Kemiskinan dan Kebijakan Penanggulangannya di Kawasan Barat dan Timur Indonesia

(1)

KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN PENANGGULANGANNYA

DI KAWASAN BARAT DAN TIMUR INDONESIA

SRI WAHYUNI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kemiskinan dan Kebijakan Penanggulangannya di Kawasan Barat dan Timur Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011

Sri Wahyuni H151090254


(3)

ABSTRACT

SRI WAHYUNI: Poverty and Its Reduction Policy in the Western and Eastern Indonesia. Under supervision of M. PARULIAN HUTAGAOL and RATNA WINANDI.

Reducing poverty is one of goals on the national development. In the effort of poverty reduction, government has run several programs. But, poverty is not reduced. It means that these programs have not effectively reduce poverty because it is homogenous for all regions. The purpose of this study: (1). Identify the factors that affect poverty in the Western and Eastern Indonesia, (2) Formulate poverty prevention policies in the Western and Eastern Indonesia. The methods which used are: descriptive and panel data analysis. Result of this study: (1). The are similarities causes of poverty in the Western and Eastern Indonesia, it is unemployment. (2). This study also shows that causes of poverty in the Western and Eastern Indonesia is different. Poverty in the Western Indonesia caused high population density especially in Java and Bali with education remains low and is predominately dependent on primary agricultural sector as the main source of livelihood. Poverty in the Eastern Indonesia caused lack of populations and inadequate availability of infrastructure. The difference may be the cause of poverty as proof that poverty reduction programs that are not effectively tackling poverty homogeneous. (3). Poverty reduction programs in the Western Indonesia can be done with transmigration and agro-industry business development, while in the Eastern Indonesia by increasing the number of population and infrastructure.

Keywords: poverty reduction, Western Indonesia, Eastern Indonesia, panel data analysis, policy.


(4)

RINGKASAN

SRI WAHYUNI: Kemiskinan dan Kebijakan Penanggulangannya di Kawasan Barat dan Timur Indonesia. Dibimbing oleh M. PARULIAN HUTAGAOL dan RATNA WINANDI.

Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan nasional. Kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi yaitu sebesar 14,15 persen atau sekitar 32 juta penduduk pada tahun 2009. Berbagai program penanggulangan kemiskinan telah dilakukan dan dikembangkan oleh pemerintah. Namun kenyataan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan tetap tinggi. Beberapa kelemahan dari program-program tersebut, antara lain: pertama, program yang sifatnya bantuan bukan solusi yang tepat karena hanya menyembuhkan sementara, tidak menghilangkan kemiskinan. Kedua, kebijakan diambil didasarkan pada asumsi bahwa kemiskinan bersifat homogen di setiap daerah, sehingga kebijakan pemerintah kurang mempertimbangkan keragaman penyebab dan karakteristik kemiskinan daerah. Akibatnya, program yang dilaksanakan kurang sesuai dengan prioritas penanganan dan kebutuhan masyarakat miskin setempat (TNP2K 2010). Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan berdasarkan wilayah yaitu Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, (2) merumuskan kebijakan yang diharapkan lebih efektif menurunkan kemiskinan di kedua kawasan tersebut.

Data yang digunakan meliputi kemiskinan, jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, pengangguran, UMP, jumlah penduduk menurut jenjang pendidikan, PDRB perkapita dan data lainnya yang relevan. Sebagian besar data bersumber dari BPS. Kemiskinan dalam penelitian ini menggunakan konsep BPS. Cakupan analisis 26 provinsi yang terbagi dalam Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia dengan periode penelitian 2000-2009. Pengolahan data menggunakan softwareMicrosoft Excel dan Eviews 6.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesamaan penyebab kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia adalah pengangguran. Hasil ini mempunyai implikasi bahwa program penanggulangan kemiskinan yang berbasis bantuan bukan solusi yang tepat karena yang dibutuhkan masyarakat adalah lapangan pekerjaan. Selain itu, penelitian ini juga menghasilkan temuan adanya perbedaan penyebab kemiskinan di kedua kawasan. Kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia disebabkan oleh kepadatan penduduk yang tinggi terutama di Pulau Jawa dan Bali dengan tingkat pendidikan penduduk masih rendah dan sebagian besar penduduk masih mengandalkan sektor pertanian primer sebagai mata pencaharian utama. Kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia disebabkan kurangnya penduduk yang berarti tenaga kerja rendah dan kurangnya ketersediaan fasilitas publik seperti infrastruktur jalan dan listrik. Ketersediaan infrastruktur yang rendah akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan. dengan demikian program penanggulangan kemiskinan yang bersifat homogen tidak efektif mengatasi kemiskinan. Perbedaan penyebab kemiskinan tersebut dapat sebagai bukti bahwa program penanggulangan kemiskinan yang bersifat homogen tidak efektif menanggulangi kemiskinan.


(5)

Kebijakan transmigrasi sebaiknya dilakukan untuk pemerataan penduduk, pengurangan pengangguran, meningkatkan kesempatan kerja dan peningkatan pembangunan baik di daerah asal maupun daerah tujuan. Berkaitan dengan sektor pertanian, pengurangan jumlah pekerja sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia harus dilakukan karena jumlahnya yang melimpah sementara lahan semakin sempit membuat penambahan jumlah pekerja pertanian tidak lagi memberikan nilai tambah tetapi justru akan menurunkan produktivitasnya. Pengembangan usaha agroindustri akan sangat bermanfaat, dimana banyaknya pekerja pertanian dapat dialihkan menjadi pekerja di usaha agroindustri. Berkembangnya usaha tersebut akan menambah lapangan pekerjaan sehingga dapat mempekerjakan banyak tenaga kerja dan pengangguran dapat berkurang. Di sisi yang lain, usaha agroindustri akan menguntungkan banyak pihak, antara lain petani, pengusaha dan pekerjanya.

Terkait dengan kualitas sumberdaya manusia, seyogyanya kebijakan pemerintah tidak hanya mewajibkan masyarakat untuk menempuh pendidikan sampai pada level pendidikan dasar. Pemberian beasiswa bagi masyarakat miskin perlu ditingkatkan sampai jenjang SMU agar setelah lulus dapat memasuki dunia kerja dengan bekal pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan dan keteampilan dapat meningkatkan produktivitas kerja mereka yang selanjutnya dapat memperbaiki kondisi perekonomiannya, meningkatkan kesejahteraanya dan rantai kemiskinan bisa terputus.

Pada Kawasan Timur Indonesia, prioritas kebijakan seyogyanya lebih difokuskan pada penambahan jumlah penduduk. Penambahan jumlah penduduk diharapkan dapat memberikan tambahan input tenaga kerja bagi aktivitas produksi yang ada, menciptakan lapangan kerja yang baru dan meningkatkan pembangunan. Terkait dengan aktivitas ekonomi di Kawasan Timur Indonesia, kegiatan pertanian masih menjadi prioritas. Menurut hasil pengamatan, penambahan jumlah tenaga kerja pertanian akan meningkatkan marginal product of labor pertanian dan akan meningkatkan outputnya sehingga bisa memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakatnya dan kemiskinan menurun.

Keterbatasan sumberdaya manusia, modal fisik, keterisolasian dan kurangnya akses terhadap pelayanan publik dan infrastruktur di Kawasan Timur Indonesia menyebabkan peluang-peluang ekonomi menjadi terbatas pula. Intervensi pemerintah sangat diperlukan terutama membangun infrastruktur agar aktivitas ekonomi meningkat dan memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses pelayanan publik.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia terbukti berbeda. Maka dari itu dalam upaya menanggulangi kemiskinan dibutuhkan kebijakan yang berbeda pula. Saran yang dapat dipertimbangkan adalah kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia harus lebih ditekankan pada transmigrasi dan pengembangan usaha berbasis agroindustri. Pada Kawasan Timur Indonesia, kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan lebih difokuskan pada penambahan penduduk dan pembangunan infrastruktur.

Kata kunci: kemiskinan, Kawasan Barat Indonesia, Kawasan Timur Indonesia, analisis regresi data panel, rumusan kebijakan


(6)

©Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN PENANGGULANGANNYA

DI KAWASAN BARAT DAN TIMUR INDONESIA

SRI WAHYUNI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(8)

Tesis : Kemiskinan dan Kebijakan Penanggulangannya di Kawasan Barat dan Timur Indonesia

Nama : Sri Wahyuni NRP : H151090254

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.Sc Dr. Ratna Winandi, M.S

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc, Agr.


(9)

(10)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas ijin dan ridho-Nya penulis mampu menyelesaikan penyusunan tesis ini. Tema yang dipilih untuk penelitian ini adalah “Kemiskinan dan Kebijakan Penanggulangannya di Kawasan Barat dan Timur Indonesia”, yang pelaksanaannya dimulai pada Bulan November 2010.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ratna Winandi, MS selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan dalam menyusun tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Heru Margono, M,Sc atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi dan Tanti Novianti, M.Si selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada para dosen pengajar dan pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan Pusat Statistik dan Direktur Kependudukan dan Ketenagakerjaan yang telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih yang tak terkira kepada Tri Purwanto (suami), Ikhlas Hanif Muttaqin (anak pertama), Aisyah Azka Rosyida (anak kedua), Fathiya Salma Hafizha (anak ketiga) dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan yang luar biasa, berupa moril dan materiil dari awal perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini.

Akhirnya, besar harapan penulis agar tesis ini dapat menghasilkan penelitian yang bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi pembangunan di Indonesia khususnya dalam menanggulangi kemiskinan serta bermanfaat bagi dunia pendidikan.

Bogor , Juni 2011 Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 21 Juni 1977 dari ayah Matnorejo dan ibu Ruki. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Penulis telah menikah dengan Tri Purwanto dan dikaruniai tiga orang anak: Ikhlas Hanif Muttaqin, Aisyah Azka Rosyida dan Fathiya Salma Hafizha.

Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Jiwo lulus tahun 1990, kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Wedi lulus pada tahun 1993. Pada tahun yang sama diterima di SMAN 2 Klaten dan lulus pada tahun 1996, kemudian melanjutkan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta dan berhasil menamatkan Program Diploma IV pada tahun 2000.

Setelah lulus dari STIS, penulis bekerja sebagai staf bidang sosial Badan Pusat Statistik Provinsi Riau sampai dengan tahun 2008. Pada tahun 2008 hingga sekarang penulis bekerja di Badan Pusat Statistik sebagai staf subdit Demografi. Pada tahun 2009 penulis menyelesaikan program alih jenjang S1 di Departemen Ilmu Ekonomi FEM dan melanjutkan kuliah S2 Magister Ilmu Ekonomi IPB melalui program beasiswa yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik.


(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah... 4

1.3 Tujuan Penelitian... 8

1.4 Manfaat Penelitian... 8

1.5 Ruang Lingkup... 8

II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN... 11

2.1 Definisi Kemiskinan... 11

2.2 Indikator Kemiskinan... 13

2.3 Penyebab Kemiskinan... 15

2.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemiskinan... 18

2.4.1 Jumlah Penduduk... 18

2.4.2 Jumlah Pekerja Sektor Pertanian... 19

2.4.3 Tingkat Pendidikan... 20

2.4.4 Upah Minimum Provinsi (UMP)... 21

2.4.5 PDRB perkapita... 22

2.4.6 Pengangguran... 23

2.4.7 Infrastruktur... 23

2.5 Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan... 25

2.6 Kerangka Pemikiran... 28

2.7 Hipotesis Penelitian... 29

III METODE PENELITIAN... 31


(13)

3.2 Analisis Deskriptif... 31

3.3 Analisis Regresi Data Panel... 31

3.3.1 Pemilihan Model Terbaik... 36

3.3.2 Uji Asumsi... 36

3.3.3 Evaluasi Model... 38

3.3.4 Spesifikasi Model Penelitian... 39

3.3.5 Definisi Operasional... 40

IV GAMBARAN UMUM... 43

4.1 Penduduk………... 43

4.2 Penduduk Miskin…... 46

4.2.1 Persentase Penduduk Miskin... 46

4.2.2 Indeks Kedalaman Kemiskinan ………. 49

4.2.3 Indeks Keparahan Kemiskinan ………. 51

4.3 Pendidikan... 53

4.4 Pekerja Sektor Pertanian………... 55

4.5 Pengangguran………... 56

4.6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita………. 58

4.7 Infrastruktur…..………... 60

V HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 65

5.1 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan …... 65

5.2 Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan... 88

5.2.1 Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia………... 88

5.2.2 Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia ……… 94

VI KESIMPULAN DAN SARAN... 105

6.1 Kesimpulan... 105

6.2 Saran... 105


(14)

DAFTAR TABEL

1. Kerangka identifikasi autokorelasi... 37

2. Persentase penduduk di Pulau Jawa dan kepadatan penduduk

menurut pulau, Tahun 2000-2009... 45 3. Perkembangan garis kemiskinan provinsi, 2005-2009…… 47 4. Indeks kedalaman kemiskinan (P1) menurut provinsi, tahun

2005-2009 ... 50 5. Indeks keparahan kemiskinan menurut provinsi,

2005-2009... 52 6. Panjang jalan dan persentasenya menurut kondisi dan provinsi di

Indonesia tahun 2009... 61 7. Energi listrik PLN yang terjual di Indonesia menurut provinsi tahun

1991, 1999 dan 2007... 63 8. Hasil estimasi persamaan faktor-faktor yang memengaruhi

kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia periode 2000-2009...

67

9. Perkembangan nilai tukar petani (NTP) di Indonesia tahun


(15)

DAFTAR GAMBAR

1. Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia periode

2000-2009... 3 2. Kerangka pemikiran………... 29 3. Perkembangan pertumbuhan penduduk di Kawasan Barat Indonesia

dan Kawasan Timur Indonesia, 2001-2009... 44 4. Perkembangan angka beban tanggungan di Kawasan Barat Indonesia

dan Kawasan Timur Indonesia tahun 2000-2009... 46 5. Perkembangan angka kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan

Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009……... 48 6. Persentase penduduk menurut ijazah tertinggi yang dimiliki di

Kawasan Barat Indonesia, 2000-2009... 55 7. Persentase penduduk menurut ijazah tertinggi yang dimiliki di

Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009……... 55 8. Perkembangan pekerja sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia

dan Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009... 56 9. Perkembangan angka pengangguran terbuka di Indonesia,

2000-2009…... 57 10. Perkembangan PDRB perkapita di Kawasan Barat Indonesia dan

Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009... 59 11. PDRB perkapita menurut provinsi tahun 2009... 60 12. Perkembangan indeks gini di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan

Timur Indonesia, 2000-2009………. 70

13. Perkembangan PDRB perkapita per bulan dan garis kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia,

2005-2009………... 71

14. Perkembangan infrastruktur jalan di Kawasan Barat Indonesia,

2000-2009………... 72

15. PDRB perkapita sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia dan

Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009... 77 16. Perkembangan angka beban tanggungan di Kawasan Barat Indonesia


(16)

17. Perkembangan angka pekerja lulusan SMP di Kawasan Barat

Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009... 80 18. Perkembangan kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan

PDRB di Kawasan Barat Indonesia, 2000-2009... 82 19. Perkembangan kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan

PDRB di Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009... 83 20. Tingkat pengangguran terbuka menurut tingkat pendidikan di

Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, 2009... 84 21. Perkembangan upah minimum provinsi dan indeks harga konsumen

di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009...

86

22. Perkembangan rata-rata UMP perkapita per bulan dan garis kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, 2005-2009………...

87

23. Angka kepadatan penduduk di Kawasan Barat Indonesia, 2009... 89 24. Angka kepadatan penduduk di Kawasan Timur Indonesia, 2009... 95 25. Uji normalitas error term pada model faktor-faktor yang

memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia…………... 119 26. Uji normalitas error term pada model faktor-faktor yang

memengaruhi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia…………... 124 .


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil penguijian antara fixed effect dengan pooled least square (Uji Chow) untuk model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di

Kawasan Barat Indonesia... 115 2. Hasil penguijian antara fixed effect dengan random effect (Uji

Hausman) untuk model faktor-faktor yang memengaruhi

kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia... 116 3. Hasil estimasi untuk model faktor-faktor yang memengaruhi

kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia……… 117

4. Uji asumsi homoskedastisitas dengan White-test pada model

faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia 118 5. Uji normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi

kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia... 119 6. Hasil penguijian antara fixed effect dengan pooled least square (Uji

Chow) untuk model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di

Kawasan Timur Indonesia…... 120 7. Hasil penguijian antara fixed effect dengan random effect (Uji

Hausman) untuk model faktor-faktor yang memengaruhi

kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia……... 121 8. Hasil estimasi untuk model faktor-faktor yang memengaruhi

kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia... 122 9. Uji asumsi homoskedastisitas dengan White-test pada model

faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia...

123

10. Uji normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi


(18)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Kemiskinan menjadi isu dunia yang banyak diminati oleh para peneliti karena jumlahnya yang besar dan dampak yang ditimbulkannya sangat buruk bagi kehidupan masyarakat. World Bank (2004) melaporkan bahwa seperempat penduduk dunia dewasa ini tergolong miskin. Kemiskinan di Indonesia jika dihitung berdasarkan standar hidup minimum dengan pengeluaran per kapita per hari US$ 2, maka penduduk yang tergolong miskin mencapai 59,99 persen (World Bank 2007). Menurut Yudhoyono dan Harniati (2007), kemiskinan mempunyai dampak menurunkan kualitas hidup, menimbulkan beban sosial ekonomi masyarakat, menurunkan kualitas sumberdaya manusia, dan menurunkan ketertiban umum.

Selain sebagai permasalahan nasional, kemiskinan menjadi permasalahan dunia yang menarik perhatian bagi banyak negara untuk segera mencari solusi penanggulangannya. Kepedulian dunia dalam upaya menanggulangi kemiskinan diwujudkan dengan diselenggarakannya Deklarasi Millenium (Millenium Declaration) pada bulan September 2000 yang diikuti oleh 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia. Deklarasi tersebut menyepakati 8 tujuan pembangunan millenium atau yang lebih dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs). Delapan tujuan tersebut antara lain: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua kalangan; (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan angka kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; (7) memastikan keberlanjutan lingkungan hidup; (8) membangun kemitraan global untuk pembangunan.

Dalam MDGs, penanggulangan kemiskinan dan kelaparan menjadi tujuan pertama target pembangunan. Target yang ingin dicapai adalah menurunkan angka kemiskinan hingga 50 persen pada tahun 2015 dengan didasarkan pada angka kemiskinan tahun 1990. Pada tahun 1990 angka kemiskinan di Indonesia


(19)

sebesar 15,10 persen, maka pada tahun 2015 diharapkan menjadi 7,50 persen (sekitar 13,10 juta penduduk). Keseriusan pemerintah dalam upaya mencapai target penurunan kemiskinan tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 yang menunjukkan bahwa salah satu sasaran pembangunan ekonomi nasional adalah mempercepat penurunan tingkat kemiskinan hingga 8-10 persen pada akhir 2014, sehingga diharapkan pada tahun 2015 target MDGs bisa tercapai.

Badan Pusat Statistik (2009) menunjukkan bahwa dari tahun 1976-1996 persentase penduduk miskin Indonesia menurun drastis dari 40,10 persen menjadi 17,47 persen. Pada masa ini Indonesia dianggap sebagai salah satu negara yang telah berhasil menurunkan kemiskinan dengan persentase penurunan yang cukup tinggi, yaitu 22,63 persen (sekitar 20,19 juta penduduk).

Keberhasilan menurunkan kemiskinan itu ternyata tidak bertahan lama, ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 hingga 1998 angka kemiskinan meningkat hingga mencapai angka 24,23 persen (49,5 juta penduduk). Saat krisis itu terjadi, kondisi perekonomian sangat buruk, sektor moneter dan riil mengalami goncangan (shock), pertumbuhan ekonomi turun hingga -13,13 persen, banyak terjadi PHK, dan harga barang kebutuhan pokok melonjak. Semua ini menyebabkan daya beli penduduk semakin menurun, penduduk kesulitan memenuhi kebutuhannya sehingga peningkatan jumlah penduduk miskin tak terelakkan lagi.

Setelah krisis ekonomi berakhir secara perlahan angka kemiskinan mulai turun meskipun masih berfluktuasi. Pada periode 2000-2005 angka kemiskinan menurun, namun meningkat lagi pada tahun 2006. Peningkatan angka kemiskinan ini disebabkan oleh naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok sebagai dampak dari naiknya harga bahan bakar minyak yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2005. Pada periode 2007-2009 angka kemiskinan kembali menurun hingga mencapai 14,15 persen pada tahun 2009. Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia disajikan pada Gambar 1.


(20)

Sumber: BPS, Statistik Indonesia, 2000-2009

Gambar 1 Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia periode 2000-2009.

Keragaman antar daerah merupakan ciri khas Indonesia. Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) merupakan dua kawasan yang telah ditetapkan pemerintah dengan tujuan untuk mengefektifkan program-program pembangunan. Pembentukan kedua kawasan tersebut didasari adanya beberapa perbedaan, antara lain kondisi geografis, kondisi ekonomi, kondisi sosial, kondisi kemiskinan dan berbagai perbedaan lainnya. Beragamnya perbedaan tersebut tentunya harus disikapi oleh pemerintah dengan kebijakan yang berbeda dalam berbagai hal, termasuk dalam menanggulangi kemiskinan. Berdasarkan Gambar 1, kemiskinan lebih banyak dialami oleh penduduk yang tinggal di Kawasan Timur Indonesia. Pada tahun 2000 angka kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia sebesar 24,15 persen sedangkan di Kawasan Barat Indonesia sebesar 18,02 persen. Secara perlahan angka ini cenderung menurun hingga tahun 2009 mencapai angka 15,90 persen di Kawasan Timur Indonesia dan 13,73 persen di Kawasan Barat Indonesia.

Perbedaan kemiskinan yang terjadi antar kawasan di Indonesia dimungkinkan karena akar masalah yang menjadi faktor penyebab kemiskinan di setiap kawasan berbeda. Sebagai ilustrasi, kemiskinan di Jawa yang merupakan bagian dari Kawasan Barat Indonesia cenderung berasal dari involusi pertanian dan ledakan penduduk, sehingga banyak keluarga miskin di pulau ini yang tidak lagi memiliki aset dan hanya mengandalkan sektor pertanian dengan lahan yang


(21)

relatif kecil sebagai mata pencaharian utama (Geertz 1963). Sementara itu, Papua yang merupakan bagian dari Kawasan Timur Indonesia mempunyai aset dalam bentuk hamparan tanah yang luas dan sumberdaya alam yang melimpah dengan jumlah penduduk yang relatif kecil. Tingginya penduduk miskin di Papua menunjukkan bahwa kekayaan alam yang mereka miliki tidak dapat dinikmati oleh semua rakyat. Kurangnya kemampuan penduduk dalam mengelola aset-aset tersebut menjadikan sebagian besar aset itu dikuasai oleh pihak asing yang cenderung sulit untuk diakses oleh masyarakat setempat.

1.2 Perumusan Masalah

Pada masa pemerintahan orde baru, strategi penurunan kemiskinan lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi yang mengutamakan tingginya angka pertumbuhan ekonomi. Ini dikarenakan keyakinan para pembuat kebijakan dan perencana pembangunan akan adanya trickle down effect (Tambunan 2003). Pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua kalangan masyarakat, terutama masyarakat miskin melalui penciptaan lapangan kerja. Lapangan kerja yang lebih banyak dapat memperluas kesempatan kerja bagi penduduk miskin sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya dan mampu keluar dari kemiskinan.

Fakta memperlihatkan bahwa trickle down effect yang diinginkan tidak tercapai. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti oleh ketersediaan kesempatan kerja yang memadai sehingga tingkat kemiskinan sulit turun. Mempertimbangkan keadaan ini maka strategi pembangunan mulai diubah, tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan tetapi juga berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat (Tambunan 2006).

Rakyat yang sejahtera bisa tercapai jika pembangunan ekonomi memperhatikan semua golongan masyarakat, terutama golongan masyarakat miskin. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin maka beberapa program penanggulangan kemiskinan diimplementasikan pemerintah dengan cara memenuhi hak-hak dasar warga negara secara layak, meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat miskin, penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat serta melaksanakan percepatan pembangunan daerah tertinggal.


(22)

Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K 2010), terdapat empat strategi penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah, antara lain:

(1) Memperbaiki program perlindungan sosial. Program ini dimaksudkan untuk membantu individu dan masyarakat menghadapi goncangan (shocks) sehingga apabila terjadi musibah tidak sampai jatuh miskin. Program tersebut berupa bantuan sosial untuk melindungi mereka yang tidak miskin agar tidak jatuh miskin, dan bagi penduduk miskin tidak semakin miskin. (2) Meningkatkan akses pelayanan dasar. Pelayanan dasar tersebut meliputi

akses terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi, serta pangan dan gizi. Tujuan dari program ini adalah untuk meringankan biaya yang harus ditanggung masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan publik. Harapannya adalah akan terjadi peningkatan kualitas sumberdaya manusia (human capital) sehingga akan meningkatkan produktivitas kerja mereka sehingga memungkinkan mereka untuk menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dan mampu keluar dari kemiskinan.

(3) Pemberdayaan kelompok masyarakat miskin. Pemberdayaan ini sangat penting mengingat kemiskinan juga disebabkan oleh ketidakadilan dan struktur ekonomi yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin. Hasil-hasil pembangunan tidak terdistribusi secara merata di semua kalangan masyarakat sehingga mereka tidak ikut menikmati hasil pembangunan tersebut. Ironisnya, sering proses pembangunan itu justru membuat mereka semakin tersisihkan dan menjadi semakin miskin baik secara fisik maupun sosial.

(4) Pembangunan yang inklusif. Maksudnya adalah pembangunan yang dapat memberikan manfaat kepada seluruh rakyat. Pertumbuhan ekonomi harus mampu menciptakan lapangan kerja produktif dalam jumlah besar, selanjutnya diharapkan terdapat multiplier effect pada peningkatan pendapatan mayoritas penduduk, peningkatan taraf hidup, sehingga kemiskinan berkurang.


(23)

Implementasi dari program-program tersebut diwujudkan melalui beberapa pendekatan antara lain pendekatan sektoral, regional, kelembagaan dan kebijakan khusus. Beberapa program yang telah dilaksanakan antara lain Inpres Desa Tertinggal (IDT), Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Beras untuk rakyat miskin (Raskin) dan berbagai program yang melibatkan unsur kelembagaan.

Program-program tersebut dilakukan oleh pemerintah dengan harapan persoalan kemiskinan dapat diatasi, namun kenyataan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan tetap tinggi. Ini dapat diartikan bahwa kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah belum cukup efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Ada beberapa kelemahan dari program-program tersebut, antara lain: pertama, program yang berbasis bantuan tidak mendidik dan bukan solusi yang tepat karena sifatnya hanya menyembuhkan sementara, tidak menghilangkan kemiskinan. Dampak lainnya adalah timbul kecemburuan sosial dari masyarakat yang tidak mendapatkannya, sehingga keributan terjadi di berbagai daerah. Lebih lanjut, kebijakan semacam ini sangat rentan untuk diselewengkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, sehingga bantuan menjadi salah sasaran. Contohnya program BLT, Raskin, dan lainnya. Kedua, kebijakan diambil didasarkan pada asumsi bahwa kemiskinan bersifat homogen di setiap daerah, sehingga kebijakan dan program yang dilakukan kurang mempertimbangkan keragaman sebab dan karakteristik kemiskinan daerah. Semua inisiatif program berasal dari pemerintah pusat, begitu juga dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis implementasi program selalu dibuat seragam tanpa memperhatikan karakteristik masyarakat miskin di setiap daerah. Akibatnya, program yang dilaksanakan kurang sesuai dengan prioritas penanganan dan kebutuhan masyarakat miskin setempat (TNP2K 2010).

Beberapa kelemahan program-program penanggulangan kemiskinan juga diungkapkan Menko Kesra (2005), yaitu: (1) pembangunan terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kurang memperhatikan pemerataan, (2) ada kecenderungan penekanan pada aspek sektoral dan kekuatan sektoral, (3) kurang memperhatikan persoalan-persoalan kemiskinan yang multidimensi,


(24)

(4) cenderung terfokus pada sifat kedermawanan dalam menanggulangi kemiskinan, (5) pemerintah terlalu memonopoli dalam upaya menanggulangi kemiskinan dan (6) kurang memahami akar penyebab kemiskinan.

Berbagai kritik terhadap program penanggulangan kemiskinan menunjukkan bahwa beberapa aspek perlu diperhatikan dalam menanggulangi kemiskinan di setiap kawasan. Aspek-aspek tersebut mencakup aspek sosial, ekonomi, budaya, politik serta aspek waktu dan ruang. Faktor-faktor penyebab kemiskinan perlu terlebih dahulu diperhatikan agar kebijakan penanggulangan kemiskinan sesuai dengan kondisi wilayah dan masyarakat di setiap wilayah.

Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia merupakan dua kawasan yang telah dibentuk pemerintah Indonesia sejak tahun 1993. Kawasan Barat Indonesia meliputi 14 provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali. Kawasan Timur Indonesia meliputi 12 provinsi, yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua.

Jika dilihat dari aspek ekonomi, seperti tercermin dalam indikator tingginya PDRB, ternyata tidak dengan sendirinya berimplikasi pemerataan pertumbuhan yang seimbang antara Kawasan Barat dan Timur Indonesia. Perkembangan antar daerah memperlihatkan kecenderungan bahwa daerah-daerah di Kawasan Barat Indonesia umumnya mengalami perkembangan ekonomi lebih cepat dibandingkan dengan daerah di Kawasan Timur Indonesia. Demikian juga dari aspek sosial, seperti kualitas sumberdaya manusia, ketersediaan fasilitas publik, kuantitas dan kualitas infrastruktur di Kawasan Barat Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan Kawasan Timur Indonesia.

Terkait dengan masalah kemiskinan di kedua kawasan tersebut, rumusan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang didasarkan pada beragamnya akar permasalahan yang menjadi faktor penyebab kemiskinan di masing-masing kawasan menjadi menarik untuk diteliti. Harapannya program-program ini dapat dijadikan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan


(25)

sehingga kemiskinan bisa secara efektif diturunkan. Lebih lanjut, pemerintah bisa lebih selektif dalam mengalokasikan anggaran penurunan kemiskinan berdasarkan prioritas kebutuhan di setiap daerah.

Berdasarkan uraian tersebut, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia?

2. Kebijakan seperti apa yang dibutuhkan, sehingga bisa lebih efektif menurunkan kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.

2. Merumuskan kebijakan yang diharapkan lebih efektif menurunkan kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia dan merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang didasarkan pada faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di setiap kawasan. Penelitian ini juga diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan.

1.5 Ruang lingkup

Penelitian ini meliputi dua hal, yaitu: pertama, memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan. Kedua, merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang didasarkan pada faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.


(26)

Analisis dilakukan di setiap kawasan dengan periode analisis 2000-2009. Data yang digunakan berupa data sekunder, yaitu data kemiskinan, jumlah penduduk, jumlah pekerja pertanian, tingkat pendidikan penduduk, PDRB perkapita, pengangguran, infrastruktur jalan dan listrik serta data-data pendukung yang relevan dengan penelitian. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian serta sumber-sumber lainnya.


(27)

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Definisi Kemiskinan

Definisi kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga dimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik.

Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: a) Kemiskinan absolut

Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan demikian kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya.

b) Kemiskinan relatif

Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan.

Sayogyo (1978) menguraikan konsep kemiskinan dengan membedakan antara daerah perdesaan dan perkotaan. Mereka disebut miskin apabila mempunyai pendapatan per kapita kurang dari 320 kg beras di desa dan kurang dari 480 kg beras di kota. Kelemahan dari konsep ini kurang mempertimbangkan adanya peningkatan kebutuhan pokok yang lain, yang tentunya ikut berubah dengan meningkatnya pendapatan. Selain itu, uraian konsep kemiskinan di atas hanya mencakup kebutuhan makan, belum terhitung kebutuhan nonmakanan seperti sandang, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya.


(29)

Pada tahun 1979, Friedman mendefinisikan kemiskinan sebagai kurangnya kesempatan untuk mengakumulasikan aset-aset produktif, organisasi sosial dan politik yang mampu mewujudkan kepentingan umum, sosialisasi yang dapat memberikan kesempatan untuk bekerja, informasi dan pendidikan serta teknologi yang menjadi tuntutan hidup. Pada waktu yang sama, Scott mengartikan kemiskinan dari sudut pandang pendapatan, baik dalam bentuk materi maupun nonmateri. Scott mengemukakan tiga definisi kemiskinan. Pertama, kemiskinan merupakan buruknya kondisi seseorang karena kurangnya pendidikan, kesehatan dan transportasi. Hal ini mengakibatkan kemampuan dan produktivitas kerja menurun sehingga pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua, definisi miskin yang disebabkan karena kurangnya aset produktif seseorang, seperti uang, tanah, rumah dan fasilitas lainnya. Ketiga, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi kehidupan seseorang atau masyarakat yang tidak dipenuhi kebutuhan nonmaterinya, seperti hak kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak untuk merdeka dan kebutuhan nonmateri lainnya. Kesimpulannya, kemiskinan bisa dipandang sebagai suatu keadaan yang kompleks, tidak hanya berkenaan dengan tingkat pendapatan, tetapi juga dari aspek sosial, lingkungan bahkan keberdayaan dan tingkat partisipasinya.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin yaitu penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan. Besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan tersebut disebut garis kemiskinan. Nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2.100 kilo kalori per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumahtangga dan individu yang mendasar lainnya. Pada penelitian ini, konsep kemiskinan mengacu pada konsep yang telah dibuat oleh BPS.

Selain BPS, ada beberapa instansi juga menetapkan kriteria kemiskinan, antara lain: BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), World Bank dan UNDP (United Nations for Development Programs). BKKBN menetapkan kemiskinan berdasarkan kriteria keluarga pra sejahtera (pra KS) dan


(30)

keluarga sejahtera I (KS I). World Bank menetapkan kemiskinan berdasarkan pada pendapatan per orang per hari. Biasanya ukuran yang digunakan US$ 1 atau US$ 2. Penduduk dengan penghasilan dibawah nilai nominal tersebut dikategorikan sebagai penduduk miskin.

2.2 Indikator Kemiskinan

Penghitungan kemiskinan yang dilakukan BPS didasarkan pada garis kemiskinan (GK). GK dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan dan non makanan per kapita pada kelompok referensi (reference population) atau penduduk kelas marjinal, yaitu mereka yang hidupnya dikategorikan berada sedikit di atas perkiraan awal GK. Perkiraan awal GK ini dihitung berdasarkan GK periode sebelumnya yang diinflate/dideflate dengan inflasi/deflasi. GK dibagi ke dalam dua bagian yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).

BPS setiap tahun menetapkan garis kemiskinan berdasarkan susenas panel/modul konsumsi dengan informasi tambahan hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan. Pada tahun 1995 BPS telah melaksanakaan SPKKD untuk penghitungan jumlah penduduk miskin tahun 1995-2004. Karena hasil SPKKD tahun 1995 sudah tidak relevan lagi maka pada tahun 2004 BPS kembali melaksanakan SPKKD untuk menghitung jumlah penduduk miskin tahun 2004 sampai sekarang.

Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun 1993 terdiri dari 14 komoditi di perkotaan dan 12 komoditi di perdesaan. Sementara itu sejak tahun 1996 terdiri dari 27 sub kelompok (51 jenis komoditi) di perkotaan dan 25 sub kelompok (47 jenis komoditi) di perdesaan. Penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin provinsi dibedakan menurut perkotaan dan perdesaan berdasarkan GK (GKM + GKNM) yang juga dibedakan menurut perkotaan dan perdesaan.

Penghitungan indikator kemiskinan didasarkan pada formula yang di sarankan oleh Foster-Greer-Thorbecke(1984) sebagai berikut:


(31)





 

q i i

z

y

z

n

P

1

1

 

keterangan:  = 0, 1, 2 z = garis kemiskinan

yi = rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada

dibawah garis kemiskinan ( i=1, 2, 3, …, q), yi < q

q = banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan n = jumlah penduduk

Jika =0 maka diperoleh Head Count Index (P0); =1 adalah Poverty Gap Index

(P1); dan =2 merupakan ukuran Poverty Severity Index (P2).

(1) The incident of poverty atau Head count index (HCI) adalah ukuran kemiskinan jika pada formula Foster-Greer-Thorbecke nilai  samadengan nol, sehingga:

n

q

P

0

Penghitungan ini menunjukkan persentase dari populasi yang hidup dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita dibawah garis kemiskinan. (2) The depth of poverty atau poverty gap merupakan kedalaman/jurang

kemiskinan jika pada formula Foster-Greer-Thorbecke nilai  samadengan satu, sehingga:





 

q i i

z

y

z

n

P

1 1

1

Ukuran ini menggambarkan dalamnya kemiskinan, yakni perbedaan jarak rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan.

Poverty gap index berguna untuk mengetahui seberapa banyak sumberdaya (uang) yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan melalui transfer uang (cash transfer) yang ditujukan kepada orang miskin dengan sempurna. Misalkan poverty gap = 0,3 maka cash transfer yang diperlukan untuk menghapus kemiskinan adalah sebesar 30 persen dari garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks ini semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau dengan kata lain semakin tinggi nilai indeks


(32)

menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk

(3) Squared poverty gap atau poverty severity index adalah ukuran yang menggambarkan keparahan kemiskinan. Jika pada formula Foster-Greer-Thorbecke nilai  samadengan dua, sehingga:





 

q i i

z

y

z

n

P

1 2 2

1

Indeks ini menggambarkan ketimpangan diantara orang miskin. Sampai batas tertentu squared poverty gap dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin, dan dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.

2.3 Penyebab Kemiskinan

Jhingan (2004), mengemukaan tiga ciri utama negara berkembang yang menjadi penyebab dan sekaligus akibat yang saling terkait pada kemiskinan. Pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki ketrampilan ataupun keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga hanya sebahagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif dan yang ketiga adalah penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian.

Mawardi (2004) menyebutkan ada enam kategori yang menyebabkan kemiskinan, antara lain:

1. Ketidakberdayaan

Faktor ketidakberdayaan merupakan faktor di luar kendali masyarakat miskin, yang mencakup aspek ketersediaan lapangan pekerjaan, tingkat biaya/harga (baik barang konsumsi, sarana produksi, maupun harga jual produksi), kebijakan pemerintah, sistem adat, lilitan hutang, keamanan, dan takdir/kodrat. Aspek takdir ini merupakan bentuk kepasrahan dari masyarakat miskin karena kondisi kemiskinan yang mereka alami sudah sedemikian rupa sehingga timbullah sikap apatis dan mereka menganggap bahwa hanya mukjizat Tuhan yang bisa mengubah keadaan.


(33)

2. Kekurangan materi

Yang termasuk dalam kategori kekurangan materi adalah kepemilikan atau tidak memiliki berbagai macam aset, seperti rumah, tanah, modal kerja, warisan, serta rendahnya penghasilan karena upah atau hasil panen yang rendah. Faktor kekurangan materi merupakan faktor penyebab kemiskinan yang dominan selain faktor ketidakberdayaan.

3. Keterkucilan

Faktor keterkucilan terkait dengan hambatan fisik dan nonfisik dalam mengakses kesempatan meningkatkan kesejahteraan, antara lain karena lokasi yang terpencil, prasarana transportasi yang buruk, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, akses terhadap kredit, pendidikan, kesehatan, irigasi dan air bersih tidak ada/kurang memadai.

4. Kelemahan fisik

Yang termasuk dalam faktor kelemahan fisik antara lain: kondisi kesehatan, kemampuan kerja, kurang makan dan gizi, dan masalah sanitasi. Pada umumnya kondisi kesehatan yang buruk dianggap lebih penting sebagai penyebab kemiskinan dibandingkan faktor ketidakmampuan bekerja. 5. Kerentanan

Faktor kerentanan mencerminkan kondisi ketidakstabilan atau guncangan yang dapat menyebabkan turunnya tingkat kesejahteraan. Didalamnya mencakup aspek pemutusan hubungan kerja (PHK), pekerjaan tidak tetap, masalah dalam produksi, bencana alam dan musibah dalam keluarga.

6. Sikap dan perilaku

Kebiasaan buruk atau sikap yang cenderung menghambat kemajuan masuk dalam kategori ini. Didalamnya mencakup kurangnya upaya untuk bekerja, tidak bisa mengatur uang atau boros, masalah ketidakharmonisan keluarga, serta kebiasaan berjudi/mabuk.

Smeru (2001) menyampaikan delapan penyebab dasar kemiskinan, antara lain: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal, (2) keterbatasan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana, (3) adanya kecenderungan kebijakan yang diambil pemerintah bias perkotaan dan bias sektor, (4) sistem yang kurang mendukung dan perbedaan kesempatan antar masyarakat, (5) perbedaan


(34)

sumberdaya manusia dan perbedaan sektor ekonomi (tradisional versus modern), (6) produktivitas dan tingkat pembentukan modal yang rendah, (7) budaya hidup yang cenderung dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan, dan (8) tata kelola pemerintahan yang belum baik.

Selanjutnya, Suryawati (2005) menyampaikan beberapa penyebab kemiskinan perdesaan, antara lain:

(1) Natural assets, mencakup tanah dan air. Sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan yang relatif kecil sebagai mata pencahariannya. (2) Human assets, yakni kualitas sumberdaya manusia di perdesaan masih

rendah dibandingkan dengan masyarakat perkotaan.

(3) Physical assets, masih rendahnya akses masyarakat ke infrastruktur dan pelayanan umum antara lain jalan, listrik dan telekomunikasi.

(4) Financial assets, yakni tabungan yang masih kecil dan keterbatasan akses untuk memperoleh modal usaha.

(5) Social assets, lebih kepada pengaruh politik.

Pada tahun 2006, Papilaya dan Sugihen meneliti tentang akar dan strategi pengentasan kemiskinan di tiga kabupaten/kota yang terletak di Provinsi Gorontalo. Dari hasil penelitian mereka dinyatakan bahwa akar penyebab kemiskinan yang paling menentukan yaitu kurang produktifnya perilaku rumahtangga miskin dan kurang normatifnya perilaku elit. Secara kualitatif, kurang produktifnya perilaku rumahtangga miskin terlihat dari perilaku seperti perilaku hedonis, konsumtif, ketergantungan, suka berhutang, apatis dan fatalis. Sementara itu, kurang normatifnya perilaku elit dapat terlihat pada perilaku mencari keuntungan (rent seeking behavior) pelaksana program kemiskinan seperti yang diungkapkan oleh rumahtangga miskin pada waktu diskusi kelompok terfokus (FGD). Disamping itu, perilaku mengutamakan keluarga dekat (nepotisme) dan perilaku pilih kasih (favoritisme).


(35)

2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan

Beberapa variabel yang memengaruhi kemiskinan adalah sebagai berikut: 2.4.1 Jumlah Penduduk

Sumberdaya manusia merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi, namun tidak semata-mata tergantung dari jumlah penduduknya saja, tetapi lebih ditekankan pada efisiensi dan produktivitas dari penduduk tersebut. Jumlah penduduk yang terlalu banyak atau kepadatan penduduk yang terlalu tinggi akan menjadi penghambat pembangunan ekonomi di negara berkembang. Pendapatan per kapita yang rendah dan tingkat pembentukan modal yang rendah semakin sulit bagi negara berkembang untuk menopang ledakan jumlah penduduk. Sekalipun output meningkat sebagai hasil teknologi yang lebih baik dan pembentukan modal, peningkatan ini akan ditelan oleh jumlah penduduk yang terlalu banyak. Alhasil, tidak ada perbaikan dalam laju pertumbuhan nyata perekonomian. (Jhingan 2003)

Pada tahun 2008 Jhingan mengemukakan pengaruh buruk pertumbuhan penduduk yang tinggi terhadap perekonomian yang dalam hal ini pendapatan per kapita. Pertumbuhan penduduk cenderung memperlambat pendapatan per kapita melalui tiga cara, yaitu: 1) ia memperberat beban penduduk pada lahan; 2) ia menaikkan barang konsumsi karena kekurangan faktor pendukung untuk menaikkan penawaran mereka; 3) memerosotkan akumulasi modal, karena dengan tambah anggota keluarga, biaya meningkat. Kondisi ini akan semakin parah apabila persentase anak pada keseluruhan penduduk tinggi, karena anak-anak hanya menghabiskan dan tidak menambah produk, dan jumlah anak-anak yang menjadi tanggungan keluarga lebih besar daripada jumlah mereka yang menghasilkan, sehingga pendpatan per kapita menjadi rendah.

Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya “ Dampak

Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin”

menghasilkan temuan bahwa peningkatan jumlah populasi penduduk sebesar 1000 orang akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebanyak 249 orang. Penemuan yang sama diperoleh Suparno (2010) yang menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk terbukti meningkatkan jumlah kemiskinan di Indonesia.


(36)

2.4.2 Jumlah Pekerja Sektor Pertanian

Sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang mayoritas tinggal di perdesaan. Dari tahun 2000 hingga 2008, sekitar 40 persen angkatan kerja nasional melakukan aktivitas ekonomi di sektor pertanian (BPS 2008). Seiring dengan maraknya isu indudtrialisasi dan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan menyebabkan lahan pertanian mengalami pengurangan, bahkan semakin banyak pula penduduk yang tidak mempunyai lahan sama sekali. Semakin berkurang lahan pertanian maka produktivitas pertanian turun sehingga output pertanian juga turun, dan dampaknya adalah terjadinya penurunan pendapatan petani. Jika pendapatan petani berkurang maka sulit bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga kemiskinan bertambah.

Menurut Arsyad (2010), satu faktor penyebab kemiskinan di sektor pertanian adalah rendahnya produktivitas di sektor tersebut dan hal ini salah satunya disebabkan oleh distribusi lahan pertanian yang semakin timpang. Ketimpangan penguasaan lahan pertanian terjadi di Indonesia sudah sejak lama. Program land reform dilaksanakan pada pertengahan tahun 1960-an oleh pemerintahan pada masa itu, namun program ini tidak berhasil mengatasi masalah ketimpangan penguasaan lahan ini seiring dengan perubahan sistem politik dan ekonomi pada masa rezim orde baru.

Sebuah realita menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia didominasi oleh petani kecil (petani gurem). Petani gurem adalah petani dengan luas lahan garapan kurag dari 0,5 ha. Pada tahun 1983, jumlah petani gurem sekitar 46,2 persen dari keseluruhan petani. Duapuluh tahun kemudian, yaitu tahun 2003, jumlah petani gurem meningkat menjadi 56,4 persen.

Salah satu sebab rendahnya produktivitas pertanian adalah rendahnya tingkat pendidikan petani dan buruh tani relatif rendah. Menurut teori pertumbuhan endogen, pendidikan merupakan pendorong meningkatnya output melalui peningkatan produktivitas pekerja karena sumberdaya manusia yang berkualitas. Pada tahun 2003, sekitar 31,62 persen petani di Indonesia tidak pernah mengenyam pendidikan formal, dan sebagian besar tinggal di perdesaan.


(37)

Petani yang berpendidikan dasar sekitar 44,98 persen, dan hanya sekitar 1,69 persen petani yang pernah menempuh pendidikan di perguruan tinggi (BPS 2003). Nurkse (Arsyad 2010) dalam satu konsepnya mengenai lingkaran kemiskinan, menyebutkan bahwa timbulnya lingkaran setan kemiskinan disebabkan kurangnya akses dalam pembentukan modal. Lembaga perbankan yang ada di Indonesia masih kurang menjangkau petani kecil. Petani yang paling sering mendapatkan kredit adalah petani pemilik lahan, misalnya pemilik lahan kelapa sawit. Kurangnya modal menyebabkan petani kecil sulit untuk mengembangkan usahanya, sehingga pendapatan yang diterimanya sulit untuk meningkat. Akibatnya, kemiskinan di sektor pertanian cenderung persistent dan sulit untuk diturunkan.

2.4.3 Tingkat Pendidikan

Pendidikan berfungsi sebagai driving force atau daya penggebrak transformasi masyarakat untuk memutus rantai kemiskinan. Pendidikan membantu menurunan kemiskinan melalui efeknya pada produktivitas tenaga kerja dan melalui jalur manfaat sosial, maka pendidikan merupakan sebuah tujuan pembangunan yang penting bagi bangsa (World Bank 2005). Pendidikan sebagai sarana untuk memperoleh wawasan, ilmu pengetahuan dan keterampilan agar peluang kerja lebih terbuka dan upah yang didapat juga lebih tinggi. Rahman (2006) menemukan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan upah/gaji yang diterima oleh pekerja.

Menurut teori pertumbuhan endogen yang dipelopori oleh Lucas dan Romer (1996), pendidikan merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Pendidikan menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang nantinya menghasilkan tenaga kerja yang lebih produktif. Tenaga kerja yang mempunyai produktivitas tinggi akan menghasilkan output yang lebih banyak sehingga secara agregat akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Andersson et.al (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Determinants of Poverty in Lao PDR menyatakan bahwa pendidikan seseorang sebagai salah satu determinan konsumsi per kapita. Suparno (2010) menemukan bahwa rata-rata lama sekolah yang menunjukkan tingkat pendidikan masyarakat mampu


(38)

menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia. Masyarakat yang berpendidikan tinggi akan mempunyai keterampilan dan keahlian, sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya. Peningkatan produktivitas akan meningkatkan output perusahaan, peningkatan upah pekerja, peningkatan daya beli masyarakat sehingga akan mengurangi kemiskinan.

2.4.4 Upah Minimum Provinsi (UMP)

Kebijakan upah minimum di Indonesia tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999 dan UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003. Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Yang dimaksud dengan tunjangan tetap adalah suatu jumlah imbalan yang diterima pekerja secara tetap dan teratur pembayarannya, yang tidak dikaitkan dengan kehadiran ataupun pencapaian prestasi tertentu.

Dalam rangka mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja, perlu ditetapkan upah minimum dengan mempertimbangkan peningkatan kesejahteraan pekerja tanpa mengabaikan peningkatan produktivitas dan kemajuan perusahaan serta perkembangan perekonomian pada umumnya. Upah minimum merupakan upah terendah yang diterima karyawan/pekerja yang masa kerjanya dibawah satu tahun. Bagi yang bekerja lebih dari satu tahun, maka upah yang diterima diatur oleh peraturan perusahaan dengan sistem pengupahan yang telah disepakati antara pengusaha dan serikat pekerja perusahaan. Penetapan upah minimum kabupaten/kota harus tetap berdasarkan kesepakatan tripartit antara buruh, pengusaha, dan pemerintah. Fungsi upah minimum pada dasarnya sebagai jaring pengaman terhadap pekerja atau buruh agar tidak diekspolitasi dalam bekerja sehingga penentuannya tetap melibatkan pemerintah.

Tujuan utama ditetapkannya upah minimum adalah memenuhi standar hidup minimum seperti untuk kesehatan, efisiensi, dan kesejahteraan pekerja. Upah minimum adalah usaha untuk mengangkat derajat penduduk berpendapatan rendah, terutama pekerja miskin. Semakin meningkat tingkat upah minimum akan meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga kesejahteraan juga meningkat dan terbebas dari kemiskinan (Kaufman 2000). Beberapa hal yang menjadi bahan


(39)

pertimbangan termasuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja tanpa menafikkan produktifitas perusahaan dan kemajuannya, termasuk juga pertimbangan mengenai kondisi ekonomi secara umum.

2.4.5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita

Pro poor growth menurut Kakwani, et al. (2004) yaitu pertumbuhan ekonomi yang lebih memberikan keuntungan atau manfaat bagi penduduk miskin dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonominya. Jika ini terjadi maka akan berdampak semakin banyak penduduk miskin yang mengalami peningkatan pendapatan dan mampu keluar dari kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang pro poor akan terwujud jika pertumbuhan ekonomi lebih banyak dihasilkan dari partisipasi ekonomi penduduk miskin. Hal ini berdampak pada tingkat kemiskinan yang semakin mengecil.

Beberapa pendapat mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan seperti diuraikan Todaro dan Smith (2006). Pendapat pertama, pertumbuhan yang cepat berakibat buruk pada kaum miskin. Hal ini terjadi karena kaum miskin akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural pertumbuhan modern. Pendapat kedua, di kalangan pembuat kebijakan, pengeluaran publik yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk untuk mempercepat pertumbuhan. Pendapat ketiga, kebijakan untuk mengurangi kemiskinan bukan memperlambat laju pertumbuhan, dengan argumen sebagai berikut:

1. Kemiskinan membuat kaum miskin tidak punya akses terhadap sumber daya, menyekolahkan anaknya, tidak punya peluang berinvestasi sehingga akan memperlambat pertumbuhan perkapita.

2. Data empiris menunjukkan kaum kaya di negara miskin tidak mau menabung dan berinvestasi di negara mereka sendiri.

3. Kaum miskin memiliki standar hidup seperti kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah sehingga menurunkan tingkat produktivitas.

4. Peningkatan pendapatan kaum miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk lokal, sementara golongan kaya cenderung mengkonsumsi barang impor.


(40)

5. Penurunan kemiskinan secara masal akan menciptakan stabilitas sosial dan memperluas partisipasi publik dalam proses pertumbuhan.

Berbagai kebijakan pembangunan ekonomi seharusnya diterapkan dengan mempertimbangkan kepentingan seluruh elemen masyarakat, agar seluruh elemen masyarakat dapat berperan aktif dalam proses pertumbuhan ekonomi termasuk penduduk miskin. Peningkatan peran serta penduduk miskin dapat dilakukan dengan lebih memberdayakan penduduk miskin melalui perbaikan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) dan peningkatan akses terhadap sumber daya faktor produksi.

2.4.6 Pengangguran

Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Menurut The National Anti-Poverty Strategy (NAPS 1999), berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya di Ireland menyatakan bahwa pengangguran merupakan penyebab terbesar terjadinya kemiskinan. Keterkaitan antara pengangguran dengan kemiskinan sangat kuat. Pada tahun 1994, lebih dari setengah dari total keluarga di Ireland dipimpin oleh kepala keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan.

Sukirno (2004), menyatakan bahwa efek buruk dari pengangguran adalah berkurangnya tingkat pendapatan masyarakat yang pada akhirnya mengurangi tingkat kemakmuran/kesejahteraan. Kesejahteraan masyarakat yang turun karena menganggur akan meningkatkan peluang mereka terjebak dalam kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan. Apabila pengangguran di suatu negara sangat buruk, maka akan timbul kekacauan politik dan sosial dan ini mempunyai efek yang buruk pada kesejahteraan masyarakat dan prospek pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Suparno (2010) menemukan bahwa banyaknya pengangguran akan berdampak pada peningkatan kemiskinan di Indonesia.

2.4.7 Infrastruktur

Pertumbuhan ekonomi yang pro poor haruslah terwujud dalam upaya untuk menurunkan kemiskinan. Dalam teori pertumbuhan endogen, salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi adalah kapital. Wujud dari kapital sangat


(41)

beragam, dan penyediaan infrastruktur merupakan bentuk kepedulian pemerintah dalam berinvestasi untuk meningkatkan pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan.

Infrastruktur jalan sangat mendukung aktivitas ekonomi. Infrastruktur jalan yang bagus dapat meningkatkan mobilitas penduduk dan barang yang menghubungkan satu pusat aktivitas dengan pusat aktivitas lain di area yang berbeda. Penemuan Dercon dan Krishnan (1998), menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan perubahan tingkat kemiskinan adalah rumah tangga dengan modal manusia dan fisik yang lebih besar, serta akses jalan yang lebih baik memiliki tingkat kemiskinan yang lebih rendah.

Menurut Malmberg et. al (1997), infrastruktur jalan memiliki dampak pada pertumbuhan ekonomi baik di sektor pertanian maupun bukan pertanian, dan menciptakan kesempatan ekonomi bagi penduduk desa secara keseluruhan, termasuk yang miskin. Penelitian Khandker (1989) menemukan bahwa investasi pemerintah di jalan memiliki efek positif atas hasil panen, pekerja bukan pertanian di desa, dan upah petani dan semuanya itu menguntungkan penduduk miskin.

Kwon pada tahun 2001 pernah meneliti mengenai peran infrastruktur jalan desa dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Penelitiannya didasari fakta bahwa penduduk miskin pada umumnya terkonsentrasi di pedesaan dan cenderung terisolasi dengan daerah lainnya. Dengan demikian mobilitas mereka terbatas sehingga menyebabkan mereka tidak dapat berpartisipasi dari berbagai kesempatan tenaga kerja yang timbul dari proses pertumbuhan. Kurangnya infrastruktur jalan akan meningkatkan biaya produksi pertanian dan akibatnya menurunkan keuntungan mereka. Jika hal ini tidak segera diatasi maka sulit bagi mereka untuk keluar dari kemiskinan.

Infrastruktur jalan mengurangi kemiskinan melalui dua cara, yaitu dampak langsung (its own effect) dan dari dampak pada peningkatan kinerja variabel lainnya (the through-effect). Dampak langsung terlihat ketika pembangunan jalan berlangsung yaitu tambahan lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan pendapatan penduduk, meningkatkan hubungan antara produsen dan konsumen, pencari kerja dengan yang mempekerjakan. Dampak tak langsung dapat dijelaskan bahwa infrastruktur jalan dapat meningkatkan kinerja pasar input dan


(42)

pasar barang, sehingga hal ini akan mengurangi ongkos produksi. Ongkos produksi yang murah akan menjadikan harga barang lebih murah, sehingga daya beli masyarakat meningkat dan kemiskinan akan berkurang.

Selain jalan, ketersediaan infrastruktur listrik akan berpengaruh pada perekonomian dan pendapatan penduduk. Pengaruh infrastruktur listrik terhadap pendapatan penduduk miskin pernah di teliti oleh Balisacan, et al (2002) di Philipina dan Songco (2002) di Bangladesh. Hasil penelitian mereka adalah listrik secara positif memengaruhi pendapatan penduduk miskin melalui transmisi tidak langsung (pertumbuhan ekonomi) dan transmisi langsung (produktivitas dan upah).

Fan. et al (2002) menghasilkan temuan bahwa listrik secara signifikan berkontribusi pada pertumbuhan sektor non pertanian di perdesaan di China yang mengarah pada penurunan kemiskinan dengan elatisitas sebesar 0,42. Listrik memiliki peranan yang besar pada upaya pengurangan kemiskinan, setiap 10.000 Yuan yang digunakan untuk pembangunan listrik, maka mampu mengangkat orang miskin keluar dari kemiskinannya sebesar 2,3 orang.

Menurut Baliscanan, et al. (2002) bahwa listrik merefleksikan akses terhadap teknologi yang berkontribusi secara langsung terhadap kemiskinan dengan meningkatnya lapangan kerja dan pendapatan dari penduduk miskin di Indonesia. Namun, dalam laporan evaluasi Bank Dunia, banyak rumah tangga dengan tingkat kemiskinan ekstrim yang memilih untuk tidak menggunakan jaringan listrik yang tersedia (Ali dan Pernia 2003).

2.5 Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan

Meski mayoritas penduduk Indonesia pada tahun 1960-an dan 1970-an tergolong miskin, upaya penanggulangan kemiskinan tidak secara eksplisit dicantumkan dalam tujuan pembangunan lima tahunan (Pelita I hingga V), antara tahun 1969 dan 1994. Baru pada tahun 1994, pada permulaan Pelita VI, pemerintah secara tegas mengidentifikasi sasaran upaya penanggulangan dan penghapusan kemiskinan.

Dalam upaya ini, pemerintah menggunakan pendekatan langsung dan tidak langsung. Terdapat empat program utama yang dilakukan dengan pendekatan


(43)

langsung, yakni: (i) Inpres Desa Tertinggal (IDT); (ii) Program Pembangunan Kesejahteraan Keluarga (Takesra/Kukesra); (iii) Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K); (iv) Program kembar, yaitu Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK).

Lebih lanjut, upaya dan program penanggulangan kemiskinan dilakukan pemerintah pusat dan daerah, seperti yang dituangkan dalam lima pilar penanggulangan kemiskinan antara lain (1) perluasan kesempatan, ditujukan menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik dan sosial, (2) pemberdayaan masyarakat, dilakukan untuk mempercepat kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat dan memperluas partisipasi masyarakat miskin, (3) peningkatan kapasitas, dilakukan untuk pengembangan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha, (4) perlindungan sosial, dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok rentan dan masyarakat miskin, dan (5) kemitraan regional, dilakukan untuk pengembangan dan menata ulang hubungan dan kerjasama lokal, regional, nasional dan internasional guna mendukung pelaksanaan ke -4 strategi di atas.

Keseriusan pemerintah dalam menangani masalah kemiskinan tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 yang menyebutkan bahwa salah satu sasaran pembangunan ekonomi nasional adalah mempercepat penurunan tingkat kemiskinan hingga 8-10 persen pada akhir 2014. Untuk mencapainya, serangkaian kebijakan dan berbagai macam program aksi anti kemiskinan dirancang dan diimplementasikan sebagai upaya untuk membantu meringankan beban ekonomi rakyat miskin .

Pada tahun 2005 pemerintah meluncurkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan dengan membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) yang terdiri dari TKPK Nasional, TKPK Provinsi, dan TKPK Kabupaten/Kota. Tugas TKPK yaitu melakukan koordinasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan serta koordinasi pengendalian pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan antar departemen. Langkah selanjutnya, pada tanggal 25 Februari 2010 ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Untuk


(1)

Kesimpulan :

Model Fixed Effect (FEM) lebih baik daripada model Pooled Least Square

Lampiran 7 Hasil penguijian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman) untuk model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia

H0 : model Random Effect lebih baik daripada Fixed Effect

H1 : model Fixed Effect lebih baik daripada Random Effect

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 42.713418 10 0.0000

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.

LN_PDDK -0.145376 0.819004 0.193271 0.0283 LN_TANI -0.056197 -0.066531 0.000016 0.0093 LN_SMP 0.104666 0.015781 0.001524 0.0228 LN_SMU -0.187829 -0.059064 0.003108 0.0209 LN_PT 0.078204 0.088852 0.000600 0.6638 LN_UMP -0.106588 -0.077099 0.002585 0.5619 LN_PDRBKPT 0.053628 -0.010417 0.003763 0.2965 LN_NGANGGUR 0.044556 0.016318 0.000229 0.0623 LN_JLN -0.041957 -0.006066 0.000159 0.0044 LN_LISTRIK -0.158074 -0.349640 0.004037 0.0026

Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LN_MISKIN

Method: Panel Least Squares Date: 04/27/11 Time: 08:56 Sample: 2000 2009

Periods included: 10 Cross-sections included: 12

Total panel (balanced) observations: 120

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 8.261147 4.068985 2.030272 0.0450 LN_PDDK -0.145376 0.474170 -0.306590 0.7598 LN_TANI -0.056197 0.013518 -4.157315 0.0001 LN_SMP 0.104666 0.131346 0.796870 0.4275 LN_SMU -0.187829 0.171577 -1.094727 0.2763 LN_PT 0.078204 0.090293 0.866106 0.3885 LN_UMP -0.106588 0.073164 -1.456833 0.1484


(2)

LN_PDRBKPT 0.053628 0.080270 0.668099 0.5056 LN_NGANGGUR 0.044556 0.045368 0.982117 0.3285 LN_JLN -0.041957 0.029266 -1.433666 0.1549 LN_LISTRIK -0.158074 0.104046 -1.519280 0.1319

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.972560 Mean dependent var 6.331287 Adjusted R-squared 0.966680 S.D. dependent var 0.595132 S.E. of regression 0.108633 Akaike info criterion -1.437534 Sum squared resid 1.156518 Schwarz criterion -0.926494 Log likelihood 108.2521 Hannan-Quinn criter. -1.229998 F-statistic 165.4034 Durbin-Watson stat 0.961513 Prob(F-statistic) 0.000000

Karena nilai probabilitas Chi-Square berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai probabilitas sebesar 0.0000 yang berarti tolak H0.

Kesimpulan :

Model Fixed Effect (FEM) lebih baik daripada model Random Effect (REM)

Lampiran 8 Hasil estimasi untuk model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia

Dependent Variable: LN_MISKIN

Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 04/27/11 Time: 08:49

Sample: 2000 2009 Periods included: 10 Cross-sections included: 12

Total panel (balanced) observations: 120 Linear estimation after one-step weighting matrix

White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 12.38942 2.766154 4.478935 0.0000 LN_PDDK -0.780270 0.367493 -2.123227 0.0363 LN_TANI -0.053490 0.015188 -3.521796 0.0007 LN_SMP 0.115384 0.047591 2.424494 0.0172 LN_SMU -0.210970 0.072550 -2.907917 0.0045 LN_PT 0.192987 0.075118 2.569131 0.0117 LN_UMP -0.050989 0.021405 -2.382100 0.0191 LN_PDRBKPT -0.000232 0.025145 -0.009229 0.9927 LN_NGANGGUR 0.038834 0.020383 1.905185 0.0597 LN_JLN -0.034814 0.008184 -4.253880 0.0000 LN_LISTRIK -0.172140 0.080918 -2.127338 0.0359

Effects Specification


(3)

Weighted Statistics

R-squared 0.986893 Mean dependent var 8.575294 Adjusted R-squared 0.984084 S.D. dependent var 3.682695 S.E. of regression 0.102913 Sum squared resid 1.037928 F-statistic 351.3693 Durbin-Watson stat 1.263775 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.970913 Mean dependent var 6.331287 Sum squared resid 1.225956 Durbin-Watson stat 0.893043

Lampiran 9 Uji Asumsi Homoskedastisitas dengan White-test pada model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia

Dependent Variable: E_SQUARE Method: Panel Least Squares Date: 05/11/11 Time: 14:12 Sample: 2000 2009

Periods included: 10 Cross-sections included: 12

Total panel (balanced) observations: 120

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.195826 0.084130 2.327648 0.0218 LN_PDDK 0.056854 0.013454 4.225714 0.0000 LN_TANI -0.003937 0.002642 -1.489938 0.1391 LN_SMP 0.007031 0.016726 0.420345 0.6751 LN_SMU -0.012448 0.020850 -0.597020 0.5517 LN_PT -0.022114 0.011871 -1.862749 0.0652 LN_UMP 9.10E-05 0.005773 0.015762 0.9875 LN_PDRBKPT -0.001982 0.004448 -0.445458 0.6569 LN_NGANGGUR -0.022381 0.007336 -3.050813 0.0029 LN_JLN -0.006317 0.003107 -2.033473 0.0444 LN_LISTRIK 0.020705 0.007360 2.813261 0.0058

R-squared 0.243793 Mean dependent var 0.010216 Adjusted R-squared 0.174416 S.D. dependent var 0.026475 S.E. of regression 0.024056 Akaike info criterion -4.529715 Sum squared resid 0.063075 Schwarz criterion -4.274195 Log likelihood 282.7829 Hannan-Quinn criter. -4.425947 F-statistic 3.514046 Durbin-Watson stat 0.981310 Prob(F-statistic) 0.000477

Dalam White test, membandingkan antara N.R2 dengan χ2(α ; db)

Keterangan:

N : jumlah observasi R2 : koefisien determinasi

χ2


(4)

Hipotesis yang digunakan dalam white-test adalah sebagai berikut: H0 : varian error konstan (homoskedastisitas)

H1 : Varian error tidak konstan (heteroskedastisitas)

Kesimpulan: jika N.R2obs > χ2(α ; db) maka tolak H0

Hasil penghitungan:

N. R2 = 120 . 0,243793 = 29,25516

χ2

(0,05 ; 10) = 18,307

Karena nilai N.R2 obs > χ2(0,05 ; 10) maka dapat disimpulkan tolak H0 yang artinya

terdapat heteroskedastisitas dalam model.

Untuk mengatasi pelanggaran asumsi ini, maka estimasi model menggunakan metode General Least Square dengan weight white cross section.

Lampiran 10 Uji Normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia.

Hasil uji normalitas pada Eviews 6.0 sebagai berikut:

0 4 8 12 16 20

-0.2 -0.1 -0.0 0.1 0.2 0.3

Series: Standardized Residuals Sample 2000 2009

Observations 120 Mean -2.50e-17 Median 0.000299 Maximum 0.309697 Minimum -0.196668 Std. Dev. 0.093392 Skewness 0.333739 Kurtosis 3.434550 Jarque-Bera 3.171804 Probability 0.204763

Gambar 26 Uji Normalitas error term pada model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia.

Berdasarkan nilai probabilitas Jarque Bera yang lebih besar dari taraf nyata 5%, maka dapat disimpulkan bahwa error term terdistribusi dengan normal.


(5)

RINGKASAN

SRI WAHYUNI: Kemiskinan dan Kebijakan Penanggulangannya di Kawasan Barat dan Timur Indonesia. Dibimbing oleh M. PARULIAN HUTAGAOL dan RATNA WINANDI.

Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan nasional. Kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi yaitu sebesar 14,15 persen atau sekitar 32 juta penduduk pada tahun 2009. Berbagai program penanggulangan kemiskinan telah dilakukan dan dikembangkan oleh pemerintah. Namun kenyataan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan tetap tinggi. Beberapa kelemahan dari program-program tersebut, antara lain: pertama, program yang sifatnya bantuan bukan solusi yang tepat karena hanya menyembuhkan sementara, tidak menghilangkan kemiskinan. Kedua, kebijakan diambil didasarkan pada asumsi bahwa kemiskinan bersifat homogen di setiap daerah, sehingga kebijakan pemerintah kurang mempertimbangkan keragaman penyebab dan karakteristik kemiskinan daerah. Akibatnya, program yang dilaksanakan kurang sesuai dengan prioritas penanganan dan kebutuhan masyarakat miskin setempat (TNP2K 2010). Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan berdasarkan wilayah yaitu Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, (2) merumuskan kebijakan yang diharapkan lebih efektif menurunkan kemiskinan di kedua kawasan tersebut.

Data yang digunakan meliputi kemiskinan, jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, pengangguran, UMP, jumlah penduduk menurut jenjang pendidikan, PDRB perkapita dan data lainnya yang relevan. Sebagian besar data bersumber dari BPS. Kemiskinan dalam penelitian ini menggunakan konsep BPS. Cakupan analisis 26 provinsi yang terbagi dalam Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia dengan periode penelitian 2000-2009. Pengolahan data menggunakan softwareMicrosoft Excel dan Eviews 6.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesamaan penyebab kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia adalah pengangguran. Hasil ini mempunyai implikasi bahwa program penanggulangan kemiskinan yang berbasis bantuan bukan solusi yang tepat karena yang dibutuhkan masyarakat adalah lapangan pekerjaan. Selain itu, penelitian ini juga menghasilkan temuan adanya perbedaan penyebab kemiskinan di kedua kawasan. Kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia disebabkan oleh kepadatan penduduk yang tinggi terutama di Pulau Jawa dan Bali dengan tingkat pendidikan penduduk masih rendah dan sebagian besar penduduk masih mengandalkan sektor pertanian primer sebagai mata pencaharian utama. Kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia disebabkan kurangnya penduduk yang berarti tenaga kerja rendah dan kurangnya ketersediaan fasilitas publik seperti infrastruktur jalan dan listrik. Ketersediaan infrastruktur yang rendah akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan. dengan demikian program penanggulangan kemiskinan yang bersifat homogen tidak efektif mengatasi kemiskinan. Perbedaan penyebab kemiskinan tersebut dapat sebagai bukti bahwa program penanggulangan kemiskinan yang bersifat homogen tidak efektif menanggulangi kemiskinan.


(6)

Kebijakan transmigrasi sebaiknya dilakukan untuk pemerataan penduduk, pengurangan pengangguran, meningkatkan kesempatan kerja dan peningkatan pembangunan baik di daerah asal maupun daerah tujuan. Berkaitan dengan sektor pertanian, pengurangan jumlah pekerja sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia harus dilakukan karena jumlahnya yang melimpah sementara lahan semakin sempit membuat penambahan jumlah pekerja pertanian tidak lagi memberikan nilai tambah tetapi justru akan menurunkan produktivitasnya. Pengembangan usaha agroindustri akan sangat bermanfaat, dimana banyaknya pekerja pertanian dapat dialihkan menjadi pekerja di usaha agroindustri. Berkembangnya usaha tersebut akan menambah lapangan pekerjaan sehingga dapat mempekerjakan banyak tenaga kerja dan pengangguran dapat berkurang. Di sisi yang lain, usaha agroindustri akan menguntungkan banyak pihak, antara lain petani, pengusaha dan pekerjanya.

Terkait dengan kualitas sumberdaya manusia, seyogyanya kebijakan pemerintah tidak hanya mewajibkan masyarakat untuk menempuh pendidikan sampai pada level pendidikan dasar. Pemberian beasiswa bagi masyarakat miskin perlu ditingkatkan sampai jenjang SMU agar setelah lulus dapat memasuki dunia kerja dengan bekal pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan dan keteampilan dapat meningkatkan produktivitas kerja mereka yang selanjutnya dapat memperbaiki kondisi perekonomiannya, meningkatkan kesejahteraanya dan rantai kemiskinan bisa terputus.

Pada Kawasan Timur Indonesia, prioritas kebijakan seyogyanya lebih difokuskan pada penambahan jumlah penduduk. Penambahan jumlah penduduk diharapkan dapat memberikan tambahan input tenaga kerja bagi aktivitas produksi yang ada, menciptakan lapangan kerja yang baru dan meningkatkan pembangunan. Terkait dengan aktivitas ekonomi di Kawasan Timur Indonesia, kegiatan pertanian masih menjadi prioritas. Menurut hasil pengamatan, penambahan jumlah tenaga kerja pertanian akan meningkatkan marginal product of labor pertanian dan akan meningkatkan outputnya sehingga bisa memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakatnya dan kemiskinan menurun.

Keterbatasan sumberdaya manusia, modal fisik, keterisolasian dan kurangnya akses terhadap pelayanan publik dan infrastruktur di Kawasan Timur Indonesia menyebabkan peluang-peluang ekonomi menjadi terbatas pula. Intervensi pemerintah sangat diperlukan terutama membangun infrastruktur agar aktivitas ekonomi meningkat dan memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses pelayanan publik.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia terbukti berbeda. Maka dari itu dalam upaya menanggulangi kemiskinan dibutuhkan kebijakan yang berbeda pula. Saran yang dapat dipertimbangkan adalah kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia harus lebih ditekankan pada transmigrasi dan pengembangan usaha berbasis agroindustri. Pada Kawasan Timur Indonesia, kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan lebih difokuskan pada penambahan penduduk dan pembangunan infrastruktur.

Kata kunci: kemiskinan, Kawasan Barat Indonesia, Kawasan Timur Indonesia, analisis regresi data panel, rumusan kebijakan