Kepadatan Spora HASIL DAN PEMBAHASAN

sampai 10 tergolong ke dalam tingkat sedang, sehingga sulit menentukan apakah N mempengaruhi keberadaan dan keanekaragaman serta daya infeksi akar. Hasil analisis terhadap P tersedia pada sampel tanah Pantai Sonang berkisar 4.23- 8.22 ppm yang tergolong sangat rendah. Menurut Hardjowigeno 1987 bahwa P tersedia 10 ppm termasuk ke dalam golongan sangat rendah. Dari analisis ini sulit diketahui apakah P tersedia mempengaruhi keberadaan dan keanekaragaman FMA serta daya infeksi akar, mengingat dalam penelitian ini unsur P tersedia dalam semua tingkat nomor urut masih dalam satu harkat, yaitu sangat rendah. Namun menurut Lynch 1983; Islami dan Utomo 1995 bahwa infeksi akar berkurang ketika ketersediaan P meningkat di tanah. Husin et al. 2000 menyatakan bahwa kesuburan tanah unsur N dan P tersedia, kadar air, drainase tanah dan pH tanah berpengaruh terhadap perkembangan FMA. FMA dapat berkembang dengan baik pada tanah yang mempunyai kandungan P lebih rendah dan aerasi yang lebih baik. Pernyataan ini dibuktikan oleh Habte and Soedarjo 1996 dalam penelitiannya yang menginokulasi FMA jenis Glomus aggregatum ke tanaman Acacia mangium. Hasil penelitiannya diperoleh bahwa pada konsentrasi P tersedia yang lebih rendah 0,002 me100 g dengan kisaran pH 4,3 – 6, inokulasi FMA memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap persen kolonisasi dan status P dalam jaringaan tanaman, bila dibandingkan dengan inokulasi FMA pada kondisi pH yang sama namun konsentrasi P yang lebih tinggi 0,008 me100 g.

4.2. Kepadatan Spora

Hasil penghitungan kepadatan spora di lapangan jumlah spora per 50 gram tanah berdasarkan tingkat salinitas tanah dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar 2 tampak Universitas Sumatera Utara bahwa kepadatan spora di lapangan meningkat sejalan dengan menurunnya kadar salinitas tanah. Kepadatan spora terendah di lapangan ditemukan pada tingkat salinitas 15,5 mScm 10 spora dan tertinggi pada tingkat salinitas 2,5 mScm 129 spora. 10 17 23 30 36 60 78 84 97 129 15.5 13.5 10.0 8.5 8.0 7.5 4.0 3.5 3.0 2.5 20 40 60 80 100 120 140 K epa da ta n S p ora pe r 50 g t an ah 2 4 6 8 10 12 14 16 18 T in g k at S al in it as m S c m Kepadatan Spora per 50 g tanah Tingkat Salinitas Gambar 2 : Jumlah Spora di Lapangan Berdasarkan Tingkat Salinitas Tanah Dari data di atas dapat dikatakan bahwa tingginya salinitas tanah ini berpengaruh negatif terhadap kepadatan spora FMA. Terjadinya penurunan salinitas tanah menghasilkan peningkatan kepadatan spora FMA sepanjang jalur pengamatan. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ragupathy dan Mahadevan 1991 yang mempelajari pengaruh gradien salinitas terhadap distribusi FMA di Kodikkarai Reserve Forest, Tamil Nadu, India dan secara tegas menyatakan bahwa salinitas menekan pembentukan spora FMA. Pada hasil penelitiannya ini diperoleh data bahwa penurunan tingkat salinitas tanah dari 7,0 mmhocm menjadi 2,0 mmhocm menghasilkan peningkatan kepadatan spora antara 51–1.052 spora per 100 gram tanah. Hasil penelitian yang sama juga diperoleh Kim dan Weber 1985 serta Delvian 2003 yang mempelajari Universitas Sumatera Utara keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula di Hutan Pantai Cagar Alam Leuweung Sancang, Pameungpeuk Kabupaten Garut. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa kepadatan spora meningkat sejalan dengan menurunnya salinitas tanah. Secara umum Brundrett et al. 1996 menyimpulkan bahwa salinitas merupakan salah satu faktor tanah yang menyebabkan kurangnya spora FMA di tanah disamping faktor pH tanah, kekeringan, pencucian, atau iklim yang ekstrim, dan kehilangan lapisan tanah bagian atas, atau kurangnya tanaman inang. Peningkatan jumlah spora yang selalu diikuti dengan turunnya tingkat salinitas tanah ini disebabkan oleh faktor lingkungan yaitu tingkat salinitas tanah dan tanaman inang Johnson-Green et al., 1995; Siguenza et al., 1996. Dimana salinitas tanah dapat mempengaruhi setiap tahapan perkembangan FMA, mulai dari perkecambahan spora Hirrel, 1981 sampai tahapan pembentukan spora baru Pacioni, 1986. Penundaan atau penghambatan fase perkecambahan spora akibat tingginya konsentrasi garam terlarut dalam larutan tanah menunda atau menghambat pertumbuhan hifa sehingga pada akhirnya menunda kolonisasi akar tanah dan pembentukan simbiosis Juniper dan Abbott, 1993. Penundaan itu akhirnya akan mempengaruhi proses pembentukan spora dan jumlah spora yang dihasilkan. Kondisi salinitas tanah juga sangat mempengaruhi tingkat ketersediaan air bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang pada akhirnya juga mempengaruhi perkembangan FMA yang terdapat pada perakaran tanaman sebagai simbionnya. Terdapat beberapa penelitian tentang pengaruh ketersediaan air terhadap sporulasi FMA, antara lain Sieverding dan Toro 1988 yang melaporkan bahwa, sporulasi sejumlah FMA menurun akibat kekurangan air. Mereka mempelajari pengaruh regim air tanah terhadap Universitas Sumatera Utara pertumbuhan tanaman Cassava yang diinokulasi dengan 7 jenis FMA yang berbeda. Terdapat 2 perlakuan air: yaitu basah, dimana tanah dipertahankan pada kapasitas lapangan kadar air 33, dan kering, dimana pot diairi sampai kapasitas lapangan, lalu kadar airnya menurun sampai 15 dan kemudian diairi kembali sampai kapasitas lapang. Jumlah total spora yang terbentuk dari semua jenis FMA yang digunakan secara signifikan akan menurun pada kondisi kering, kecuali pada Scutellospora heterogama yang relatif meningkat dengan perlakuan pengeringan. Hal ini terjadi karena perlakuan kering akan menurunkan produksi bahan kering tanaman, maka produksi spora FMA juga akan menurun. Selain mempengaruhi kepadatan spora, tingkat salinitas tanah juga mempengaruhi keanekaragaman spora FMA yang ditemukan Tabel 2. Hasil identifikasi di lapangan menunjukkan bahwa secara umum penurunan tingkat salinitas tanah menghasilkan peningkatan keanekaragaman spora FMA, dimana jenis Glomus sp. 2 dan Glomus sp. 4 merupakan jenis spora yang mempunyai daerah penyebaran pada tingkat salinitas yang lebih luas. Berdasarkan pengamatan spora di lapangan dijumpai 10 jenis spora FMA, yang mana kesemuanya adalah Glomus sp. Jenis-jenis lainnya seperti Acaulospora sp., Gigaspora sp., Scutellospora sp dan Enthrospora sp tidak dijumpai pada pengamatan keanekaragaman spora di lapangan. Universitas Sumatera Utara Tabel 2. Keanekaragaman spora FMA yang Ditemukan dari Lapangan Berdasarkan Tingkat Salinitas Tanah. No. Salinitas mScm Nama Jenis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 15,5 13,5 10,0 8,5 8,0 7,5 4,0 3,5 3,0 2,5 Glomus sp. 2, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5 Glomus sp. 1, Glomus sp. 2, Glomus sp. 5, Glomus sp. 7 Glomus sp. 2, Glomus sp. 5, Glomus sp. 8, Glomus sp. 9 Glomus sp. 2, Glomus sp. 3, Glomus sp. 4, Glomus sp. 7, Glomus sp. 9 Glomus sp. 3, Glomus sp. 4, Glomus sp. 6, Glomus sp. 7 Glomus sp. 2, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 7, Glomus sp. 10 Glomus sp. 1, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 6, Glomus sp. 7 Glomus sp. 1, Glomus sp. 2, Glomus sp. 3, Glomus sp. 4, Glomus sp. 7, Glomus sp. 10 Glomus sp. 1, Glomus sp. 2, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 6, Glomus sp. 10 Glomus sp. 1, Glomus sp. 2, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 6, Glomus sp. 7, Glomus sp. 8 Penurunan jumlah jenis spora FMA pada tingkat salinitas tanah yang tinggi, diduga berhubungan dengan toleransi setiap jenis FMA terhadap tingkat salinitas tanah Flower et al., 1997. Toleransi FMA terhadap salinitas tanah ditentukan oleh kemampuan setiap jenis untuk melakukan osmoregulasi atau penyesuaian osmotik agar potensial osmotik dalam sel FMA lebih rendah dari pada larutan tanah. Hasil pengamatan dari kultur pemerangkapan trapping menunjukkan bahwa kepadatan dan keanekaragaman spora meningkat dibandingkan spora di lapangan, dimana jenis Glomus sp. 2 dan Glomus sp. 4 juga merupakan jenis spora yang Universitas Sumatera Utara mempunyai daerah penyebaran pada tingkat salinitas yang lebih luas. Hasil penghitungan kepadatan spora dan keanekaragaman spora hasil trapping jumlah dan keanekaragaman spora per 50 gram tanah berdasarkan tingkat salinitas tanah dapat dilihat pada Gambar 3 dan Tabel 3. 15 23 37 54 74 106 125 131 145 177 15,5 13,5 10,0 8,5 8,0 7,5 4,0 3,5 3,0 2,5 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 K ep ada ta n S por a p er 50 g ta na h 2 4 6 8 10 12 14 16 18 T ingk at S al ini ta s m S c m Kepadatan Spora per 50 g tanah Tingkat Salinitas Gambar 3 : Jumlah Spora Hasil Trapping Berdasarkan Tingkat Salinitas Tanah Dari Gambar 3 di atas tampak bahwa kepadatan spora hasil trapping meningkat sejalan dengan menurunnya kadar salinitas tanah. Hasil trapping menunjukkan bahwa jumlah kepadatan spora terendah hasil trapping ditemukan pada tingkat salinitas 15,5 mScm 15 spora 50 g tanah dan tertinggi pada tingkat salinitas 2,5 mScm 177 spora 50 g tanah. Universitas Sumatera Utara Tabel 3. Keanekaragaman spora FMA Hasil Trapping Berdasarkan Tingkat Salinitas tanah No. Salinitas Nama Jenis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 15,5 13,5 10,0 8,5 8,0 7,5 4,0 3,5 3,0 2,5 Glomus sp. 2, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 17, Glomus sp. 26 Glomus sp. 1, Glomus sp. 2, Glomus sp. 5, Glomus sp. 7, Glomus sp. 26, Acaulospora sp. 2 Glomus sp. 2, Glomus sp. 5, Glomus sp. 8, Glomus sp. 9, Glomus sp. 21, Glomus sp. 22 Glomus sp. 2, Glomus sp. 3, Glomus sp. 4, Glomus sp. 7, Glomus sp. 9, Glomus sp. 24 Glomus sp. 3, Glomus sp. 4, Glomus sp. 6, Glomus sp. 7, Glomus sp. 18, Glomus sp. 25 Glomus sp. 2, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 7, Glomus sp. 10, Glomus sp. 18, Glomus sp. 24 Glomus sp. 1, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 6, Glomus sp. 7, Glomus sp. 13, Glomus sp. 18, Glomus sp. 19, Glomus sp. 20, Acaulospora sp. 1 Glomus sp. 1, Glomus sp. 2, Glomus sp. 3, Glomus sp. 4, Glomus sp. 7, Glomus sp. 10, Glomus sp. 14, Glomus sp. 15, Glomus sp. 16, Glomus sp. 18, Glomus sp. 21, Acaulospora sp. 1 Glomus sp. 1, Glomus sp. 2, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 6, Glomus sp. 10, Glomus sp. 11, Glomus sp. 12, Glomus sp. 17, Glomus sp. 18, Glomus sp. 26, Acaulospora sp. 1 Glomus sp. 1, Glomus sp. 2, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 6, Glomus sp. 7, Glomus sp. 8, Glomus sp. 18, Glomus sp. 20, Glomus sp. 23, Glomus sp. 24, Glomus sp. 25, Glomus sp. 26, Acaulospora sp. 1 Universitas Sumatera Utara Meningkatnya jumlah dan keanekaragaman spora hasil trapping diduga karena FMA dari lapangan banyak yang belum bersporulasi sehingga dengan dilakukannya trapping, diharapkan FMA yang ada akan bersporulasi sehingga akan terbentuk keanekaragaman dan jumlah FMA yang lebih banyak serta data yang diperoleh juga lebih akurat. Menurut Delvian 2006 b pada kondisi basah atau banyak hujan umumnya persentase kolonisasi meningkat dan pembentukan spora baru berkurang. Hal ini disebabkan karena kelembaban tanah yang tinggi pada kondisi basah akan merangsang keberadaan dan keanekaragaman FMA serta terbentuknya kolonisasi dengan tanaman inang. Sebaliknya pada kondisi kering atau sedikit hujan pembentukan spora baru akan meningkat dan persentase kolonisasi akan menurun. Kondisi kering akan merangsang pembentukan spora yang banyak sebagai respon alami dari FMA serta upaya untuk mempertahankan keberadaannya di alam. Pada identifikasi hasil trapping dijumpai 28 jenis spora FMA. Dua puluh enam jenis spora diantaranya merupakan genus Glomus sp dan 2 jenis spora merupakan genus Acaulospora sp. Jenis-jenis mikoriza lainnya seperti Gigaspora sp., Scutellospora sp dan Enthrospora sp tidak dijumpai pada pengamatan tipe spora hasil trapping. Identifikasi ini dilakukan berdasarkan perbedaan ciri, karakteristik morfologi bentuk ketebalan dinding sel, ada tidaknya sublending hifa, kehalusan permukaan dan reaksi spora terhadap pewarna melzers. Keanekaragaman karakteristik spora FMA yang ditemukan di lapangan ditampilkan pada Tabel 4 dan keanekaragaman karakteristik spora FMA yang ditemukan hasil trapping ditampilkan pada Tabel 5. Universitas Sumatera Utara Tabel 4. Keanekaragaman dan karakteristik spora FMA yang ditemukan di lapangan No. Spora Karakteristik Morfologi Reaksi dengan Melzer’s 1 Glomus sp-1 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 2 Glomus sp-2 Spora bulat, berwarna coklat, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 3 Glomus sp-3 Spora lonjong, berwarna kuning, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 4 Glomus sp-4 Spora bulat, berwarna kuning kecoklatan, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 5 Glomus sp-5 Spora lonjong, berwarna kuning kecoklatan, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. Universitas Sumatera Utara No. Spora Karakteristik Morfologi Reaksi dengan Melzer’s 6 Glomus sp-6 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 7 Glomus sp-7 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya agak kasar. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 8 Glomus sp-8 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 9 Glomus sp-9 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 10 Glomus sp-10 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. Universitas Sumatera Utara Tabel 5. Keanekaragaman dan karakteristik spora FMA hasil trapping No. Spora Karakteristik Morfologi Reaksi dengan Melzer’s 1 Glomus sp-1 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 2 Glomus sp-2 Spora bulat, berwarna coklat, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 3 Glomus sp-3 Spora lonjong, berwarna kuning, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 4 Glomus sp-4 Spora bulat, berwarna kuning kecoklatan, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 5 Glomus sp-5 Spora lonjong, berwarna kuning kecoklatan, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. Universitas Sumatera Utara No. Spora Karakteristik Morfologi Reaksi dengan Melzer’s 6 Glomus sp-6 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 7 Glomus sp-7 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya agak kasar. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 8 Glomus sp-8 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 9 Glomus sp-9 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 10 Glomus sp-10 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s Universitas Sumatera Utara No. Spora Karakteristik Morfologi Reaksi dengan Melzer’s 11 Glomus sp-11 Spora lonjong, berwarna kuning, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 12 Glomus sp-12 Spora bulat, berwarna coklat, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 13 Glomus sp-13 Spora lonjong, berwarna kuning kemerahan, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 14 Glomus sp-14 Spora lonjong, berwarna kuning keemasan, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 15 Glomus sp-15 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. Universitas Sumatera Utara No. Spora Karakteristik Morfologi Reaksi dengan Melzer’s 16 Glomus sp-16 Spora lonjong, berwarna kuning keemasan, permukaannya kasar. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 17 Glomus sp-17 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya agak kasar. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 18 Glomus sp-18 Spora bulat, berwarna coklat, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 19 Glomus sp-19 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya kasar. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 20 Glomus sp-20 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. Universitas Sumatera Utara No. Spora Karakteristik Morfologi Reaksi dengan Melzer’s 21 Glomus sp-21 Spora bulat, berwarna coklat, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 22 Glomus sp-22 Spora bulat, berwarna coklat, permukaannya kasar. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 23 Glomus sp-23 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 24 Glomus sp-24 Spora bulat, berwarna coklat, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 25 Glomus sp-25 Spora bulat, berwarna kecoklatan, permukaannya halus. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. Universitas Sumatera Utara No. Spora Karakteristik Morfologi Reaksi dengan Melzer’s 26 Glomus sp-26 Spora lonjong, berwarna kuning, permukaannya agak kasar. Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 27 Acaulospora sp-1 Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus dan membentuk ornamen seperti kulit jeruk. Bereaksi dengan pewarna melzer’s terjadi perubahan warna dimana bagian dalam spora berwarna lebih gelap. 28 Acaulospora sp-2 Spora bulat, berwarna kuning kecoklatan, permukaannya kasar dan membentuk ornamen seperti kulit jeruk. Bereaksi dengan pewarna melzer’s terjadi perubahan warna dimana bagian dalam spora berwarna lebih gelap. Dari data keanekaragaman spora yang ditemukan kemudian dihitung frekuensi mutlak dan frekuensi relatif kehadiran setiap genus spora FMA Koske, 1987. Dari data frekuensi mutlak dan frekuensi relatif di lapangan menunjukkan bahwa hanya mikoriza dari jenis Glomus sp yang ditemukan di lapangan, sehingga FM dan FR di lapangan 100 dan 100, seperti disajikan pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6. Nilai Frekuensi Mutlak FM dan Frekuensi Relatif FR Kehadiran Suatu Genus FMA di Lapangan Pengamatan Jenis FMA FM FR Glomus 100 100 Acaulospora 0 0 Universitas Sumatera Utara Dari data frekuensi mutlak dan frekuensi relatif hasil trapping menunjukkan bahwa spora Glomus mempunyai FM dan FR tertinggi 100 dan 69,8 yang diikuti oleh Acaulospora 43,3 dan 30,1, seperti disajikan pada Tabel 7 di bawah ini. Tabel 7. Nilai Frekuensi Mutlak FM dan Frekuensi Relatif FR Kehadiran Suatu Genus FMA pada Pengamatan Hasil Trapping Pengamatan Jenis FMA FM FR Glomus 100 69,8 Acaulospora 43,3 30,2 Dari Tabel 6 dan Tabel 7 dapat dikatakan bahwa spora tipe Glomus mempunyai daerah sebaran yang paling luas dan paling toleran terhadap kondisi salinitas tanah. Hasil ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh banyak peneliti yang melihat bahwa jenis FMA yang paling banyak ditemukan pada tanah-tanah bergaram tinggi adalah Glomus sp. Delvian, 2006; Koske dan Tews, 1987; Koske, 1987; Pond et al., 1984; Allen dan Cunningham, 1983. Tingginya frekuensi kehadiran spora FMA genus Glomus ini mungkin berhubungan dengan spesies Glomus yang sangat banyak dibandingkan jenis lainnya. Dari 172 jenis FMA yang sudah diidentifikasi diketahui jenis Glomus merupakan jenis yang paling banyak, diikuti Acaulospora., Scutellospora., Gigaspora., Enthropospora., Archaeospora dan Paraglomus INVAM, 2009. Keanekaragaman spesies yang tinggi ini tentu menghasilkan toleransi yang luas terhadap berbagai faktor lingkungan sehingga daerah penyebarannya lebih luas. Disamping itu Baon 1998 menyatakan tanah yang didominasi oleh fraksi lempung merupakan kondisi yang diduga sesuai untuk perkembangan spora Glomus sp. Universitas Sumatera Utara

4.3. Persentase Kolonisasi