yang terjadi dalam sistem pusat-pusat serta pengendalian pertumbuhan kota Capello, 2007. Ditinjau dari segi lain terdapat kekurangan-kekurangan, yaitu
tempat sentral tidak menjelaskan gejala-gejala pembangunan. Central Place Theory dikategorisasikan sebagai teori statis, yang hanya menjelaskan adanya
pola pusat-pusat tertentu dan tidak membahas adanya perubahan-perubahan pola tertentu. Teori Boudeville merupakan teori kutub pertumbuhan yang telah
dimodifikasikan, dan dapat digunakan untuk menganalisis gejala-gejala dinamis tersebut.
2.3. Keterhubungan dan Ketergantungan Antar Wilayah
Pembangunan wilayah antar provinsi yang berdekatan akan dapat mengembangkan daya pertumbuhan yang kuat yang terdapat dalam lingkungan
suatu provinsi dan dapat pula perkembangan provinsi-provinsi lainnya yang relatif terbelakang. Dalam hubungan ini perlu digairahkan kerja sama antar
wilayah provinsi secara saling menguntungkan mutual regional cooperation. Hal ini berarti bahwa produksi dan usaha-usaha pembangunan dikaitkan dengan
keuntungan komparatif dan regionalisasi wilayah pembangunan. Menurut Adisasmita 2005, keterkaitan atau keterhubungan inter-
relationship dan ketergantungan interdependency antar wilayah dapat diperlihatkan dari jaringan arus antar wilayah termasuk didalamnya arus
perdagangan. Dalam suatu negara, arus perdagangan antar wilayah tidak dapat berlangsung berdasarkan keuntungan mutlak absolute advantage, melainkan
didasarkan pada keuntungan komparatif comparative advantage saja sudah cukup beralasan untuk melangsungkan perdagangan antar wilayah. Suatu
wilayah akan mengekspor barang-barang yang mempunyai keuntungan produksi
yang relatif lebih kecil atau mengimpor barang-barang yang mempunyai kerugian produksi yang lebih besar comparative disadvantage. Masing-masing wilayah
akan menspesialisasikan produksi pada satu atau beberapa barang tertentu. Wilayah-wilayah yang tidak memproduksi sendiri barang-barang yang dibutuhkan
akan membeli barang-barang yang dimaksud dari wilayah-wilayah lain menjadi produsennya. Jelaslah bahwa di antara wilayah-wilayah yang ada mempunyai
pengaruh timbal balik dan saling berkepentingan satu sama lainnya dan sedemikian rupa akan menciptakan suatu pola perdagangan antar wilayah.
Lebih lanjut Adisasmita 2005 menyampaikan bahwa regionalisme termasuk dalam kerangka kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang
mengelompokkan lingkungan teritorial menjadi wilayah-wilayah sub nasional. Dalam pengelompokkan itu dipertimbangkan dua aspek utama yaitu pola fisik
dan pola kegiatan. Pola fisik meliputi pemanfaatan tata ruang untuk permukiman penduduk, fasilitas-fasiilitas produktif, trayek-trayek transportasi, tata guna tanah,
dan lain-lainnya. Sedangkan pola kegiatan terdiri dari arus modal, tenaga kerja, komoditas dan komunikasi yang menghubungkan elemen-elemen fisik dalam
tata ruang. Dilihat dari pertimbangan integrasi nasional, salah satu fungsi pengembangan wilayah adalah membina dan mengefektifkan keterhubungan
antar wilayah yang berspesialisasi secara fungsional dan berorientasi pada pasar secara nasional. Jadi regionalisasi wilayah pembangunan dimaksudkan untuk
meningkatkan pembangunan baik sektoral maupun regional secara lebih efektif dan efisien.
Sebuah pendekatan untuk menentukan batas-batas wilayah pada umumnya digunakan jarak Adisasmita, 2005. Selanjutnya keterkaitan antara
wilayah dapat ditunjukkan dalam suatu matrik jarak antar wilayah. Kriteria yang
digunakan adalah homogenitas kondisi wilayah, kriteria tersebut dapat dinyatakan sebagai karakteristik geografis, sosial, dan ekonomi. Suatu
perencanaan wilayah yang semata-mata hanya didasarkan pada kriteria geografis dapat dikatakan kurang bermanfaat ditinjau dari kepentingan analisis
ekonomi. Untuk menentukan homogenitas ekonomi dapat digunakan ciri-ciri keserupaan dalam kegiatan-kegiatan produksi, tingkat keterampilan tenaga kerja,
dan pendapatan perkapita. Selanjutnya suatu wilayah didefinisikan sebagai suatu gabungan dari sejumlah titik-titik spasial mempunyai kegiatan-kegiatan produksi
yang serupa atau tingkat pendapatan per kapita yang sama. Dengan demikian dapat dibedakan dengan mudah antara wilayah-wilayah yang berorientasi pada
sektor tersier. Dapat dibedakan pula antara wilayah-wilayah dengan tingkat pendapatan rendah miskin dan wilayah dengan tingkat pendapatan tinggi
kaya. Adisasmita 2008 mengatakan bahwa wilayah dapat pula ditentukan
batas-batasnya berdasarkan kriteria interpretasi suatu wilayah dapat dinyatakan sebagai suatu sistem yang terpadu secara spasial. Suatu sistem diartikan
sebagai suatu kumpulan variabel-variabel yang saling berkaitan satu sama lain. Berdasarkan kriteria ini tidak boleh mengkonsentrasikan semata-mata pada
ketergantungan yang berat sebelah pada segi suplai wilayah suplai dari suatu pusat permintaan atau hanya pada segi permintaan wilayah permintaan dari
suatu pusat suplai. Jadi ketergantungan antar wilayah tersebut harus didasarkan pula pada kedua segi yaitu segi permmintaan dan suplai penawaran.
Selanjutnya ketergantungan antar wilayah dapat dilihat dari arus pertukaran dan lalu lintas perdagangannya.
Konsentrasi kegiatan-kegiatan ekonomi terletak pada tata ruang-tata ruang yang pada umumnya adalah kota-kota. Proses industrialisasi dan
urbanisasi ke kota-kota berlangsung terus dan meningkat. Tiap-tiap kota-kota besar mempunyai kota satelit, dan selanjutnya kota-kota satelit tersebut
mempunyai desa-desa satelit. Gejala ini sangat penting dalam perkembangan peradaban manusia, perkembangan industri dan perdagangan, dimana
pertumbuhan kota telah meningkat pesat. Interdependensi pertukaran pembelian dan penjualan mencerminkan
karakteristik suatu perangkat kota-kota regional dalam suatu perangkat yang lebih besar yaitu suatu bangsa atau Negara Adisasmita, 2005. Wilayah
polarisasi didefinisikan sebagai perangkat kota-kota dengan daerah-daerah disekitarnya yang mengadakan pertukaran lebih banyak dengan metropolis
tingkat regional dari kota-kota lainnya yang mempunyai orde yang sama di suatu negara. Justifikasi dari pengertian wilayah polarisasi adalah sifat empirik.
Daerah-daerah di sekitar pusat mempunyai keterhubungan dan ketergantungan yang sangat erat dengan pusatnya. Jadi wilayah polarisasi berarti tidak autarkis.
Artinya bersifat terintegrasi antara pusat dengan daerah komplementernya. Jaringan transportasi berfungsi menjembatani antara konsep wilayah
polarisasi dan pengertian kutub-kutub pertumbuhan Adisasmita, 2005. Konsep- konsep tersebut merupakan salah satu kunci permasalahan pengembangan
wilayah. Suatu kutub pertumbuhan regional merupakan suatu perangkat industri- industri yang berkembang dan terletak di daerah perkotaan dan mendorong lebih
lanjut kegiatan-kegiatan ekonomi dan pembangunan pada umumnya ke seluruh wilayah pelayanannya. Jaringan dapat disusun secara sederhana yaitu
menghubungkan pusat besar dengan pusat-pusat sedang, dan selanjutnya
antara pusat sedang dengan pusat-pusat kecil. Pola transportasi semacam ini disebut conventional tree pattern yang mendasarkan pada susunan pohon, yang
terdiri dari batang, dahan, cabang dan ranting. Dalam susunan trayek atau rute pelayaran dan penerbangan dikenal trunk route dan feeder route. Jaringan jalan
raya meliputi jalan arteri urat nadi, jalan kolektor dan jalan lokal. Untuk melayani kegiatan pembangunan dan mobilisasi yang semakin
meningkat dan meluas, maka jaringan transportasi nasional harus dikembangkan selaras dengan tingkat pertumbuhan arus muatan di seluruh wilayah. Jaringan
transportasi yang menghubungkan masing-masing pusat ke seluruh pusat lainnya dikenal sebagai “polygrid pattern” atau pola segala jurusan seperti
penerapan di Negara-negara maju Adisasmita, 2005.
2.4. Teori Lokasi Optimum dan Aglomerasi Industri