Harmonisasi dalam Komunikasi Antarbudaya

perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain. Gudykunst dan Kim 1984 menunjukkan bahwa orang-orang yang kita kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas relasi antarpribadi. Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga tahap: 1. Pro kontra atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non verbal apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari komunikasi 2. Initial contact and impression yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang muncul dari kontak awal tersebut. 3. Closure, yaitu mulai membuka diri dari yang semula tertutup melalui atribusi dan pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar kita harus lebih mengerti perilaku atau tindakan kita.

4. Komunikasi Selalu Berlangsung dalam Konteks Fisik dan Sosial

Faktor lingkungan fisik dianggap mempengaruhi proses komunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh konteks sosial menjadi sangat dominan dalam kehidupan paternalistik dan tradisional seperti Jawa dan Asia pada umumnya. Konteks sosial ini agak melemah ketika berada dalam masyarakat egaliter dan demokrasi yang tinggi seperti Amerika Serikat.

2.1.3 Harmonisasi dalam Komunikasi Antarbudaya

Secara sederhana, kata Harmonisasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana tercapai keselarasan dan kedamaian tanpa ada perselisihan dan ketidaksepahaman. Dalam sebuah tatanan masyarakat sangat diperlukan sebuah harmonisasi struktur, baik struktur norma maupun struktur lembaga. Dua hal yang menjadi kata kunci adalah faktor suprastruktur dan infrastruktur. Dalam perspektif budaya, kedua faktor ini memiliki relevansi dengan pemaknaan manusia atas karyanya, bahwa manusia mengkonstruksi kebudayaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Benjamin Akzin, 1964 Attamimi, 1991 dalam struktur norma yang termasuk suprastruktur adalah norma hukum publik, sedangkan yang infrastruktur meliputi norma hukum keperdataan dan hukum perikatan. Universitas Sumatera Utara Untuk mencapai suatu keadaan yang harmonis, maka dibutuhkan komunikasi antarbudaya yang efektif. Proser dalam Syahra 1983 menyatakan komunikasi antarbudaya juga merupakan komunikasi antarpribadi pada tingkat individu dari anggota kelompok-kelompok budaya yang berbeda, oleh karena itu efektivitas komunikasi antarbudaya pun sama dengan efektivitas komunikasi antarpribadi Liliweri, 2001:170. DeVito 1978 mengemukakan beberapa faktor yang menjadi penentu efektivitas komunikasi antarpribadi dalam Liliweri, 2001:173-174, yakni: 1. Keterbukaan. Secara ringkas, keterbukaan ialah: 1. Sikap seorang komunikator yang membuka semua informasi pribadinya kepada komunikan dan menerima semua informasi yang relevan tentang dan dari komunikan dalam rangka interaksi antarpribadi, 2. Kemauan seseorang sebagai komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap pesan yang datang dari komunikan, dan 3. Memikirkan dan merasakan bahwa apa yang dinyatakan seorang komunikator merupakan tanggung jawabnya terhadap komunikan dalam suatu situasi tertentu. 2. Sikap Empati. Sikap empati ialah kemampuan seorang komunikator untuk menerima dan memahami orang lain seperti ia menerima dirinya sendiri, jadi ia berpikir, berasa, berbuat terhadap orang lain sebagaimana ia berpikir, berasa, dan berbuat terhadap dirinya sendiri. 3. Perasaan Positif. Perasaan positif ialah perasaan seorang komunikator bahwa pribadinya, komunikannya, serta situasi yang melibatkan keduanya sangat mendukung terbebas dari ancaman, tidak dikritik dan tertantang. 4. Memberikan Dukungan. Memberikan dukungn ialah suatu situasi dan kondisi yang dialami komunikator dan komunikan terbebas dari atmosfir ancaman, tidak dikritik dan ditantang. Universitas Sumatera Utara 5. Memelihara Keseimbangan. Memelihara keseimbangan ialah suatu suasana yang adil antara komunikator dengan komunikan dalam hal kesempatan yang sama untuk berpikir, berasa, dan bertindak

2.1.4 Komunikasi Antar Pribadi