Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah Di Kabupaten Toba Samosir (Studi Tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah)

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN RESTRUKTURISASI

ORGANISASI PERANGKAT DAERAH

DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR

(Studi Tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara

Oleh:

NIM. 090903041

BENNY SIANTURI

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah Di Kabupaten Toba Samosir (Studi Tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah)

Nama : Benny Sianturi (090903041) Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Universitas Sumatera Utara) Dosen Pembimbing : Drs. Ridwan Rangkuti, M.S

Undang-undang pemerintahan daerah berubah-ubah dan terwujud sesuai keadaan sistem politik dan pemerintahan pada masanya. Pada era reformasi sekarang undang-undang pemerintahan daerah ditetapkan dengan UU No.32 Tahun 2004, yang telah mengalami perubahan dari undang-undang sebelumnya yaitu UU No.22 Tahun 1999. Melalui undang-undang pemerintahan daerah di era reformasi ini titik tolak penyelenggaraan pemerintahan berubah ke sistem desentralisasi. Pemerintah daerah terutama kabupaten/kota menjadi titik berat pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut harus melaksanakan apa yang menjadi kewenangannya. Salah satu substansi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah adalah mengenai otonomi organisasi, yaitu keharusan untuk mengatur dan mengurus organisasi perangkat daerah. Masalah kelembagaan atau organisasi perangkat daerah saat ini ditetapkan dengan PP No.41 Tahun 2007.

Pelaksanaan PP No.41 ini bukan tanpa masalah. Pemerintah daerah banyak yang tidak siap untuk melaksanakan peraturan pemerintah ini, sehingga dalam implementasinya terdapat banyak masalah yang menjadi beban bagi pemerintah daerah. Bagaimana efektivitas implementasi PP No.41 Tahun 2007? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi PP No.41 tahun 2007 ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian menjadi tujuan atau fokus bagi peneliti dalam penelitian ini untuk dicari tahu lebih lanjut.

Dalam penelitian ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada sesuai dengan tujuan penelitian akan dilakukan dengan pendekatan desktiptif analitis. Tujuan penelitian akan dijawab dengan memberikan gambaran-gambaran yang lebih detail sesuai dengan data atau informasi yang telah disajikan dan dianalisis, yang dikumpulkan dari hasil wawancara, kuesioner, dan juga data sekunder. Masalah dalam implementasi PP No.41 Tahun 2007 akan dijelaskan dengan menggunakan variabel yang disintesa dari beberapa model implementasi kebijakan publik. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain karakteristik isi kebijakan/peraturan pengoperasionalan, struktur birokrasi, komunikasi dan koordinasi, serta sumber daya. Sisi restrukturisasi dalam kebijakan kelembagaan dijelaskan secara terpisah dengan tiga poin yaitu kepemimpinan, arah transformasi organisasi dan juga hambatan-hambatan dalam perubahan organisasi.

Jawaban dari tujuan tersebut kemudian menjadi kesimpulan dalam penelitian ini. Kinerja implementasi PP No.41 Tahun 2007 belum optimal. Tujuan


(3)

dari peraturan pemerintah ini yang didefenisikan oleh informan dengan “membentuk organisasi yang kaya fungsi miskin struktur” belum tercapai. Organisasi perangkat daerah yang dibentuk belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No.41 Tahun 2007. Peraturan penjelas di tingkat daerah sampai sekarang belum ada. Pemahaman pegawai yang sangat minim akan peraturan ini menunjukkan sosialisasi masih sangat terbatas. Begitu juga dengan sumber daya (Manusia dan Sumber daya lain) kompetensi, penempatan pegawai, anggaran, dan sarana-saranan masih banyak kekurangan. Kata kunci: Implementasi Kebijakan Publik, Variabel Hasil Sintesa, PP No.41 Tahun 2007 (Organisasi Perangkat Daerah), Kabupaten Toba Samosir.


(4)

ABSTRACT

Implementation of Organizational Restructuring Policy in Toba Samosir Regency (Study Implementation of Government Regulation Number 41 of

2007 about Local Government Organizations)

Name : Benny Sianturi (090903041) Departement : Public Administration Sciences

Faculty : Social and Political Science (University of Sumatera Utara) Advisor : Drs. Ridwan Rangkuti, M.S

Local government regulation are changeable and embodied according to the condition of government and political system at the time. At this Reformation era Local Government Regulation is set by UU No. 32 of 2004, which was change from previous regulation UU No. 22 of 1999. Based on local government regulation in this reformation era, the starting point of governance enforcement changed to decentralized system. Local Government especially regency/city becomes the focus of decentralization or regional autonomy. Therefore, local government is prosecuted to do its authority mostly. One substance that must be implemented by the local government is the organization autonomy, which is requirement to organize and manage the local government organization. Nowadays, Institutional or organizational is set by Government Regulation (PP) No. 41 of 2007.

The implementation of PP No. 41 of 2007 is not without problems. Many local government are not ready to implement this rule, so in this implementation, there are many problems become expenses for the local government. How its effectiveness of implementation of PP No. 41 of 2007? What are the factors that affect the implementation in this PP No. 41 of 2007? Become the purpose or the focus of the researcher in this study to be described more.

In this study, to answer the questions based on purpose of this research will be conducted by descriptive analytical approach. The purpose of the study will be answered by giving the describe more detailed based on the data or information has been presented and analyzed, which were be collected from interviews, questionnaires, and the secondary data (existing data). The problem in the implementation of PP No. 41 of 2007 will be explained by using variables which are synthesized from several models of public policy implementation. The variables used in this research are content of policy/ operationalization of the regulation (ability of statue to structure implementation), bureaucratic structure, Communication and coordination, and resources. Restructuring side of institution policies expanded separately in three points, namely: leadership, organizational transformation direction and so the resistances of organization change.

The answer of the purpose then becomes the conclusion in this study. Performance of the implementation of PP No. 41 of 2007 has not been optimal. The goal of this government regulation is defined by the informant with “forming the organization is rich in function but it is poor in structure” has not been reached. Local government institution not been fully established in accordance with the


(5)

provisions contained in PP No. 41 of 2007. Explanatory direction has not been made at the local level until now. Bureaucrat comprehension which is very little in regulation shows socialization is limited. Also with the resources (human and another resources) competencies, staffing, budget, and facilities there are still many deficiency.

Keywords: Implementation of Public Policy, variables of synthesis, PP Number 41 of 2007 (Local Government Organization), Toba Samosir Regency.


(6)

KATA PENGANTAR

Terima kasih dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang menjadi penopang bagi peneliti dalam setiap keadaan sehingga skripsi ini bisa terselesaikan. Segala kondisi mengajarkan penulis untuk tetap bersyukur kepada-Nya. Skripsi yang berjudul “Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah Di Kabupaten Toba Samosir (Studi Tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah)” dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat bagi peneliti memperoleh gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universtas Sumatera Utara.

Terima kasih kepada kedua orang tua peneliti tercinta, D.Sianturi dan L. Br. Hutabarat. Cinta, doa dan kasih yang diberikan selalu menyertai dan menjadi semangat bagi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga Tuhan memberikan kesehatan dan umur yang panjang kepada kedua orang tua penulis, agar kelak penulis bisa memberikan yang terbaik untuk mereka.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak-pihak yang telah meluangkan waktu dan memberikan dukungan yang tiada henti sehingga skripsi ini bisa terselesaikan. Ucapan terima kasih saya sampaiakan kepada:

1. Bapak Prof. DR. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara.

3. Ibu Dra. Elita Dewi, M.SP selaku Sekretaris Departemen Ilmu Administrasi Negara.


(7)

4. Bapak Drs. Ridwan Rangkuti, M.S selaku pembimbing skripsi peneliti yang sangat banyak memberikan waktu dan masukan bagi peneliti.

5. Ibu Dra. Februati Trimurni, M.Si selaku penguji proposal penelitian peneliti. 6. Seluruh Dosen yang mengajar di Departemen Ilmu Administrasi Negara, yang

telah memberikan pengetahuan untuk membuka wawasan peneliti terutama dalam disiplin Ilmu Administrasi Negara.

7. Seluruh pegawai di FISIP USU, terima kasih untuk bantuan dan kemudahan yang diterima oleh peneliti selama perkuliahan.

8. Kepada Bapak Drs. Liberty Manurung, MM.Biztel, Sekretaris Daerah Kabupaten Toba Samosir, yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk mengadakan penelitian di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Toba Samosir.

9. Kepada Bapak Drs. Salomo K. Simanjuntak, Asisten Administrasi Umum Setdakab Toba Samosir, yang telah meluangkan waktunya untuk menjadi informan penelitian bagi peneliti.

10.Kepada seluruh pegawai di Bagian Organisasi Dan Tata Laksana Setdakab Toba Samosir, Bapak. Taruli Siagian, SH; Bapak Nasib Tampubolon, SE; Ibu Debora Sibarani; dan pegawai lain yang tidak peneliti sebutkan namanya. 11.Kepada abang Carles Simamora, Amd selaku informan yang banyak

meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan peneliti, juga kak Simamora, terima kasih.

12.Bapak dan Ibu di SKPD yang menjadi unit analisis penelitian yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu per satu. Terima kasih untuk kesedian dan bantuan bapak/ibu.

13.Kepada kakak, abang, dan adik-adik peneliti, kak Christina Ester Sianturi, bg Apul Marihot Sianturi, adik peneliti (Sakti Lider Sianturi, Gunawan Sianturi, Stevani Medeline Sianturi), terima kasih untuk doa, semangat dan dukungannya yang selalu menjadi kekuatan bagi peneliti untuk tetap berusaha. 14.Kepada kawan-kawan kelompok magang di Desa Petuaran Hilir, Mianhot

Juandi Pandiangan, Bontor Marisi Tambunan, Rio Calvary Tambunan, Renaldi Romora Hutahaean, Sorta Auly Purba, Febrianti Eliana, Decy Christine L.Tobing, Sri Amelia Girsang, Nur Fitri Hayati Lubis, Nurul Hidayah dan Syafrizal Budi Tambunan, kalian luar biasa, terima kasih.

15.Kepada kawan-kawan “satu hati satu tujuan/ satahi saoloan”, kawan-kawan AN 2009, teman seperjuangan Jaka A.P Panggabean, Doly P Ompusunggu, Widodo Sihotang, Nicholas Sitompul, Waldy Aritonang, Ali Akbar Sigalingging, Ulfa Anastasia Purba dan semua kawan-kawan yang lain yang tidak perlu saya tuliskan semua karena kalian sudah menjadi bagian hidup peneliti yang tidak akan terlupakan.

16.Kepada Bou Yanti Manalu dan Uda Jefri Manalu yang selalu menyempatkan waktunya ke Medan, terima kasih.

17.Kepada kepada adek Magdalena Panjaitan, lae Rudi Antonius Panjaitan lae Cristian Siahaan dan semua saudara-saudara peneliti di mana pun berada, terima kasih untuk doa dan dukungannya.

18.Kepada kawan-kawan SMA di SMA Sw. YAPEBUDIH Balige yang walaupun jauh tapi tetap saling memberi semangat, Nora Simatupang, Elwin


(8)

Yungly Simanullang, Dewi Hutagaol, Kamal Sikumbang, Hardiman Sihombing, Brando Harison, Febri Siagian, Dedi Hutapea, Rizal Gurning, Lestari Simanjuntak dan kawan-kawan yang lain.

19.Kepada kawan-kawan di kos Jl. Bahagia gang Perdamaian No.4 terima kasih banyak untuk kebersamaannya.

20.Kepada adek-adek AN 010-013, yang muda yang menginspirasi, serta semua pihak yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu per satu, terima kasih.

Semoga skripsi ini berguna bagi yang membutuhkan dan dapat memberikan gambaran akan organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir sehingga bermanfaat untuk perbaikan-perbaikan ke depannya. Peneliti berharap masukan dari pihak-pihak yang membaca untuk pertimbangan dalam penelitian-penelitian selanjutnya. Demikian kata pengantar ini saya perbuat.

Medan, Oktober 2013


(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN…...………i

LEMBAR PENGESAHAN…...………ii

ABSTRAK……….iii

KATA PENGANTAR………v

DAFTAR ISI………viii

DAFTAR TABEL………xi

DAFTAR GAMBAR………xii

DAFTAR LAMPIRAN………xiii

BAB I PENDAHULUAN………1

1.1Latar Belakang……….1

1.2Fokus Penelitian…...………12

1.3Perumusan Masalah……….13

1.4Tujuan Penelitian………13

1.5Manfaat Penelitian………...14

1.6Sistematika Penulisan………..15

BAB II KERANGKA TEORI….………17

2.1 Kebijakan Publik……….17

2.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik………19

2.3 Implementasi Kebijakan Publik………...22

2.3.1 Konsep Implementasi Kebijakan Publik……….22

2.3.2 Tahapan Dalam Implementasi Kebijakan Publik……..…………..26

2.3.3 Model Implementasi Kebijakan Publik………29

2.3.3.1 Model Donald Van Metern dan Carl Van Horn…………29

2.3.3.2 Model Grindle………….………...36

2.3.3.3 Model Sabatier dan Mazmanian……….37

2.3.3.4 Model George Edwards III………38

2.3.4 Keterkaitan Antar Variabel dalam Implementasi Kebijakan Publik.43 2.3.5 Variabel-Variabel yang Dianggap Relevan Mempengaruhi Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007……..45

2.4 Konsep dan Pengertian Restrukturisasi Organisasi………54

2.4.1 Struktur Organisasi dalam Kebijakan Publik…….………...54

2.4.2 Pengertian Restrukturisasi Organisasi………...…………57

2.4.3 Macam-macam Restrukturisasi Organisasi………...61

2.4.4 Unsur-unsur Pokok Restrukturisasi Organisasi………62

2.4.5 Tujuan Restrukturisasi Organisasi………63


(10)

BAB III METODE PENELITIAN………68

3.1 Bentuk Penelitian……….68

3.2 Lokasi Penelitian……….69

3.3 Unit Analisis dan Teknik Pengumpulan Data………….……….70

3.4 Teknik Analisa Data ……..………..74

BAB IV GAMBARAN UMUM………77

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Toba Samosir………77

4.1.1 Sejarah Singkat Kabupaten Toba Samosir………77

4.1.2 Letak dan Keadaan Geografis………79

4.1.3 Pemerintahan………80

4.1.4 Penduduk dan Tenaga Kerja………82

4.1.5 Sosial………84

4.1.6 Pertanian………87

4.1.7 Perekonomian Daerah………90

4.1.8 Visi dan Misi Kabupaten Toba Samosir………91

4.2 Gambaran Umum Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah………92

4.2.1 Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah………93

4.2.2 Kedudukan, Tugas dan Fungsi Organisasi Perangkat Daerah……94

4.2.3 Besaran Organisasi Perangkat Daerah……….96

4.2.4 Perumpunan Bidang Pemerintahan………100

4.2.5 Eselon Jabatan Perangkat Daerah………102

BAB V PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS TEMUAN PENELITIAN...104

5.1 Penyajian Data………105

5.1.1 Deskripsi Hasil Wawancara……….105

5.1.2 Deskripsi Hasil Kuesioner………110

5.1.3 Deskripsi Data Sekunder………..113

5.2 Perjalanan Penataan Organisasi Perangkat Daerah……….114

5.3 Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir..120

5.3.1 Penetapan Peraturan Daerah tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir………..120

5.3.2 Pertimbangan-pertimbangan dalam Menata Organisasi Perangkat Daerah………124

5.3.3 Perkembangan Susunan Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir………130

5.4 Analisis Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir………135


(11)

Pengoperasionalan………..137

5.4.2 Analisis Variabel Struktur Birokrasi………..150

5.4.3 Analisis Variabel Koordinasi dan Komunikasi……….155

5.4.4 Analisis Variabel Sumber Daya……….160

5.4 Restrukturisasi Organisasi………170

BAB VI PENUTUP……….175

6.1 Kesimpulan……….175

6.2 Saran………178

DAFTAR PUSTAKA………180


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jumlah PNS per golongan dan per jabatan………79 Tabel 4.2 Struktur perekonomian Kabupaten Toba Samosir

tahun 2005-2009 (Juta/Rupiah) ………88 Tabel 4.3 Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah

Provinsi………94 Tabel 4.4 Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah

Kabupaten………95 Tabel 4.5 Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah Kota..96 Tabel 5.1 Perkembangan susunan organisasi perangkat daerah di

Kabupaten Toba Samosir………128 Tabel 5.2 Jumlah organisasi perangkat daerah berdasarkan

perhitungan variabel-variabel………..136 Tabel 5.3 Komposisi pejabat struktural Pemerintah Kabupaten Toba

Samosir berdasarkan golongan dan eselon tahun 2011-2013….142 Tabel 5.4 Komposisi pejabat struktural Pemerintah Kabupaten Toba

Samosir berdasarkan SKPD yang menjadi unit analisis

penelitian pada tahun 2013……….143 Tabel 5.5 Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS/CPNS) dan

pegawai BUMN/BUMD Pemerintah Kabupaten Toba

Samosir berdasarkan tingkat pendidikan………157 Tabel 5.6 Keadaan pegawai pada instansi yang menjadi unit

analisis penelitian pada tahun 2013.………157 Tabel 5.7 Realisasi penerimaan daerah Kabupaten Toba Samosir

tahun 2012………162 Tabel 5.8 Realisasi pengeluaran Pemerintah Kabupaten Toba Samosir

tahun 2012………163 Tabel 5.9 Realisasi pengeluaran Pemerintah Kabupaten Toba Samosir


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan………...18 Gambar 2.2 Model Implementasi Kebijakan Meter dan Horn………...27 Gambar 2.3 Model Implementasi Kebijakan Menurut Grindle……….35 Gambar 2.4 Model Implementasi Menurut Sabatier dan Mazmanian………...36 Gambar 2.5 Model Implementasi Menurut George Edward III………41 Gambar 2.6 Hubungan antara variabel Dependen dan Independen dalam

implementasi kebijakan………..42 Gambar 2.7 Peran variabel antara dan antiseden dalam model implementasi...43 Gambar 2.8 Proses terbentuknya struktur organisasi……….54 Gambar 3.1 Komponen-kompponen analisi data………..73 Gambar 5.1 Alur proses dalam implementasi PP No.41Tahun 2007………..148 Gambar 5.2 Pola organisasi kabupaten/kota………152


(14)

ABSTRACT

Implementation of Organizational Restructuring Policy in Toba Samosir Regency (Study Implementation of Government Regulation Number 41 of

2007 about Local Government Organizations)

Name : Benny Sianturi (090903041) Departement : Public Administration Sciences

Faculty : Social and Political Science (University of Sumatera Utara) Advisor : Drs. Ridwan Rangkuti, M.S

Local government regulation are changeable and embodied according to the condition of government and political system at the time. At this Reformation era Local Government Regulation is set by UU No. 32 of 2004, which was change from previous regulation UU No. 22 of 1999. Based on local government regulation in this reformation era, the starting point of governance enforcement changed to decentralized system. Local Government especially regency/city becomes the focus of decentralization or regional autonomy. Therefore, local government is prosecuted to do its authority mostly. One substance that must be implemented by the local government is the organization autonomy, which is requirement to organize and manage the local government organization. Nowadays, Institutional or organizational is set by Government Regulation (PP) No. 41 of 2007.

The implementation of PP No. 41 of 2007 is not without problems. Many local government are not ready to implement this rule, so in this implementation, there are many problems become expenses for the local government. How its effectiveness of implementation of PP No. 41 of 2007? What are the factors that affect the implementation in this PP No. 41 of 2007? Become the purpose or the focus of the researcher in this study to be described more.

In this study, to answer the questions based on purpose of this research will be conducted by descriptive analytical approach. The purpose of the study will be answered by giving the describe more detailed based on the data or information has been presented and analyzed, which were be collected from interviews, questionnaires, and the secondary data (existing data). The problem in the implementation of PP No. 41 of 2007 will be explained by using variables which are synthesized from several models of public policy implementation. The variables used in this research are content of policy/ operationalization of the regulation (ability of statue to structure implementation), bureaucratic structure, Communication and coordination, and resources. Restructuring side of institution policies expanded separately in three points, namely: leadership, organizational transformation direction and so the resistances of organization change.

The answer of the purpose then becomes the conclusion in this study. Performance of the implementation of PP No. 41 of 2007 has not been optimal. The goal of this government regulation is defined by the informant with “forming the organization is rich in function but it is poor in structure” has not been reached. Local government institution not been fully established in accordance with the


(15)

provisions contained in PP No. 41 of 2007. Explanatory direction has not been made at the local level until now. Bureaucrat comprehension which is very little in regulation shows socialization is limited. Also with the resources (human and another resources) competencies, staffing, budget, and facilities there are still many deficiency.

Keywords: Implementation of Public Policy, variables of synthesis, PP Number 41 of 2007 (Local Government Organization), Toba Samosir Regency.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam sejarah perkembangan otonomi di negara kita sampai sekarang, secara legal formal, paling tidak sudah ada 7 (tujuh) Undang-undang Pemerintahan Daerah (UU 1/45; UU 22/48; UU 1/57; UU 18/65; UU 5/74; UU 22/99; UU 32/2004). Setiap Undang-undang terwujud dari sistem politik dan pemerintahan yang berubah-ubah sesuai dengan keadaan pada waktunya. Ketika Indonesia baru merdeka, Undang-undang tentang otonomi daerah bisa dikatakan “sangat darurat”, karena hanya terdiri dari 6 pasal, dan sama sekali tidak memiliki penjelasan. Di era ke-dua, melalui UU No. 22 tahun 1948 otonomi yang ada dikenal dengan otonomi material, yakni pemerintah pusat menentukan kewajiban apa saja yang diserahkan kepada daerah (kewenangan dirinci dari pusat). Era Orde Baru, dengan UU No. 5 tahun 1974 disebutkan bahwa otonomi merupakan otonomi nyata dan bertanggung jawab dan kepala daerah merupakan wakil pemerintah pusat di daerah. Wujud desentralisasi atau otonomi bertitik tekan pada deconcentration overshadowing decentralization (sistem dekonsentrasi lebih dominan dari sistem desentralisasi). Ketika politik pemerintahan berbentuk “demokrasi” (misal di Era Reformasi maka wujud desentralisasi atau otonomi bertitik tekan pada “devolution” yang menumbuhkan euphoria yang sering tidak terkendali (Nugroho, 2001:224-232; Utomo, 2006: 187).


(17)

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dengan Daerah lahir diawali reformasi politik, yakni dengan berakhirnya rezim Orde Baru tahun 1998. Era reformasi merupakan titik tolak perubahan kebijakan desentralisasi di Indonesia ke arah yang nyata. Dengan UU No.22 Tahun 1999 ini daerah terutama kabupaten dan kota lebih leluasa untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan daerahnya.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur pelaksanaan otonomi daerah meletakkan titik berat pada tingkat pemerintah kabupaten dan kota. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 7 dan pasal 11 Undang-undang tersebut yang memberikan kewenangan sisa kepada kabupaten dan kota. Semua kewenangan yang tidak disebutkan dalam UU No.22 Tahun 1999 sebagai kewenangan pusat dengan sendirinya menjadi kewenagan kabupaten dan kota.

Pemberian kewenangan sisa, penyelenggaraan asas desentralisasi, pemilihan kepala daerah mencerminkan konteks otonomi daerah yang bersifat politis. Untuk dapat melaksanakna kewenangan yang bersifat politis tersebut, pemerintah kabupaten dan kota kemudian harus memiliki otonomi internal yang meliputi: otonomi organisasi, otonomi kepegawaian, otonomi keuangan dan otonomi perencanaan. Otonomi internal ini akan menjadi penentu dan menjadi faktor penting untuk melaksanakan otonomi secara keseluruhan (Prasojo, 2003: 2)

Dalam Utomo (2006) disebutkan, Untuk melaksanakan UU No. 22 Tahun 1999 ini paling tidak dibutuhkan 48 peraturan-peraturan pelaksananya. Salah satu


(18)

aspek penting dan menjadi isu strategis dalam Undang-Undang ini adalah mengenai kelembagaan ataupun susunan pemerintahan daerah. Pemerintah kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 sebagai pedoman bagi Daerah dalam menyusun organisasi perangkat daerahnya. PP No. 84 Tahun 2000 ini diubah dengan lahirnya PP Nomor 8 Tahun 2003 yang bertujuan mewujudkan postur organisasi perangkat daerah yang lebih proporsional, efisien, dan efektif yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip organisasi secara rasional dan objektif.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam PP No. 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, dalam pasal 2 ayat 1 (satu) disebutkan bahwa besaran Organisasi Perangkat Daerah ditentukan berdasarkan pertimbangan kewenangan pemerintah yang dimiliki oleh Daerah; karakteristik, potensi, dan kebutuhan Daerah; kemampuan keuangan Daerah; ketersediaan sumber daya aparatur; serta pengembangan pola kerja sama antar Daerah dan/atau dengan pihak ketiga. Penetapan Peraturan Pemerintah ini sesuai dengan ketentuan pasal 60 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bahwa Perangkat Daerah terdiri dari Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah lainnya sesuai dengan kebutuhan daerah. Pedoman-pedoman inilah yang kemudian digunakan oleh Daerah untuk menyusun Peraturan Daerah tentang susunan organisasi perangkat daerah.

Kekurangan-kekurangan akibat persiapan yang sangat terbatas dalam implementasi dan iklim politik pemerintahan yang masih dalam masa transisi


(19)

kemudian menjadi faktor yang mengakibatkan harus dilakukannya perbaikan-perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang No. 25 Tahun 1999 ini. Undang Otonomi daerah yang baru yakni, Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah ditetapkan sebagai revisi atas Undang-Undang sebelumnya. Dengan perubahan ini peraturan-peraturan pelaksana tentu juga perlu dilakukan perubahan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pasal 5 disebutkan bahwa: “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dari pengertian tersebut di atas maka akan tampak bahwa daerah diberi hak otonom oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 ditetapkan untuk membatasi kebebasan yang berhubungan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Sedangkan dibidang kelembagaan pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab. Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah harus memiliki sumber


(20)

pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing.

Sesuai dengan Undang-Undang No. 32 pasal 3, dimana pemerintah daerah terdiri dari Gubernur, Bupati, Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara daerah. Perangkat daerah terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat, unsur pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat, unsur perencana yang diwadahi dalam bentuk badan, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah, serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas daerah.

Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewengan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Dengan perubahan terminologi pembagian urusan pemerintah yang bersifat konkuren (kewenangan bersama) berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, maka dalam implementasi kelembagaan setidaknya terwadahi fungsi-fungsi pemerintahan tersebut pada masing-masing tingkatan pemerintahan.


(21)

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi perangkat Daerah ini pada prinsipnya dimaksudkan memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif, dan rasional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing serta adanya koordinasi, integrasi, singkronisasi, dan simplikasi serta komunikasi kelembagaan antara pusat dan daerah. Dalam peraturan pemeritah tersebut, besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luas wilayah kerja kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani, sarana dan prasarana penunjang tugas.

PP Nomor 41 Tahun 2007 ini menetapkan kriteria untuk menentukan jumlah besaran organisasi perangkat daerah masing-masing pemerintah daerah dengan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah APBD, yang kemudian ditetapkan pembobotan masing-masing variabel yaitu 40% (empat puluh persen) untuk variabel jumlah penduduk, 35% (tiga puluh lima persen) untuk variabel luas wilayah dan 25% (dua puluh lima persen) untuk variabel jumlah APBD, serta menetapkan variabel tersebut dalam beberapa kelas interval. Demikian juga mengenai jumlah susunan organisasi disesuaikan dengan beban tugas masing-masing perangkat daerah.

Penetapan kelas interval untuk daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota ditentukan dengan skala yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan kondisi dan karakteristik daerah yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kebutuhan akan besaran


(22)

Organisasi Perangkat Daerah juga senantiasa juga tidak sama dan tidak seragam. Berdasarkan ketentuan dalam penetapan variabel besaran Organisasi Perangkat Daerah tersebut, dalam Bagian Kedua dan Bagian Ketiga, BAB V PP Nomor 41 Tahun 2007 ditentukan besar jumlah total nilai yang menjadi ketentuan dalam menetapkan besaran Organisasi Perangkat Daerah. Besaran organisasi yang dapat dibentuk sebagai berikut:

− Nilai Kurang dari 40 (empat puluh), OPD yang diwadahi (3 Asisten, 12 Dinas, 8 Lembaga Teknis Daerah)

− Nilai antara 40 (empat puluah) sampai dengan 70 (tujuh puluh), OPD yang diwadahi (3 Asisten, 15 Dinas, 10 Lembaga Teknis Daerah)

− Nilai lebih dari 70 (tujuh puluh) OPD yang diwadahi (4 Asisten, 18 Dinas, 12 Lembaga Teknis Daerah) (diolah dari PP 41 Tahun 2007).

Restrukturisasi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah ini secara otomatis juga berlaku di Pemerintah Kabupaten Toba Samosir. Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir dilakukan dengan menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Toba Samosir Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Toba Samosir. Melalui peraturan ini struktur organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir diubah mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam PP No. 41 Tahun 2007. Sesuai dengan tuntutan dari Peraturan Pemerintah tersebut jelas akan banyak perubahan dari organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir.


(23)

Kabupaten Toba Samosir merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1998 Tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal. Kabupaten Toba Samosir ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara. Dengan metode pelimpahan wewenang yang berlaku di Indonesia yang dikenal dengan sistem general competence, maka Kabupaten Toba Samosir sebagai daerah otonom wajib untuk mengikuti ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah wewenang termasuk keharusan untuk menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007. Metode general competence mengharuskan pemerintah daerah untuk menjalankan kewenangan materil tanpa mempertimbangkan daerah tersebut daerah otonom baru atau daerah otonom lama. Hal inilah yang kemudian menjadi kendala bagi daerah-daerah otonom karena banyak daerah otonom tidak siap untuk menerapkan peraturan-praturan seperti PP No.41 Tahun 2007 ini. Kabupaten Toba Samosir sebagai salah satu daerah otonom menurut peneliti kemudian perlu untuk dilihat sejauhmana daerah ini mampu untuk menerapkan PP. No.41 Tahun 2007 ini.

Sebelum Perda Nomor 2 Tahun 2008, organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir diatur dalam empat peraturan daerah yaitu, Perda Nomor 12 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Toba Samosir, Perda Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah Kabupaten Toba Samosir, Perda Nomor 14 Tahun


(24)

2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Toba Samosir, dan Perda No.15 Tahun 2004 Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan. Berdasarkan keempat Perda tersebut, jumlah perangkat daerah Kabupaten Toba Samosir terdiri dari:

1. Sekretariat Daerah terdiri dari 3 (tiga) Asisten dan 9 (sembilan) Bagian; 2. Dinas Daerah terdiri dari 12 (dua belas) Dinas;

3. Lembaga Teknis Daerah (Badan dan Kantor) terdiri dari 5 (lima) Badan dan 3 (tiga) Kantor.

Perubahan yang kemudian terjadi setelah penerapan PP Nomor 41 Tahun 2007 melalui Perda Nomor 2 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir adalah sebagai berikut:

1. Sekretariat Daerah terdiri dari 3 (tiga) Asisten dan 8 (delapan) Bagian; 2. Dinas Daerah terdiri dari 14 (empat belas) Dinas;

3. Lembaga Teknis Daerah 10 Lembaga.

Desentralisasi dalam pengelolan aparatur (otonomi organisasi) dapat dilihat dari seberapa besar daerah memiliki kewenangan untuk membentuk struktur birokrasinya (SKPD) dan mengangkat aparatnya untuk menduduki jabatan pada struktur birokrasi. Setelah diberlakukannya PP Nomor 41 Tahun 2007, persoalan yang muncul adalah terbatasnya ruang gerak pemerintah daerah karena dalam PP tersebut mengatur secara rinci tentang struktur birokrasi daerah, bukan hanya terkait jumlahnya tetapi juga bentuk organisasi, perumpunan, eselon bahkan nomenklaturnya. Semangat dari PP tersebut adalah untuk mengendalikan penggemukan dari struktur birokrasi daerah. Namun pada kenyataannya


(25)

pemberlakuan PP tersebut justru mendorong sejumlah daerah yang sebelumnya memiliki struktur ramping untuk mengembangkan struktur birokrasi yang lebih gemuk mengikuti ketentuan dalam PP tersebut (Dwiyanto, 2010:190).

Jika dilihat secara sepintas dari data perubahan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Toba Samosir di atas yang terjadi adalah adanya perubahan jumlah besaran perangkat daerah baik dinas maupun Lembaga Teknis Daerah. Jika dilihat kembali PP No.41 Tahun 2007 ini adalah bertujuan untuk mengurangi jumlah Dinas dan Lembaga Teknis Daerah. Peraturan Pemerintah ini pada prinsipnya dimaksudkan untuk memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif, rasional dan proporsional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah. Dalam penataan kelembagaan perangkat daerah harus menerapkan prinsip-prinsip organisasi, antara lain visi dan misi yang jelas, pelembagaan fungsi staf dan fungsi lini serta fungsi pendukung secara tegas, efisiensi dan efektifitas, rentang kendali serta tata kerja yang jelas (Lampiran Permendagri Nomor 57 Tahun 2007). Perubahan yang terjadi pada Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir ini menjadi pertanyaan bagi peneliti apakah perubahan ini bisa dikatakan sebagai pembengkakan atau memang ketentuan yang terdapat dalam PP No.41 Tahun 2007 inilah yang mengakibatkan perubahan tersebut? Aspek implementasi kemudian menjadi bagian yang menarik untuk diidentifikasi, karena aspek implementasi merupakan sebuah proses yang kompleks yang perlu dijelaskan dengan melihat berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan.


(26)

Kebijakan restrukturisasi ini adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, namun program pengimplementasiannya di serahkan pada masing-masing daerah. Kesulitan yang timbul dikarenakan interpretasi yang bisa jadi beragam antar daerah dan juga kesiapan daerah yang masing-masing tidak sama, sehingga pengimplementasian dan hasilnya pun bisa berbeda dari tujuan utama kebijakan tersebut. Melalui implementasi kebijakan selanjutnya tujuan dan sasaran dari sebuah kebijakan dapat dilihat ataupun diukur. Tercapainya tujuan dari sebuah kebijakan dipengaruhi oleh banyak hal, yaitu seluruh komponen-komponen yang berhubungan dengan cara untuk mencapai sasaran dan tujuan dari sebuah kebijakan.

Gambaran di atas menjadi gambaran persoalan yang akan lebih jauh dicari tahu dalam penelitian ini. Aspek implementasi yang merupakan proses yang kompleks dan menjadi aspek utama dan menurut peneliti perlu dideskripsikan secara jelas dalam penelitian ini. Fokus perhatian bagi peneliti adalah untuk melihat bagaimana Kabupaten Toba Samosir ini mengimplemetasikan prinsip-prinsip organisasi sesuai dengan ketentuan-ketentuan restrukturisasi yang tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 20017 Tentang Organisasi Perangkat Daerah melalui peraturan turunan yaitu Perda Kabupaten Toba Samosir Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Toba Samosir.


(27)

1.2 Fokus Penelitian

Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif ada yang disebut dengan batasan masalah. Batasan masalah ini kemudian disebut dengan fokus, yaitu pokok masalah yang masih bersifat umum. Pada penelitian kualitatif, penentuan fokus ini didasarkan atas hasil studi pendahuluan, pengalaman, referensi dan saran-saran dari orang yang dipandang ahli. Fokus penelitian dalam penelitian kualitatif sifatnya juga masih sementara dan akan berkembang di lapangan (Sugiyono, 2006:290).

Berdasarkan penjelasan tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan proses implementasi kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir melalui pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 yang diturunkan ke dalam Peraturan Daerah Kabupaten Toba Samosir Nomor 2 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Penelitian ini menggunakan variabel-variabel pengaruh (variabel independen), yaitu variabel yang diharapkan mampu untuk menjelaskan derajat kinerja implementasi kebijakan terkait. Dalam penelitian ini variabel-variabel yang ada bukan untuk diuji hubungannya, karena variabel dalam penelitian kualitatif merupakan sesuatu yang holistik (tidak terpisah-pisah), variabel saling terikat dan berinteraksi dalam fakta-fakta sosial.

Variabel yang mempengaruhi implementasi dalam kebijakan ini juga hanya akan difokuskan pada variabel-variabel yang dipilih oleh peneliti, yang dianggap relevan mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan PP No.41 Tahun 2007.


(28)

Disamping batasan variabel, peneliti juga membuat batasan unit analisis atau objek penelitian hanya pada beberapa perangkat daerah kabupaten, yaitu Sekretariat Daerah, 1 Dinas, 1 Badan, 1 Kantor, serta 1 Kecamatan sebagai perwakilan dari keseluruhan Organisasi Perangkat Daerah yang ada, yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini, sehingga unit analisis tidak terlalu luas dan peneliti mampu untuk menyelesaikan penelitian ini.

1.3 Perumusan Masalah

Perumusan masalah (problem statement, statement of the problem) atau kadang-kadang disebut sebagai defenisi masalah (problem definition) merupakan tahap dimana peneliti merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian (research question) yang berhubungan dengan topik atau isu penelitian. Permusan masalah adalah konteks penelitian yang mengarahkan pelaksanaan dan pencapaian tujuan penelitian. Peneliti ilmu sosial memusatkan perhatiaanya pada masalah atau pertanyaan penelitian (Silalahi, 2009:54).

Masalah atau pertanyaan dalam penelitian yang saya pilih dan yang perlu dipecahkan ialah “Bagaimana Efektivitas Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Di Kabupaten Toba Samosir?”

1.4 Tujuan Penelitian

Di dalam usulan/rancangan penelitian, apapun format penelitian yang digunakan (deskriptif ataukah eksplanasi, studi kasus, survei ataukah eksperimen),


(29)

juga perlu secara tegas dan jelas merumuskan tujuan penelitian yang hendak dihasilkan (Faisal, 2007: 100-101).

Tujuan Penelitian ini ialah untuk menjawab perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu mengenai efektivitas implementasi. Pertanyaan untuk efektivitas adalah untuk mengetahui apakah hasil atau tujuan yang diinginkan sudah tercapai? Oleh karena itu, yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana gambaran atas kinerja implementasi kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah.

b. Menjelaskan variabel-variabel yang mempengaruhi implementasi PP No.41 Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian dilakukan untuk memecahkan sebuah masalah atau fenomena sosial yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain, sebuah penelitian harus benar-benar bermanfaat atau memiliki dampak bagi pihak-pihak yang bersangkutan pada akhirnya.

Adapun Manfaat Penelitian ini ialah:

1. Manfaat secara ilmiah, penelitian ini bermanfaat bagi peneliti dalam mengembangkan kemampuan menulis karya ilmiah dan menambah pengetahuan ilmiah pada studi administrasi negara dalam kaitannya dengan


(30)

implementasi kebijakan yakni Peraturan Pemerintah tentang Organisasi Perangkat Daerah.

2. Manfaat secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dalam pengimplementasian PP Nomor 41 Tahun 207 tentang Organisasi Perangkat Daerah khususnya bermanfaat bagi Pemerintah Kabupaten Toba Samosir untuk melakukan perbaikan-perbaikan dimasa yang akan datang.

3. Manfaat secara akademis, diharapkan mampu menambah khasanah dan literatur atau kepustakaan baru dalam penelitian sosial.

1.6 Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan

Bab ini memuat latar belakang masalah, fokus penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Kerangka Teori

Bab ini memuat tentang teori-teori yang berhubungan dengan judul penelitian dan definisi konsep yang diperlukan peneliti

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.

Bab IV : Gambaran Umum

Bab ini menguraikan tentang gambaran atau karakteristik lokasi penelitian yang ditemukan di lapangan.


(31)

Bab V : Penyajian Data dan Analisis Temuan Penelitian

Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan dokumentasi serta analisa terhadap data atau informasi tersebut.

Bab VI: Penutup

Bab ini memuat kesimpulan dan saran atas hasil penelitian yang telah dilakukan yang dianggap penting bagi pihak yang membutuhkan.


(32)

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1 Kebijakan Publik

Makna modern dari gagasan “kebijakan” dalam bahasa Inggris adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik (Wilson, 1887). Sejak periode pasca Perang Dunia II. Kata Policy mengandung makna kebijakan sebagai sebuah rationale, sebuah manifestasi dari penilaiaan penuh pertimbangan. Misalnya, bayangkan bagaimana jika para politisi mengakui bahwa mereka tidak punya kebijakan tentang persoalan x? Sebuah kebijakan adalah usaha untuk mendefenisikan dan menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan (Parson, 2008: 14-17).

Sedangkan kata “publik” secara terminologi mengandung arti sekelompok orang atau masyarakat dengan kepentingan tertentu. Menurut Wayne Parson publik adalah aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama (Parson, 2008: 3). Hal ini berarti bahwa masyarakat atau publik datang dengan latar belakang kepentingan yang diwujudkan dalam bentuk tuntutan (demand) dan dukungan (support). Intervensi terhadap publik oleh pemerintah ataupun oleh aturan sosialnya mendorong terjadinya perubahan-perubahan terhadap publik melalui usaha-usaha yang telah direncanakan. Terlepas dari perubahan tersebut membawa dampak yang bersifat baik maupun dampak yang bersifat buruk.


(33)

Usaha pemerintah untuk merespon kepentingan publik ini adalah yang disebut dengan kebijakan publik. R. Dye (1995) mendefenisikan kebijakan publik sebagai what government do, why they do it, and what different it makes. Harold Laswell dan Abraham Kaplan (1970) mendefenisikan sebagai a project program of goals, values, and practices. David Easton (1965) mendefenisikan sebagai the impact of government activity (Nugroho: 2006, 23-24). Berdasarkan defenisi dari para pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa, kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah. “dikerjakan” atau “tidak dikerjakan” merupakan keputusan, karena dilakukan atau tidak dilakukan tetap akan memberikan dampak. Menurut David Easton, dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang berkembang di dalam masyarakat, system politik dapat menempuhnya melalui dua cara. Pertama, membuat keputusan-keputusan sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat. Kedua, melakukan politisasi, yaitu membangun nilai-nilai yang ada di dalam pemerintahan (Marijan, 2010: 6).

Membuat keputusan atau kebijakan sesuai dengan keinginan masyarakat bukanlah hal yag mudah. Kepentingan masyarakat tidak tunggal. Pemerintah sebelum merumuskan kebijakan perlu untuk memetakan kepentingan publik yang berbeda-beda (public mapping). Dengan pemetaan ini bentuk perhatian publik seperti kepentingan, aspirasi, masalah-masalah masyarakat, issu yang berkembang bisa dikenali. Pemetaan kepentingan ini akan sangat berguna karena pemerintah akan mengetahui kepentingan yang mana yang paling mendesak dan paling mewakili kepentingan dari masyarakat, sehingga kebijakan benar-benar


(34)

mengandung manfaat yang paling besar kepada masyarakat. Dengan mengenali rakyatnya, pemerintah akan mengerti apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyat.

2.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik

Tahap-tahap atau proses pembuatan kebijakan dapat divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Berikut gambar dari tahapan dalam proses pembuatan kebijakan publik:


(35)

1. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari defenisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda (agenda setting). Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.

2. Peramalan

Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu. Ini dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat menguji masa depan yang plausible, potensial dan secara normatif bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengendali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari berbagai pilihan.

3. Rekomendasi

Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambil


(36)

kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenali eksternalitas dan akibat ganda, menentukan kriteria dalam membuat pilihan, dan menentukan pertanggungjawaban administrative bagi implementasi kebijakan.

4. Pemantauan

Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu pengambil kebijakan dalam tahap implementasi kebijakan. Banyak badan secara teratur memantau hasil dan dampak kebijakan dengan menggunakan berbagai indikator kebijakan di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, kesejahteraan, kriminalitas, dan ilmu dan teknologi. Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung jawab pada setiap tahapan kebijakan.

5. Evaluasi

Evaluasi membuahkan penngetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan benar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan; tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-ninlai yang


(37)

mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah (Dunn, 2003: 25-29).

2.3 Implementasi Kebijakan Publik

2.3.1 Konsep Implementasi Kebijakan Publik

Studi kebijakan publik terdiri dari dua bagian besar yaitu analisis kebijakan publik dan proses kebijakan publik. Salah satu bagian dari proses kebijakan publik adalah implementasi kebijakan publik. Bagian analisis kebijakan publik biasanya mengkaji hubungan antara suatu kebijakan dengan masalah, isi dari kebijakan, mengkaji apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pembuat kebijakan, serta konsekuensi yang akan tercipta (Output) dari suatu kebijakan. Analisis kebijakan pada dasarnya merupakan bentuk perekayasaan dan perbaikan terhadap suatu kebijakan (Parson, 2008: 19-31).

Pada bagian proses kebijakan publik, kebijakan publik dipandang sebagai sebuah proses. Artinya, kebijakan publik akan dilihat berdasarkan tingkatan praktisnya, yaitu bagaimana kebijakan dibuat, dimplementasikan dan pada akhirnya kebijakan harus melakukan perubahan-perubahan tertentu. Banyak pakar yang menawarkan bentuk dari proses kebijakan ini, tetapi dari sebagian banyak tawaran itu Jones menyimpulkan bahwa pada dasarnya semua bentuk proses itu dapat dikelompokkan menjadi empat tahap, yaitu:

1. Tahap bagaimana masalah-masalah yang ada bisa masuk ke ruang publik 2. Tahap bagaimana pemerintah melakukan tindakan-tindakan konkret


(38)

3. Tahap dimana tindakan-tindakan pemerintah itu masuk ke masalah di lapangan.

4. Dan kemudian tahap dimana kebijakan kembali ke pemerintah agar ditinjau kembali dan diadakan perubahan-perubahan yang dianggap mungkin (Putra, 2003:26-32).

Penggunaan istilah implementasi pertama sekali digunakan oleh Harold Lawswell (1956). Sebagai ilmuwan yang pertama sekali mengembangkan studi tentang kebijakan publik, Laswell menggagas suatu pendekatan yang ia sebut sebagai pendekatan proses (policy process approach). Menurutnya, agar ilmuwan memperoleh pemahaman yang baik tentang apa sesungguhnya kebijakan publik, maka kebijakan publik harus diurai menjadi beberapa bagian sebagai tahapan-tahapan, yaitu: agenda-setting, formulasi, legitimasi, implementasi, evaluasi, reformulasi dan terminasi. Dari siklus tersebut terlihat secara jelas bahwa implementasi hanyalah bagian atau salah satu tahap dari proses besar bagaimana suatu kebijakan publik dirumuskan (Purwanto, 2012:17).

Istilah implementasi oleh Laswell digunakan hanya untuk menunjukkan bahwa implementasi merupakan salah satu tahapan dalam proses besar kebijakan publik, Laswell belum memberi penekanan secara khusus tentang arti pentingnya implementasi. Tetapi dalam perkembangannya kemudian istilah implementasi kemudian menjadi suatu konsep yang mulai dikenal dalam disipilin ilmu politik, ilmu administrasi publik dan lebih khusus lagi dalam ilmu kebijakan publik yang mulai dikembangkan. Dalam perkembangan studi implementasi kebijakan publik


(39)

selanjutnya Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky (1973) merupakan dua ilmuwan pertama yang secara eksplisit menggunakan konsep implemetasi untuk menjelaskan fenomena kegagalan suatu kebijakan dalam mencapai sasarannya. Hal inilah yang menjadikan kedua ahli ini layak diberikan kredit besar sebagai pioneer dalam pengembangan studi implementasi kebijakan publik. Menurut mereka, imlementasi dimaknai dengan beberapa kata kunci sebagai berikut: untuk menjalankan kebijakan (to carry out), untuk memenuhi janji-janji sebagaimana dinyatakan dalam dokumen kebijakan (to fulfill), untuk menghasilkan output sebagaimana dinyatakan dalam tujuan kebijakan (to produce), untuk menyelesaikan misi yang harus diwujudkan dalam tujuan kebijakan (to complete) (Purwanto, 2012:17-20).

Setelah dirintis oleh dua sarjana ini, konsep implementasi kemudian mulai dikenal luas dan mulai di dalami oleh para ilmuwan kebijakan publik. Mazmanian dan Sabatier (Nugroho, 2006:119) mengemukakan bahwa implementtasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Mazmanian dan Sabatier mengemukakan:

implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a statute but which can also take the form of important executives oders or court decision. Ideally that decision identifies the problem(s) to be addressed, stipulates the objective(s) to be pursued, and, in a variety of ways, “structures” the implementation process.”


(40)

Berdasarkan pengertian tersebut implementasi dapat diartikan sebagai pelaksanaan keputusan dasar yang biasanya dituangkan dalam bentuk undang-undang, keputusan pemerintah/eksekutif ataupun keputusan badan peradilan. Biasanya keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang dihadapi, tuntutan dalam berbagai bentuk yang ingin dicapai serta struktur dari proses implementasi.

Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood (1980), hal-hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan ke dalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus. Sementara itu, Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-idividu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan (Winarno, 2004:102).

Agus Purwanto (2012) mengemukakan bahwa implementasi intinya adalah kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan oleh para implementer kepada kelompok sasaran (target group) sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan. Tujuan kebijakan diharapkan akan muncul manakala policy output dapat diterima dan dimanfaatkan dengan


(41)

baik oleh kelompok sasaran sehingga dalam waktu jangka panjang hasil kebijakan akan mampu diwujudkan (Purwanto, 2012:21). Oleh karena itu, sebuah program kebijakan harus diimplementasikan magar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.

Implementasi merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Implementasi merupakan tahapan atau serangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan sia-sia belaka. Implementasi kebijakan merupakan hal yang paling berat, karena disini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan (Nugroho, 2006:119).

2.3.2 Tahapan Dalam Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang seharusnya terjadi setelah sebuah program dilaksanakan. Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam tataran praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar. Proses tersebut terdiri atas beberapa tahapan yakni:

1. tahapan pengesahan peraturan perundangan 2. pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana

3. kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan 4. dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak


(42)

6. upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan

Berikut ini merupakan tahapan-tahapan operasional implementasi sebuah kebijakan:

1. Tahapan intepretasi. Tahapan ini merupakan tahapan penjabaran sebuah kebijakan yang bersifat abstrak dan sangat umum ke dalam kebijakan atau tindakan yang lebih bersifat manajerial dan operasional. Dalam Nugroho (2006) disebutkan bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langka yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijkan publik tersebut. Kebijakan abstrak biasanya tertuang dalam bentuk peraturan perundangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif dan legislatif, bisa berbentuk perda ataupun undang-undang. Kebijakan manajerial biasanya tertuang dalam bentuk keputusan eksekutif yang bisa berupa peraturan presiden maupun keputusan kepala daerah, sedangkan kebijakan operasional berupa keputusan pejabat pemerintahan bisa berupa keputusan/peraturan menteri ataupun keputusan kepala dinas terkait. Kegiatan dalam tahap ini tidak hanya berupa proses penjabaran dari kebijakan abstrak ke petunjuk pelaksanaan/teknis namun juga berupa proses komunikasi dan sosialisasi kebijakan tersebut baik yang berbentuk abstrak maupun operasional kepada para pemangku kepentingan.

2. Tahapan pengorganisasian. Kegiatan pertama tahap ini adalah penentuan pelaksana kebijakan (policy implementor) – yang setidaknya dapat


(43)

diidentifikasikan sebagai berikut: instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah); sektor swasta; LSM maupun komponen masyarakat. Setelah pelaksana kebijakan ditetapkan; maka dilakukan penentuan prosedur tetap kebijakan yang berfungsi sebagai pedoman, petunjuk dan referensi bagi pelaksana dan sebagai pencegah terjadinya kesalahpahaman saat para pelaksana tersebut menghadapi masalah. Prosedur tetap tersebut terdiri atas prosedur operasi standar (SOP) atau standar pelayanan minimal (SPM). Langkah berikutnya adalah penentuan besaran anggaran biaya dan sumber pembiayaan. Sumber pembiayaan bisa diperoleh dari sektor pemerintah (APBN/APBD) maupun sektor lain (swasta atau masyarakat). Selain itu juga diperlukan penentuan peralatan dan fasilitas yang diperlukan, sebab peralatan tersebut akan berperan penting dalam menentukan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan kebijakan. Langkah selanjutnya – penetapan manajemen pelaksana kebijakan – diwujudkan dalam penentuan pola kepemimpinan dan koordinasi pelaksanaan, dalam hal ini penentuan focal point pelaksana kebijakan. Setelah itu, jadwal pelaksanaan implementasi kebijakan segera disusun untuk memperjelas hitungan waktu dan sebagai salah satu alat penentu efisiensi implementasi sebuah kebijakan.

3. Tahapan implikasi. Tindakan dalam tahap ini adalah perwujudan masing-masing tahapan yang telah dilaksanakan sebelumnya.


(44)

2.3.3 Model Implementasi Kebijakan Publik

2.3.3.1 Model Donald Van Meter dan Carl Van Horn

Gambar 2.2

Model implementasi kebijakan Meter dan Horn

Van Meter dan Van Horn menawarkan suatu model dasar yang mempunyai enam variabel yang membentuk ikatan (lingkage) antara kebijakan dan pencapaian (performance). Meter dan Horn (1975) dalam Wibawa (1994:19) merumuskan sebuah abstraksi yang memperlihatkan hubungan berbagai faktor yang mempengaruhi hasil atau kinerja suatu kebijakan. Model ini seperti yang diungkapkan oleh Van Meter dan Van Horn, tidak hanya menentukan hubungan antara variabel-variabel bebas dan variabel terikat mengenai kepentingan-kepentingan, tetapi juga menjelaskan hubungan-hubungan antara variabel-variabel bebas. Selain itu dengan model ini indikator-indikator yang memuaskan dapat dibentuk dan data yang tepat dapat dikumpulkan. Dengan menggunakan pendekatan masalah seperti ini, dalam pendangan Van Meter dan Van Horn, kita


(45)

mempunyai harapan yang besar untuk menguraikan proses-proses dengan cara melihat bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dilaksanakan dibandingkan hanya sekedar menghubungkan variabel bebas dan variabel terikat dalam suatu cara yang semena-mena. Variabel-variabel tersebut dijelaskan Van Meter dan Van Horn sebagai berikut:

1. Standar dan tujuan kebijakan

Suatu kebijakan tentu telah menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dilaksanakan oleh para pelaksana kebijakan. Kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut. Karena dijadikan sebagai kriteria penilaian, maka standar dan sasaran dirmuskan secara spesifik dan kongkret (Wibawa, 1994:20). Menurut Van Meter dan Van Horn, identifikasi indikator-indikator pencapaian merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauhmana ukuran dasar dan tujuan kebijakan telah terealisasikan. Ukuran-ukuran dasar (standar kebijakan) dan tujuan berguna di dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh.

Dalam melakukan studi implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu program yang akan dilaksanakan harus diidentiikasi dan diukur karena implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-tujuan itu tidak dipertimbangkan. Dalam menentukan ukuran-ukuran dasar dari sasaran-sasaran, kita dapat menggunakan pernyataan-pernyataan dari para pembuat keputusan sebagaimana direfleksikan dalam banyak dokumen seperti


(46)

regulasi-regulasi dan garis-garis pedoman program yang menyatakan kriteria untuk evaluasi pencapaian kebijakan. Akan tetapi, dalam beberapa hal ukuran-ukuran dasar dan sasaran-sasaran kebijakan harus dideduksikan oleh peneliti perorangan dan pilihan ukuran-ukuran pencapaian bergantung pada tujuan-tujuan yang didukung oleh penelitian (Winarno, 2004:110-112).

2. Sumber daya

Di samping standar dan tujuan kebijakan, yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses implementasi kebijakan adalah sumber daya yang tersedia. Kebijakan menuntut tersedianya sumber daya, baik berupa dana maupun perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena sangat menunjuang dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Dalam praktek implementasi kebijakan, kita seringkali mendengar para pejabat maupun pelaksana mengatakan bahwa kita tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai program-program yang telah direncakan. Dengan demikian, besar kecilnya dana akan menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan (Winarno, 2004:112).

3. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi

Kejalasan standar dan sasaran tidak menjamin implementasi yang efektif apabila tidak dibarengi dengan adanya komunikasi antar organisasi dan aktivitas pengukuhan. Semua pelaksana harus memahami apa yang diidealkan oleh kebijakan yang implementasinya menjadi tanggungjawab mereka. Hanya saja


(47)

komunikasi adalah proses yang rumit, yang sangat potensial untuk terjadi penyimpangan. Hal ini menyangkut persoalan kewenangan dan kepemimpinan. Organisasi atasan (superior) mestinya mampu mengkondisikan organisasi bawahan atau pelaksana untuk memiliki idealita sebagaimana yang dikehendaki oleh kebijakan (Wibawa, 2004: 20).

Implementasi akan berjalan efektif bila standar dan tujuan dipahami oleh individu yang bertanggung jawab dalam pencapaian kebijakan. Dengan demikian, tujuan dan standar yang jelas, komunikasi yang tepat dengan pelaksana, konsistensi dan keseragaman tujuan dan standar yang dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi sangat perlu diperhatikan. Komunikasi di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan ke bawah dalam suatu organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lainnya, para komunikator dapat menyimpannya atau menyebarluaskannya, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Lebih dari itu, jika sumber-sumber informasi ataupun sumber yang sama memberikan interpretasi yang tidak konsisten terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan atau bahkan bertentangan, maka para pelaksana kebijakan akan mendapatkan kesulitan yang lebih besar untuk melaksanakan maksud-maksud dari kebijakan. Oleh karena itu, menurut Van Meter dan Van Horn prospek-prospek tentang implementasi yang efektif ditentukan oleh kejelasan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan yang dinyatakan dan oleh ketepatan dan konsistensi dalam mengkomunikasikan ukuran-ukuran dan tujuan tersebut.


(48)

Menurut Van Meter dan Van Horn, implementasi yang berhasil sering kali membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga. Hal ini akan membantu atasan mendorong bawahan (pelaksana) untuk bertindak dalam suatu cara yang konsisten dengan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan. Para pejabat dalam organisasi mempunyai pengaruh dan kekuasaan personil dikarenakan posisi hierarkhis mereka. Pengaruh dan kekuasaan itu antara lain dalam hal, rekrutmen dan seleksi, jenjang karir bawahan, kontrol atas alokasi anggaran, mempengaruhi perilaku bawahan serta mempunyai kewenangan dalam menanggapi pencapaian kebijakan.

Hubungan-hubungan antar organisasi maupun antar pemerintah dalam kegiatan pelaksanaan terlihat dalam dua tipe. Pertama, nasihat dan bantuan teknis yang dapat diberikan. Pejabat-pejabat tingkat tinggi dapat membantu para bawahan menginterpretasikan peraturan-peraturan dan garis-garis pedoman pemerintah, menstrukturkan tanggapan-tanggapan terhadap inisiatif-inisiatif dan memperoleh sumber-sumber fisik dan teknis yang diperlukan yang berguna dalam melaksanakan kebijakan. Kedua, atasan dapat menyandarkan pada berbagai sanksi, baik positif maupun negatif. Menurut Van Meter dan Van Horn, kita dapat menyelidiki aspek pelaksanaan ini dengan menunjuk kepada perbedaan antara kekuasaan normatif, renumeratif, dan keuasaan koersif (Winarno, 2004:112-114).

4. Karakteristik dari agen pelaksana/ implementor

Menurut Ripley (1973) struktur dari agen pelaksana, yang meliputi karakteristik, norma dan pola hubungan yang potensial maupun aktual sangat


(49)

berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi (Wibawa, 1994:20-21). Van Meter dan Van Horn menyatakan bahwa karakteristik dari badan pelaksana dilihat dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik, norma dan pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang memounyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan. Komponen dari model ini terdiri dari ciri-ciri struktur formal dari organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari personil mereka. Disamping itu, perhatian juga perlu ditujukan kepada ikatan-ikatan badan pelaksana dengan pemeran-pemeran serta dalam sistem penyampaian kebijakan (Winarno, 2004: 116). Menurut Van Meter dan Van Horn organisasi pelaksana memiliki enam variabel yang harus diperhatikan, yaitu: (1) kompetensi dan jumlah staf, (2) rentang dan derajat pengendalian, (3) dukungan politik yang dimiliki, (4) kekuatan organisasi, (5) derajat keterbukaan dan kebebasan komunikasi, dan (6) keterkaitan dengan pembuat kebijakan (Wibawa, 1994:21).

5. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik

Kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik merupakan variabel selanjutnya yang diidentifikasi oleh Van Meter dan Van Horn. Sebagaimana dapat diambil inferensi logis dari bagan sistem kebijakan di depan, kondisi sosial, ekonomi dan politik juga berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan. Ini merupakan implikasi dari perspektif sistemik. Beberapa item pertanyaan yang berkaitan dengan variabel ini diantaranya adalah:


(50)

1. Apakah sumber daya ekonomi yang dimiliki organisasi pelaksana cukup memadai untuk mengejar efektivitas yang tinggi?

2. Bagaimana keadaan sosial-ekonomi dari masyarakat yang akan dipengaruhi kebijakan?

3. Apa opini publik yang dominan, dan bagaimana pendapat publik terhadap kebijakan?

4. Apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan? 5. Adakah kekuatan penentang?

6. Sejauh mana kelompok kepentingan dan swasta mendukung atau menentang kebijakan (Wibawa, 1994: 21)?

6. Kecenderungan (disposition) dari pelaksana/implementor

Kesemua variabel tadi membentuk sikap pelaksana terhadap kebijakan yang mereka implementasikan, untuk pada akhirnya menentukan seberapa tinggi kinerja kebijakannya. Kognisi, netralitas dan obyektivitas para individu pelaksana sangat berpengaruh bentuk respons mereka terhadap semua variabel tersebut. Wujud respons individu pelaksana menjadi penyebab dari berhasil dan gagalnya implementasi. Jika pelaksana tidak memahami tujuan kebijakan, lebih-lebih apabila sistem nilai yang mempengaruhi sikapnya berbeda dengan sistem nilai pembuat kebijakan maka implementasi tidak akan efektif. Hal yang sama juga terjadi bila “loyalitas” pelaksana kepada organsasi rendah (Wibawa, 1994: 21-22).


(51)

2.3.3.2 Model Grindle

Implementasi kebijakan menurut Grindle (1980), ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasar Grindle adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek individual biaya telah disediakan, maka implementasi kebijakan dilakukan, tetapi ini tidak berjalan mulus, tergantung pada implementability dari program itu, yang dapat dilihat pada isi dan konteks kebijakannya. Isi kebijakan mencakup: (1) kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan, (2) tipe atau jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3) derajar perubahan yang diinginkan, (4) kedudukan pembuat kebijakan, (5) siapa pelaksana program?, dan (6) sumber daya yang dilibatkan. Demikian dengan konteks kebijakan juga mempengaruhi proses implementasi. Yang dimaksud oleh Grindle dengan konteks kebijakan adlaah: (1) kekuasaan kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga dan penguasa, dan (3) kepatuhan serta daya tanggap pelaksana. Intensitas keterlibatan para perencana, politisi, pengusaha, kelompok sasaran dan para pelaksana program akan bercampur-baur mempengaruhi efektivitas implementasi. Hal ini searah dengan variabel kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn, dimana juga berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan (Wibawa, 1994: 22-25).


(52)

Gambar 2.3

Model implementasi kebijakan menurut Grindle

2.3.3.3 Model Sebatier dan Mazmanian

Menurut Mazmanian dan Sebatier (1983), ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni: (1) karakteristik dari masalah (tractability of the problems); (2) karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation); (3) variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation) (Subarsono, 2009:94). Variabel-variabel tersebut terlihat pada Gambar 2.4. Kerangka berpikir yang mereka tawarkan juga


(53)

mengarah pada dua persoalan mendasar yaitu, kebijakan dan lingkungan kebijakan. Hanya saja pemikiran Sabatier dan Mazmanian ini terkesan menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila pelaksanaannya mematuhi peraturan yang ada (Wibawa, 1994: 25).

Gambar 2.4

Model implementasi menurut Sebatier dan Mazmanian

2.3.3.4 Model George Edwards III

Menurut Edwards, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration dan public policy. Implemetasi kebijakan adalah tahap pembuatan


(54)

kebijakan antara pemebentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhuinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mempengaruhi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kabijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplemetasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijkan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.

Dalam kajian implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan mangajukan dua buah pertanyaan, yaitu: prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Kedua, hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal? Menurut Edwards, terdapat empat faktos atau variable krusial dalam implementasi kebijakan publik. Factor-faktor atau variable tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku dan struktur birokrasi (Winarno, 2004:125-126).

a. Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehinggan akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran (Subarsono, 2009:90).


(55)

Aspek lain dari komunikasi menyangkut petunjuk-petunjuk pelaksanaan adalah persoalan konsistensi. Keputusan-keputusan yang bertentangan akan membingungkan dan manghalangi staf administrasi dan menghambat kemampuan mereka untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan secara efektif. Sementara itu, ada banyak hal yang mendorong terjadinya komunikasi yang tidak konsisten dan menimbulkan dampak-dampak buruk bagi implementasi kebijakan. Beberapa hal yang dimaksud menyangkut transmisi, konsistensi, dan kejelasan.

Faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementassikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana tampkanya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan. Adapun hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintha-perintah implementasi yakni, pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan; informassi melewati berlapis-lapis hierarkhi birokrasi sehingga mempengaruhi tingkat efektivitas komunikasi kebijakan yang dijalankan; faktor penghambat terakhir adalah prespektif selektif dan ketidakmauan para pelaksana kebijakan untuk mengetahui prasyarat-prasyarat suatu kebijakan.

Faktor kedua yang dikemukakan oleh Edwards III adalah kejelasan. Jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan , maka


(56)

petunjuk pelaksanaan tidak hanya diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Seringkali instruksi-instruksi yang diteruskan kepada pelaksana-pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaiaman suatu program dilaksanakan. Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaiakan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan mendorong terjadinya interpretasi yang tidak salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal. Namun demikian, ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi. Pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Sesuatu yang sering dihambat oleh instruksi-instruksi yang sangat spesifik menyangkut implementasi kebijakan.

Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Perintah-perintah implementasi yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Tindakan yang sangat longgar kemungkinan tidak dapat digunakan untuk melaksanakan tujuan-tujuan kebijakan (Winarno, 2004:126-129).

b. Sumber-sumber

Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung


(57)

tidak efektif. Dengan demikian, sumber-sumber dapat merupakan factor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber yang penting meliputi: staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemhkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan publik.

c. Kecenderungan-kecenderungan

Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan factor ketiga yang mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif, jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan akan semakin sulit.

d. Strktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah satu yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatakn kolektif, dalam rangka pemecahan masalah-masalah social dalam kehidupan modern.

Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi yaitu prosedur-prosedur kerja atau sering disebut standard operating procedures (SOP) dan


(1)

sangat mengandalkan dana perimbangan. Demikian juga masalahnya dengan sarana-prasarana dan informasi, masi banyak kekurangan. 6.2 Saran

1. Pemerintah pusat harus merevisi PP No.41 Tahun 2007 ini dengan lebih menyesuaikan peraturan yang akan dibuat dengan karakteristik daerah. Pemerintah pusat harus membagi daerah-daerah dengan tipologi-tipologi sehingga peraturan yang tepat untuk daerah yang tepat bisa terwujud dan tidak membebani daerah dalam implementasinya. PP No.41 Tahun 2007 ini juga perlu direvisi agar tidak berbenturan dengan cita-cita dari kebijakan reformasi birokrasi yang sampai saat ini masih berlangsung yaitu untuk mewujudkan organisasi yang rightsizing disemua level pemerintahan.

2. Untuk efektivitas implementasi kebijakan penataan kelembagaan Pemerintah Daerah Kabupaten Toba Samosir sebaiknya menyusun strategi kelembagaan, agar restrukturisasi organisasi dapat dilakukan dengan terarah dan berkesinambungan.

3. Pemerintahan Daerah Kabupaten Toba Samosir harus melengkapi peraturan-peraturan pelaksana untuk kebijakan penataan kelembagaan. Perda Kewenangan perlu disusun untuk memudahkan pembagian bidang-bidang yang menjadi urusan sebuah SKPD sehingga masalah tumpang-tindih kewenangan bisa diatasi. Juklak dan juknis PP No.41 Tahun 2007 juga harus disusun dan dilakukan sosialisasi karena akan sangat berpengaruh pada kejelasan tujuan dan pemahaman kebijakan, kejelasan struktur organisasi


(2)

implementasi, kejelasan komunikasi, serta kejelasan mekanisme kerja dan koordinasi. Dan pada akhirnya akan memperbaiki efektivitas implementasi PP No.41 Tahun 2007 ini.

4. Pemerintah Kabupaten Toba Samosir harus melakukan revisi dan penyempurnaan terhadap Perda No.2 Tahun 2008 untuk memperbaiki ketidaksesuaian dengan PP No.41 Tahun 2007 yang ada dalam perda tersebut dan membentuk organisasi perangkat daerah sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Toba Samosir.

5. Pemerintah daerah harus memperbaiki keadaan personil dari semua sisi, kuantitas, penempatan posisi, kompetensi, dan motivasi pegawai dalam memberikan pelayanan publik.

6. Pemerintah daerah harus mengembangkan inovasi-inovasi untuk perbaikan tubuh birokrasi seperti merit system. Dalam pengisian jabatan pemerintah daerah juga harus mengedepankan fungsi dari birokrasi sebagai pelayan publik bukan fungsi politik. Pemerintah daerah harus mulai mempertimbangkan untuk melakukan seperti yang disebutkan oleh Wakil Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Bapak Prof. Eko Prasojo dalam sebuah diskusi di sebuah stasiun TV swasta berikut ini:

“apa yang kami dorong kepada pemerintah daerah juga kepada instansi pusat pada tahun 2012 agar proses pengisian jabatan di dalam birokrasi dilakukan secara terbuka dengan mempergunakan assessment center, ini misalnya untuk menghindari like or dislike, kepentingan politik dan juga untuk meningkatkan kompetitivenes di dalam birokrasi, supaya orang yang berkompeten, berkinerja tinggi, bisa diangkat dalam posisi jabatan-jabatan penting”.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif (Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi). Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University press.

Dwiyanto, Agus, dkk. 2010. Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali. Yogyakarta: Gava Media.

Faisal, Sanapiah. 2007. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Hasibuan, Malayu. 2005. Organisasi dan Menejemen. Jakarta. Bumi Aksara. Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia (Konsolidasi Demokrasi Pasca

Orde Baru. Jakarta: Pranada Media.

McMillan, J. H., & Schumacher, S. (2001). Research in education: A conceptual introduction (5th ed.). New York: Longman.

Moleong, Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Nawawi, Handari. 1990. Metode Penelitian di Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nugroho, Riant. 2001. Reinventing Indonesia: Menata Ulang Manajemen Pemerintahan untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang: Model-Model Permusan, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Osborne, David dan Peter Plastrik. 2000. Memangkas Birokrasi. Jakarta: PPM. Patton, M. 1990. Qualitative Evaluation and Research Methods. California : Sage

Publishing.

Parsons, Wayne. 2008. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Pranada Media.


(4)

Purwanto , Agus Erwan dan Dyah Ratih Sulistyastuti. 2012. Implementasi Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasinya Di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.

Putra, Fadillah. 2003. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Romli, Lili. 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sedarmayanti. 2003. Good Governance (kepemerintahan yang baik) dalam rangka otonomi daerah: upaya membangun organisasi efektif efisien melalui restrukturisasi dan pemberdayaan. Bandung: Mandar Maju. Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama. Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.

Strauss, Anselm & Juliet Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Subarsono, AG. 2009. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: pustaka Pelajar.

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Surundajang. 2003. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sudamayanti. 2003. Good Gavernance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah. Bandung. Mandar Maju.

Utomo, Warsito. 2006. Administrasi Publik Baru Indonesia: Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wahab, Solichin Abdul. 2004. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan negara. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Wibawa, Samodra, dkk .1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.

Winarno, Budi. 2004. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.


(5)

Sumber Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah.

Perda Nomor 12 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Toba Samosir.

Perda Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah Kabupaten Toba Samosir.

Perda Nomor 14 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Toba Samosir.

Perda No.15 Tahun 2004 Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan.

Perda No.2 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Toba Samosir.

Perda No.4 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Pemuda Dan Olahraga Kabupaten Toba Samosir.

Perda No.5 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Toba Samosir.

Perda No.4 Tahun 2011 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan Dan Kehutanan Kabupaten Toba Samosir.

Perda No.5 Tahun 2011 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Dan Penanaman Modal Kabupaten Toba Samosir.

Makalah dan Artikel:

Eko Prasojo, Restrukturisasi Organisasi Perangkat Pemerintah Daerah: Sebuah Refleksi Teoritis Dan Praktis Terhadap PP 8 Tahun 2003, Makalah, Yayasan


(6)

Inovasi Pemerintah Daerah/ Center for Local Government Innovation (YIPD/ CLGI) Roundtable Discussion, 11 Juni 2003.

Sumber Lain:

Triana, Rochyati Wahyuni. 2012. Pendekatan dan Teori-Teori Implementasi Kebijakan Publik 30 April 2013).


Dokumen yang terkait

Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kota Medan ( Studi Pada Kantor Walikota Medan)

26 173 113

Implikasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Terhadap Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah Di Kabupaten Gayo Lues

1 41 135

Persepsi Pejabat Daerah Mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah (Analisa Birokrasi di Kabupaten Sumenep)

0 6 2

TESIS PELAKSANAAN RESTRUKTURISASI ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN KARO BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH.

0 3 13

PENDAHULUAN PELAKSANAAN RESTRUKTURISASI ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN KARO BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH.

0 4 17

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN PELAKSANAAN RESTRUKTURISASI ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN KARO BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH.

0 10 56

peraturan daerah nomor 12 tahun 2014 tentang organisasi perangkat daerah

0 0 124

IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PEMERINTAH KOTA SAMARINDA

0 0 13

IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DI KABUPATEN BOYOLALI

0 0 87

Pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 41 tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah di kota Surakarta

0 0 85