Kesaksian De Auditu dalam Hukum Acara Pidana

Sementara itu, definisi yang cukup lengkap dikemukakan oleh Munir Fuady yakni yang dimaksud dengan kesaksian tidak langsung atau de auditu atau hearsay adalah suatu kesaksian dari seseorang dimuka pengadilan untuk membuktikan kebenaran suatu fakta, tetapi saksi tersebut tidak mengalamimendengarmelihat sendiri fakta tersebut. 44 Dia hanya mendengarnya dari pernyataan atau perkataan orang lain, dimana orang lain tersebut menyatakan mendegar, mengalami atau melihat fakta tersebut sehingga nilai pembuktian tersebut sangat bergantung pada pihak lain yang sebenarnya berada diluar pengadilan. Jadi, pada prinsipnya banyak kesangsian atas kebenaran dari kesaksian tersebut sehingga sulit diterima sebagai nilai bukti penuh. Menurut Sudikno Mertokusumo adalah keterangan seorang saksi yang diperolehnya dari pihak ketiga. Dalam sistem Common Law dikenal dengan hearsay evidence yang memiliki pengertian yang sama yakni keterangan yang diberikan seseorang yang berisi pernyataan orang lain baik melalui verbal, tertulis atau cara lain. Sebagai gambaran contoh mengenai kesaksian de auditu atau hearsay evidence ini misalnya si A menjadi saksi di pengadilan, dimana si A mendengar dari si B bahwa si B telah melihat, mengalami atau mendengar dengan panca inderanya sendiri bahwa suatu fakta telah terjadi. Dalam hal 44 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, , Bandung : Citra Aditya Bakti, 2012, Cet II h. 132. ini, si B sebenarnya dapat berkedudukan sebagai saksi langsung, tetapi karena tidak datang ke pengadilan untuk bersaksi, dia bukan merupakan saksi, dan si A merupakan saksi tidak langsung de auditu atau hearsay. Saksi de auditu atau hearsay merupakan model kesaksian yang berkembang dalam seluruh sistem hukum di dunia baik dalam sistem hukum Civil law ataupun dalam sistem hukum Common Law. Diskursus mengenai kesaksian de auditu sudah ada sejak zaman Aristoteles dalam hukum Yunani. Pada zaman itu di Yunani, saksi de auditu tidak diperkenankan untuk didengar, dengan beberapa kekecualian. Kekecualian tersebut, antara lain sebagai berikut: 1. Jika saksi yang sebenarnya sudah meninggal; 2. Jika saksi yang sebenarnya jatuh sakit atau berada diluar negeri sehingga tidak mungkin di hadirkan di pengadilan. Saksi de auditu atau hearsay tersebut merupakan model kesaksian yang dikenal tetapi pada prinsipnya tidak diakui kekuatannya sebagai alat bukti penuh, baik dalam sistem hukum Eropa Kontinental maupun dalam sistem hukum Anglo Saxon. Meskipun saksi de auditu ini dikenal, baik dalam sistem hukum Eropa Kontinental maupun dalam sistem hukum Anglo Saxon, doktrin hearsay bersama-sama dalam sistem Juri dan Eksaminasi Silang telah merupakan trio andalan utama yang sangat popular dalam hukum acaranya. Akan tetapi, dalam perkembangannya justru sistem hukum AngloSaxon bisa dikatakan relatif terlambat. Perkembangan baru terjadi pada akhir abad ke 17. Meskipun berkembangnya pesat, dimana perkembangannya pada tahap-tahap awal masih mengakui saksi de auditu hanya sebagai konfirmasi bagi alat-alat bukti lainnya. Sampai kemudian hukum kesaksian de auditu tidak diterima sebagai alat bukti, tetapi dengan sangat banyak pengecualiannya. 45 Masalah di terima atau tidaknya kesaksian de auditu sebgai alat bukti menjadi masalah Universal baik di Indonesia dan di negeri Belanda yang dapat di lihat dari doktrin dan Yurisprudensi, maupun di Amerika Serikat yang mengenal pula masalah hearsay ini. Dimanapun pengakuan terhadap hearsaysebagai alat bukti tergantung pada tujuan untuk apa hal itu diajukan dan apa yang akan dibuktikan dengan itu. Pro dan kontra yang terjadi mengenai kesaksian de auditu tidak hanya menjadi diskursus perbincangan yang menarik di kalangan ahli hukum Indonesia saja tetapi juga para pakar-pakar hukum dunia. Taverne misalnya mengatakan “ Bahwa menurut sejarah dan juga kebutuhan praktik, menuntut diakuinya kekuatan pembuktian kesaksian de auditu”. 46 Pendapat yang pro memberikan argumentasi bahwa apabila kesaksian de auditu di terima sebagai alat bukti maka dengan jalan ini tidak ada satupun bahan bukti yang hilang, jika tidak maka walupun ada, tidak diceritakan didepan hakim, keterangan saksi mendapat sifat ketidakbenaran dan tidak 45 Ibid., h. 135. 46 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika, 2009, h. 267. berkaitan jika keterangan de auditu sengaja disingkirkan. Adalah logis jika suatu ucapan yang sering kali dikeluarkan berdasarkan keadaan emosional dan didengar untuk keadilan diterima sebagai bukti, dan begitu pula tidak menerima suatu pemberitahuan yang menurut keterangan seorang saksi diterangkan kepadanya oleh orang lain dalam keadaan tentram dan tenang.Sedangkan pendapat yang kontra menilai kalau begitu dimungkinkan pembuktian dari tangan kedua atau ketiga yang kebenarannya sangat minim sekali. Pada umumnya hearsay di terima sebagai alat bukti tetapi dibatasi pengertiannya dari pengertian biasa. Tidak diajukan sebagai hearsay misalnyaketerangan terdakwa bahwa seseorang telah mengakui kepadanya bahwa orang itulah yang melakukan kejahatan tersebut. 47 Di Indonesia sendiri hal ini menjadi perdebatan yang panjang dikalangan para ahli hukum. Sebut saja misalnya S.M Amin yang menolak jika kesaksian de auditu dapat dijadikan alat bukti. Menurutnya: “Memberi daya bukti kepada kesakian-kesaksian de auditu berarti bahwa syarat di dengar, dilihat, atau dialami sendiri tidak dipegang lagi. Sehingga memperoleh dengan tidak langsung daya bukti, keterangan- keterengan yang di ucapkan oleh seseorang di luar sumpah…….. Hal ini berarti keterangan-keterangan seseorang yang tidak pernah dijumpai oleh hakim dijadikan alat bukti. Pokok pikiran supaya kesaksian harus di ucapkan 47 Ibid., h. 269. dihadapan hakim sendiri yang bertujuan supaya hakim dapat menilai keterangan saksi-saksi itu ditinjau dari sudut dapat tidaknya dipercaya atas dasar tinjauan terhadap pribadi saksi, gerak-geriknya dan lain-lain dilepaskan”. 48 Senada dengan S.M. Amin, M. Yahya Harahap juga berkomentar sebagai berikut. “ Oleh karena keterangan yang berbentuk Testimonium de Auditu atau Hearsay Evidence, bukan keterangan tentang apa yang diketahuinya secara personal not what he knows personally, tetapi mengenai apa yang “diceritakan” orang lain kepadanya but what others have told him atau apa yang di dengarnya dari orang lain what he has heard said by others, lebih besar kemungkinanya “tidak benar” untrue, alasannya keterangan yang di berikannya bukan dari orang pertama. Sehubungan dengan itu, hearsay Evidence berada diluar alat bukti dan dinyatakan an out-of court statement, karena isi keterengan hanya merupakan “repetisi” atau pengulangan dari apa yang di dengar dari orang lain. 49 Dari pendapat keduanya tersebut dasar penolakan terhadap kesaksian de auditu sebagai alat bukti dikarenakan saksi de auditu merupakan saksi tidak langsung yang kebenarannya sangat di ragukan sekali, padahal hukum acara pidana mencari kebenaran materiil karena berkaitan dengan hak-hak 48 Hari Sasangka dan lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003, h. 40. 49 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika,2009 ed.2 cet ke IX, h.207. seorang tersangka. Selain itu juga, jika kesaksian de auditu diterima sebagai alat bukti berarti telah terjadi pengingkaran terhadap definisi saksi itu sendiri.

B. SaksiIstifadlah

Arti kata As-Syahadahantara lain ialah Al-Iqroru yakni kesaksian 50 , dan Al-Istifadlah ialah tersebar atau tersiar luas. 51 Adapun yang dimaksud khabar Istifadlah berita tersebar ialah berita yang mencapai derajat antara berita mutawatir dan berita orang perorangan, yaitu berita yang sudah menyebar dan menjadi pembicaraan dikalangan manusia. 52 Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bahwa saksi Istifadlah adalah merupakan suatu cara dari cara-cara pengetahuan yang meniadakan kecurigaan tentang seorang saksi dan hakim dan ia lebih kuat dari kesaksian saksi dua orang laki-laki yang diterima kesaksiannya. 53 Mengenai saksi Istifadlah dalam hukum acara Islam berbagai macam pendapat antara lain sebagai berikut: Sayid Sabiq menghimpun beberapa pendapat para Ulama terkait dengan Saksi Istifadla. Ia mengatakan bahwa Imam Syafi’I memperbolehkan seorang hakim mempergunakan saksi Istifadlah dalam hal-hal yang berhubungan dengan nasab, kelahiran, kematian memerdekakan budak, 50 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, Cet. XIV, h. 799. 51 Ibid.,h. 1163. 52 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum positif, h. 82. 53 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I‟lam al-Muwaqi‟in, Kairo: Darul Hadis, 2002, Juz. I, h. 91. perwalian, diangkatnya menjadi hakim, wakaf, nikah, beserta seluruh masalahnya, keadilan seseorang, cacat pribadi seseorang, wasiat, kecerdasan, dan kebodohan seseorang dari masalah-masalah yang berhubungan dengan hak milik seseorang. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa saksi Istifadlah itu dapat dipergunakan hanya dalam lima hal yaitu: pernikahan, persetubuhan zina, nasab, kematian dan diangkatnya seseorang menjadi hakim dalam suatu wilayah.Imam Ahmad mengatakan bahwa sebagian dari kalangan Syafi’iyah mengemukakan bahwa saksi Istifadlah itu hanya dapat dipergunakan dalam hal yang berhubungan dengan pernikahan, nasab, kematian, memerdekakan budak, perwalian dan tentang hak milik yang dipersengketakan. 54

C. Kekuatan Pembuktian KesaksianDe Auditudalam Hukum Acara

Pidanadi Indonesia Dalam hukum acara pidana larangan menggunakan kesaksian de auditu sebagai alat bukti di Indonesia diatur secara tegas dalam KUHAP. 55 Pasal 185ayat 1 KUHAP menentukan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan. Selanjutnya, penjelasan pasal 185 ayat 1 KUHAP tersebut dengan tegas menentukan bahwa dalam suatu keterangan saksi, tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. 54 Sayid Sabiq, Fiqih Sunah, h.1037 55 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, h. 130. Dengan demikian terjawablah dengan tegas bahwa keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti sah. Andi Hamzah mengemukakan pendapatnya bahwa: “Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence patut tidak di pakai di Indonesia pula.” 56 Munir fuady mengemukakan alasan tidak dapat diterimanya kesaksian de auditu sebagai alat bukti yang sah untuk membuktikan suatu kebenaran atas suatu fakta kejadian karena memiliki beberapa kelemahan, yaitu sebagai berikut: 57 1. Karena kesaksian de auditu tidak dibedakan mana yang merupakan kesaksian yang benar dan mana yang merupakan gosip atau rumor belaka. 2. Karena kesaksian de auditu tidak dapat menghadirkan saksi yang sebenarnya ke pengadilan untuk didengar oleh para hakim dan para pihak. 3. Karena saksi yang sebenarnya tidak hadir dipengadilan, maka tidak ada pertanyaan yang dapat diajukan dan tidak dapat dilakukan eksaminasi 56 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, h. 267. 57 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, h. 134.