Diameter Latisifer Analisis Histologi .1 Tebal Kulit
besar jika dibandingkan perlakuan JA, NAA dan kombinasinya pada kedua klon. Jika dikaitkan dengan parameter sebelumnya, perlakuan kontrol memiliki jumlah
latisifer yang sedikit dan memiliki diameter yang besar. Dengan demikian induksi zat pengatur tumbuh yang diberikan mengakibatkan pertambahan jumlah latisifer
dan membuat ukurannya semakin kecil. Diameter latisifer yang bertambah kecil diduga karena aktifitas pembelahan sel-sel latisifer yang meningkat.
Tabel 3. Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap ukuran diameter pada klon karet PB 260 dan IRR 42.
Perlakuan KLON
Rataan PB 260
IRR 42
Kontrol 36,09
44,43 40,26a
JA 30,79
32,21 31,50b
NAA 30,53
33,23 31,88b
JA+NAA 27,07
31,77 29,42b
Rataan
31,12a 35,41a
33,26
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Duncans Multiple Range Test pada
taraf α 5
Parameter-parameter histologi merupakan komponen yang penting untuk menentukan karakter produksi pada beberapa progeni tanaman Hevea brasiliensis.
Menurut Sethuraj Mathew 1992, salah satu parameter histologi yang juga penting adalah diameter latisifer. Besaran diameter pembuluh lateks sangat
dipegaruhi oleh umur tanaman Woelan dan Sayurandi, 2009. Menurut Evans et al. 1984, dua hormon yang digabungkan dan
diaplikasikan mungkin bekerja secara masing-masing atau mungkin berinteraksi dalam mempengaruhi proses yang sama. Ketika dua hormon memberikan
pengaruh yang sebanding saat diperlakukan secara tunggal, dapat diartikan bahwa gabungan dari kedua hormon tersebut bekerja secara masing-masing dalam
mempengaruhi suatu proses, tetapi ketika gabungan hormon menunjukkan hasil yang lebih besar atau lebih sedikit dibandingkan jumlah respon yang ditimbulkan
pada masing-masing hormon maka proses tersebut dipengaruhi oleh interaksi dari kedua hormon.
Karakteristik auksin terhadap jaringan batang adalah sebagai promotor pemanjangan sel dalam 10 sampai 20 menit setelah aplikasi yang diikuti dengan
peningkatan pembentukan dinding sel, perenggangan dinding sel dan sekresi ion
hidrogen. Stimulasi pemanjangan sel pada batang terjadi pada sebagian besar tanaman dikotil Evans et al, 1984. Tetapi mungkin Hevea brasiliensis tidak
mengalami aturan demikian. Dijelaskan oleh Koryati 2004 melalui penelitiannya bahwa, auksin dalam bentuk IAA tidak memberikan perbedaan yang nyata
terhadap jumlah dan diameter latisifer.
4.2 Analisis Fisiologi 4.2.1 Kadar Sukrosa Lateks
Perhitungan sukrosa dilakukan pada 20 kali pengenceran didalam larutan asam triklorat TCA. Konsentrasi sukrosa diukur menggunakan sprektrofotometer pada
panjang gelombang 627 nm. Dari data penghitungan dan hasil sidik ragam kadar sukrosa Lampiran 20, 21 menunjukkan bahwa jenis klon dan jenis zat pengatur
tumbuh yang diperlakukan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar sukrosa pada tanaman muda usia 4 tahun.
Jenis klon dan jenis perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar sukrosa. Terjadi penurunan kadar sukrosa pada klon PB 260 dan
IRR 42 jika dibandingkan oleh kontrol perlakuan Tabel 4. Kadar sukrosa yang dihasilkan berkisar antara 4-6 mM tergolong kedalam kategori rendah-sedang d’
Auzac, 1989. Hal ini mungkin disebabkan karena tanaman yang digunakan merupakan tanaman muda dan merupakan tanaman belum meghasilkan sehingga
proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman masih aktif seperti pembentukan latisifer. Latisifer membutuhkan sukrosa dalam jumlah yang banyak sebagai
substansi utama yang dimafaatkan dalam pembentukannya. Tabel 4. Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap ukuran kadar
sukrosa lateks pada klon karet PB 260 dan IRR 42.
Perlakuan KLON
Rataan PB 260
IRR 42
Kontrol 6,15
6,04 6,09a
JA 5,31
4,44 4,87a
NAA 5,77
4,62 5,19a
JA+NAA 6,08
4,80 5,44a
Rataan 5,83a
4,97a 5,40
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Duncans Multiple Range Test pada
taraf α 5
Regulasi hormon terhadap pertumbuhan dan perkembangan bergantung pada respon aplikasi hormon kepada tanaman. Pertumbuhan dan perkembangan
merupakan hal yang dapat membatasi produktivitas tanaman. Beberapa proses penting seperti fotosintesis, metabolisme nitrogen dan berbagai proses yang lain
mungkin tidak menyebabkan produktivitas tanaman meningkat karena hasil dari proses-proses tersebut digunakan untuk proses pertumbuhan dan perkembangan
Evans et al, 1984. Perbedaan antar spesies dapat dipahami setelah ditemukan bahwa
fotosintesis itu sendiri adalah sistem reaksi enzimatik yang cenderung dipengaruhi oleh keseluruhan sistem metabolisme sel Steward, 1960. Fotosintesis merupakan
suatu proses pembentukan karbohidrat sakarida dari senyawa anorganik dengan bantuan cahaya matahari Ai, 2012.
Menurut d’Auzac et al. 1989, regenerasi lateks dikontrol oleh 4 mekanisme yakni:
1. Ketersediaan sukrosa
2. Regulasi aktivitas enzimatik
3. Ketersediaan energi biokimia dan regenerasi insitu
4. Reaksi yang menginduksi fenomena penuaan dan reaksi anioksidan yang
melawan molekul oksigen toksik atau detoksifikasi latisifer. Latisifer merupakan tempat utama dari biosintesis karet Priyadarshan,
2011. Sakarida didalam latisifer terutama hadir dalam bentuk sukrosa. Sukrosa tersebut merupakan prekursor dalam pembentukan partikel karet. Alokasi sukrosa
kelatisifer didasari pada keseimbangan antara sukrosa yang dihasilkan dan yang dimanfaatkan d’Auzac et al., 1989.
Perubahan kadar sukrosa pada lateks setelah diberi perlakuan seperti auksin sintetik dan etephon sangat dipengaruhi oleh tingkat metabolisme dalam
jaringan d’Auzac et al., 1989. Kadar sukrosa rendah 5 mM memberikan indikasi penggunaan bahan asimilat menjadi lateks sangat intensif atau dapat
dikatakan tanaman mengalami lelah fisiologi dengan kemampuan produksi yang semakin menurun Sumarmadji dkk, 2006.
Kadar sukrosa yang terukur dalam lateks merupakan selisih antara influks sukrosa dengan banyaknya sukrosa yang digunakan untuk metabolisme lateks.