Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada hakikatnya perilaku beragama yang melekat kuat dalam kehidupan komunitas muslim merupakan personifikasi penjelmaan institusional yang mempersentasikan mazhab atau golongan tertentu. Perilaku yang muncul dalam praktek keberagamaan bukan semata- mata hasil pemahaman individu terhadap sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan as- Sunnah, melainkan tidak dapat terlepas juga dari faktor genetis, ideologis, sosiologis dan intelektualitas yang telah dibangun secara turun temurun. Sebagaimana dalam Islam yang merupakan agama yang universal, penerimaan individu dan masyarakat terhadap Islam memang sering melibatkan perubahan struktur asli, kelompok atau komunitas tertentu. Kenyataan inilah yang kemudian menciptakan perbedaan dan keragaman dalam tingkat hubungan antara kelompok entitas dan komunitas-komunitas yang lain. Seperti halnya perilaku beragama dalam komunitas muslim yang bernaung dibawah komando Persatuan Islam PERSIS memiliki paradigma tersendiri dalam pemahaman dan penggalian terhadap hukum Islam, komunitas tersebut memiliki loyalitas kuat terhadap PERSIS, maka perilaku keberagamaannya terkolektifkan sedemikian rupa sebagaimana dikehendaki oleh kelompok itu, sehingga membentuk perilaku institusional dengan menampilkan simbol-simbol khas yang tentunya berbeda dengan perilaku kominitas atau gerakan keberakamaan muslim lainnya. “Sebagai sebuah Jam’iyyah Diniyyah Organisasi Keagamaan Persatuan Islam PERSIS menempati posisi tersendiri dalam kancah Islamisasi di Indonesia. Hal ini disebabkan gaya yang dilakukan Persatuan Islam dalam menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat puritan, dalam arti bukan hanya mengajak masyarakat muslim untuk kembali kapada al-Quran dan Sunnah, tetapi sekaligus menghujat praktik-praktik keagamaan yang lazim dilakukan oleh masyarakat Indonesia”. 1 PERSIS merupakan organisasi keagamaan yang menunjukan ciri khasnya sebagai garakan keagamaan yang menginginkan perubahan dalam masyarakat, khususnya pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama yang sesuai dengan ajaran al-Quran dan Sunnah baik dalam masalah ritual-ritual keagamaan bahkan peraktek sosial kemasyarakatan. Hal tersebut terlihat ketika mereka terus-menerus menggembor-gemborkan pemberantasan, Tahayul, Bid’ah, dan Khurafat TBC yang menurut mereka kegiatan-kegiatan tersebut sudah melekat atau menjadi kebiasaan masyarakat yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Jika kita menjelajahi aliran pemikiran Islam dalam masyarakat Indonesia khususnya, kita dapat melihat setidaknya ada tiga aliran cara berpikir dalam memahami persoalan- persoalan agama yaitu aliran Konservatif-Reaksionisme, Moderat- Liberalisme, dan Revolusioner-Radikalisme. 2 Aliran yang Pertama “Konservatif Reaksionisme” adalah aliran yang bersifat jumud yang secara apriori menolak setiap faham dan keyakinan yang hendak mengubah paham dan keyakinan yang lama dengan paham keyakinan yang baru. Aliran ini adalah aliran Muqalidun , yang mengikat dan membelenggu leher hidupnya dengan ikatan paham, keyakinan, dan aliran yang terkadang tidak bersumber kepada al-Quran dan Sunnah. Aliran yang kedua aliran “Moderat-Liberalisme” adalah aliran yang mengetahui mana yang Sunnah dan yang Bid’ah, artinya mereka mengetahui kesesatan yang terjadi di masyarakat seperti: takhayul, bid’ah, dan khurafat, tapi tidak aktif dan positif memberantas hal tersebut, karena bagi mereka menganggap bahwa membicarakan Furu’iyah, dan Khilafiah , hanya akan memecah persatuan umat muslimin, bahkan mereka menganggap jika 1 Badri Khoeruman, Pandangan Keagamaan Persatuan Islam Sejarah, Pemikiran, dan Fatwa Ulama . Bandung: PT Granada cet 1 juni 2005’ h. iii. Badri Khoeruman, Pandangan Keagamaan Persatuan Islam, h. 4-6 masalah Furu dan Khilafiah itu hal kecil yang hanya akan menghabiskan waktu atau energi banyak, aliran ini seolah aliran yang berputus asa dalam mamperjuangkan agama. Sedangkan aliran ketiga “Repolusioner-Radikalisme” adalah aliran yang menghendaki perubahan di masyarakat dari kegiatan-kegiatan diatas sampai keakar-akarnya, aliran yang mengajak umat muslim kembali pada al-Quran dan Sunnah, aliran yang hendak membongkar penyakit kaum muslimin secara radikal dan revolusioner, secara terus terang artinya tidak pakai tedeng aling-aling, tidak ragu-ragu dan penuh kepastian. Yang ketiga ini lah merupakan ciri khas yang dilakukan oleh Persatuan Islam PERSIS. PERSIS pada masa awal berdirinya bisa dikatakan keras, lugas, dan tegas dalam melaksana pemurnian pemahaman dan praktek keagamaan. Sehingga dari kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan selalu menimbulkan reaksi dari masyarakat sekitar sebagai mana FPI,MMI, dan HTI sekarang. PERSIS dianggap gerakan keagamaan yang mengada-ngada dan mendapatkan panggilan kelompok-kelompok yang membatasi diri dari lingkungan dimana mereka berada, namun sekarang mereka sudah diterima bahkan didukung oleh masyarakat luas karena knsep pemurnian yang mereka lakukan bisa beradaptasi dengan tradisi yang ada. Pemberian nama Persatuan Islam PERSIS, mempunyai pengertian sebagai Persatuan Pemikiran Islam, Persatuan Rasa Islam, dan Persatuan Usaha Islam. Penamaan tersebut terilhami firman Allah: Q.S, Ali Imron, 3:103. Yang artinya, “Berpegang teguhlah kepada tali Allah dan janganlah bercerai berai... ”, dan juga hadits Nabi SAW, yang artinya: “Tangan kekuasaan Allah berada pada jama’ah” H.R Tirmidzi. 3 Persatuan Islam PERSIS didirikan di Bandung oleh K.H Zamzam dan K.H Muhamad Yunus, pada tanggal 1 Shafar 1342 H12 September 1923 M. PERSIS selain berasaskan 3 Badri Khoeruman, Pandangan Keagamaan Persatuan Islam ,h. 22-23. Islam, juga bertujuan terlaksananya ajaran Islam yang berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah secara kaffah dalam segala aspek kehidupan umat muslim. 4 Persatuan Islam PERSIS bersemboyan hendak mengembalikan umat Islam kepada al- Quran dan as-Sunnah, maka semboyan dan inti dakwah mereka itu bukan saja terbatas dalam lapangan akidah dan ibadah saja, tetapi lebih luas dari pada itu, mereka berjuang menegakan keyakinan umat muslim khususnya dalam melaksanakan ritual keagamaan dengan berlandaskan al-Quran dan Sunnah, dan berjuang dalam politik demi menegkan idiologi Islam. Dengan berdirinya PERSIS telah menambah banyak organisasi-organisasi yang mengatasnamakan organisasi keagamaan, karena sebelumnya telah berdiri Muhamadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912 di Yogyakarta yang diketuai oleh K.H Ahmad Dahlan 5 , yang dilatarbelakangi bukan hanya bentuk pemberontakan terhadap politik misionaris penjajah Belanda pada saat itu, tetapi juga merupakan sebuah perlawanan terhadap tradisionalisme Islam yang terjadi di masyarakat. Bahkan di Jawa Barat berdiri sebuah organisasi keagamaan dalam Islam, mereka mengatasnamakan dirinya adalah Persatuan Umat Islam PUI, organisasi ini didirikan oleh K.H Ahmad Halim pada tahun 1917 di Majalengka 6 . Gerakan ini pada saat itu mempunyai beberapa fasilitas untuk melaksanakan kegiatan pendidikan keagamaan misalnya: sekolah Ibtidaiyyah, Muallimin, Asrama Santri yang ada pada saat itu. Jam’iyah Persatuan Islam PERSIS menganggap bahwa Dewan Hisbah sebagai lembaga yang merumuskan tatacara pelaksanaan ibadah di lingkungannya, dan memiliki wewenang kuat untuk membentuk perilaku jama’ah dalam melaksanakan ritual keagamaan 4 Qunun Asasi Qonun Dakhili Pedoman Kerja Program Jihad 2005-2010 Persatuan Islam PERSIS. PT Pimpinan Pusat Persatuan Islam PERSIS Bandung. Bab 1pasal 1,2,3 5 Dadan Wildan. Pasangsurut Gerakan Persatuan Islam Di Indonesia, Potret Perjalanan Sejarah Persatuan Islam PERSIS, Bandung: PT Persis Pres, 2000 , h. 23. 6 Dadan Wildan. Pasangsurut Gerakan Persatuan Islam Di Indonesia, Potret Perjalanan Sejarah Persatuan Islam PERSIS h. 24. secara institusional. Dewan Hisbah merupakan thenk-thenk sumber kekuatan PERSIS untuk merespon setiap persoalan keagamaan yang muncul di masyarakat, baik dalam masalah Fikih, Siyasah, Muamalah, dan lain-lain. 7 Demikian pula dengan Nahdatul Ulama NU yang sangat berhati-hati dalam melakukan penggalian Hukum Islam sebagai rujukan perilaku beragama bagi komunitasnya, dengan kehati-hatian tersebut mereka memandang tidak ada jalan lain selain mengikuti dan mendambakan para imam madzhab tertentu dalam berbagai masalah keislaman. ”Nahdatul Ulama memandang, bahwa imam mazhab memiliki kapasitas keilmuan yang paling mumpuni. Sehingga bagi NU, jawaban permasalahan keislaman dalam segala bidang terlebih dahulu harus merujuk secara Qouli ataupun Manhaji pada kitab- kitab dan imam mazhab yang Mu’tabar. Kesadaran yang tumbuh di kalangan ulama NU bahwa keterbatasan ilmu dan penguasaan yang masih terbatas dalam mencapai berbagai persaratan untuk menjadi mujtahid mazhab terlebih lagi mujtahid mutlak mengharuskan para ulama yang tergabung dalam forum Bahtsul Masa’il untuk senantiasa merujuk secara tekstual ataupun kontekstual pada paradigma yang dipergunakan oleh Imam Mazhab, terutama di kalangan mazhab Syafi’i” 8 Dari pembahasan tersebut di atas, penulis melihat bahwa pembentukan perilaku institusional dalam setiap komunitas atau organisasi tersebut, dibangun oleh loyalitas dan komitmen yang kuat dari komunitas muslim yang berada di lingkungan institusinya masing- masing. Sehingga kolektivitas dan homogenitas perilaku keberagamaan yang dimanifestasikan oleh umat Islam bukan bagian langsung dari dinamika sosial yang terus bergerak tanpa batas waku. Dewan Hisbah, Imam mazhab, dan forum Bahsul Masa’il, merupakan kepanjangan tangan dari keputusan-keputusan ulama yang dipercaya sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan untuk merumuskan tatacara pelaksanaan perilaku beragama bagi komunitas yang berada dalam naungan institusinya, agar semakin fanatik dalam berpegang teguh pada landasan dan argumentasinya yang menjadi alasan dalam berperilaku. 7 Badri Khoeruman, h. vi 8 Bani Ahmad Saebani. Sosiologi Agama Kajian Tentang Perilaku Institusional dalam Beragama Anggota PERSIS dan Nahdatul Ulama . Bandung: PT Rapika Aditama Anggota IKAPI, 2007, h. ix Baik disadari atau tidak, tidak ada komunitas muslim yang dapat lepas dari sikap taklid percaya begitu saja kepada ajaran yang diberikan oleh orang yang dapat dipercaya tanpa mengetahui atau mempelajari sendiri terutama hal agama secara hapal-hapal saja, walaupun kebenaran mungkin ia tidak mengerti; pengakuan. 9 Taklid terhadap keputusan organisasi atau lembaga-lembaga yang ditunjuk seperti di atas dalam melaksanakan perintah-perintah agama adalah, upaya untuk menyelamatkan ajaran Islam dari penafsiran dan pemahaman manusia yang tidak berdasar pada kapasitas keilmuan yang mumpuni. Bagi komunitas muslim awam, taklid menjadi wajib, karena tanpa taklid komunitasnya akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan tuntunan agama. Akan tetapi, di sisi lain komunitas yang perilakunya terlembagakan bukan sekedar taklid, melainkan merupakan sikap panatisme organisasi atau dalam pemahaman mereka dalam melaksanakan kegiatan dalam peraktek keagamaan mereka mengacu terhadap Annggaran Dasar AD dan Anggaran Rumah Tangga ART yang dalam PERSIS disebut Qanun Asasi dan Qanun Dakhili QAQD sehingga tidak ada perbedaan diantara komunitas baik kiyai atau bukan kiyai, ulama dan awam dalam merefleksikan ajaran agamanya, karena simbol dan karakteristik perilakunya telah diinternalisikan dalam satu tradisi turun-temurun, yang oleh Fred Luthan disebut sebagai proses penanaman perilaku budaya yang dibawa “Share Culture” dan melakukan pertukaran dengan perilaku yang lain “Transgeneration.” 10 Dalam hal ini Deliar Noer juga menggatakan “Berbagai organisasi baik sosial, pendidikan, atau politik telah kita lihat berbagai sifat tiap organisasi itu, kecenderungan yang mereka tekankan dalam pemikiran masing-masing” 11 . Sifat kecenderungan ini dibentuk oleh pimpinan organisasi serta lingkungan dimana organisasi itu bergerak. 9 Alex M.A. Kamus Ilmiyah Populer Kontemporer, surabaya PT Karya Harapan, h. 623 10 Bani Ahmad Saebani, h. x 11 Deliar Noer. Derakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cet. Ketujuh, Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1994, h. 319 Perilaku beragama menjadi tradisi yang kering dengan argumen dan dalil-dalil, tetapi terkenal dengan pernik-pernik khas institusinya masing-masing. Dapat dikatakan bahwa semakin dekatnya komunitas institusional dalam beragama, menunjukan semakin jauhnya dari ajaran yang sakral. Terlebih lagi kalau berbagai pemikiran ulama terdahulu dipandang sebagai keputusan final untuk diberlakukan secara garis keturunan Generatif. Secara sosiologis, proses paternalisasi yang dibangun secara institusional dalam membentuk perilaku simbolik yang khas merupakan pembentukan kolektivitas perilaku yang menafikan perilaku di luar paradigmanya sendiri. Dengan demikian, berbagai interaksi dan komunikasi religius yang dapat mempengaruhi kekuatan soslial-politik komunitas muslim hanya berlaku secara internal. Sedangkan dari sudut eksternalnya, komunitas yang perilakunya telah terinstitusikan secara sistematis akan mengalami kesulitan integritas. Hal itu sangat mungkin apabila setiap komunitas hanya mempertahankan kepentingan sosial politiknya masing-masing. Paradigma perilaku sosial ini berbeda dengan paradigma definisi sosial, dimana definisi sosial memusatkan perhatian pada proses interaksi, dimana aktor adalah individu yang dinamis dan mempunyai kekuatan kreatif di dalam proses interaksi, sehingga aktor tidak hanya sekedar penanggap pasif terhadap stimulus yang muncul, tetapi akan menginterpretasikan stimulus yang diterimanya itu. Sementara dalam paradigma perilaku sosial, individu kurang sekali menerima kebebasan, tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang datang dari luar dirinya. Kehadiran pribadi-pribadi pemimpin yang berwibawa dalam masyarakat membawa pengaruh besar kepada warga masyarakat untuk menjauhkan diri dari penyimpangan yang merugikan hidup bersama. Hendro Puspito mengatakan bahwa kehadiran para pemimpin yang berwibawa mempunyai dua arti lebih tinggi. 1. Seorang pemimpin mempunyai kelebihan dalam pengetahuan tentang norma-norma moral dan pola-pola kelakuan yang disepakati dan diterima oleh masyarakat. Termasuk peraturan-peraturan tertulis dan tidak tertulis. 2. Seorang pemimpin dipandang sebagai suritauladan bagi bawahan, khususnya dalam kesetiaan pada kaidah-kaidah sosial umumnya dan peraturan-peraturan Negara khususnya . 12 Dari kedua poin tersebut perlu diiterpretasikan terhadap kehidupan sehari-hari, yang mungkin secara tidak sadar kita telah terinstitusikan dengan para pemimpin atau yang menguasai di sekitar kehidupan kita, baik itu karena dianggap mempunyai kelebihan secara individu atau karena dibentuk dengan kekuasaan. Apa lagi kalau ternyata yang mengusai tersebut mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu, sehingga dengan kelebihannya tersebut bisa menjadi suritauladan atau contoh, sehingga kita terinspirasi untuk mengikutinya. Beberapa akademisi yang pernah meneliti tentang salah satu kelompok organisasi keagamaan, yaitu Persatuan Islam PERSIS, salah satu diataranya adalah Howard M. Federspiel, beliau menulis beberapa poin penting tentang organisasi ini. Pertama, persatuan Islam merupakan organisasi yang menghendaki Indonesia sebagai Negara Islam, dengan menegakkan hukum-hukum Islam sebagai landasan dari sistem pendidikannya. Kedua , menentang kelompok-kelompok yang menurut pandangan PERSIS akan melemahkan dan menghancurkan Islam, seperti Ahmadiah Qodian, Tradisionalisme Islam, dan Nasionalisme Sekuler menjadi sorotan utama PERSIS. Ketiga, PERSIS sangat menekankan pada nilai-nilai Islam dan pada ketaatan terhadap perilaku yang benar menurut ajaran-ajaran Islam yang didasarkan pada al-Quran dan al- Hadits, dan Keempat , pembersihan masyarakat dari sifat Takhayul, dan praktik Bid’ah dalam agama, merupakan hal yang tetap penting dalam pandangan PERSIS. 13 12 D. Hehdropuspito OC. Sosiologi Sistematik, Cet. Pertama Yogyakarta: PT Kanisius, 1989, h. 327. Konsentrasi PERSIS pada keempat hal di atas merupakan hal yang masih berlangsung sampai sekarang. Bahkan ada pula hal-hal lain yang sebenarnya penting untuk dibicarakan oleh PERSIS dalam melakukan visi dan misi dakwahnya. Seperti bagaimana relevansi pola dakwah yang baik untuk jaman sekarang sehingga tidak terlalu banyak menyinggung perasaan pihak-pihak lain yang bersebrangan sikapnya dengan PERSIS sehingga menjadi sumber kekuatan untuk mereka dalam meneruskan misinya tersebut. dapun skripsi ini menggunakan metode Studi Kasus terhadap Pesantren Persatuan Islam PPI 7 Cempakawarna, Kelurahan Cilembang, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Secara historis, hadirnya PERSIS di Cempakawarna saat itu masyarakat setempat masih dianggap menganut pola keagamaan tradisional. 14 Menurut keterangan salah seorang sesepuh di desa tersebut, sebelum PERSIS masuk ke tempat tersebut kepercayaan masyarakat masih sangat mistis, berbau Animisme semua benda memiliki roh atau jiwa, dan Dinamisme semua benda mempunyai kekuatan yang bersifat gaibkesaktian, yakni menganut kepercayaan kepada roh-roh nenek moyang yang dianggap mulia, benda-benda keramat, dan masih mengadakan upacara ritual dalam menyambut dan menghormati roh-roh nenek moyang mereka dengan menyajikan sesajian. 15 sunda; sasajen, munjung 16 di makam Kuburan buyut, dan kepercayaan lainnya. Menurut pemahaman PERSIS, hal-hal seperti di atas termasuk perbuatan Syirik, Bid’ah, dan Khurafat dalam Islam. Tetapi setelah PERSIS datang yang dibawa oleh KH. Maman Abdul Rahman Al-Marhum ke tempat tersebut yang sekarang dipimpin oleh KH. Maman 13 Federspiel, Labirin Idiologi Muslim, pengarian dan pergulatan persis di era kemunculan negara indonesia 1923-1957, Jakarta: PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI, 2004, h. 390-392 14 Tradisional dalam Kamus Besar Indonesia adalah sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebuiasaan yang ada secara turun temurun, cet. x, Jakarta; BP, 1999, h. 1068. 15 Menyediakan makanan dan minuman yang kahusus di persembahkan kepada arwah nenek moyang untuk di mintai restu agarselamat dari marabahaya. 16 Berkumpulnya masyaratat desa di tempat kuburan dengan membawa aneka makanan seperti nasi tepung, bakak ayam, kue-kue, dan minumman seperti kope dan lain-lain. Kemudian di makan bersama- samasetelah selesai membaca do’a yang di pimpin oleh seorang tokoh agama setempat. Abdurahman Kosasih Sau’di Ustadz Aman Ks, setahap demi setahap kepercayaan- kepercayaan lama masyarakat menjadi memudar. Dengan berlandaskan latar belakang di atas dalam sekripsi ini penulis mengangkat judul. “Peran Kepemimpinan Kiyai Persatuan Islam PERSIS Dalam membentuk Perilaku Sosial Jama’ahnya” Study Kasus Pesantren Persatuan Islam Nomor 7 PPI 7 Cempakawarna, Desa Cilembang, Kecamatan Cihideng, Kota Tasikmalaya.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah