal tersebut mengatakan”dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi…” maka berarti jika mereka bersedia menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim. 33 Oleh karena itulah maka kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif. Terkait dengan larangan seseorang menjadi saksi, dalam hukum acara pidana Islam berhubungan dengan konsep tahammul dan ada ’. 34 Tahammul ialah kesanggupan memelihara dan mengingat suatu peristiwa. Sedangkan A da‟ ialah kesanggupan untuk mengemukakanmelapalkan peristiwa tersebut dengan benar. Orang-orang yang secara sempurna memiliki kemampuan untuk tahammul dan ada‟ ialah orang merdeka, baligh, akil dan adil. Sedangkan golongan yang tidak memiliki kemampuan untuk tahammul dan ada‟ sehingga kesaksiannya ditolak dan tidak ada nilai pembuktian sama sekali yaitu kanak-kanak, orang gila, orang kafir dan hamba. Permasalahan 33 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika, 2009, h. 262. 34 Usman Hasyim, Teori Pembuktian Menurut Fiqih Jinayat Islam, Yogyakarta: Andi Offset, 1984 h. 14.