5 Analisis Kelayakan Finansial Pengelolaan Pelepah Sawit
Menjadi Mulsa dan Kompos
5.1 Pendahuluan
Pengembangan perkebunan kelapa sawit bertujuan untuk menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan sektor penghasil
devisa negara. Pemilihan komoditas sawit untuk menjadi komoditas andalan dari subsektor perkebunan disamping komoditas lain yang telah lama diusahakan
seperti karet, lada, kelapa, kakao dan kopi berdasarkan pada pertimbangan besarnya manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari komoditas ini. Sejak tahun
2004 penggunaan komoditi minyak kelapa sawit telah menduduki posisi tertinggi dalam pasar vegetable oil dunia yang mencapai sekitar 30 juta ton dengan
pertumbuhan rata-rata 8 per tahun, mengalahkan komoditi minyak kedelai sekitar 25 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3.8 per tahun Kemenperin
2015. Pada masa krisis, kegiatan perkebunan sawit terbukti tangguh bertahan dan mampu pulih lebih cepat dibandingkan kegiatan perekenomian sektor-sektor lain,
sehingga berperan sebagai penyangga pembangunan nasional Triyanto 2008.
Limbah perkebunan kelapa sawit berupa pelepah sawit tidak dikelola secara optimal. Pada umumnya, pelepah kelapa sawit ditumpuk begitu saja tanpa
dilakukan pengelolaan lebih lanjut. Pelepah ditumpuk pada jalur tertentu sehingga jalur tersebut disebut menjadi gawangan mati. Gawangan mati tidak dapat lagi
dilalui sarana transportasi. Pelepah sawit yang ditumpuk merupakan sumber bahan organik yang dapat dikelola menjadi pupuk kompos. Pengelolaan pelepah
sawit menjadi pupuk kompos memerlukan kajian analisis finansial untuk menentukan pengelolaan ini dapat dilakukan atau tidak.
Tujuan bab penelitian ini adalah melakukan kajian kelayakan finansial pemanfaatan pelepah sawit perkebunan berdasarkan kriteria investasi net present
value NPV, internal rate of return IRR, net benefit cost ratio dan payback period.
5.2 Biaya dan Manfaat Usaha
Biaya usaha merupakan segala bentuk kegiatan yang mengurangi nilai barang dan jasa secara langsung maupun tidak langsung sehubungan dengan
kegiatan tersebut. Pada umumnya, biaya yang diperhitungan adalah biaya-biaya yang dapat dihitung seperti biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi
adalah biaya awal usaha yang nilainya tergolong cukup besar, sedangkan biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan secara rutin selama umur usaha. Pada
umumnya, biaya operasional terdiri dari biaya tetap fixed cost dan biaya variabel variabel cost.
Menurut Boediono 2014 biaya mencakup suatu pengukuran nilai sumberdaya yang harus dikorbankan sebagai akibat dari aktivitas yang bertujuan
mencari keuntungan. Berdasarkan volume kegiatan biaya dibedakan atas biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap fixed cost adalah banyaknya biaya yang
dikeluarkan dalam kegiatan produksi yang jumlah totalnya tetap pada volume kegiatan tertentu. Komponen biaya tetap meliputi sewa, penyusutan, pajak dan
sebagainya. Biaya jenis ini selamanya sama atau tidak berubah dalam hubungannya dengan jumlah satuan yang diproduksi. Komponen biaya variabel
meliputi biaya-biaya seperti bahan baku, tenaga kerja langsung dan sebagainya. Jenis biaya ini jumlahnya bertambah sesuai dengan bertambahnya volume
produksi sehingga biaya-biaya persatuannya cenderung berubah pula.
Manfaat benefit merupakan hasil perkalian total kuantitas output dari proses produksi dengan harga pasar yang dinyatakan dalam satuan nilai mata uang
tertentu Sukirno 1985. Menurut Gittinger 1986 menyatakan manfaat kegiatan terbagi menjadi tiga kelompok, antara lain:
1. Manfaat langsung direct benefit, manfaat berupa kenaikan kuantitas output
atau kenaikan nilai output yang disebabkan oleh adanya perbaikan kualitas, perubahan lokasi, perubahan dalam waktu penjualan, penurunan kerugian, dan
penurunan biaya.
2. Manfaat tidak langsung indirect benefit, manfaat yang berasal dari luar kegiatan usaha dikarenakan adanya realisasi suatu usaha.
3. Manfaat tidak tampak intangible benefit, manfaat yang sulit dinilai dengan uang, seperti perbaikan kualitas hidup, perbaikan distribusi pendapatan,
integrasi nasional, dan pertahanan nasional.
5.3 Studi Kelayakan Finansial Pengelolaan Pelepah Sawit
Kenyataan yang dihadapi oleh pemilik modal adalah sumberdaya yang semakin langka, suatu investasi dapat memberikan manfaat yang berbeda dari
berbagai skenario bisnis yang ada, sehingga bagi pemilik modal: 1 perlu mengetahui secara pasti tingkat manfaat benefit yang dicapai dalam suatu bisnis,
2 dapat memilih skenario bisnis yang paling menguntungkan, 3 dapat menentukan prioritas investasi dari berbagai skenario yang ada, dan 4 dapat
mengurangi pemborosan sumberdaya. Oleh karena itu, diperlukan studi kelayakan bisnis yang dapat menunjukkan apakah bisnis yang direncanakan atau sudah
dilakukan layak atau tidak layak dilaksanakan atau dipertahankan. Menurut Nurmalina et al. 2010 penilaian kelayakan investasi didasarkan pada
beberapa kriteria, antara lain:
1. Net Present Value NPV atau nilai saat ini dari manfaat bersih merupakan selisih antara total nilai saat ini present value manfaat
dengan total present value biaya, atau jumlah present value manfaat bersih tambahan selama umur bisnis. Suatu bisnis dinyatakan layak
apabila NPV lebih besar dari nilai 0 NPV0 yang menunjukkan bahwa bisnis menguntungkan atau memberi manfaat. Sebaliknya, apabila suatu
bisnis memiliki NPV0 maka bisnis tersebut tidak layak untuk dilaksanakan.
2. Net Benefit-Cost Ratio Net BC adalah rasio antara manfaat bersih yang bernilai positif dengan manfaat bersih yang bernilai negatif. Kriteria
penilaian ini menginterpretasikan manfaat bersih yang menguntungkan bisnis yang dihasilkan terhadap setiap satu satuan kerugian dari bisnis
tersebut. Perhitungan ini juga digunakan untuk melihat berapa kali lipat manfaat yang akan diperoleh dari biaya yang dikeluarkan. Nilai Net BC
yang lebih kecil dari satu Net BC 1, menunjukkan bahwa manfaat