b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman IB, yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun : ringan : 0-200, sedang : 200-600, berat : 600 2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hipereaktiviti bronkus 4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
c. Klasifikasi
Terdapat 3 jenis emfisema menurut morfologinya: 1. Centriacinar Emphysema dimulai dengan destruksi pada bronkiolus dan meluas
ke perifer, mengenai terutamanya bagian atas paru. Tipe ini sering terjadi akibat kebiasaan merokok yang telah lama.
2. Panacinar Emphysema panlobuler yang melibatkan seluruh alveolus distal dan bronkiolus terminal serta paling banyak pada bagian paru bawah.
Emfisema tipe ini adalah tipe yang berbahaya dan sering terjadi pada pasien dengan defisiensi α1-antitripsin.
3. Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus. Proses ini terlokalisir di septa fibrosa atau berhampiran pleura
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003.
d. Manifestasi Klinis
Gejala spesifik adalah sesak nafas saat melakukan kegiatan exertional breathlessness yang disertai batuk kering dan mengi. Sesak nafas tampak jelas
pada penyakit yang telah parah. Penderita menunjukkan hyperinflated lung
Universitas Sumatera Utara
dengan berkurangnya ekspansi dada saat inspirasi, perkusi hipersonor dan nafas pendek.
e. Penatalaksanaan
Baughman Hackley 2000 menyebutkan penatalaksanaan emfisema paru yaitu:
1. Penyuluhan, menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan
dengan baik. 2. Pencegahan
a. Rokok, merokok harus dihentikan meskipun sukar. Penyuluhan dan usaha yang optimal harus dilakukan
b. Menghindari lingkungan polusi, sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik-pabrik yang
mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap saluran nafas. c. Vaksin, dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap
influenza dan infeksi pneumokokus. 3. Terapi Farmakologi, tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan
nafas yang masih mempunyai komponen reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan:
a. Pemberian Bronkodilator, Golongan teofilin, biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mgkg BB per oral dengan memperhatikan kadar teofilin dalam
darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-15mgL. Golongan
Universitas Sumatera Utara
agonis B2, biasanya diberikan secara aerosolnebuliser. Efek samping utama adalah tremor,tetapi menghilang dengan pemberian agak lama.
b. Pemberian Kortikosteroid, pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi saluran nafas. Hinshaw dan Murry
menganjurkan untuk mencoba pemberian kortikosteroid selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan.
c. Mengurangi sekresi mukus, minum cukup, supaya tidak dehidrasi dan mukus lebih encer sehingga urine tetap kuning pucat. Ekspektoran, yang sering
digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan amonium klorida. Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan
mengencerkan sputum. Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin.
4. Fisioterapi dan Rehabilitasi, tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi
kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan vokasional. Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk : Mengeluarkan mukus dari
saluran nafas, memperbaiki efisiensi ventilasi, memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis, pemberian O2 dalam jangka panjang akan
memperbaiki emfisema disertai kenaikan toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu
latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jamhari akan mempunyai hasil lebih baik dari pada pemberian 12 jamhari.
Universitas Sumatera Utara
2.4.4. Kanker Paru a.Pengertian
Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari luar
paru metastasis tumor di paru. Kanker paru merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus bronchogenic carcinoma.
Kanker adalah penyakit gen. Sebuah sel normal dapat menjadi sel kanker apabila oleh berbagai sebab terjadi ketidak seimbangan antara fungsi onkogen dengan gen
tumor suppresor dalam proses tumbuh dan kembangnya sebuah sel. Perubahan atau mutasi gen yang menyebabkan terjadinya hiperekspresi onkogen danatau
kuranghilangnya fungsi gen tumor suppresor menyebabkan sel tumbuh dan berkembang tak terkendali. Perubahan ini berjalan dalam beberapa tahap atau
yang dikenal dengan proses multistep carcinogenesis. Perubahan pada kromosom, misalnya hilangnya heterogeniti kromosom atau LOH juga diduga sebagai
mekanisme ketidak normalan pertumbuhan sel pada sel kanker Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003.
b. Gejala Klinis
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala klinis. Bila sudah menunjukkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut.
Menurut Amin 2009, gejala-gejala kanker paru dapat bersifat lokal tumor tumbuh setempat yaitu: batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis,
hemoptisis batuk darah, mengi wheezing, stridor karena ada obstruksi saluran napas, kadang terdapat kavitas seperti abses paru, atelektasis. Gejala-gejala yang
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan invasi lokal yaitu: nyeri dada, dispnea karena efusi pleura, invasi ke perikardium, sindrom vena cava superior, sindrom Horner facial anhidrosis,
ptosis, miosis, suara serak, karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent , sindrom Pancoast, karena invasi pada pleksus brakialis dan saraf simpatis
servikalis. Gejala-gejala yang menunjukkan penyakit metastasis yaitu: pada otak, tulang, hati, adrenal, adanya limfadenopati servikal dan supraklavikula sering
menyertai metastasis, sindrom paraneoplastik terdapat pada 10 kanker paru, dengan gejala sistemik yaitu penurunan berat badan, anoreksia, demam kemudian
gejala hematologi yaitu leukositosis, anemia, hiperkoagulasi, hipertrofi osteoartropati, selanjutnya gejala neurologik yaitu dementia, ataksia, tremor,
neuropati perifer, neuromiopati, kemudian gejala endokrin yaitu sekresi berlebihan hormone paratiroid hiperkalsemia, selanjutnya gejala dermatologik
yaitu eritema multiform, hyperkeratosis, jari tabuh, kemudian gejala di renal yaitu syndrome of inappropriate antidiuretic hormone SIADH. Gejala-gejala
asimtomatik dengan kelainan radiologis sering terdapat pada perokok dengan PPOK COPD yang terdeteksi secara radiologis dan kelainan berupa nodul
soliter.
c. Klasifikasi Kanker Paru