pada cara penanganan dan pengolahan data yang akan mengubahnya menjadi informasi yang berguna.
Pemodelan hutan secara spasial menggunakan SIG sangat membantu dalam perencanaan dan strategi pengelolaan. Dalam rehabilitasi hutan, terutama untuk
mengetahui besarnya luasan hutan yang rusak, pemetaan lokasi, pemilihan species yang cocok, lokasi pembibitan dan infrastruktur lain dan juga untuk tahap monitoring
dan evaluasi penggunaan ruang. Menurut Prahasta 2001, Sistem Informasi Geografis bukan sekedar sebagai
tools pembuat peta. Dan, walaupun produk SIG paling sering disajikan dalam bentuk peta, kekuatan SIG yang sebenarnya terletak pada kemampuannya dalam melakukan
analisis. Salah satu fungsi tools SIG yang paling powerful dan mendasar adalah integrasi data dengan cara baru. Salah satu contohnya adalah overlay, dengan
memadukan layers data yang berbeda. SIG juga dapat mengintegrasikan data secara matematis dengan melakukan operasi – operasi terhadap atribut –atribut tertentu dari
datanya. Sebagai contoh, sungai dan saluran air dapat diprioritaskan untuk memaksimumkan keuntungan pengembangan dan usaha – usaha manajemen.
2.6. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian yang telah menggunakan aplikasi SIG terutama Penginderaan Jauh antara lain adalah sebagai berikut:
1. Suwarsono, Herry dan Totok 2009, Pemanfaatan Data Modis dan Spot 4
untuk Monitoring Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau, Sumatera
Universitas Sumatera Utara
Berita Inderaja Lembaga Penerbangan dan Antariksa. Lapan sudah lebih dari satu dekade secara konsisten melakukan pemantauan titik panas hotspot sebagai
indikasi kebakaran hutan dan lahan menggunakan data satelit penginderaan jauh di wilayah Indonesia, khususnya Sumatera dan Kalimantan. Pemanfaatan
teknologi satelit penginderaan jauh untuk pemantauan kebakaran hutan dan lahan telah memberikan andil yang nyata terutama sejak pertengahan tahun 90-an
seiring dengan terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan paling parah dalam sejarah yang pernah terjadi di Indonesia pada musim kemarau tahun 1997. Untuk
lebih meningkatkan kualitas hasil pemantauan hotspot, disamping data NOAA National Oceanic and Atmospheric Administration yang pemanfaatannya sudah
operasional, LAPAN tahun 2004 mulai mengkaji pemanfaatan data MODIS Moderate Imanging Resolution Spectroradiometer untuk mendeteksi hotspot.
Informasi yang dihasilkan sudah mendekati informasi tepat waktu realtime. Dan dikombinasikan dengan SPOT-4 yang dapat melihat kebakaran hutan lebih
akurat, sehingga mampu mengidentifikasi dan memetakan daerah – daerah kebakaran hutan dan lahan secara lebih akurat meskipun keberadaan awan
menjadi suatu kendala tersendiri. 2.
Mulyanto 2004, Pemodelan Spasial Perubahan Tutupan Lahan Menggunakan
Citra Landsat TM dan Sistem Informasi Geografis. Studi Kasus di HPH PT. Duta Maju Timber Provinsi Sumatera Barat. Tesis Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penentuan perubahan penutupan lahan dilakukan dengan melakukan pengolahan
Universitas Sumatera Utara
data citra Landsat TM tahun 1999 dan tahun 2002, sedangkan SIG dipergunakan untuk menganalisa data spasial lain untuk mengidentifikasi dan memetakan
penutupan lahan. Hasil perubahan tutupan lahan dari tahun 1999 ke tahun 2002 setelah dilakukan klasifikasi, deteksi perubahan dan pengamatan lapangan bahwa
di seluruh areal HPH PT. Duta Maju Timber diketahui terjadi degradasi hutan hutan primer ke hutan bekas tebangan peningkatan luasan kebun, pemukiman,
sawah dan semak belukar. 3.
Hermawan 2001, Analisis Perubahan Penutupan Hutan di Areal Paska
Pengelolaan HPH Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh. Studi Kasus Bekas HPH di Batas TNKS Propinsi Bengkulu. Tesis Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Penggunaan citra Landsat TM dapat membantu kegiatan evaluasi perubahan penutupan lahan di areal paska pengelolaan HPH dengan
dapat membedakan 5 lima penutupan hutan yaitu hutan primer, hutan bekas tebangan, tanaman perkebunan dan kebun rakyat, semak belukar dan tanah
terbuka. Citra satelit dapat digunakan pula untuk mengetahui perubahan penutupan hutan akibat perambahan hutan, tetapi tidak dapat digunakan untuk
mengetahui perubahan penutupan hutan akibat penebangan illegal.
4. Doddy dan Suprajaka 2003, Analisis Perubahan Kawasan Hutan di
Kabupaten Blora dengan Pendekatan Kajian Spatio – Temporal. Dengan menggunakan metode analisis citra satelit Landsat ETM+ multiwaktu, analisis
SIG, serta survey lapangan. Interpretasi citra yang disajikan adalah tahun 2001 sampai dengan 2003. Berdasarkan peta perubahan lahan kawasan hutan dari hasil
Universitas Sumatera Utara
overlay peta penggunaan lahan kawasan hutan dapat diperoleh kelas-kelas penggunaan lahan yang berubah fungsi. Perubahan hutan yang terjadi dalam
kawasan hutan Kabupaten Blora cukup signifikan. Perubahan terbesar terjadi pada lahan hutan yang berubah menjadi lahan tegalan. Sedangkan perubahan
terkecil terjadi pada perubahan hutan menjadi lahan semak. Fenomena penting yang perlu dijelaskan adalah adanya pola perubahan hutan yang semakin besar
jika lokasinya semakin dekat dengan jalan. 5.
Rahman, A dan Adnyana, S 2008, Analisis Indeks Vegetasi Menggunakan
Citra AlosAvnir-2 dan Sistem Informasi Geografis SIG untuk Evaluasi Tata Ruang Kota Denpasar. Luas tutupan vegetasi di Kota Denpasar pada tahun 2006
adalah 4.789,55 Ha atau 38,027 dari luas Kota Denpasar dimana peruntukkan tata ruang pemukiman merupakan daerah terluas memiliki vegetasi, sedangkan
peruntukan tata ruang Tahura adalah daerah terluas yang masih terjaga tutupan vegetasinya yaitu 70,82 dari luas area peruntukan tata ruangnya. Peruntukan
tata ruang untuk kawasan pemukiman mendominasi daerah yang memiliki tutupan vegetasi dengan persentase vegetasi kurang dari 25. Peruntukan tata
ruang untuk ruang terbuka hijau KDB 0 didominasi oleh vegetasi dengan persentase vegetasi 25-50 dan 50-75 sedangkan peruntukan tata ruang kota
untuk Tahura didominasi oleh vegetasi yang memiliki persentase vegetasi lebih
dari 75.
6. Dahlan, Nengah Surati dan Istomo 2005, Estimasi Karbon Tegakan Acacia
Mangium Willd Menggunakan Citra Landsat ETM+ dan Spot-5: Studi Kasus di
Universitas Sumatera Utara
BPKH Parung Panjang KPH Bogor. Citra Landsat ETM+ mempunyai kemampuan yang baik untuk menduga kandungan karbon di atas permukaan
tanah tegakan A. Mangium, sedangkan citra SPOT-5 tidak baik untuk menduga kandungan karbon di atas permukaan tanah tegakan A. Mangium. Kandungan
karbon diatas permukaan tanah tegakan A. Mangium di areal BPKH Parung
panjang berdasarkan citra Landsat ETM+ sebesar 16,52 tonha.
2.7.
Kerangka Berpikir Penelitian
Pertambahan penduduk semakin lama semakin meningkat, sementara luas wilayah dan lahan konstanterbatas untuk dijadikan sebagai tempat tinggal dan
melanjutkan hidup. Tidak terelakkan lagi kawasan hutan menjadi sasaran dengan alih fungsi lahan yang tidak terkontrol. Perubahan fungsi hutan menjadi non hutan
mengakibatkan degradasi dan deforestasi meningkat setiap tahun. Polemik saat ini yang menjadi permasalahan di Propinsi Sumatera Utara dan
di Kabupaten Toba Samosir adalah Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 44Menhut-II2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Sumatera Utara. Luas
Kawasan Hutan di Kabupaten Toba Samosir sesuai SK Menhut No. 44Menhut- II2005 adalah ± 79,21 dari luas wilayah Kabupaten Toba Samosir.
Untuk mengetahui serta memberikan gambaran existing di lapangan maka perlu dilakukan analisis spasial dan ground checking secara parsial sebagai bahan
data dan informasi dalam perencanaan penggunaan ruang bagi Pemerintah Kabupaten Toba Samosir, Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Pusat.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian