Hutan Pantai TINJAUAN PUSTAKA

multi spesies berubah menjadi hutan monokultur dengan umur seragam sangat berpengaruh terhadap jumlah dan keragaman mikoriza Setiadi, 2001 . Praktek pertanian seperti pengolahan tanah, sistem penanaman, ameliorasi dengan bahan organik, pemupukan dan penggunaan pestisida sangat berpengaruh terhadap keberadaan mikoriza Zarate dan Cruz, 1995. Pengolahan tanah yang intensif akan merusak jaringan hifa eksternal fungi mikoriza. Penelitian McGonigle dan Miller 1993, menunjukkan bahwa pengolahan tanah minimum akan meningkatkan populasi mikoriza dibandingkan pengolahan tanah konvensional. Dalam budidaya tradisional, pengolahan tanah berulang-ulang dan panen menyebabkan erosi hara dan bahan organik dari lahan tersebut dan ini berpengaruh terhadap populasi mikoriza. Dalam pertanian modern yang menggunakan pupuk dan pestisida berlebihan Rao, 1994 serta terjadinya kompaksi tanah oleh alsintan Mc Gonigle dan Miller, 1993 berpengaruh negatif terhadap pembentukan mikoriza.

2.5. Hutan Pantai

Tipe ekosistem hutan pantai terdapat didaerah-daerah kering tepi pantai dengan kondisi tanah berpasir atau berbatu dan terletak di atas garis pasang tertinggi. Di daerah seperti itu pada umumnya jarang tergenang oleh air laut, namun sering terjadi atau terkena angin kencang dengan hembusan garam Arief, 1994. Spesies-spesies pohon yang pada umumnya terdapat dalam ekosistem hutan pantai antara lain Barringtonia speciosa, Terminalia catappa, Callophyllu inophyllum, Hibiscus tiliaceus, Thespenia populnea, Casuarina equisetifolia, dan Pisonia grandis Direktorat Jendral Kehutanan, 1976; Santoso, 1996. Selain spesies-spesies pohon tersebut, ternyata Universitas Sumatera Utara kadang-kadang terdapat juga species pohon Hernandia peltata, Manilkara kauki, dan Sterculia foetida Arief, 1994. 2.6. Keberadaan dan keanekaragaman FMA di daerah bersalinitas tinggi Hubungan antara salinitas tanah dan keberadaan FMA telah diteliti oleh beberapa peneliti Delvian, 2003; Kim dan Weber, 1985; Ragupathy dan Mahadevan, 1991. Delvian 2003 melakukan survey keberadaan FMA pada daerah pantai di Hutan Cagar Alam Leuweng Sancang Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kepadatan spora meningkat sejalan dengan menurunnya salinitas tanah, dimana kepadatan spora terendah terdapat pada tanah dengan tingkat salinitas 10,2 mmhocm dan kepadatan spora tertinggi terdapat pada tanah dengan tingkat salinitas 6,1 mmhocm. Persentasi kolonisasi juga meningkat dengan menurunnya tingkat salinitas tanah, dimana persentasi kolonisasi terendah terdapat pada tingkat salinitas 10,2 mmhocm dan tingkat kolonisasi tertinggi terdapat pada tingkat salinitas 5,9 mmhocm. Selain mempengaruhi kepadatan spora dan kolonisasi, tingkat salinitas tanah juga mempengaruhi jumlah tipe spora FMA, dimana penurunan tingkat salinitas tanah menghasilkan peningkatan jumlah tipe spora FMA. Penghitungan frekuensi mutlak dan frekuensi relatif kehadiran setiap spora FMA didapat spora tipe Glomus mempunyai frekuensi mutlak dan frekuensi relative kehadiran tertinggi 100 dan 37,98 yang diikuti oleh Acaulospora 76 dan 28,82, Sclerocystis 54 dan 20,38 dan Gigaspora 34 dan 12,81. Kim dan Weber 1985 melakukan survey keberadaan FMA pada halofit sepanjang transect Danau Playa, Utah dan menyimpulkan bahwa kepadatan spora FMA berhubungan erat dengan salinitas tanah dimana kepadatan spora FMA akan menurun sejalan dengan peningkatan salinitas tanah. Universitas Sumatera Utara Ragupathy dan Mahadevan 1991 mempelajari pengaruh gradien salinitas terhadap distribusi CMA di Kodikkarai Reserve Forest, Tamil Nadu, India menyatakan bahwa salinitas akan menekan pembentukan spora FMA dan kolonisasi akar tanaman. Penurunan tingkat salinitas tanah dari 7,0 mmhocm menjadi 2,0 mmhocm menghasilkan peningkatan kepadatan spora antara 51-1.052 spora per 100 gram tanah dan persentase kolonisasi sebesar 5-85. Beberapa peneliti melaporkan hasil identifikasi jenis FMA yang ditemukan di lokasi yang mereka survey. Menurut Delvian 2003, jenis FMA yang kebanyakan terdapat di tanah bergaram adalah Glomus spp. Menurut Ruiz-Lozano dan Azcon 1996, dikemukakan bahwa FMA seperti Glomus spp mampu hidup dan berkembang di bawah kondisi salinitas yang tinggi dan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap penurunan kehilangan hasil karena salinitas. Namun menurut Al-Kariki 2000, mekanisme perlindungannya belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga disebabkan karena meningkatnya serapan hara immobil seperti P, Zn, dan Cu. Delvian 2003, menyatakan bahwa vegetasi Hutan Pantai Cagar Alam Leuweung Sancang Kabupaten Garut, Jawa Barat mempunyai asosiasi yang tinggi dengan FMA, yaitu sekitar 95 dari tanaman yang diobservasi mampu membentuk asosiasi mikoriza dengan persentase kolonisasi yang beragam. Universitas Sumatera Utara

BAB III BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu

Pengambilan sampel tanah dan anakan akar tanaman dilakukan di kawasan hutan Pantai Sonang Kabupaten Tapanuli Tengah Sumatera Utara pada bulan April 2009. Ekstraksi spora, identifikasi dan penghitungan kolonisasi FMA pada akar tanaman sampel dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

3.2. Bahan dan

Alat Untuk ekstraksi dan identifikasi spora FMA dibutuhkan bahan berupa tanah dan akar tanaman dari hutan pantai, larutan glukosa 60, larutan Melzer’s sebagai bahan pewarna spora, larutan PVLG sebagai bahan pengawet spora. Sedangkan untuk pewarnaan akar dibutuhkan bahan-bahan kimia antara lain; KOH 10, HCL 2, larutan pewarna Staining: lacto glycerol, asam laktat dan trypan blue, dan aquades. Alat yang digunakan untuk pengambilan tanah dan akar tanaman sampel adalah tali plastik, cangkul, kantung plastik, spidol, kertas label, gunting serta tabung film. Sedangkan peralatan untuk pengamatan di laboratorium adalah saringan 710 µm, 425 µm, 125 µm, 45 µm, tabung sentrifuse, cawan petri, pinset spora, mikroskop binokuler, mikroskop cahaya, kaca preparat, dan kaca penutup. 17 Universitas Sumatera Utara