I. PENDAHULUAN A.
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara pensuplai kebutuhan kelapa sawit dunia. Produksi minyak kelapa sawit Indonesia pada tahun 2006
mencapai 11.3 juta ton. Besarnya produksi minyak kelapa sawit ini menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor minyak sawit terbesar di
dunia. Pada periode tahun 2002-2005 Indonesia mengusai 67.8 ekspor dunia, sedangkan nilai ekspor Malaysia baru mencapai 20 Pratomo dan
Negara, 2007. Hasil produksi minyak sawit di Indonesia masih lebih besar
dibandingkan dengan kebutuhan domestik Pratomo dan Negara, 2007. Sementara, industri minyak sawit di Indonesia masih didominasi oleh industri
kilang minyak sawit kasar Crude Palm OilCPO dan minyak inti sawit Palm Kernel OilPKO, serta produk antara berupa Refined Bleached
Deodorized RBD palm oil dan stearin. Pengembangan industri hilir lainnya
belum banyak berkembang hingga saat ini. Akibatnya, produsen kelapa sawit cenderung untuk melempar produksinya ke pasar internasional dalam bentuk
komoditas primer CPO. Melihat fenomena demikian, industri kelapa sawit Indonesia perlu diperkuat melalui pengembangan produk-produk hilir minyak
sawit yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Salah satu produk hilir kelapa sawit yang dapat dikembangkan adalah
produk yang mengacu kepada sifat gizi sawit yang merupakan salah satu keunggulan minyak sawit dibandingkan jenis minyak yang lainnya. Minyak
sawit mentah CPO memiliki kandungan karotenoid yang tinggi, yaitu berkisar antara 400-500 ppm dalam bentuk senyawa
α-, -, -karoten dalam jumlah sekitar 80 Choo et al., 1989. Komponen ini memiliki nilai biologis
yang cukup penting, antara lain berfungsi sebagai komponen vitamin A, merupakan senyawa antikanker, mencegah penuaan dini dan penyakit
kardiovaskuler, menanggulangi kebutaan akibat xeropthalmia, pemusnah radikal bebas, mengurangi penyakit degeneratif, meningkatkan kekebalan
tubuh, dan dapat menurunkan atheroscleosis D’Odorico et al., 2000; Muhilal, 1991; Murakoshi et al., 1989, Rodriguez-Amaya dan Kimura, 2004.
Karena sedemikian banyak manfaatnya, karotenoid sangat potensial untuk dijumput dan dibentuk menjadi beberapa produk, seperti minyak kaya
karotenoid, konsentrat karotenoid atau zat pewarna yang aman. Di Indonesia, sebagian besar produk olahan dari karotenoid masih diimpor dan harganya
relatif mahal. Dalam proses pengolahan minyak kelapa sawit, karotenoid seringkali
mengalami kerusakan dan kandungannya pada produk akhir menjadi sangat rendah. Proses pemurnian kelapa sawit yang menggunakan suhu tinggi dan
bahan kimiawi lainnya, menyebabkan kerusakan karotenoid. Kehilangan karotenoid dalam proses pemurnian minyak kurang diperhatikan oleh industri
pengolahan sawit karena dipengaruhi juga oleh pasar yang menginginkan minyak goreng dengan warna yang cerah kuning pucat. Oleh karena itu,
perlu dilakukan upaya penjumputan karotenoid sebelum CPO dimurnikan dan diproses menjadi produk lain.
Beberapa peneliti telah melakukan upaya untuk mendapatkan karotenoid dari minyak sawit. Metode ekstraksi karotenoid yang telah
dikembangkan, antara lain metode penyabunansaponifikasi Sanjaya, 1996, destilasi molekuler Ooi et al, 1994, supercritical fluid extraction
Sulaswatty, 1998, kromatografi kolom adsorpsi Hasanah, 2006. Namun sayangnya, metode tersebut masih sulit diaplikasikan dalam
skala besar. Selain itu, minyak yang telah diekstrak karotenoidnya seringkali tidak dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan pangan karena sudah berubah
sifat, bentuk atau karakteristiknya. Faktor lain yang cukup penting dalam upaya penjumputan karotenoid adalah agar tidak terjadi perubahan bentuk dan
karakteristik dari minyak sawit itu sendiri sehingga minyak dapat diolah lebih lanjut. Salah satu upaya penjumputan karotenoid yang dapat dilakukan adalah
dengan penjumputan melalui pemanfaatan sifat fisik kristalisasi lemak. Metode ini cukup sederhana, yaitu dengan melakukan pemisahan fraksi lemak
yang mengandung kristal, sehingga konsentrasi karotenoid pada fraksi cairolein meningkat dan kemudian dipekatkan menjadi konsentrat karotenoid.
Olein dari crude palm oil CPO biasanya diperoleh melalui fraksinasi kering dry fractionation atau dengan perlakuan fisik menggunakan
perlakuan suhu pemanasan dan pengadukan Moran dan Rajah, 1994. Dengan cara ini, dapat diperoleh olein dalam jumlah cukup banyak, tetapi
perlakuan panas menyebabkan kerusakan karotenoid lebih besar. Oleh karena itu, perlu dikaji metode lain, yaitu metode solvent
fractionation , yaitu fraksinasi dengan pelarut dan kristalisasi pada suhu rendah
Moran dan Rajah, 1994. Pelarut heksana digunakan untuk mengoptimalkan permisahan olein dan mengikat lebih banyak karotenoid. Fraksinasi dilakukan
secara bertahap pada suhu rendah agar diperoleh konsentrat karotenoid dengan konsentrasi karotenoid yang tinggi. Olein yang ada pada konsentrat karotenoid
diharapkan jumlahnya sedikit tetapi kandungan karotenoidnya tinggi pekat, sementara itu fraksi padat dengan kandungan karotenoid yang rendah dapat
diolah lagi menjadi produk turunan lemak lainnya.
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mempelajari proses penjumputan karotenoid dengan teknik fraksinasi bertahap pada suhu rendah dibantu dengan penambahan pelarut heksana
dan pengadukan. 2.
Menentukan kondisi optimal pemisahan karotenoid dari minyak sawit kasar dengan metode fraksinasi bertahap pada suhu rendah, untuk
memperoleh konsentrat karotenoid dengan konsentrasi karotenoid dan recovery
karotenoid yang tinggi.
C. MANFAAT
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, antara lain menghasilkan produk konsentrat sebagai alternatif pewarna makanan yang
aman dikonsumsi dan alami sehingga dapat meningkatkan status gizi dan status kesehatan masyarakat. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat
meningkatkan nilai tambah dan penganekaragaman produk olahan dari kelapa sawit yang merupakan salah satu komoditi lokal yang sangat potensial.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN SAWIT