Alat Tangkap Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Gambar 3. Peta distribusi P. tayenus di dunia www.fishbase.org Ikan swanggi merupakan jenis ikan target tangkapan sehingga merupakan ikan ekonomis. Kegiatan penangkapannya dipengaruhi oleh cuaca dan musim. Namun demikian, musim penangkapan ikan ini terjadi setiap hari sepanjang tahun. Vijayakumaran Naik 1988 in Sivakami et. al 2005 melaporkan bahwa hasil tangkapan Priacanthus hamrur tertinggi yang didaratkan di Karnataka, India didapatkan pada bulan Maret dan berasal dari kedalaman 51-100 m dan 151-200 m, sementara hasil tangkapan pada bulan September-November tergolong rendah.

2.2. Alat Tangkap

Ikan swanggi dapat ditangkap menggunakan alat tangkap demersal seperti jaring arad, cantrang, jaring dogol, lampara dasar, jaring jogol, jaring insang, dan pukat pantai. Berdasarkan data yang diperoleh dari PPP Labuan, ikan swanggi ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang. Cantrang dapat diklasifikasikan menurut cara pengoperasiannya, bentuk konstruksi serta fungsinya, mempunyai banyak kemiripan dengan pukat harimau. Menurut Subani Barus 1989: cantrang, dogol, paying, dan bundes diklasifikasikan ke dalam alat tangkap “danish seine” berbentuk panjang tetapi penggunaannya untuk menangkap Ikan Demersal terutama udang. Menurut Subani Barus 1989, daerah penangkapan fishing ground cantrang tidak jauh dari pantai, pada bentuk dasar perairan berlumpur atau lumpur berpasir dengan permukaan dasar rata. Daerah tangkapan yang baik kelompok alat tangkap “danish seine” harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Dasar perairan rata dengan substrat pasir, lumpur atau tanah liat berpasir. b. Arus laut cukup kecil 3 knot. c. Cuaca terang tidak ada angin kencang. Gambar 4. Cara pengoperasian jaring cantrang www.beritanyata.blogspot.com

2.3. Pertumbuhan

2.3.1. Hubungan panjang bobot

Pendugaan suatu pertumbuhan memiliki dua model yang dapat digunakan yaitu model yang berhubungan dengan bobot dan model yang berhubungan dengan panjang. Hubungan panjang bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Hubungan ini dapat digunakan untuk menduga bobot melalui panjangnya Effendie 2002. Model pertumbuhan dengan pendekatan panjang berat dapat menjelaskan kondisi pertumbuhan ikan swanggi Sukamto 2010 mengemukan bahwa ikan swanggi memiliki pertumbuhan allometrik negatif. Hasil serupa diperoleh dari penelitian Joung et. al 1992 di perairan sekitar pulau Guei-Shan, Taiwan mengemukanan ikan swanggi P. macracanthus memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif. Hasil yang berbeda ditunjukan oleh penelitian Awong et. al 2011 yang dilakukan di Perairan Malaysia menunjukan ikan swanggi memiliki pola pertumbuhan allometrik positif dengan nilai b sebesar 3,3525. Pada ikan swanggi, pola pertumbuhan allometrik negatif diduga dipengaruhi oleh faktor spesies dan tekanan penangkapan Pertumbuhan ikan tergantung dari ketersediaan makanan dan daya cernanya. Faktor eksternal yang sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu suhu dan makanan. Priyanie 2006 menyatakan bahwa kondisi lingkungan tempat hidup ikan memegang pengaruh yang kuat terhadap pertumbuhan ikan. Pada ikan tropik, makanan merupakan faktor yang lebih penting.

2.3.2. Sebaran frekuensi panjang

Sebaran frekuensi panjang digunakan untuk memperoleh posisi dan perubahan kelompok umur. Metode numerik dikembangkan untuk melakukan analisis sebaran frekuensi panjang menggunakan data frekuensi panjang ikan total untuk stok spesies tropis, yang sering disebut sidik frekuensi panjang. Tujuan analisis data berdasarkan sidik frekuensi panjang untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu. Analisis tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran Sparre Venema 1999. Penelitian Awong et al. 2011 yang dilakukan di Teluk Darvel, Sabah Malaysia menghasilkan distribusi frekuensi panjang ikan swanggi P. tayenus memiliki panjang standar berkisar antara 50 - 250 mm dengan panjang rata-rata 150 mm. Kelompok umur didapatkan sebanyak 3 kelompok, sementara penelitian yang dilakukan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, ikan swanggi memiliki sebaran frekuensi panjang antara 140 – 230 mm Badrudin et al. 2010. Penelitian ikan swanggi P. hamrur yang dilakukan di India menunjukan sebaran frekuensi yang berkisar antara 120 – 450 mm dengan musim pemijahan pada bulan Maret dan April. Ikan swanggi betina berukuran lebih besar daripada ikan jantan Premalatha 1997.

2.3.3. Parameter pertumbuhan

Pertumbuhan individu merupakan suatu pertambahan ukuran panjang atau berat pada periode waktu tertentu. Pertumbuhan populasi adalah pertambahan jumlah yang kemudian sering disebut bahwa pertumbuhan merupakan proses biologi kompleks yang secara umum dipengaruhi oleh banyak faktor yang berasal dari luar maupun dari dalam. Parameter pertumbuhan dievaluasi dari pertumbuhan panjang dan bobot. Penelitian ikan swanggi P. hamrur di perairan India oleh Sivakami et. al 2005 memiliki parameter pertumbuhan L ∞ sebesar 410 mm, K sebesar 0,59tahun, dan L max sebesar 262 mm. Perbedaan antara panjang asimtotik dengan panjang maksimum ikan contoh yang sangat besar ini menandakan adanya faktor yang mengakibatkan pertumbuhan ikan ini cenderung lambat dibandingkan dengan penelitian lain yang dilakukan di perairan India Tabel 1 . Tabel 1. Parameter pertumbuhan ikan swanggi di perairan India Lokasi L max mm L ∞ mm K Sumber NW coast 341 360 0,70 Chackaborty, 1994 NW coast n.a 345 0,66 Chackaborty et al. 1994 NW coast n.a 360 0,64 Chackaborty vidyasagar 1996 West coast 368 410 0,59 Sivakam et al. 2005 Upper east coast 262 284 0,37 Philip Mathew 1996 Sumber : Sivakami et. al 2005 Sivakami 2005 mengatakan bahwa faktor yang menjadi penghambat pertumbuhan ikan swanggi yang diteliti yaitu habitat ikan yang sempit sehingga ruang gerak terbatas. Penelitian yang dilakukan di Taiwan oleh Joung 1992 diperoleh ikan betina memiliki L ∞ sebesar 620 mm, K sebesar 0,088tahun, dan t sebesar -1,05 tahun, dan ikan jantan memiliki memiliki L ∞ sebesar 482 mm, K sebesar 0,113tahun, dan t sebesar -0,75 tahun.

2.4. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Mortalitas terdiri dari mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi akibat selain penangkapan meliputi berbagai faktor seperti kematian, predasi, penyakit, dan usia. Ikan yang pertumbuhannya cepat memiliki nilai koefisien pertumbuhan dan mortalitas yang tinggi. Mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan Sparre dan Venema 1999. Laju eksploitasi didefinisikan sebagai bagian suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Laju ekspliotasi adakah jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati baik karena faktor alam maupun faktor penangkapan Pauly 1984. Gulland 1971 in Pauly 1984 menduga bahwa suatu stok yang dieksploitasi secara optimal maka laju mortalitas penangkapannya F akan setara dengan laju mortalitas alaminya M atau dapat dinyatakan bahwa laju eksploitasi E sama dengan 0,5. Laju eksploitasi penting untuk diketahui sehingga dapat menduga kondisi dari perikanan dalam pengkajian stok ikan King 1995 Penelitian ikan swanggi yang dilakukan di perairan India oleh Sivakami 2005 memiliki nilai mortalitas total beriksar antara 3,99 sampai 6,14, nilai mortalitas alami sebesar 1.14, nilai mortalitas penangkapan berkisar 3,32 -5,00 dan nilai laju eksploitasi 0,73 – 0,78. Nilai tersebut menunjukan ikan swanggi P. harmur di Pantai Barat India telah mengalami eksploitasi. Inges Pauly 1984 in Sivakami 2005 telah memperoleh mortalitas alami P. tayenus sebesar 8,09 di Laut Samar. Chakraborty et al. 1994 in Sivakami 2005 memperkirakan nilai M sebesar 1,10 untuk P. hamrur di pantai Maharashtra. Philip Mathew 1996 in Sivakami 2005 telah melaporkan nilai M sebesar 0,9 dan 0,936 untuk ikan swanggi jantan dan betina

2.5. Pengkajian Stok Ikan