Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

yang nyata peranan relatif sektor insdutri jauh lebih tinggi dari sektor pertanian 5. Masa konsumsi tinggi the age of high mass consumption, adalah masa dimana masyarakat sudah tidak ditekankan pada produksi tetapi pada konsumsi dan kesejahteraan masyarakat serta saling berkompetisi mendapatkan sumberdaya dan dukungan politik.

c. Teori Pertumbuhan Harrod-Domar

Harrod-Domar menekankan tentang perlunya penanaman modal dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dimana terdapat korelasi positif antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi, dapat dikatakan bahwa kurangnya investasi di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat perkapita di wilayah tersebut rendah karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur.

2.5.3. Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Teori pertumbuhan wilayah dimulai dari model dinamika wilayah yang sederhana sampai dengan model yang komprehensif, mulai dari teori resource endowment,teori export base, teori pertumbuhan wilayah neoklasik, model ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah dan sebuah teori baru mengenai pertumbuhan wilayah. Teori resource endowment mengatakan bahwa pengembangan ekonomi bergantung sumberdaya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya itu Perloff and Wingo, 1961. Teori pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan bagian penting dalam analisis ekonomi wilayah dan perkotaan yang menjelaskan mengapa suatu daerah UNIVERSITAS SUMATRA UTARA dapat tumbuh cepat dan ada pula yang tumbuh lambat. Disamping itu juga dapat menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan antardaerah dan mengapa hal itu terjadi Sjafrizal, 2012. Pengertian pertumbuhan ekonomi wilayah daerah sebagai pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah value added yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan ini diukur dalam nilai riil dinyatakan dalam harga konstan Taringan 2004. Salah satu indikator keberhasilan tujuan pembangunan ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi dan berkurangnya ketimpangan baik didalam distribusi pendapatan penduduk maupun antar wilayah. Pola pertumbuhan ekonomi regional wilayah berbeda dengan apa yang lazim ditemukan pada pertumbuhan ekonomi nasional. Faktor-faktor yang mendapat perhatian utama adalah keuntungan lokasi, aglomerasi, migrasi dan arus lalu lintas modal antar wilayah. Adapun beberapa teori pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal Sirojuzilam,2011, antara lain : 1. Export Base-Models, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh eksploitasi pemanfaatan alamiah dan pertumbuhan basis ekspor daerah yang bersangkutan. 2. Neo-Classic, menyatakan bahwa unsur-unsur yang menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah modal, tenaga kerja, dan teknologi. 3. Cummulative Causation Models, menyatakan bahwa peningkatan pemerataan pembangunan antar daerah tidak hanya dapat diserahkan pada kekuatan pasar UNIVERSITAS SUMATRA UTARA market mechanism, tetapi perlu adanya campur tangan untuk daerah–daerah yang relatif masih terbelakang. 4. Core Periphery Models, menekankan analisa pada hubungan yang erat dan saling mempengaruhi antara pembangunan kota core dan desa periphery. 5. Growth Pole, menyatakan bahwa pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi di segala tata-ruang, akan tetapi hanya terbatas pada beberapa tempat tertentu dengan variabel–variabel yang berbeda intensitasnya. Salah satu cara untuk menggalakkan kegiatan pembangunan dari suatu daerah tertentu melalui pemanfaatan “aglomeration economics“ sebagai faktor pendorong utama. Hoover Fisher dalam Sirojuzilam dan Mahalli 2011 menjelaskan rangkaian tahapan perkembangan dan pertumbuhan suatu wilayah regional stage of development, sebagai berikut : 1. Tahap pertama, perekonomian wilayahpenduduk sangat tergantung kepada hasil alam dan sektor pertanian, 2. Tahap kedua, wilayah mulai mengembangkan spesialisasi lokal dan perdagangan seiring dengan perbaikan transportasi, antara lain dicirikan dengan mulai munculnya industri sederhana di pedesaan, 3. Tahapan ketiga, sudah mulai terjadi perdagangan antar wilayah, antara lain dicirikan dengan perubahan sektor pertanian ke perkebunan, 4. Tahapan keempat, seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan berkurang nya pendapatan di sektor pertanianperkebaunan maka wilayah didorong untuk bergerak ke arah industrialisasi sekunder, antara lain: pertambangan, industri pengo lahan makanan, industri pengolahan kayu, industri pengolahan bahan setengah jadi. UNIVERSITAS SUMATRA UTARA 5. Tahapan kelimaterakhir, wilayah mengkhususkan diri pada industri berorientasi ekspor ekspor modal, tenaga ahli, jasa pelayanan kepada daerah belakangnya. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi regional antara lain ditentukan oleh faktor-faktor antara lain : investasiakumulasi modal, jumlah penduduk, tenaga kerja, industri dan teknologi Neo-Klasik, Bort Stein, Hoover Fisher dan Todaro. Beberapa Alternatif model pertumbuhan ekonomi wilayah yang dapat digunakan dalam melakukan perumusan kebijakan pembangunan daerah yang pada dasarnya memberikan beberapa faktor penting yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah berikut struktur dan kaitannya dengan ketimpangan pembangunan ekonomi wilayah Sjafrizal, 2012 yaitu : 1. Model Basis Ekspor Export-Base Model, pertumbuhan ekonomi suatu wilayah pada dasarnya ditentukan oleh besarnya Keuntungan Kompetitif Competitive Advantage yang dimiliki oleh wilayah tersebut. 2. Model Interregional Income, ekspor diasumsikan sebagai faktor yang berada dalam sistim perekonomian daerah bersangkutan endogeneous variabel yang fluktuasinya ditentukan oleh perkembangan kegaiatan perdagangan antarwilayah. 3. Shift-Share analysis, dapat mengidentifikasi peranan ekonomi nasional dan kekhususan daerah bersangkutan terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah bersangkutan. 4. Model Neo-klasik, pertumbuhan ekonomi suatu wilayah akan sangat ditentukan oleh kemampuan wilayah tersebut untuk meningkatkan kegiatan produksinya. Sedangkan kegiatan produksi pada suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi daerah yang bersangkutan, tetapi juga ditentukan pula oleh mobilitas tenaga kerja dan mobilitas modal antardaerah. UNIVERSITAS SUMATRA UTARA 5. Model Penyebab Berkumulatif Cumulative Causation Model, tidak percaya pemerataan pembangunan antardaerah akan dapat dicapai dengan sendirinya berdasarkan mekanisme pasar, namun ketimpangan pembangunan regional hanya akan dapat melalui program pemerintah. 6. Model Kota dan Desa Center-pheriphery Model, bahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sangat ditentukan oleh adanya sinergi yang kuat antara kegiatan ekonomi daerah pedesaan rual dengan kegiatan daerah perkotaan. 2.6. Kerangka Berpikir 2.6.1. Hubungan Antara Disparitas Pembangunan Antarwilayah dengan