Asas-asas Perjanjian Dalam KUH Perdata Dan Syarat Sahnya Perjanjian

B. Asas-asas Perjanjian Dalam KUH Perdata Dan Syarat Sahnya Perjanjian

1. Asas-asas Perjanjian dalam KUH Perdata. a. Hukum kontrak bersifat mengatur. 58 Sebagaimana diketahui, hukum dibagi 2 yaitu: i. Hukum memaksa dwingend recht ii. Hukum mengatur aanvullen recht Maka hukum kontrak pada prinsipnya tergolong dalam hukum mengatur. Artinya bahwa hukum tersebut baru berlaku sepanjang para pihak tidak mengaturnya lain. Jika para pihak mengaturnya secara lain dari apa yang diatur dalam kontrak tersebut maka yang berlaku adalah apa yang diatur sendiri oleh para pihak tersebut. Kecuali undang-undang menentukan lain. b. Asas Kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan untuk: 59 1 membuat atau tidak membuat perjanjian; 2 memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian; 3 memilih kausa perjanjian yang akan dibuatnya; 58 Ibid., hlm. 29 59 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 36 Universitas Sumatera Utara 4 menentukan obyek perjanjian; 5 menentukan bentuk suatu perjanjian dan; 6 menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional aanvullen, optional. Asas kebebasan berkontrak ini sifatnya universal, artinya berlaku juga dalam berbagai sistem hukum perjanjian yang memiliki ruang lingkup yang sama. 60 Sebagai satu kesatuan yang utuh maka penerapan asas ini sebagaimana tersimpul dari substansi Pasal 1338 KUH Perdata ayat 1 harus dikaitkan dengan kerangka pemahaman pasal-pasal atau ketentuan lain yaitu: 61 1 Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian. 2 Pasal 1335 KUH Perdata mengenai pembuatan kontrak dikarenakan kausa yang legal. 3 Pasal 1337 KUH Perdata mengenai kontrak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 4 Pasal 1338 KUH Perdata yang menetapkan kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik. 5 Pasal 1339 KUH Perdata yang menunjuk terikatnya perjanjian pada sifat kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. 60 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 47 61 Hasanudin Rahman, op.cit., hlm. 14 Universitas Sumatera Utara 6 Pasal 1347 KUH Perdata yang mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan. Kebebasan berkontrak harus dibatasi bekerjanya agar kontrak yang dibuat berlandaskan asas itu tidak sampai merupakan perjanjian yang berat sebelah atau timpang. 62 Hal-hal tersebut diatas yang membatasi bekerjanya asas ini. c. Asas Pacta sunt servanda. Asas pacta sun servanda daya mengikat ini mengajarkan bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh. Asas ini disebut juga sebagai asas kepastian hukum. KUH Perdata menganut prinsip ini dengan melukiskan bahwa suatu kontrak berlaku seperti undang-undang bagi para pihak yang membuatnya Pasal 1338 KUH Perdata. 63 Asas pacta sun servanda pada mulanya dikenal didalam hukum Gereja. Disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dikuatkan dengan sumpah sehingga dikaitkan dengan unsur keagamaan. Dalam perkembangannya pacta sun servanda diberi arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. 64 62 Ibid., hlm. 16 63 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm.10 64 H.Salim, Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, op.cit., hlm. 3 Universitas Sumatera Utara d. Asas konsensualisme dari suatu kontrak. Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat 1 KUH Perdata. Pada pasal tersebut terkandung asas yang esensial dari hukum perjanjian yaitu konsensualisme yang menentukan adanya perjanjian. 65 Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan vertrouwen diantara para pihak terhadap peleburan perjanjian. Peleburan di sini mempunyai arti adanya persetujuan untuk melakukan penggabungan atau penyatuan kehendak yang dituangkan dalam perjanjian. Asas kepercayaan vertrouwenleer merupakan nilai etis yang bersumber dari moral. 66 Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas mengikat yang terdapat dalam pasal 1338 1 KUH Perdata. Hal ini sedasar dengan pendapat Subekti 67 yang menyatakan bahwa asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 jo. Pasal 1338 KUH Perdata. e. Asas Kepribadian Personality Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan danatau membuat kontrak hanya untuk 65 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 82 66 Ibid., hlm. 108-109 67 Subekti, Hukum Perjanjian, op.cit., hlm. 37 Universitas Sumatera Utara kepentingan perseorangan saja. 68 Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diperkenalkan dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjiankontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. 69 68 Salim HS, op.cit., hlm.13 69 Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Cetakan Keempat, Jakarta, 2006, hlm. 12-13 Universitas Sumatera Utara Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. f. Asas itikad baik Pengaturan Pasal 1338 3 KUH Perdata yang menetapkan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik contractus bonafidei–kontrak berdasarkan itikad baik. Dalam praktik asas itikad baik, hakim menggunakan wewenang untuk mencampuri isi perjanjian sehingga tampaknya itikad baik bukan saja ada pada pelaksanaan perjanjian akan tetapi juga pada saat ditandatanganinya atau dibuatnya perjanjian. 70 Contohnya dalam kasus Ny. Boesono dan R. Boesono melawan Sri Setianingsih Perkara No. 341KPdt1985 tanggal 14 Maret 1987. Mahkamah Agung Republik Indonesia memutuskan bahwa bunga pinjaman sebesar 10 perbulan adalah terlalu tinggi dan menimbulkan ketidakadilan. Pengadilan menurunkan tingkat suku bunga dari 10 menjadi 1 perbulan. 71 Asas itikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik mutlak, 70 Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori Dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, 2004, hlm. 4 71 Keputusan Mahkamah Agung Perkara No. 341KPdt1985, Tanggal 14 Maret 1987 Dalam Kasus Ny. Boesono dan R. Boesono Melawan Sri Setianingsih Universitas Sumatera Utara penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan penilaian tidak memihak menurut norma-norma yang objektif. 72 2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Agar suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka kontrak tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut dapat digolongkan sebagai berikut: 73 1. Syarat sah yang umum, yaitu: 1 Syarat sah umum berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata yaitu: a Kesepakatan kehendak; b Berwenang untuk membuat; c Perihal tertentu; d Kausa yang legal. 2 Syarat sah umum di luar Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu dalam asal 1335, Pasal 1337, Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUH Perdata: a Syarat sesuai dengan kebiasaan; b Syarat sesuai dengan kepatutan; c Syarat sesuai dengan kepentingan umum. 2. Syarat sah khusus yang terdiri dari: 1 Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu; 72 Salim HS, op.cit., hlm. 10-11 73 Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 28 Universitas Sumatera Utara 2 Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu; 3 Syarat akta pejabat tertentu di luar notaris untuk kontrak-kontrak tertentu; 4 Syarat ijin dari yang berwenang. Konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari syarat- syarat sahnya suatu kontrak tersebut bervariasi mengikuti syarat mana yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut adalah sebagai berikut: 74 a. Batal demi hukum void. Kontrak ini tidak mempunyai akibat hukum, seolah-olah tidak pernah terjadi suatu kontrak. Contoh kontrak untuk melakukan suatu tindak pidana. Apabila kontrak ini batal maka tidak ada satu pihak. Hal ini terjadi bila dilanggarnya syarat objektif kontrak dalam pasal 1320 KUH Perdata, syarat objektif tersebut adalah: perihal tertentu, dan kausa yang legal. b. Dapat dibatalkan voidable. Kontrak di mana setidak-tidaknya satu pihak mempunyai pilihan untuk meniadakan kewajiban dalam kontraknya. Kontrak yang dapat dibatalkan ini kedua belah pihak dibebaskan dari kewajiban mereka untuk memenuhinya. Apabila pihak dengan pilihan tadi memilih untuk meratifikasi yaitu melaksanakan kontrak tersebut maka kedua belah pihak harus secara penuh melaksanakan kewajiban tersebut. Dengan beberapa pengecualian yaitu dalam hal tidak dipenuhinya syarat 74 Soedjono Dirdjosisworo, op.cit., hlm. 48 Universitas Sumatera Utara subjektif dalam pasal 1320 KUH Perdata. Syarat subjektif itu adalah: kesepakatan kehendak dan kecakapan berbuat. c. Kontrak tidak dapat dilaksanakan un-enforceable Kontrak ini adalah kontrak yang unsur-unsur esensial untuk menciptakan kontrak telah terpenuhi namun terdapat perlawanan secara hukum bagi dilaksanakannya kontrak. Jadi kontrak ini terdapat perlawanan hukum bagi pelaksanaannya. Bedanya dengan kontrak yang batal demi hukum adalah kontrak yang tidak dapat dilaksanakan masih mungkin dikonversi menjadi kontrak yang sah. Sedangkan bedanya dengan kontrak yang dapat dibatalkan adalah dalam kontrak yang dapat dibatalkan ini kontraknya sudah sah, mengikat dan dapat dilaksanakan sampai dengan dibatalkannya kontrak tersebut. Contoh kontrak yang tidak dapat dilaksanakan adalah kontrak yang tidak dalam bentuk tertulis, kendatipun Undang-undang Penipuan telah mensyaratkan agar dalam bentuk tertulis kontrak ini tidak dapat dilaksanakan. Pihak-pihak bisa saja secara sukarela membuat kontrak yang tidak dapat dilaksanakan. d. Sanksi administratif. Ada juga kontrak yang apabila tidak dipenuhi hanya mengakibatkan sanksi administratif saja. Misalnya kontrak yang memerlukan ijin atau pelaporan terhadap instansi tertentu seperti kepada Bank Indonesia untuk kontrak Offshore Loan peminjaman ke luar negeri. Uraian tentang syarat sah suatu kontrak adalah sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara a. Kesepakatan Seperti telah disebutkan sesuai pasal 1320 KUH Perdata, bahwa salah satu syarat sahnya suatu kontrak adalah adanya kesepakatan. Kesepakatan ini adalah kesepakatan kehendak. Syarat ini bersama dengan syarat kewenangan berbuat merupakan syarat subjektif dari kontrak. Suatu kesepakatan kehendak dimulai dari adanya unsur penawaran offer oleh salah satu pihak diikuti oleh penerimaan penawaran acceptance dari pihak lainnya, sehingga terjadilah suatu kontrak. 75 Apabila dalam suatu kontrak terjadi salah satu unsur-unsur paksaan dwang, penipuan bedrog dan kesilapan dwaling maka terhadap kontrak tersebut tidak terpenuhi syarat kesepakatan kehendak. Penjelasan dari unsur-unsur itu adalah: 76 1. Unsur Paksaan. Unsur paksaan dwang, duress ketentuannya bisa dilihat dalam Pasal 1324 KUH Perdata yaitu: ”Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seseorang yang berfikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dalam mempertimbangkan hal itu harus diperhatikan, usia, kelamin, dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan.” Paksaan dapat merupakan alasan untuk minta pembatalan perjanjian apabila dilakukan terhadap: 77 75 Mariam Barus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994. hlm. 24 76 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 66 77 Ibid., hlm. 70 Universitas Sumatera Utara a Orang atau pihak yang membuat perjanjian Pasal 1323 KUH Perdata b Suami atau istri dari pihak perjanjian atau sanak keluarga dalam garis ke atas maupun ke bawah Pasal 1325 KUH Perdata. 2. Unsur Penipuan bedrog, fraud, misrepresentation dalam kontrak. Ketentuan ini bisa dilihat dalam Pasal 1328 KUH Perdata yaitu: ”Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu-muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.” Penipuan harus dibuktikan, tidak dapat dipersangkakan. Dalam bahasa Inggris disebut juga misrepresentation yang diartikan sebagai suatu pernyataan tentang fakta yang tidak benar. 78 Hal ini diatur dalam ketentuan di Pasal 1328 KUH Perdata tersebut di atas. Misrepresentation ini berarti salah menyatakan sesuatu dari kenyataannya sehingga membuat pihak lain setuju untuk melakukan kontrak tersebut. Pada dasarnya pernyataan atas pendapat atau kehendak yang tidak seperti pada kenyataannya masuk dalam konteks misrepresentation ini. Misrepresentation terjadi pada saat pihak mengetahui bahwa persetujuannya untuk melakukan suatu kontrak berdasarkan atas informasi yang tidak benar sesuai dengan kenyataannya jika pihak tersebut mengetahui keadaan sebenarnya 78 Hardijan Rusli, op.cit., hlm. 72 Universitas Sumatera Utara maka pihak tersebut tidak akan melakukan kontrak. 79 Misrepresentation contohnya dapat terbukti bila perusahaan mengeluarkan informasi yang tidak benar, antara lain tentang keadaan bisnis, manajemen ataupun tentang posisi keuangan perusahaan, berdasarkan informasi tersebut seseorang atau ada pihak yang setuju untuk melakukan kontrak. Akan tetapi kemudian terbukti perusahaan tersebut tidak seperti informasi yang telah diberikannya sehingga kontrak tersebut dapat dibatalkan. 3. Unsur kesilapan dwaling, mistake dalam suatu kontrak. Unsur ini ketentuannya bisa dilihat pada Pasal 1322 KUH Perdata yaitu: ”Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat sutau perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.” Terdapat kesesatan apabila dikaitkan dengan hakikat benda atau orang dan pihak lawan harus mengetahui atau setidak-tidaknya mengetahui bahwa sifat atau keadaan yang menimbulkan kesesatan bagi pihak lain sangat menentukan. 80 b. Kecakapan 79 Hukum Kontrak http:hukumpedia.blogspot.com200901hukum-kontrak.html, diakses tanggal 2 September 2010 80 Hardijan Rusli, op.cit., hlm. 66 Universitas Sumatera Utara Salah satu syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah para pihak dalam keadaan ”cakap berbuat” bevoegd. Siapakah pihak-pihak yang dimaksudkan cakap ini? Menurut ketentuan yang berlaku bahwa semua orang cakap berwenang kecuali mereka yang tergolong sebagai berikut yaitu dalam Pasal 1330 KUH Perdata: ”Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: 1 Orang-orang belum dewasa 2 Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan 3 Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.” Menurut ketentuan diatas semua orang cakap berwenang membuat perjanjian kecuali: 81 1 Orang yang belum dewasa Menurut KUH Perdata Pasal 1330, maka yang dianggap dewasa, maka yang demikian oleh hukum dianggap cakap membuat perjanjian, jika: 82 a Sudah genap berumur 21 tahun. b Sudah kawin walaupun belum genap 21 tahun. c Sudah kawin dan kemudian cerai meskipun belum genap 21 tahun. Adanya Undang-undang Tentang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maka ketentuan dewasa dirubah menjadi 18 81 Ahmadi Miru, Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm. 74 82 Ibid. Universitas Sumatera Utara tahun dan ketentuan ini berlaku untuk semua warga negara Indonesia tanpa membeda-bedakan golongan penduduknya. Umur dewasa 18 tahun ini juga dikuatkan dengan Keputusan Mahkamah Agung No. 477KSip1976 Tanggal 13 Oktober 1976. 83 2 Orang yang ditempatkan dibawah pengampuan Ketentuan ini bisa dilihat dalam Pasal 1330 angka 2 KUH Perdata. Siapakah orang yang di bawah pengampuan tersebut? Menurut Pasal tersebut adalah: a Orang yang dungu onnoozelheid; b Orang yang gila; c Orang yang mata gelap razernij; d Orang yang boros. Orang-orang tersebut di atas tetap ditaruh di bawah pengampuan walaupun kadang-kadang mereka bertindak selayaknya orang yang cakap berbuat. 3 Wanita bersuami. KUH Perdata juga menempatkan wanita yang bersuami sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat kontrak Pasal 1330 ayat 3 KUH 83 Ketentuan Tentang Dewasa: usia dewasa diatur dalam berbagai pasal yaitu sebagai berikut: Ketentuan Tentang Dewasa: http:72legallogic,wordpress.com: Menurut Pasal 338 KUH Perdata: 21 tahun, menurut Pasal 50 UU No. 11974: 18 tahun, menurut Pasal 39 ayat 1 UU No. 302004: 18 tahun, menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tanggal 13 Oktober 1976 No. 477KSip1976: 18 tahun dan menurut hukum Adat: berdasar pada ukuran sosial bukan fisik atau regulasi. Universitas Sumatera Utara Perdata. Akan tetapi dewasa ini ketentuan bahwa istri dianggap tidak cakap dapat dikatakan tidak berlaku lagi dengan alasan sebagai berikut: 84 a. Dari semua yang dimaksudkan oleh KUH Perdata tentang ketidakcakapan ini hanya berlaku dalam bidang hukum kekayaan saja. b. Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 walaupun suami sebagai kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga tetapi masing-masing mempunyai kedudukan yang seimbang dalam melakukan perbuatan hukum Pasal 31 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 c. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 yang menyatakan bahwa istri cakap berbuat dengan mencabut Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata. 85 d. Dalam praktek hukum sehari-hari istri umumnya dianggap cakap membuat kontrak atas barang-barang yang dia kuasai danatau dimilikinya. Bagaimana konsekuensi yuridisnya? Jika ada dari para pihak dalam kontrak ternyata tidak cakap untuk berbuat adalah: 84 Ahmadi Miru, Sakka Pati, op.cit., hlm. 74-75 85 Wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum: http:legislasi.mahkamahagung.go.iddocsSurat20Edaran20MASELB_MA_1963_3_GAGASA N20MENGANGGAP20BURGERLIJK.pdf diakses tanggal 28 September 2010 Universitas Sumatera Utara a. Jika dilakukan oleh anak yang belum dewasa maka kontrak tersebut batal demi hukum atas permintaan dari anak yang belum dewasa, semata-mata karena alasan kebelum-dewasaannya Pasal 1446 ayat 1 juncto Pasal 1331 ayat 1 KUH Perdata b. Jika kontrak dilakukan oleh orang yang ditempatkan di bawah pengampuan maka kontrak tersebut batal demi hukum atas permintaan dari orang yang di bawah pengampuan tersebut. Hal ini menurut Pasal 1331 ayat 1 KUH Perdata. c. Terhadap kontrak yang dibuat oleh wanita yang bersuami hanyalah batal demi hukum sekadar kontrak tersebut melampaui kekuasaan mereka, - Pasal 1446 ayat 2 juncto Pasal 1331 ayat 1 KUH Perdata. d. Terhadap kontrak yang dibuat oleh anak dibawah umur yang telah mendapatkan status disamakan dengan orang dewasa hanyalah batal demi hukum sekadar kontrak tersebut melampaui kekuasaan mereka Pasal 1446 ayat 2 juncto Pasal 1331 ayat 1 KUH Perdata e. Terhadap kontrak yang dibuat oleh orang-orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu Pasal 1330 angka 3 maka mereka dapat menuntut pembatalan kontrak tersebut kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Orang-orang yang dilarang tersebut adalah perempuan yang sudah menikah dan Universitas Sumatera Utara tidak didampingi oleh suaminya. Walaupuan demikian ketentuan ini sudah tidak diberlakukan sekarang sehingga perempuan yang bersuami pun dianggap telah cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian. 86 3. Perihal tertentu Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya kontrak adalah adanya perihal tertentu. Suatu hal tertentu adalah hal bisa ditentukan jenisnya determinable 87 Beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang terhadap objek tertentu adalah sebagai berikut: 1 Dalam Pasal 1332 KUH Perdata: ”Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok persetujuan” 2 Dalam Pasal 1333 ayat 1 KUH Perdata: ”Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asalkan saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.” 3 Dalam Pasal 1334 ayat 1 KUH Perdata: ”Benda yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu persetujuan. Akan tetapi seseorang tidak diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk menentukan suatu syarat dalam perjanjian mengenai warisan itu sekalipun dengan persetujuan orang yang akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok persetujuan itu; hal ini tidak akan mengurangi ketentuan pasal 169, 176 dan 179.” 86 Ahmadi Miru, Sakka Pati, op.cit., hlm.74 87 Sudargo Gautama, Indonesian Business Law, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 79 Universitas Sumatera Utara 4. Kausa yang legal Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya kontrak terdapat syarat kausa oorzaak yang legal untuk kontrak yaitu mengenai sebab mengapa kontrak tersebut dibuat. Sebab legal juga merupakan salah satu syarat sahnya suatu kontrak Pasal 1320 KUH Perdata. Dalam Pasal 1335 KUH Perdata ditegaskan bahwa: ”Suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat dengan sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan.” Hal tersebut berhubungan dengan ketentuan dalam Pasal 1337 KUH Perdata yang berbunyi: ”Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang- undang atau apabila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.” Berdasarkan ketentuan kedua pasal di atas, maka suatu kontrak tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat batal apabila kontrak tersebut: 88 1 Tidak mempunyai kausa 2 Kausanya palsu 3 Kausanya bertentangan dengan undang-undang 4 Kausanya bertentangan dengan kesusilaan 5 Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum. Menurut Hoge Raad, kausa sebagai tujuan bersama yang hendak 88 J. Satrio – I, op.cit., hlm. 321-353 Universitas Sumatera Utara dicapai para pihak harus diukur menurut keadaan pada saat perjanjian itu ditutup. 89 5. Syarat-syarat sah lainnya Selain syarat-syarat yang disebutkan untuk sahnya suatu kontrak juga disyaratkan agar kontrak tersebut tidak melanggar unsur itikad baik, kepatutan, kepentingan umum dan kebiasaan. 90 Hal tersebut dipertegas dalam Pasal 1339 KUH Perdata suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan diwajibkan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. 91 Ada 3 sumber norma yang ikut mengisi suatu perjanjian yaitu undang-undang, kebiasaan dan kepatutan. Menurut Pasal 1338 KUH Perdata ayat 3, semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Norma yang dituliskan di sini merupakan salah satu sendi yang terpenting dari hukum perjanjian. Akan tetapi ketentuan ini bukan merupakan salah satu syarat sahnya suatu perjanjian. Dengan ada atau tidak adanya itikad baik tidak membuat suatu perjanjian batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Perjanjian batal atau dapat dibatalkan apabila tidak terpenuhinya syarat subyektif dan obyektif dari suatu perjanjian. 89 Sebagaiamana dalam keputusan Hoge Raad The Supreme Court Of The Netherlands tanggal 6 Januari 1922, bahwa dalam hal setelah penutupan kontrak ternyata kontrak tersebut tak dapat dilaksanakan , misal karena adanya larangan undang-undang, maka perjanjian itu tetap sah. Melalui putusan ini Hoge Raad berpendapat bahwa kausa sebagai tujuan bersama yang hendak dicapai para pihak gezamenlijkedoel harus diukur menurut keadaan pada saat perjanjian ditutup. J. Satrio –I, op.cit., hlm. 318-319 90 Munir Fuady, op.cit., hlm. 80 91 Hasanuddin Rahman, op.cit., hlm. 12 Universitas Sumatera Utara Syarat sah khusus terhadap suatu kontrak adalah adanya syarat tertulis, syarat kontrak dibuat didepan pejabat berwenang dan ijin dari yang berwenang untuk akta- akta tertentu. Secara umum dikatakan bahwa undang-undang tidak mensyaratkan suatu kontrak adalah sah jika tertulis. Dengan demikian kontrak secara lisan atau dengan isyarat saja sudah dianggap sah secara yuridis. 92 Penjelasan atas syarat khusus ini adalah sebagai berikut: 1 Kedudukan syarat tertulis. Kebanyakan yurisdiksi mensyaratkan agar kontrak dibuat tertulis sehingga bisa ditegakkan. Hukum biasanya mengharuskan dibuat kontrak tertulis untuk penjualan barang dengan nilai tertentu atau lebih, sehingga bisa dilakukan penegakan. Meskipun pihak yang menjalin kontrak sengaja membuat kontrak secara lisan dan suka rela melaksanakan persyaratan yang ada dengan lengkap, hak-hak kontraktual mereka sulit ditegakkan jika muncul persengketaan. 93 Menurut hukum yang berlaku kedudukan syarat tertulis bagi suatu kontrak adalah sebagai berikut: 94 a Ketentuan umum tidak mensyaratkan. Dengan dibuatnya suatu kontrak secara tetulis maka hal tersebut akan memudahkan dari segi pembuktian dalam praktek di samping mengurangi timbulnya perselisihan tentang isi kontrak yang bersangkutan. b Dipersyaratkan untuk kontrak-kontrak tertentu. Kadangkala untuk suatu kontrak tertentu undang-undang mempersyaratkan harus dibuat secara tertulis dengan ancaman batal. Contoh untuk kontrak hibah, bahkan tidak hanya dengan tertulis saja tetapi harus dengan akta notaris dengan ancaman batal kecuali untuk hibah berupa hadiah 92 Munir Fuady, op.cit., hlm. 83 93 Karla C. Shippey, JD, op.cit., hlm. 7 94 Ibid., hlm. 83 Universitas Sumatera Utara barang bergerak berwujud dari tangan ke tangan maka tidak perlu akta notaris. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1682 juncto Pasal 1687 KUH Perdata. c Dipersyaratkan untuk kontrak atas barang-barang tertentu. Selain untuk kontrak-kontrak tertentu, undang-undang juga mensyaratkan kontrak tertulis untuk barang-barang tertentu. Contoh kontrak yang bertalian dengan pengalihan tanah. d Dipersyaratkan karena kebutuhan praktek. Walaupun dalam banyak hal, undang-undang tidak mensyaratkan bahwa suatu kontrak harus dibuat tertulis, tetapi kebutuhan praktek ternyata menyatakan lain. Hal ini dibuat dengan maksud: a Untuk kepentingan pembuktian; b Untuk kepentingan kepastian hukum; c Untuk kontrak-kontrak yang canggih dianggap tidak pantas jika hanya dilakukan secara lisan. 2 Syarat Pembuatan Kontrak di hadapan pejabat tertentu Selain dari syarat tertulis terhadap kontrak-kontrak tertentu, untuk kontrak- kontrak tertentu dipersyaratkan pula bahwa kontrak tertulis harus dibuat olehdi hadapan pejabat tertentu dengan ancaman batal. Contoh: hibah harus dibuat di hadapan notaris Pasal 1682 KUH Perdata atau jual beli tanah harus dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai dengan undang-undang pertanahan. 3 Syarat mendapat ijin dari pejabat yang berwenang. Terhadap kontrak tertentu campur tangan pihak ketiga diperlukan dalam bentuk keharusan mendapatkan ijin. Misal kontrak peralihan objek tertentu, seperti kontrak peralihan hak guna usaha atau kontrak peralihan penguasaan hutan, dalam hal ini diperlukan ijin dari pejabat yang berwenang untuk itu.

C. Prestasi Dan Wanprestasi Dalam Hukum Kontrak Indonesia