perubahan sikap. Menciptakan situasi baru dimana individu dituntut mengubah perilakunya untuk semakin sering berinteraksi dengan anggota kelompok lain
akan semakin memudahkan terjadinya perubahan sikap. c.
Generalisasi ikatan afektif Emosi merupakan hal yang sangat penting dalam kontak antarkelompok.
Kecemasan pada saat pertama kali berinteraksi dengan kelompok berbeda merupakan hal yang biasa terjadi dan dapat memicu reaksi negatif Islam
Hewstone, 1993. Kecemasan ini akan semakin berkurang dengan semakin seringnya interaksi. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan emosi-emosi
yang muncul dari individu pada saat melakukan kontak dengan kelompok- kelompok lain.
d. Ingroup reappraisal
Kontak antarkelompok yang optimal memberikan pemahaman lebih baik tentang kondisi ingroup sekaligus juga outgroup. Kontak tak hanya membuat
individu semakin mengenal kelompok lain namun juga semakin memahami kelompoknya sendiri dengan bercermin pada pengetahuan barunya tentang
kelompok lain.
4. Kontak dan Perguruan Tinggi
Flexner dalam Syukri 2009 menyatakan bahwa perguruan tinggi merupakan sebuah tempat untuk mencari ilmu pengetahuan, memecahkan
berbagai masalah, mengkritisi karya-karya yang dihasilkan, dan sebagai pusat pelatihan manusia. Lingkungan perguruan tinggi merupakan lingkungan untuk
menyemai, mendidik dan melatih mahasiswa agar memiliki daya nalar tinggi serta
kemampuan analisa yang tajam dan luas Syukri, 2009. Misi perguruan tinggi adalah pengajaran, penelitian dan aplikasi ilmu pengetahuan Arthur, dalam
Syukri 2009 yang tercermin dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Terkait dengan kontak antar kelompok, perguruan tinggi merupakan salah satu tempat ideal untuk berlangsungnya kontak yang positif sebagaimana
halnya setting sekolah Brickson, 2000. Interaksi mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi memenuhi kondisi-kondisi kunci terciptanya kontak antar
kelompok Pettigrew, 1998. Peran perguruan tinggi dalam mendorong mahasiswanya memiliki kompetensi multikultural yang baik sangatlah besar.
Masyarakat Indonesia pada umumnya mempunyai harapan yang tinggi bahwa perguruan tinggi akan menjadi tempat latihan dan pendidikan putra-putrinya
untuk menjadi bagian dari kaum intelektual yang berilmu tinggi dan berperilaku terpuji Syukri, 2009.
Sayangnya, harapan besar masyarakat ini masih belum maksimal diterapkan dalam perguruan tinggi. Sebagaimana dinyatakan Asyanti 2012,
perguruan tinggi kurang memberikan porsi pada pendidikan karakter mahasiswa. Kurikulum pendidikan tinggi masih menitikberatkan pada kompetensi akademis.
Melihat bagaimana perbedaan kontak di perguruan tinggi dapat berperan dalam memprediksi munculnya komptensi multikultural perlu dilakukan sebagai
salah satu dasar perancangan kurikulum pembentukan karakter mahasiswa. Schwartz 2000 menyatakan universitas, baik yang berlatar belakang religius
maupun yang sekuler, dapat menggunakan kekuatan kurikulum untuk membentuk pemikiran sekaligus karakter mahasiswa.
Perguruan tinggi pada umumnya menarik mahasiswa dari berbagai latar belakang yang berbeda. Kondisi kunci kontak antar kelompok yang terpenuhi
dalam interaksi perguruan tinggi akan semakin maksimal dampaknya bila perguruan tinggi tersebut juga memiliki kelompok-kelompok mahasiswa dari
berbagai etnis, agama, jenis kelamin, ras, dan budaya. Akan tetapi, tidak semua perguruan tinggi memiliki komposisi mahasiswa yang sangat beragam.
Sejumlah perguruan tinggi, terutama yang berafiliasi pada agama, tentu hanya akan memiliki kelompok mahasiswa dari satu agama tertentu. Selain itu,
keterkaitan budaya dan agama menjadikan perguruan tinggi yang berafiliasi pada agama tertentu cenderung memiliki kelompok mahasiswa dari budaya tertentu
pula. Hal ini bukanlah suatu hal yang buruk mengingat tujuan didirikannya perguruan tinggi berafiliasi agama memang lah untuk memperdalam ilmu
mengenai agama itu sendiri. Schwartz 2000 bahkan menyatakan biasanya institusi kecil yang berafiliasi agama lah yang memiliki komitmen luas dan
komprehensif terhadap perkembangan karakter dalam semua dimensi kehidupan perguruan tinggi.
Namun, pengembangan kompetensi multikultural pada mahasiswa di perguruan tinggi tetap perlu menjadi perhatian. Mendorong terjadinya kontak-
kontak positif antar kelompok mahasiswa perlu dilakukan agar mahasiswa nantinya tak canggung saat masuk ke masyarakat yang multikultur. Oleh karena
itu, perlu untuk dilihat bagaimana keberagaman kelompok di lingkungan
perguruan tinggi dapat mendorong terjadinya kontak yang positif dan karenanya turut memicu berkurangnya prasangka antar kelompok. Penelitian ini akan
mencoba melihat bagaimana dua level kontak yang berbeda pada perguruan tinggi umum dan perguruan tinggi yang berafiliasi agama akan berinteraksi dengan level
UDO mahasiswa di kedua perguruan tinggi tersebut.
D. Self Construal dan Kontak sebagai Prediktor UDO