digolongkan sebagai sunnah azan, sedangkan bagi mazhab hanafi tarji’ dikategorikan ke dalam sunnah yang ditetapkan oleh ijmak sahabat.
20
B. Azan dalam Orientasi Muh{addithin dan Fuqaha’
Kesepakatan antara Muh{addithin dan Fuqaha’ dalam menghukumi hadis s}ah}ih} adalah ma’mulun bih.
21
Tetapi cara fuqaha’ dalam mengamalkan hadis s}ah}ih} harus melalui perbandingan dengan dalil-dalil
lain seperti ijmak dan kias, sehingga masing-masing saling melengkapi dan tidak ada perbedaan. Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana
Muh{addithin dan Fuqaha’ dalam pengamalan hadis s}ah}ih} khususnya terhadap hadis azan, yang akan dibahas sebagai berikut:
1. Sikap Muh{addithin terhadap Hadis Azan
Muh{addithin dalam masalah azan menggunakan tarji’ mendekati dengan pembahasan fuqaha’, salah satunya adalah Muh{ammad ‘Anur
Shah ibn Mu’z{am Shah al-Kashmiri pengarang kitab al-‘Urf al-Shadh Sharh} Sunan al-Tirmidhi mengatakan bahwa tetapkan tarji’ dan yang
lebih baik adalah menghilangkannya, karena Bilal azan seperti yang Nabi saw perintahkan yaitu berdasarkan mimpi ‘Abd Allah ibn Zayd pada
waktu sebelum dan sesudah Nabi mengajarkan azan kepada Abu Mah{dhurah. Al-Mubarakfuri pun tidak tinggal diam, ia menjawab
dengan sama seperti pendapat al-Kashmiri bahwa Abu Mah{dhurah
20
Al-Mubarakfuri, Tuh{fat al-Ah{wazi bi Sharh{ Jami al-Tirmidhi, vol. 1, 192.
21
Lihat Mah{mud T}ah}an, Taysir Must}alah{ al-H}adith, 32.
pun meneruskan azannya dari ketika ia diajarkan oleh Nabi saw sampai ia wafat.
22
Mimpi ‘Abd Allah ibn Zayd dikalangan muh{addithin masih dipermasalahkan, menurut Badr al-Din al-‘Ayni al-H{anafi pengarang
‘Umdat al-Qari’ Sharh} S{ah}ih} al-Bukhari bahwa mimpi seseorang yang bukan selain Nabi tidak dapat dijadikan hukum dan
penetapan. Mimpi ini tidak akan terlepas dari wahyu, oleh karena itu terdapat riwayat di musnad al-H{arith ibn Abu ‘Usamah yang
menyatakan orang yang pertama azan adalah malaikat Jibril
23
. Kemudian beliau juga mencantumkan pendapat al-Dawadi yang mengatakan bahwa
malaikat Jibril mengajarkan azan kepada Nabi saw delapan hari sebelum ‘Abd Allah ibn Zayd dan juga ‘Umar menceritakan mimpinya.
24
Al-Nawawi berpendapat bahwa hadis ‘Abd Allah ibn ‘Umar dan ‘Abd Allah ibn Zayd itu berbeda tempat dan yang terjadi pertama kali
adalah azan yang bukan syariat hanya sekedar pemberitahuan waktu shalat kemudian disusul dengan mimpi ‘Abd Allah ibn Zayd, maka Nabi
menetapkannya sebagai pensyariatan azan. Kesepakatan Ulama azan
22
Al-Mubarakfuri, Tuh{fat al-Ah{wazi bi Sharh{ Jami al-Tirmidhi, vol. 1, 427.
23
Badr al-Din al-‘Ayni, ‘Umdat al-Qari’ Sharh{ S{ah{ih{ al-Bukhari,vol. 8, Bayrut: tpn, tt,77.
24
Badr al-Din al-‘Ayni, ‘Umdat al-Qari’ Sharh{ S{ah{ih{ al-Bukhari, vol. 8,77.
diamalkan itu bukan hanya karena mimpi sahabat akan tetapi wahyu atau ijtihad Nabi saw untuk mensyariatkannya.
25
Ibn Taymiyah mengatakan muh}addithin mengamalkan semua yang ditetapkan Rasul.
26
Artinya untuk muh}addithin, mereka mengaplikasikan semua versi azan baik versi ‘Abd Allah ibn Zayd,
maupun Abu Mah{dhurah. Ibn ‘Abd al-Bar mengatakan Hadis tentang kisah mimpi ‘Abd Allah ibn Zayd ini dinilai mutawatir karena
diriwayatkan dari Jama’ah para sahabat dengan riwayah bi al- Ma’na.
27
Beliau juga mengatakan hadis Abu Mah{dhurah yang menyebutkan dua kali takbir di awal azan dinilai shadh, karena hadis
yang menyebutkan empat kali takbir di awal azan itu yang mah{fuz{ dari para perawi yang thiqat dalam hadis ‘Abd Allah ibn Zayd maupun
Abu Mah{dhurah.
28
Pengaplikasian hadis azan ini menurut muh{addithin yaitu sesekali menggunakan riwayat ‘Abd Allah ibn Zayd dan sesekali riwayat Abu
Mah{dhurah, sehingga tidak ada hadis yang telah dinyatakan s}ah}ih} itu tidak diamalkan.
29
25
Al-Nawawi, Sharh} S{ah}ih} Muslim, vol. 4, 69.
26
‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Rah{man al-Bassam, Tawd{ih{ al-Ah{kam min Bulugh al- Maram, vol. 1, Mekkah : Maktabah al-‘Asadi, tt, 509.
27
Al-Bassam, Tawd{ih} al-Ah{kam min Bulugh al-Maram, vol. 1, 511.
28
Al-Bassam, Tawd{ih} al-Ah{kam min Bulugh al-Maram, vol. 1, 514.
29
Al-Bassam, Tawd{ih} al-Ah{kam min Bulugh al-Maram, vol. 1, 515.
2. Hadis Azan Perspektif Fuqaha’