Pendidikan bagi Masyarakat Kurang Mampu
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pendidikan dianggap sebagai indikator kemajuan peradaban dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melalui pendidikan, manusia dapat mengembangkan beragam potensi yang dimiliki baik bersifat individual maupun sosial. Asumsinya, kemajuan suatu
bangsa di segala aspek kehidupan berbanding lurus dengan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, argumentasi pendidikan sebagai hak asasi manusia perlu
dikembangkan menjadi “pendidikan” adalah alat pembangunan sosial dan ekonomi.
27
Pendidikan tak lagi dipandang sebagai usaha sadar terencana untuk mengembangkan seluruh potensi anak didik, namun telah dipandang sebagai
investasi masa depan untuk melangsungkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Pendidikan merupakan bagian dari upaya peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Melalui pendidikan diharapkan dapat dibentuk manusia yang berkualitas utuh yang salah satu cirinya adalah sehat jasmani dan rohani.
Maka, suatu keniscayaan bagi seluruh stakeholder pendidikan untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh masyarakat.
Pendidikan tidak hanya menjadi sarana transfermasi ilmu pengetahuan, tapi juga sarana transfermasi nilai dan moral. Idealnya, penyelenggaraan
pendidikan dapat menjadi wahana interaksi yang kondusif serta humanis yang melibatkan berbagai elemen pendidikan pemerintah, kepala sekolah, guru,
karyawan, orang tua, masyarakat, anak didik dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu banyak problematika pendidikan yang
terjadi, dalam skripsi ini penulis hanya akan membahas problem pendidikan terkait pemerataan akses pendidikan bagi masyarakat kurang mampu.
Program wajib belajar yang dicanangkan pemerintah diawali dengan pendidikan dasar dan telah dimulai sejak tanggal 2 Mei 1984
28
bertujuan untuk memberi kesempatan belajar bagi semua warga negara dalam upaya
meningkatkan kualitas sumber daya manusia SDM. Namun, hingga kini masih
27
Indra Bastian, Akuntansi Pendidikan, Jakarta: Erlangga, 2007 h. 11.
28
Bedjo Sujanto, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, Jakarta: Sagung Seto, 2007, h. 3.
ada warga negara yang belum dapat mengakses pendidikan yang disebabkan oleh berbagai kondisi sosial-ekonomi yang terjadi di lingkungan masyarakat.
Pencapaian APK Angka Partisipasi Kasar dan APM Angka Partisipasi Murni sebagai indikator keberhasilan program pemerataan pendidikan oleh
pemerintah, hingga tahun 2008 berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Statistik Pendidikan Depdiknas secara
nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah. Hal ini didasarkan pada indikator:
1 Penduduk usia sekolah tidak belum bersekolah usia 7-24 tahun
sebanyak 28.484.826 orang. 2
Putus sekolah SD MI sebanyak 486.426 orang atau 1,63, putus sekolah SMP MTs mencapai 255.210 orang atau 2,22, dan putus
sekolah SMA MA sebanyak 167.838 orang atau 2,33. 3
Rasio partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas
yang buta huruf. Bahkan hingga kini, masih terdapat 9 provinsi dengan jumlah buta aksara terbesar usia 10 tahun ke atas dan 15-44 tahun,
yakni: Jawa Timur 1.086.921 orang, Jawa Tengah 640.428 orang, Jawa Barat 383.288 orang, Sulawesi Selatan 291.230 orang, Papua
264.895 orang, Nusa Tenggara Barat 254.457 orang, Nusa Tenggara Timur 117.839, Kalimantan Barat 117.338, dan Banten 114.763
orang.
29
No. Variabel Penduduk Bersekolah
Tidakbelum bersekolah
1. Penduduk Usia Sekolah
a. 0-6 tahun
b. 7-12 tahun
c. 13-15 tahun
d. 16-18 tahun
e. 19-24 tahun
Jumlah 0-18 tahun 28,426,505
26,304,320 12,890,334
12,897,898 25,077,900
80,519,057 6,594,086
26,015,842 11,019,242
7,325,188 4,325,354
50,954,358 21,832,419
288,478 1,871,092
5,572,710 20,752,546
29,564,699
29
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pusat Statistik Pendidikan Depdiknas, Ikhtisar Data Pendidikan Nasional Tahun 20072008, Jakarta: Depdiknas, 2008, hal 3 dan 20.
2. Putus Sekolah
a. Jumlah b. Persentase
SD+MI 486,426
1.63 SMP+MTs
255,210 2.22
SM+MA 167,838
2.33 3.
Lulusan Tidak Melanjutkan a. Jumlah
b. Persentase SD+MI
431,937 10.54
SMP+MTs 412,135
13.66 SMA+MA
678,010 35.65
Penyebab yang paling mengkristal dan menjadi momok adalah masalah biaya pendidikan yang semakin mahal. Indikasinya, terdapat klasifikasi status
sosial lembaga pendidikan sekalipun lembaga pendidikan milik pemerintah. Istilah ‘sekolah unggulan’, ‘sekolah RSBI’, ‘sekolah bilingual’, ‘kelas akselerasi’,
‘kelas internasional’, BHMN, BLU, seolah hanya memihak peserta didik yang berasal dari kalangan ekonomi mapan dan memarjinalkan peserta didik dari
kalangan ekonomi kurang mampu. Bagaimana tidak, klasifikasi status lembaga pendidikan itu termasuk dalam kategori “pendidikan bermutu” yang memerlukan
anggaran yang tinggi dalam penyelenggaraannya. Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi Kemendiknasdisebutkan
bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tuasiswa berkisar antara 63,35-87,75 dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut riset Indonesia
Corruption Watch ICW pada 2006 di 10 Kabupaten Kota se-Indonesia ternyata orang tuasiswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan 1,5
juta rupiah yang terdiri atas biaya langsung dan tak langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan
masyarakat selain orang tua siswa hanya berkisar antara 12,22-36,65 dari biaya pendidikan total.
30
Menurut laporan dari bank dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8 dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan
nasional. Padahal, pada saat yang sama pemerintah India telah dapat menanggung pembiayaan pendidikan 89. Bahkan jika dibandingkan dengan negara yang
lebih terbelakang seperti Srilanka, persentase anggaran yang disediakan oleh
30
Koran Tempo edisi 7 Maret 2007.
pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah. Berikut dijelaskan dalam tabel alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2003-2008.
31
Tabel Alokasi Anggaran Pendidikan dalam APBN 2003-2008
Tahun Anggaran Pendidikan
Prosentase Terhadap APBN
2003 Rp13,6 Triliun
4,15 2004 Rp20,5
Triliun 5,5
2005 Rp24,6 Triliun
8,1 2006 Rp36,7
Triliun 9,1
2007 Rp43,5 Triliun
11,8 2008 Rp48,4
Triliun 9,8
Fenomena di atas tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai luhur pendidikan untuk memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga negara
agar dapat mengakses pendidikan. Setidaknya, belum memenuhi besaran anggaran yang diamanatkan dalam UUD 1945 yakni sebesar 20 dari APBN.
Oleh karena itu, diperlukan reformasi dalam bidang pendidikan terutamaanggaran, agar pembiayaan pendidikan lebih ‘bersahabat’ sehingga semua warga negara
dapat mengakses pendidikan yang layak serta berkualitas.