Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia

menambah biaya produksi dari faktor produksi tenaga kerja sehingga untuk mempertahankan keuntungannya, perusahaan akan melakukan efisiensi berupa pengurangan tenaga kerja. Pengurangan tenaga kerja akan berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran yang pada akhirnya akan menambah jumlah kemiskinan. Maka dari itu, dalam menentukan besaran UMP pemerintah harus berhati-hati agar tidak merugikan perusahaan maupun buruh.

5.2 Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan

Keterbatasan sumberdaya pemerintah ataupun pemangku kepentingan stakeholders lainnya dalam upaya penanggulangan kemiskinan harus disikapi dengan langkah bahwa setiap kebijakan hendaknya disesuaikan dengan akar masalah yang menjadi penyebab kemiskinan di setiap kawasan. Menurut hasil penelitian dibuktikan bahwa penyebab kemiskinan di Kawasan Barat dan Timur Indonesia berbeda. Berdasarkan perbedaan inilah maka kebijakan penanggulangan kemiskinan juga harus berbeda agar program-program yang diterapkan lebih efektif, fokus, terarah dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat sehingga masalah kemiskinan dapat segera diatasi.

5.2.1 Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia

Berdasarkan uraian faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia, jumlah penduduk merupakan variabel dengan nilai elastisitas tertinggi dibandingkan dengan variabel bebas lainnya. Permasalahan kependudukan yang sampai saat ini masih ada adalah tingginya angka pertumbuhan penduduk dan penyebaran penduduk yang tidak merata di setiap daerah. Penduduk di Kawasan Barat Indonesia, khususnya Pulau Jawa sudah sangat padat. Untuk mengatasi tingginya angka pertumbuhan penduduk, pencanangan program Keluarga Berencana KB sangat penting, mengingat pertumbuhan jumlah penduduk di Kawasan Barat Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan UU no 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, keluarga berencana adalah suatu upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. Program KB yang selama ini dilakukan oleh pemerintah sudah cukup berhasil dimana peserta KB rata-rata diatas angka 60 persen BPS 2009. Namun demikian, program ini dapat diperluas dengan lebih melibatkan keluarga miskin. Keluarga miskin yang mengikuti program KB dan mempunyai maksimal dua anak, diberikan jaminan kesehatan dan pendidikan gratis bagi kedua anaknya. Dengan cara ini maka keluarga miskin akan berfikir kembali untuk mempunyai banyak anak. Selain pertumbuhan penduduknya yang tinggi, penyebaran penduduk di Kawasan Barat Indonesia tidak merata di setiap provinsi. Hal ini dapat dilihat dari angka kepadatan penduduk yang timpang antar provinsi. Sumber: BPS, 2009 diolah Gambar 23 Angka kepadatan penduduk di Kawasan Barat Indonesia, 2009. Pada Kawasan Barat Indonesia, Pulau Jawa dan Bali merupakan daerah yang sangat padat penduduk. Provinsi yang paling tinggi kepadatannya adalah DKI Jakarta, sedangkan yang paling jarang penduduk adalah Jambi. Berdasarkan fakta tersebut, kebijakan penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan program pemerataan penduduk yaitu transmigrasi. Menurut UU No. 151997, pengertian transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di wilayah pengembangan transmigrasi atau lokasi permukiman transmigrasi. Transmigrasi dilakukan dari provinsi yang padat penduduk ke provinsi yang jarang penduduk. Secara rata-rata, angka kepadatan penduduk di Kawasan Barat Indonesia pada tahun 2009 sebesar 301,95 jiwakm 2 . Bertolak dari angka tersebut, maka wilayah yang termasuk padat penduduk adalah provinsi-provinsi yang terletak di Pulau Jawa-Bali. Provinsi yang jarang penduduk meliputi provinsi-provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Jika migrasi dilakukan di Kawasan Barat Indonesia, maka penduduk dapat dimigrasikan dari Pulau Jawa-Bali ke Pulau Sumatera utamanya ke Provinsi Jambi, Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Berhubungan dengan kebijakan ketransmigrasian, Pemerintah Daerah Provinsi Lampung mengambil kebijakan untuk tidak menerima lagi transmigran nasional, namun masih melaksanakan transmigrasi lokal. Kebijakan tersebut didasarkan pada kondisi penduduk di Provinsi Lampung yang sudah padat dan pada masa sekarang ini Lampung sudah sebagai daerah pengirim transmigran. Kebijakan transmigrasi dilakukan untuk meningkatkan pembangunan di daerah asal maupun daerah tujuan. Di daerah asal, akan terjadi pengurangan kepadatan penduduk, sehingga perekonomian yang tumbuh tidak habis digunakan untuk biaya konsumsi dan sebagian dari hasil perekonomian dapat digunakan untuk investasi. Perekonomian yang lebih baik dapat meningkatkan kesempatan kerja sehingga pengangguran dapat dikurangi. Dengan kesempatan kerja yang lebih banyak dan pengangguran yang berkurang maka kemiskinan juga akan berkurang. Pada daerah tujuan transmigrasi terjadi penambahan penduduk yang mempunyai dua keuntungan, yaitu penambahan jumlah tenaga kerja dan penambahan penduduk akan menciptakan pasar domestik. Secara teoritis, penambahan tenaga kerja akan menambah output. Secara agregat penambahan output akan meningkatkan perekonomian daerah. Perekonomian yang meningkat akan menciptakan kesempatan kerja yang lebih banyak sehingga pengangguran dapat dikurangi, kesejahteraan masyarakat meningkat dan kemiskinan dapat diatasi. Pemerintah sudah melakukan kebijakan transmigrasi sejak tahun 1905 kemudian dilanjutkan pada era orde lama, orde baru dan berlanjut hingga sekarang. Program transmigrasi telah banyak membantu dalam proses pembangunan. Meskipun begitu terdapat beberapa kelemahan, diantaranya: pertama, kurang adanya inovasi dalam penyelanggaraan program transmigrasi dan kebijakan pembangunan nasional yang lebih menguntungkan Pulau Jawa menimbulkan ketimpangan wilayah antara Jawa dan Luar Jawa. Kebijakan tersebut tidak hanya berdampak pada arus balik ke pulau Jawa, bahkan penduduk dari luar Jawa pun tak jarang yang melakukan migrasi ke Pulau Jawa dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebh baik. Kedua , lokasi transmigrasi terlalu jauh dari fasilitas publik sehingga warganya dalam kondisi terisolir dan aksesibilitasnya rendah. Dampaknya para transmigran mengalami hambatan dalam memasarkan hasil panen, melanjutkan pendidikan, dan kegiatan sosial ekonomi lainnya. Ketiga, secara administrasi kepemilikan lahan usaha warga transmigran belum jelas statusnya sehingga memicu sengketa gugatan masyarakat adat setempat. Keempat, sektor pertanian masih menjadi fokus pemerintah untuk mempekerjakan para transmigran. Kurangnya fasilitas dan dukungan dari sektor yang lain misalnya perdagangan, membuat para transmigran mengalami kesulitan untuk memperoleh barang input dan memasarkan hasil panennya. Kesulitan tersebut menyebabkan kinerja pertanian tidak efektif dan pada gilirannya membuat pendapatan para transmigran tidak menentu dan hidup dalam kemiskinan. Dengan demikian program transmigrasi seolah-olah hanya memindahkan penduduk miskin dari daerah asal ke daerah tujuan. Menyikapi hal tersebut, kesiapan pemerintah dalam melaksanakan program transmigrasi sangat penting. Ketersediaan fasilitas publik untuk memenuhi kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan harus betul-betul dijamin oleh pemerintah. Pembangunan fasilitas layanan publik berupa pasar, gedung sekolah, puskesmas dan jarak ke rumah sakit yang tidak jauh sangat dibutuhkan. Tidak kalah pentingnya, admisnistrasi yang jelas tentang kepemilikan lahan sangat berguna agar peristiwa sengketa tanah bisa dihindarkan. Selain itu, lapangan kerja untuk para transmigran sebaiknya tidak hanya dipersiapkan untuk pertanian saja, namun diberikan pula kesempatan kerja di bidang yang lain seperti perdagangan, konstruksi, industri dan bidang lainnya. Terkait dengan sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia, hasil estimasi menunjukkan bahwa banyaknya pekerja sektor pertanian berpengaruh pada peningkatan kemiskinan. Kebijakan yang seharusnya diambil adalah mengembangkan usaha berbasis pertanian agroindustri. Pengembangan usaha agroindustri menjadi alternatif untuk mengurangi banyaknya pekerja pertanian dan mengatasi tingginya pengangguran. Usaha ini akan sangat bermanfaat, dimana banyaknya pekerja pertanian dapat beralih menjadi pekerja di usaha agroindustri. Dengan berkembangnya usaha tersebut, lapangan pekerjaan akan semakin bertambah dan pengangguran dapat berkurang. Di sisi yang lain, usaha agroindustri akan menguntungkan banyak pihak, antara lain petani, pengusaha dan pekerjanya. Bagi petani, berkembangnya usaha agroindustri akan memudahkan mereka untuk memasarkan hasil panennya dan memacu semangat mereka untuk menghasilkan output yang lebih baik kuantitas maupun kualitasnya. Bagi pengusaha, hasil pertanian dan tenaga kerja yang banyak memudahkan mereka untuk mendapatkan input produksi sehingga akan menghasilkan output yang banyak. Output yang banyak akan menambah keuntungan bagi pengusaha dan meningkatkan kesejahteraannya. Bagi masyarakat, banyaknya output akan membuka kesempatan kerja yang lebih banyak bagi mereka sehingga penduduk yang tadinya menganggur dapat memperoleh pekerjaan. Lebih lanjut, output yang banyak akan menjadikan harga barang hasil produksi murah sehingga daya beli masyarakat meningkat, kesejahteraan meningkat dan kemiskinan menurun. Dalam upaya menurunkan kemiskinan, kualitas sumberdaya manusia menjadi salah satu penentu keberhasilannya. Pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan keterampilan dan keahlian yang akan mempengaruhi produktivitas seseorang dalam bekerja. Menurut data BPS 2009, terdapat sekitar 28,63 persen penduduk di Kawasan Barat Indonesia yang hanya lulus setingkat SD dan 17,34 persen penduduk yang lulus setingkat SMP. Penduduk yang lulus setingkat SMU sekitar 19,24 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk masih rendah dan jika dikaitkan dengan produktivitas kerja maka rendahnya pendidikan akan menyebabkan produktivitas juga rendah. Produktivitas yang rendah hanya akan dihargai dengan upah yang rendah sehingga kesejahteraan sulit untuk meningkat dan kemiskinan tidak kunjung berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyakya lulusan SMP akan meningkatkan kemiskinan, sedangkan banyaknya penduduk lulusan SMU akan menurunkan kemiskinan. Menanggapi realita ini, seyogyanya kebijakan pemerintah tidak hanya mewajibkan masyarakat untuk menempuh pendidikan sampai pada level pendidikan dasar. Ijazah pendidikan dasar belum cukup untuk melamar pekerjaan dengan penghasilan yang memadai. Kesempatan kerja bagi para lulusan pendidikan dasar terbatas, kebanyakan dari mereka menjadi pengangguran atau bekerja di sektor informal dengan pendapatan rendah dan tidak tetap. Jika hal ini terus terjadi maka penderitaan penduduk miskin akan berlangsung lama. Akibat kurangnya pendidikan, tidak sedikit masyarakat miskin yang beranggapan bahwa menyekolahkan anak-anak tidak penting. Anak-anak mereka dipaksa untuk ikut bekerja membantu orang tuanya. Jika keadaan ini tidak segera diatasi maka kemiskinan ini akan diwariskan pada generasi selanjutnya. Langkah pemerintah untuk membantu penduduk miskin keluar dari kemiskinan salah satunya dengan memperbanyak beasiswa bagi masyarakat miskin sampai jenjang SMU agar membuka wawasan dan merubah pola pikir mereka ke arah yang lebih baik. Setelah lulus mereka dapat memasuki dunia kerja dengan bekal pengetahuan dan keterampilan. Dengan bekal inilah mereka dapat meningkatkan produktivitas kerjanya, yang selanjutnya dapat memperbaiki kondisi perekonomiannya, meningkatkan kesejahteraanya sehingga rantai kemiskinan bisa terputus. Peningkatan pendidikan penduduk miskin selain menguntungkan mereka dari sisi peningkatan pendapatan, secara umum perekonomian akan mengalami pertumbuhan yang positif. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan membuka peluang kerja bagi masyarakat sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraannya. Dalam penelitian ini pertumbuhan ekonomi didekati dengan PDRB per kapita. Berdasarkan hasil estimasi, peningkatan PDRB perkapita akan menurunkan kemiskinan. Peningkatan PDRB perkapita sebesar 1 persen akan menurunkan junlah penduduk miskin sebesar 0,08 persen dengan asumsi ceteris paribus . Agar peningkatan PDRB perkapita lebih dirasakan oleh penduduk miskin, maka kebijakan yang seharusnya dilakukan adalah pertama, meningkatkan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi dimana sebagian besar penduduk miskin bekerja. Menurut BPS 2008, sebanyak 56,35 persen penduduk miskin menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Peningkatan pertumbuhan sektor pertanian dapat dilakukan dengan mengurangi pekerja pertanian yang sudah sangat melimpah dan berupaya mengembangkan usaha agroindustri. Menurut Susilowati 2007, pengembangan usaha agroindustri makanan memiliki pengaruh yang baik dalam meningkatkan pemerataan pendapatan rumahtangga dan besar peranannya dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Sementara itu, usaha agroindustri nonmakanan akan berdampak pada peningkatan output, nilai tambah modal dan mengurangi kemiskinan. Kebijakan kedua adalah mengupayakan peningkatan pendapatan penduduk miskin yang bekerja di luar sektor pertanian. Penduduk miskin yang berprofesi sebagai pengusaha kecil seringkali menghadapi kendala kurangnya modal untuk mengembangkan usaha mereka. Maka dari itu, kemudahan akses kredit ke lembaga keuangan sangat mereka butuhkan untuk mengembangkan usahanya. Usaha yang semakin berkembang dapat meningkatkan pendapatan dan kesehteraan mereka, sehingga hidup dalam kemiskinan tidak mereka alami lagi. Kebijakan ketiga, pemberian bekal pengetahuan dan keterampilan kepada angkatan kerja sangat penting. Pengetahuan dan keterampilan kerja dapat diberikan melalui training, kursus-kursus dan percobaan-percobaan. Dengan memiliki bekal keterampilan, pekerja dapat meningkatkan produktivitasnya dan bagi pengusaha kecil, hasil dari pelatihan ini dapat dikembangkan dalam usaha mereka.

5.2.2 Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia