Tinjauan tentang Kejahatan Kekerasan Seksual pada Anak

4. Tinjauan tentang Kejahatan Kekerasan Seksual pada Anak

a. Pengertian Anak

1) Anak Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Menurut bunyi Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun engertian anak adalah manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum

Dalam hal ini anak juga mempunyai hak asasi yang melekat pada dirinya yang harus diakui, dilindungi dan dihormati seperti halnya orang dewasa.

2) Anak Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan . Jadi apabila usianya 18 lebih 1 haripun sudah tidak dapat digolongkan sebagai anak-anak lagi melainkan sudah tergolong dewasa.

3) Anak Menurut Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang disahkan oleh Majelis

Umum PBB pada tanggal 20 November tahun 1989

Menurut pasal 1 Konversi PBB tentang Hak Anak mendefinisikan anak sebagai

n, kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa (Sthepanie Delaney, 2006: 10). Berdasarkan beberapa pengertian anak dari berbagai sumber di atas dapat disimpulkan bahwa anak merupakan seseorang yang belum dewasa serta n, kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa (Sthepanie Delaney, 2006: 10). Berdasarkan beberapa pengertian anak dari berbagai sumber di atas dapat disimpulkan bahwa anak merupakan seseorang yang belum dewasa serta

a. Pengertian Kejahatan dan Kekerasan

1) Pengertian Kejahatan

Kejahatan adalah perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Sedangkan orang yang melakukan perbuatan tersebut disebut dengan penjahat. Kriminalitas berasal dari kata crime yang artinya kejahatan. Bisa disebut kriminalitas karena ia menunjukkan suatu perbuatan atau tingkah laku kejahatan. Seperti yang diartikan oleh S. Wojowasiton dan WJS. Poerwadarminto dalam Wahid dan Irfan (2001: 2),

Crime adalah kejahatan dan criminal dapat diartikan jahat atau penjahat, maka kriminalitas dapat diartikan sebuah perbuatan kejahatan

Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dapat kita lihat beberapa batasan yang telah dikemukakan oleh para sarjana kriminalitas, yaitu antara lain:

Kartini Kartono, (2005: 143-145)

efinisi kejahatan terbagi menjadi dua yaitu: a) definisi secara yuridis formal dan

b) secara sosiologis Berikut ini adalah penjabaran dari definisi tersebut :

a) Secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (amoral), merugikan masyarakat, sifatnya antisosial dan melanggar hukum serta Undang- Undang Pidana.

b) Secara sosiologis, kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercakup dalam Undang-Undang maupun yang belum tercantum dalam Undang-Undang Pidana).

adalah perbuatan yang sangat anti-sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan (hukuman atau tindakan

Pendapat lain juga dikemukakan oleh J. E Sahetapy dan B. Mardjono Reksodipuro dalam Abdulsyani (1987: 13-14) yang menyatakan bahwa:

Kejahatan adalah setiap perbuatan (termasuk kelalaian), dilarang oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dan diberi sangsi berupa pidana oleh negara. Perbuatan tersebut diberi hukuman pidana karena melanggar norma-norma sosial masyarakat, yaitu harapan masyarakat mengenai tingkah laku yang patut dari seorang warga negaranya.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kejahatan merupakan perbuatan yang bersifat anti-sosial bertentangan dengan moral kemanusiaan dan dilarang oleh hukum karena melanggar norma-norma sosial masyarakat dan juga Undang-Undang Hukum Pidana, selain itu perbuatan tersebut merugikan masyarakat sehingga dapat dikenai sanksi pidana oleh negara.

2) Pengertian Kekerasan

, dan dari yang berarti memakai kekuatan. Sehingga kekerasan dapat diartikan sebagai pemakaian kekuatan untuk menyerang, melukai, membahayakan, merusak harta benda atau orang secara fisik maupun psikis. Dalam definisi ini yang perlu digarisbawahi dalam pengertian kekerasan yaitu pemakaian kekuatan yang membahayakan pihak lain.

Barker dalam Abu Huraerah (2007: 47) mengemukakan bahwa ekerasan adalah perilaku tidak layak yang mangakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologi atau finansial baik yang dialami individu atau kelompok

Pendapat lain dikemukakan oleh Arif Gosita (2007: 225) yang mengatakan bahwa

ekerasan adalah tindakan yang melawan hukum, ekerasan adalah tindakan yang melawan hukum,

Menurut Arif Gosita (2007: 227) Perwujudan tindak kekerasan meliputi perbuatan-perbuatan penganiayaan ringan/berat, memaksa orang melakukan sesuatu yang melanggar hukum, membuat orang pingsan,

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan adalah tidakan melawan hukum, yang dilakukan oleh satu orang atau sekelompok orang kepada individu maupun kelompok dengan menggunakan kekuatan dan bertujuan untuk menekan, menyakiti, melukai, menciderai bahkan membuat korban menderita secara fisik maupun secara mental dan sosial untuk kepentingan pribadi, orang lain maupun kelompoknya.

b. Pengertian tentang Kejahatan Kekerasan Seksual pada Anak

Kekerasan seksual dapat juga disebut dengan istilah sexual violance, sex dalam bahasa Inggris diartikan sebagai jenis kelamin dan jenis kelamin disini lebih dipahami sebagai persoalan hubungan persetubuhan antara laki-laki .

Dalam jurnal nasional tentang HAM oleh Ifdhal Kasim, (2004: 60) berdasarkan Statuta International Criminal Tribunal for the former Rwanda atau disingkat ICTR mendefinisikan:

Kekerasan seksual sebagai setiap tindakan yang bersifat seksual yang dilakukan terhadap orang dalam kondisi yang bersifat paksa, dan tidak terbatas pada serangan fisik terhadap tubuh manusia (namun) bisa mencakup tindakan-tindakan yang tidak melibatkan penetrasi penis atau bahkan kontak fisik sekalipun.

Sthepanie Delaney (2006: 9-10) mendefinisikan kekerasan seksual pada anak sebagai : Serangkaian hubungan atau interaksi antara seseorang anak dengan

seseorang yang lebih tua atau anak yang lebih berpengetahuan atau orang dewasa (orang asing, saudara kandung atau orang yang memiliki tanggung seseorang yang lebih tua atau anak yang lebih berpengetahuan atau orang dewasa (orang asing, saudara kandung atau orang yang memiliki tanggung

Pendapat lain dikemukakan oleh Tim Yayasan KAKAK (2011: 3) yang mengatakan bahwa : Kekerasan seksual adalah hubungan/interaksi antara seorang anak dengan

seseorang yang lebih tua (dewasa) atau anak yang lebih banyak nalar seperti saudara kandung atau orang tua, orang asing dimana anak tersebut dipergunakan sebagai objek pemuas bagi kebutuhan seksual si pelaku. Perbuatan-perbuatan ini dilakukakan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Kegiatan-kegiatan yang mengandung kekerasan seksual tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dan anak tersebut.

Sedangkan menurut Suharto dalam Abu Huraerah (2007: 48) mengemukakan bahwa Kekerasan terhadap anak secara seksual dapat berupa pra kontak seksual antara anak dan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exbihitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan dan eksploitasi seksual) .

Di bawah ini yang juga termasuk tindakan-tindakan kekerasan seksual antara lain : Mempertontonkan alat kelaminnya pada orang lain. Voeyorisme seperti

orang dewasa yang menonton seorang anak sedang telanjang atau menyuruh atau memaksa anak untuk melakukan kegiatan-kegiatan seksual dengan orang lain sedangkan pelaku tersebut menonton atau merekam kegiatan seksual tersebut. Para pelaku sering kali orang yang memiliki tanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan anak tersebut sehingga sudah ada hubungan kepercayaan diantara mereka. (Tim Yayasan KAKAK, 2011: 3)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual pada anak merupakan hubungan atau interaksi seksual yang dilakukan oleh orang yang lebih dewasa atau lebih nalar terhadap anak, baik perlakuan secara non kontak fisik maupun kontak fisik secara langsung, dengan menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, tipuan, dan paksaan untuk memaksakan kehendak seksual dengan tujuan untuk memuaskan nafsu Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual pada anak merupakan hubungan atau interaksi seksual yang dilakukan oleh orang yang lebih dewasa atau lebih nalar terhadap anak, baik perlakuan secara non kontak fisik maupun kontak fisik secara langsung, dengan menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, tipuan, dan paksaan untuk memaksakan kehendak seksual dengan tujuan untuk memuaskan nafsu

c. Bentuk-bentuk Kejahatan Kekerasan Seksual pada Anak

-bentuk kekerasan seksual yang terjadi terhadap anak meliputi: pelecehan seksual, pencabulan,

Berikut ini adalah penjabaran dari keempat bentuk kekerasan seksual di atas :

1) Pelecehan seksual. Adalah tindakan yang menjerumuskan kepada sesuatu yang berkonotasi seksual, misalnya komentar jorok, menowel/mencolek pantat atau anggota tubuh yang lain dan mengakibatkan respon yang negatif seperti rasa malu, takut dan sebagainya.

2) Pencabulan. Adalah tindakan meraba, mencium, memasukkan alat kelamin pria ke dalam alat kelamin wanita tetapi tidak terjadi penetrasi (sperma masuk ke dalam vagina).

3) Perkosaan. Adalah memasukkan alat kelamin pria ke dalam alat kelamin wanita dan sudah ada pentrasi dengan disetai ancaman dan kekerasan.

4) Sodomi. Adalah memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam anus atau dubur.

d. Tanda-tanda Kejahatan Kekerasan Seksual pada Anak

Menurut Abu Huraerah (2007: 73-74)

iri-ciri umum anak yang mengalami Sexual Abuse meliputi empat tanda-tanda antara lain tanda- tanda perilaku, kognisi, sosial-emosional, dan tanda-tanda fisik

Berikut ini adalah penjabaran dari tanda-tanda di atas :

1) Tanda-tanda perilaku 1) Tanda-tanda perilaku

b) Perilaku ekstrim: perilaku secara komparatif lebih agresif atau pasif dari teman sebayanya atau dari perilaku dia sebelumnya.

c) Gangguan tidur: takut pergi ketempat tidur, sulit tidur tau terjaga dalam waktu yang lama, mimpi buruk.

d) Perilaku regresif: kembali pada perilaku perkembangan anak tersebut seperti ngompol, mengisap jempol dsb.

e) Perilaku anti-sosial atau nakal: bermain api, menggangu anak lain atau binatang, tindakan-tindakan merusak.

f) Perilaku menghindar: takut akan, atau menghindar dari, orang tertentu (orang tua, kakak, saudara lain, tetangga, pengasuh), lari dari rumah, nakal atau membolos sekolah.

g) Perilaku seksual yang tidak pantas: masturbasi berlebihan, berbahasa dan bertingkah porno melebihi usianya, perilaku seduktif terhadap anak yang lebih muda, menggambar porno.

h) Penyalahgunaan NAPZA: alkohol atau obat terlarang khususnya pada anak remaja.

i) Bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri (self-abuse): merusak diri sendiri, gangguan makan, berpartisipasi dalam kegiatan- kegiatan berisiko tinggi, percobaan atau melakukan bunuh diri.

2) Tanda-tanda kognisi

a) Tidak dapat berkonsentrasi: sering melamun dan menghayal, fokus perhatian singkat/terpecah.

b) Minat sekolah memudar: menurunnya perhatian terhadap pekerjaan sekolah dibandingkan dengan sebelumnya.

c) Respons/reaksi berlebihan: khususnya terhadap gerakan tiba-tiba dan orang lain dalam jarak dekat.

3) Tanda-tanda sosial emosional

a) Rendahnya kepercayaan diri: perasaan tidak berharga.

bentuk-bentuk lain yang tidak berhubungan.

c) Depresi tanpa penyebab jelas: perasaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan, pikiran dan pernyataan-pernyataan ingin bunuh diri.

d) Ketakutan berlebihan: kecemasan, hilang kepercayaan terhadap orang lain.

e) Keterbatasan perasaan: tidak dapat mencintai, tidak riang seperti sebelumnya atau sebagaimana dialami teman sebayanya.

4) Tanda-tanda fisik

a) Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit perut, tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnya berat badan secara drastis, tidak ada kenaikan berat badan secara memadai, muntah- muntah.

b) Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit kelamin: pada vagina, penis, atau anus yang ditandai dengan pendarahan, lecet, nyeri atau gatal-gatal di seputar alat kelamin.

c) Hamil.

e. Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Kekerasan Seksual

Abdul Wahid dan Irfan (2001: 72) menyebutkan bahwa: Faktor penyebab kekerasan seksual (perkosaan) setidak-tidaknya adalah

sebagai berikut: pengaruh perkembangan budaya, gaya hidup dan pergaulan yang bebas, rendahnya pengalaman dan penghayatan norma, tingkat control masyarakat, putusan hakim yang terasa tidak adil, ketidakmampuan pelaku untuk menahan emosi dan nafsu, keinginan pelaku untuk melampiaskan dendam, dan pengaruh lain yaitu rangsangan lingkungan seperti tayangan porno.

Di bawah ini adalah penjabaran dari faktor-faktor tersebut:

1) Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika berpakaian yang baik seperti pakaian yang menutup aurat, sehingga dapat merangsang pihak lain untuk berbuat senonoh dan jahat.

2) Gaya hidup atau mode pergaulan diantara laki-laki dengan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa membedakan antara yang 2) Gaya hidup atau mode pergaulan diantara laki-laki dengan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa membedakan antara yang

3) Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma keagamaan yang terjadi di masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung makin meniadakan peran agama adalah sangat berpotensi untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.

4) Tingkat control masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang mendapat responsi dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.

5) Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti putusan/vonis hakim yang dijatukan pada pelaku terlalu ringan dan tidak setimpal dengan perbuatan. yang dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat atau yang memiliki niat berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang diterimanya.

6) Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Dorongan kuat nafsu seks yang dibarengi emosi yang tidak mapan membuat pelaku tidak dapat mengontrol perilakunya, sehingga nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya.

7) Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan (keputusan), dan perilaku korban atau wanita lain bukan korban yang dianggap menyakiti dan merugikannya. Sehingga korban menjadi sasaran kemarahan pelaku yang stress dan tertekan akibat masalah yang dihadapinya.

8) Pengaruh lain yang juga berpengaruh yaitu rangsangan lingkungan seperti film atau gambar-gambar porno, dan karena pengaruh tayangan 8) Pengaruh lain yang juga berpengaruh yaitu rangsangan lingkungan seperti film atau gambar-gambar porno, dan karena pengaruh tayangan

f. Anak-anak yang Rentan Mengalami Kejahatan Kekerasan Seksual

Semua anak-anak rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi seksual, tetapi sebagian anak memang jauh lebih rentan dibandingkan dengan anak yang lain. Menurut Stephanie Delaney (2006: 21), berikut ini adalah anak- anak yang sangat rentan menjadi korban kekerasan antara lain:

-anak tanpa pengasuhan orang tua, anak-anak cacat, dan anak-anak dari kelompok

Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Anak-anak tanpa pengasuhan orang tua seperti anak yatim-piatu dan anak- anak yang terpisah dengan orang tua mereka: anak-anak yang tinggal sendiri, anak-anak yang tinggal dengan keluarga angkat atau anak-anak yang tinggal dalam institusi menghadapi bahaya yang besar karena kurangnya dukungan dan perlindungan orang tua dan masyarakat.

2) Anak-anak cacat fisik dan anak-anak cacat mental serta anak-anak dengan anak-anak ini pada umumnya tidak memiliki kemampuan untuk menghindar dari kekerasan atau untuk memahami apa yang akan terjadi kepada mereka dan menceritakan kekerasan tersebut. Hal ini sering diperburuk oleh kurangnya penghargaan masyarakat terhadap kehidupan anak-anak penyandang cacat dan oleh sebab itu bisa berdampak pada kurangnya pengasuhan, perhatian dan perlindungan terhadap mereka.

3) Anak-anak dari kelompok yang termarjinalkan seperti anak-anak dari etnis, suku dan komunitas agama minoritas: anak-anak seperti ini sering mengalami dampak ekonomi yang merugikan karena diskriminasi yang membuat mereka rentan terhadap ekslpoitasi dan kekerasan seksual atau 3) Anak-anak dari kelompok yang termarjinalkan seperti anak-anak dari etnis, suku dan komunitas agama minoritas: anak-anak seperti ini sering mengalami dampak ekonomi yang merugikan karena diskriminasi yang membuat mereka rentan terhadap ekslpoitasi dan kekerasan seksual atau

darurat. Sehingga anak-anak tanpa pengasuhan orang tua, anak-anak cacat, dan anak-anak dari kelompok yang termajinalkan memang jauh lebih rentan menjadi korban kejahatan kekerasan seksual karena memang posisi mereka yang lemah serta kurangnya perlindungan dari keluarga maupun masyarakat, sehingga mereka merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap kejahatan kekerasan seksual dan perlu mendapatkan perhatian yang lebih.

g. Dampak yang Ditimbulkan dari Kejahatan Kekerasan Seksual bagi Anak

Dampak buruk yang dialami oleh anak-anak yang diakibatkan oleh kekerasan dan eksploitasi seksual sangat banyak dan berbeda-beda dan sulit untuk disembuhkan serta memiliki dampak yang dramatis bagi anak tersebut.

Dampak yang dialami anak akibat kekerasan dan ekslpoitasi seksual ada tiga yaitu meliputi: dampak fisik, dampak emosional, dan dampak sosial

Berikut ini adalah penjelasan dari ketiga dampak tersebut:

1) Dampak fisik: luka fisik, kematian, kehamilan, aborsi yang tidak aman, angka kematian ibu dan anak yang tinggi, penyakit dan infeksi menular seksual (PMS dan IMS) dan infeksi HIV/AIDS.

2) Dampak emosional: depresi, rasa malu karena menjadi korban kekerasan, penyakit stress pasca trauma, hilangnya rasa percaya diri dan harga diri, melukai diri sendiri serta pemikiran dan tindakan bunuh diri.

3) Dampak sosial: pengasingan dan penolakan oleh keluarga dan masyarakat, stigma sosial serta dampak jangka panjang seperti hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan/hilang kesempatan untuk melanjutkan 3) Dampak sosial: pengasingan dan penolakan oleh keluarga dan masyarakat, stigma sosial serta dampak jangka panjang seperti hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan/hilang kesempatan untuk melanjutkan

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa kekerasan seksual membawa dampak paling kompleks dan sangat membahayakan bagi anak karena tidak hanya dampak fisik saja tetapi juga dampak emosional atau psikologis dan dampak kehidupan sosial anak itu sendiri terhadap lingkungan pergaulan. Kekerasan seksual pada anak adalah perbuatan yang sangat membahayakan dan merupakan perbuatan yang merampas hak-hak anak untuk dapat menikmati masa kanak-kanak dengan penuh keceriaan untuk bermain, belajar dan mengembangkan minat dan bakat untuk mencapai cita-cita di masa yang akan datang. Anak merupakan harapan bangsa untuk menjadi generasi penerus bangsa, akan tetapi hal tersebut tidak akan tercapai apabila generasinya sudah dirusak mentalnya.

h. Peraturan tentang Kejahatan Kekerasan Seksual pada Anak Menurut Hukum Positif

1) Kejahatan Kekerasan Seksual pada Anak dalam KUHP (Kitab Undang- Undang Hukum Pidana)

asal 287 yang menyebutkan bahwa : (1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal tersebut pasal 291 dan pasal 294.

Kemudian pada pasal 289 menyatakan bahwa: dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena

pidana penjara paling lama sembilan tahun Dalam pasal 289 tindak pidananya adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, yang dimaksud dengan perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Sebagai tindak pidana menurut pasal ini tidaklah hanya memaksa seseorang melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dikarenakan untuk menunjukkan sifat berat dari tindak pidana sebagai perbuatan yang sangat tercela, sehingga diadakan minimum khusus dalam ancaman pidananya, yaitu sembilan tahun (Leden Marpaung, 1996: 64-65).

Dari kedua pasal di atas terdapat kesamaan dalam pemberian ancaman hukuman maksimal yaitu sembilan tahun, disitu dituliskan maksimal sembilan tahun atau paling lama sembilan tahun dan tidak disebutkan hukuman paling sedikit atau minimal. Namun jika kita perhatikan hukuman maksimal yang diberikan terlalu ringan karena tidak sebanding dengan apa yang dialami korban, apalagi korbannya adalah anak yang masa depannya masih panjang tetapi karena perbuatan biadab pelakunya mereka harus mengalami dampak yang sangat beragam dan juga trauma yang sangat sulit disembuhkan karena peristiwa tersebut sangat sulit dilupakan.

Selain pada pasal 287 dan 289, aturan hukum mengenai kejahatan seksual pada anak terdapat pada pasal 290 yang berbunyi : Pasal 290. Diancam dengan pidana penjara paling lam tujuh tahun : Ke-1 Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal

diketahui, bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya; diketahui, bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;

Ke-3 Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum 15 tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu kawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar pernikahan dengan orang lain.

Pasal 292. Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Jika kita perhatikan isi dari pasal 292 ini adalah kejahatan seksual yang dilakukan dengan satu atau sama jenis kelamin seperti sodomi. Namun yang disayangkan hukuman paling lama hanya lima tahun penjara.

Pasal 293 yang menyebutkan bahwa : (1) Barangsiapa dengan memberi dan menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan dengan sengaja menggerakkan seorang belum cukup umur dan baik tingkah lakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang dengan belum cukup umurnya itu diketahui atau selayaknya diduga, diancam dengan pidana paling lama lima tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap

dirinya dilakukan kejahatan itu. (3) Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah masing

masing sembilan bulan dan dua belas bulan. Pasal 294 (1) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya,

anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya, yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur yang anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya, yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur yang

(2) Diancam dengan pidana yang sama : Ke-1 Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya.

Ke-2 Seorang pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit ingatan atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.

2) Kejahatan Kekerasan Seksual pada Anak dalam Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA)

Pemerintah dalam rangka menjamin kesejahteraan kehidupan warga negaranya, termasuk memberi perlindungan terhadap hak anak yang merupakan bagian dari HAM termasuk menjamin hak mereka mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan yang salah lainnya, yang diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002. Hal tersebut ditujukan agar anak-anak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan sehingga terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera menyongsong masa depan dan menjamin eksistensi dan kelangsungan bangsa.

Dalam pasal 81 ayat (1) dan (2) dan pasal 82 mengatur tentang kekerasan seksual yang menyatakan bahwa : Pasal 81 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat tiga tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Salah satu alasan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak harus lahir dan harus dilaksanakan adalah karena undang-undang ini memberikan perlindungan yang lebih baik dibandingkan peraturan hukum yang ada dalam KUHP. Misalnya, ada sanksi cukup tinggi berupa hukuman pidana penjara 15 tahun dan minimal tiga tahun dengan denda maksimal Rp 300 juta dan minimal Rp 60 juta terhadap tindakan yang berhubungan dengan perkosaan dan pencabulan terhadap anak (Ratna Batara Munti dalam Sukanta, 2007: 98).

Jadi dapat disimpulkan bahwa adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini memberikan perlindungan yang lebih baik dari peraturan hukum dan sanksi hukuman yang tercantum dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Jika dalam KUHP hukuman penjara paling lama adalah Sembilan tahun sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak hukuman penjara paling lama adalah 15 tahun.