Pengertian Ulama, Kiyai dan Ustaz

Kelompok keberagamaan seperti Muhamadiyah, Nahdatul Ulama NU dan PERSIS menganggap bahwa seorang pemimpin mempunyai peran penting yaitu menjadi panutan atau pemberi contoh terhadap jama’ahnya. Pemegang peran tersebut dalam tradisi sebagai orang muslim sudah tidak asing lagi dengan panggilan nama Kiyai, Ulama, dan Ustadz. Dari ketiga istilah tersebut bagi masyarakat awam bisa saja memberikan arti yang sama. Namun bagi insan akademis yang dianganggap penting untuk mencari tahu apa arti, dan bagaimana pemakaian suatu istilah-istilah dengan tepat tentunya di antara yang satu degan yang lainnya mempunyai pengertian yang berbeda. Walaupun di antara istilah-istilah tersebut bisa saja mempunyai beberapa persamaan.

B. Pengertian Ulama, Kiyai dan Ustaz

Dalam hal ini adalah tokoh agama yang dipandang mampu dan profesional dalam menyelesaikan berbagai masalah keagamaan, baik masalah ritual keagamaan maupun sosial. Ulama, Kiyai dan Ustaz hirarkisnya jelas, “Ustaz biasanya mempunyai pengaruh lokal yang terbatas, pengetahuan keislamannya tidak seluas kiyai.” 25 Ustadz hanya sebagai guru yang mengajar di pesantren, maka dari itu ustadz tidak sertamerta disebut kiyai atau ulama, karena ustadz hanya pengajar bukan pimpinan di pesantren tertentu, tetapi ulama dan kiyai biasanya selalin sebagai pimpinan pesantren juga sekaligus sebagai ustaz. Artinya: selain dia menjadi pimpinan pesantren kiyai juga bisa dikatakan sebagai pemilik pesantren, tapi terkadang ada juga kiyai tidak mempunyai pesantren. terkadang sewaktu-waktu dia juga ikut mengajar baik di dalam pesantren tersebut atau bahkan di luar. Ustadz yang dikatagorikan sebagai Kiyai adalah Ulama yang memiliki kapasitas keilmuan yang diakui oleh komunitas tertentu. Sebagaimana seorang pengasuh Pondok Pesantren atau Mubalig Penceramah yang tingkat jam terbangnya dalam berceramah cukup lama, tinggi ilmunya, dan popularitasnya meluas buyasanya akan dipanggil kiyai dalam komunitas 25 Endang Turmudin. Perselingkuhan Kiai Dan Kekuasaan. Yogyakarta PT LKIS Pelangi Aksara 2003, h. 31 muslim tertentu, karena dia dipandang memiliki ilmu yang luas dan tinggi, serta profesional dalam bidangnya, misalnya ahli dalam Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Falak, Ilmu Ushul Fikih, dan lain sebagainya. Semenetara Ulama adalah istilah umum dalam Bahasa Arab yang diperuntukan bagi orang yang memiliki ilmu pengetahuan luas, dan ilmu itu dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bahkan dalam buku “Islam Kebangsaan” yang ditulis oleh KH, Sa’id Aqiel Siradj yang dikutip oleh Zainal Arifin Thoha, ”Ualama adalah orang yang memiliki pengetahuan, ahli ilmu atau ilmuan; dia adalah orang yang mengetahui kebesaran Allah SWT melalui alam semesta, sehingga timbulah perasaan Khosyyah dan Khauf. Atau biasa dikatakan orang yang berpengetahuan luas, beriman dan bertakwa kepada Allah.” 26 Kiyai juga biasa dikatakan sebagai pemimpin nonformal sekaligus pemimpin spiritual, dan sebagai pemegang amanah yang berkewajiban untuk mendidik, membina, membantu, melayani dan mengarahkan para anggotanya, sehingga membuat kiyai posisinya sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat lapisan bawah, apa lagi di daerah pedesaan dia sebagai tokoh atau sesepuha dan sebagai pemimpin masyarakat. kiyai memiliki jama’ah yang diikat oleh hubungan keguyuban yang erat dan ikatan budaya paternalistik, petuah-petuahnya atau nasihat-nasihatnya selalu didengar, dan dilaksanakan oleh jama’ah, komunitas atau masa yang dipimpinnya. 27 “Sebutan kiyai, pada dasarnya adalah wacana khas Jawa, itu pun terbatas hanya Jawa Tengah dan Jawa Timur pada zaman kerajaan, sebutan ini diperuntukan bagi orang-orang yang dianggap memiliki ilmu Kasepuhan, karenanya orang yang memiliki ilmu itu disebut sesepuh atau orang yang dituakan. Bahkan ada pula yang mengertikan kiyai adalah: sosok seorang muslim dengan keilmuan agama yang tinggi dan luas, karismatik, peduli dengan lingkungannya, berjuang membangun dan memajukan masyarakat yang diayominya.” 28 Peran kiyai yang dianggap serba menentukan terkadang akhirnya justru menyumbangkan terbangunnya otoritas yang mutlak, dalam teradisi pesantren misalnya: kiyai adalah pimpinan 26 Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiyai NU Pesantren Kekuasaan: Pencarian tak Kunjung Usai cet, II, Yogyakarta: Agustus 2003, h. 308. 27 Mijamil, Qomar. Pesantren dari Transfirmasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakrta: Erlangga Anggota IKAPI, h. 29 28 Ahmad Lutfi fathullah. Selangkah Lagi Mahasiswa UIN Menjadi Kiyai. Jakarta : PT Al-Mughni Press, 2007, h. 21. tunggal yang memegang wewenang yang hampir mutlak, dalam artian tidak ada orang lain yang lebih dihormati dari pada kiyai, dia merupakan pusat kekuasaan tunggal yang mengendalikan sumber-sumber keilmuan tertentu terutama pengetahuan tentang keagamaan, dan wibawa yang merupakan sandaran bagi santri-santrinya, dan jama’ah yang diayominya. Kiyai selain menjadi tokoh yang melayani sekaligus melindungi para santri, bahkan kiyai menguasai dan mengendalikan seluruh sektor kahidupan pesantren, sehingga para ustadz dan para santri baru mereka berani melakukan sesuatu tindakan yang baru mereka akan meminta persetujuan kiyai untuk melakukannya, setelah mendapatkan restu atau persetujuan dari kiyai selaku sesepuh atau pimpinan pesantren atau organisasi. Dengan demikian sebagaimana dituliskan di atas bahwa kedudukan kiyai adalah memegang kedudukan ganda, selain dia sebagai pengasuh juga sekaligus pemilik pesantren, tapi penulis tegaskan kembali, jika kiyai atau ulama ada pula yang tidak memiliki pesantren. Secara struktural kedudukan ini sama dengan kedudukan bangsawan feodal dimana menreka dianggap memiliki sesuatu yang tidak bisa dimiliki oleh orang lain yang berada di sekitarnya. Maka dengan sikap seperti ini hampir setiap kiyai atau ulama yang ternama beredar atau lagenda tentang keampuhan secara umum bersifat magis. Sedangkan Ulama secara tradisonal dan konvensional, dipandang sebagai orang yang memiliki penguasaan mendalam atas ilmu-ilmu agama dan spesialisasi keahlian khusus dalam ilmu-ilmu tertentu dalam kehidupan keagamaan. 29 Bahkan dikatakan juga dalam hadits ulama adalah pewaris para Nabi “Al-‘Ulama Waratsat Al-Anbiya”, namun yang menjadi masalah bagi kita sekarang adalah, siapakah ulama itu? Sebagai jawaban yang mendekati pertanyaan tersebut sebagaimana dalam firman allah SWT, dalam surah Fathir ayat 28 29 Azyumardi Azra. Reposisi Hubungan Agama Dan Negara Menuju Kerukunan Antar Umat. Jakarta: PT Buku Kompas, 2002, h.74.  + , -. 1 23 45 7 8 9 : ; 2. -7 : , = ? A : ?BC? DEG Yang artinya “ “ Dan demikian pula di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa,dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya dan jenisnya. Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun . QS Al-Faathir ayat 28.” 30 Dalam ayat ini identitas yang paling sakral dan esensial. Ulama tidak dipandang dari bebrapa atribut yang dikenakan misalnya; seberapa bagus pakaian yang dikenakannya, seberapa banyak asasoris yang dikenakan dalam pakaiannya, tapi seorang ulama adalah yang hatinya dipenuhi oleh rasa takut, cinta, dan malu kepada Allah SWT. Perasaan ini merupakan gumpalan “Magma” yang terpendam yang sewaktu-waktu bisa mencuat kepermukaan, menggelegar dan meletus atau keluar dari mulutnya berupa inovasi untuk melakukan “Amarma’ruf dan Nahyil Munkar”, pikirannya dipenuhi konsep-konsep untuk kemajuan umat, langkah dalam kehidupannya berisi motivasi-motivasi yang membuat maslahat, selamat, nikmat bagi umat dari dunia hingga akhirat.

C. Perilaku Sosial Keagamaan