perguruan tinggi dapat mendorong terjadinya kontak yang positif dan karenanya turut memicu berkurangnya prasangka antar kelompok. Penelitian ini akan
mencoba melihat bagaimana dua level kontak yang berbeda pada perguruan tinggi umum dan perguruan tinggi yang berafiliasi agama akan berinteraksi dengan level
UDO mahasiswa di kedua perguruan tinggi tersebut.
D. Self Construal dan Kontak sebagai Prediktor UDO
Individu dengan interdependent self construal adalah individu yang terhubung, memberi perhatian, dan responsif terhadap orang di sekitarnya
Kondo, 1990. Mereka dengan gaya interdependent selalu mampu menemukan cara untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitarnya, mampu
memenuhi tuntutan peran yang diberikan masyarakat padanya, serta menjadi bagian dalam berbagai relasi interpersonal Yeh Hwang, 2000. Kemampuan
mengendalikan perilaku, pikiran, emosi dan motivasi untuk mengakomodir orang lain pada individu dengan interdependent self construal merupakan sumber dari
self-esteem mereka yang cenderung mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri Markus Kitayama, 1991.
Pada sisi lain, individu dengan independent self construal seringkali dikarakteristikkan sebagai individu yang terpisah, unik, dan memiliki sense of self
yang di luar konteks Sampson, 1989. Mereka dengan tipe self construal ini terbiasa mengekspresikan pikiran, perasaan, dan perilaku mereka dengan bebas.
Lebih jauh, diri sendiri merupakan aktor utama yang mengendalikan perilaku dan interaksi dengan orang lain Bellah, Madsen, dkk, 1996. Self esteem mereka
muncul dari sikap asertif, terang-terangan, dan menjadi diri yang unik Markus dkk, 1997.
Cross 2000 menyatakan bahwa perbedaan self construal pada individu mempengaruhi
perkembangan hubungannya
dengan orang
lain. Baik
interdependent maupun independent self construal berperan dalam membentuk norma sosial dan kultural pada saat berinteraksi dalam sebuah hubungan Markus,
1997. Pada masyarakat yang multikultural, kecenderungan memaknai hubungan sosial akan berdampak pada bagaimana individu bersikap dan berperilaku di
tengah keberagaman tersebut. Oleh karena itu, perbedaan tipe self construal yang dominan pada masing-masing individu diprediksi akan mempengaruhi bagaimana
ia memberi makna dan memperlakukan keberagaman yang ada di sekitarnya. Pemberian makna dan perlakuan terhadap keberagaman ini yang dicirikan dengan
UDO. Individu dengan interdependent self construal dan independent self
construal akan bereaksi berbeda dalam berinteraksi dan menjalin hubungan di masyarakat. Melihat perbedaan karakteristik kedua tipe ini, interdependent self
construal diprediksi akan lebih berperan terhadap UDO. Sebagai contoh, Cross 2000 menemukan bahwa individu dengan
interdependent self construal cenderung lebih mempertimbangkan konsekuensi keputusan mereka atas orang lain dan mau mendengarkan opini serta kebutuhan
orang lain. Mereka membangun hubungan baru dengan membuka diri dan peka terhadap kebutuhan orang lain. Sebagai hasilnya, cara interdependent dipandang
sebagai cara yang lebih responsif dan menunjukkan kepedulian.
Memiliki interdependent self contrual membuat individu secara konstan menyadari keberadaan orang lain dan fokus pada kebutuhan, hasrat, dan tujuan
orang lain Markus Kitayama, 1991. Menyadari keberadaan orang lain dan mau menerima orang lain apa adanya merupakan salah satu ciri dari UDO.
Temuan Yeh Arora 2003 menunjukkan individu dengan interdependent self construal lebih sadar dan lebih mau menerima persamaan dan perbedaan mereka
dengan orang lain. Menyadari persamaan dan perbedaan dengan orang lain akan mampu membantu individu dalam menjalin ikatan dengan mereka yang memiliki
kesamaan sekaligus mampu menghargai keunikan pada mereka yang berbeda. Selanjutnya, variabel lain yang diprediksi akan berkontribusi pada level
UDO adalah faktor situasional berupa level kontak dengan kelompok-kelompok yang beragam. Liebkind 2000 menyatakan bahwa cara terbaik untuk
mengurangi sikap antarkelompok yang negatif adalah dengan membiarkan anggota-anggota dari masing-masing kelompok berinteraksi satu sama lain.
Perguruan tinggi bisa menjadi salah satu tempat ideal dimana kontak positif dapat terjadi. Sebagaimana yang dikemukakan Allport dalam Pettigrew,
1998 kondisi kunci yang harus dipenuhi agar kontak berdampak positif adalah status yang setara, memiliki tujuan yang sama, terdapat kerjasama antarkelompok,
dan adanya dukungan dari otoritas yang lebih tinggi. Mahasiswa di perguruan tinggi memiliki status yang setara sebagai
pelajar. Interaksi di ruang kelas yang dibuat oleh otoritas seperti dosen sering kali menempatkan mahasiswa pada kondisi dimana mereka dituntut untuk saling
bekerjasama seperti adanya tugas kelompok, metode belajar dengan cara diskusi,
adanya kompetisi olahraga, minat, bakat dan sebagainya. Mahasiswa akan memiliki tujuan yang sama seperti lulus ujian, mendapatkan nilai tinggi, atau
memenangkan kompetisi yang diharapkan akan memicu terjadinya kontak yang positif antara berbagai kelompok mahasiswa.
Meski demikian, tidak semua perguruan tinggi memiliki kelompok mahasiswa yang beragam. Interaksi di perguruan tinggi yang sesuai dengan
kondisi kunci terciptanya kontak positif akan sia-sia bila mahasiswa yang ada hanya berasal dari satu atau sedikit kelompok saja. Kondisi seperti ini justru akan
memicu semakin menguatnya identitas kekelompokan. Individu yang memiliki kelekatan yang tinggi dengan kelompoknya akan cenderung menjadikan
kelompoknya sebagai pusat segalanya, memandang kelompok di mana diri
bernaung sebagai kelompok yang paling benar dan memandang kelompok lain melalui sudut pandang kelompok sendiri Brehm Kassim, 1989; Stephan
Stephan, 2000. Hal ini bisa saja berdampak negatif pada mahasiswa karena kurangnya interaksi dengan kelompok lain akan memicu munculnya prasangka,
stereotip negatif, jarak sosial, dan diskriminasi Brehm Kassim, 1989. Sebaliknya, perguruan tinggi dengan mahasiswa yang berasal dari latar
belakang suku bangsa, etnis, dan agama yang beragam akan menjadi tempat yang sangat ideal untuk terciptanya kontak positif. Kerjasama serta perasaan memiliki
status setara dan tujuan yang sama akan membuat mahasiswa dari kelompok berbeda menjadi lebih saling mengenal satu sama lain dan menemukan bahwa
sebenarnya kelompok lain, meskipun berbeda, sebenarnya juga memiliki persamaan dengan kelompoknya sendiri. Hal ini diharapkan akan berkontribusi
pada meningkatnya level UDO mahasiswa dimana memiliki UDO berarti mampu menyadari dan menerima bahwa setiap manusia memiliki keterikatan meski
masing-masing juga memiliki keunikannya sendiri. Oleh karena itu, baik self construal maupun kontak akan menjadi
prediktor bagi UDO. Selanjutnya, penelitian ini akan mengungkap bagaimana kontribusi kedua variabel tersebut terhadap UDO.
E. Hipotesa Penelitian