Tari Tibet Buddha Lamaistik

26 berwarna menyolok merah dan putih.Ran ba dirajut dari benang wol murni, khusus dipakai untuk menghadiri pesta tarian Tibet.

2.1.4 Tari Tibet

Tari Tibet berasal dari 5 provinsi di Cina yaitu: Tibet, Yunnan, Qinghai, Gansu, dan Sichuan. Tari Tibet merupakan tarian tradisonal masyarakat Tionghoa yang sudah menjadi adat istiadat mereka. Tari Tibet yang menjadi topik penulisan ini, yaitu di Kota Medan, mengalami perubahan-perubahan karena faktor ekologi budaya di Indonesia pada umumnya dan Kota Medan secara khusus. Berbicara tari Tibet pada masa awalnya dulu, terbentuk karena cara hidup tradisional orang-orang Tibet yang unik secara mendalam terefleksi dalam tarian mereka. Ciri yang paling istimewa dari gaya tarian ini adalah tubuh yang miring ke depan, ditemani juga oleh lompatan yang terus menerus dari lutut si penari. Awalnya digunakan untuk ucupan syukur masyarakat Tibet atas hasil panen mereka. Tari Tibet ini berkembang di kota Medan, ditarikan oleh kaum perempuan dan laki-laki. Menurut informasi dari nmarasumber yaitu bapak Sutrisno, tari Tibet adalah tarian yang mencerminkan keadaan daerah Tibet tersebut dan lebih menceritakan budaya Tibet. Tari ini biasanya dibawakan oleh 4 orang penari maupun lebih. Tarian ini bisa ditarikan oleh perempuan dan laki-laki, namun gerakan penari perempuan lebih anggun sedangkan gerakan penari laki-laki lebih tegas. Tari Tibet tampil sebagai hiburan dalam segala aktivitas masyarakat seperti pesta perkawinan, acara 27 festival maupun kegiatan sosial lainnya seperti acara bazar. Tari Tibet yang dipakai di Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya sudah diperbaharui dan dikreasikan kembali. Gerakan Tari Tibet ini meniru gerakan hewan Yak, yang mencerminkan masyarakat Tibet yang kuat sehingga gerakan tari Tibet ini banyak gerakan- gerakan lompatan. Serta lagu pengiring dalam tarian Tibet ini adalah lagu tradisional daerah yaitu 快฀的฀฀ kuàilè de nuò s ū.

2.1.5 Buddha Lamaistik

Agama Buddha masuk ke Tibet pada abad kedelapan setelah perkembangan pemikiran sejarah Buddha di India pada tahun 500 sebelum Masehi. Sejak saat itu, pengajaran turun-temurun dilakukan, hal ini adalah salah satu cara bagi penganut Buddha Tibet mengikuti praktik agama seperti pada zaman Buddha Gautama masih hidup. Pada umumnya orang-orang Tibet lebih menyukai metode pemerintah kependetaan, upacara religius dan rumusan magis. Maka tidak heran bila Lamaisme adalah suatu agama yang memenuhi untuk rakyat Tibet karena tiap-tiap orang menemukan jawaban yang diperlukan ketika mengalami kebingungan dengan berhubungan dengan Dewata sambil mengucapkan kata-kata suci tanpa henti yakni Om Mani Padme Hum. Bagi rakyat Tibet, kata-kata itu merupakan mantra yang berkuasa, suatu rumusan magis yang memberikan jasa ke arah kesempurnaan dan mayoritas para rahib menerima hal ini sebagai suatu simbol yang mereka pegang dengan samar-samar suatu isyarat pencerahan yang mereka 28 cari dan dalam pencarian ini dipisahkan sebagian kecil dari dan di atas perjuangan insani. Orang-orang Tibet sangat mempercayai adanya reinkarnasi atau penjelmaan kembali. Dalai Lama yang dalam bahasa Tibet berarti samudera kebijaksanaan dipercayai sebagai inkarnasi Avalokitesvara. Pembahasan mengenai Buddhisme Tibet oleh L.Austine Waddell dalam bukunya The Buddhism of Tibet or Lamaism memaparkan tentang agama Buddha pada awalnya di Tibet dengan cara pemujaan mistik, simbol, dan mitos, serta hubungannya dengan Buddhisme India. Karena masuknya agama Buddha ke Tibet salah satunya berasal dari India. Dari sekte Buddha Mahayana yang berkembang yakni Tantra sampai perubahan dalam Buddisme primitif menuju Lamaisme. Dalai Lama pertama merupakan titik awal sejarah adanya gelar dan kepercayaan-kepercayaan seputar dalai lama sebagai inkarnasi Avalokitesvara, sedangkan Dalai Lama ke-14 berhubungan dengan modernitas dan kemajuan jaman serta invasi Cina di Tibet. Dalai lama adalah kepala pemerintahan Tibet dan kepala Tibetan Buddhism. Para dalai lama memerintah di Tibet sampai Republik Rakyat China. Demikian konsep-konsep yang penulis gunakan dalam rangka penelitian terhadap Tari Tibet ini. Kemudian diuraikan landasan teori yang digunakan di dalam penelitian ini. 29

2.2 Landasan Teori