Analysis of Cocoa Production and Marketing in Kabupaten Padang Pariaman West Sumater Province

(1)

1

ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN KAKAO

DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN

PROPINSI SUMATERA BARAT

D A N I L

S E K O L A H P A S C A S A R J A N A

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Produksi dan Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Propinsi Sumatera Barat adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang terbitan maupun tidak terbitan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2012

DANIL NRP. H353100051


(4)

(5)

ABSTRACT

DANIL. Analysis of Cocoa Production and Marketing in Kabupaten Padang Pariaman West Sumater Province ( MUHAMMAD FIRDAUS as a Chairman and SRI HARTOYO as a Member of the Advisory Committee)

The aim of this research is to analyze factors that influence cocoa production, identified marketing chanel of cocoa, estimated marketing margin and determined farmer share. This research used survey method to cocoa farmer and wholeseller. Production analysis using Cobb-Douglas fuction and to analyze marketing structure, conduct and performent analysis is used. The result of this research show that cocoa production influenced by labour, manure, chemical fertilizer, land area, number of plants produced dan farmer education. Performance marketing of cocoa in Kabupaten Padang Pariaman is inefficient. It is based on margin indicators and farmer share. According to result number of fertilizer and plants produced need to optimalize in order to increased cocoa production. Bargaining power of cocoa farmers need to increased by optimalize farmer association.


(6)

(7)

RINGKASAN

DANIL. Analisis produksi dan Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Propinsi Sumatera Barat (MUHAMMAD FIRDAUS sebagai Ketua dan SRI HARTOYO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Kabupaten Padang Pariaman merupakan daerah sentra pengembangan kakao di Propinsi Sumatera Barat, hal ini didukung oleh sumberdaya alam dan keadaan sosial budaya. Dengan adanya kebijakan pemerintah daerah menetapkan Kabupaten Padang Pariaman sebagai sentra pengembangan kakao, sehingga luas areal panen dan produksi terus meningkat. Tapi disisi lain produktivitasnya masih rendah dibandingkan dengan produktivitas potensial kakao. Belum diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan kinerja lembaga pemasaran kakao merupakan masalah dalam usaha pengembangan kakao rakyat. Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di Kabupaten Padang Pariaman, (2) mengidentifikasi jalur dan karakteristik lembaga pemasaran kakao di Kabupaten Padang Pariaman, (3) menduga marjin yang diterima setiap lembaga pemasaran, (4) menentukan besarnya bagian harga yang diterima petani.

Analsis produksi menggunakan fungsi Cobb Douglas sedangkan kinerja pemasaran di analsis dengan melihat struktur, perilaku dan keragaan pasar. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) yaitu di Kecamatan V Koto Kampung Dalam dan Kecamatan Sungai Garingging. Sampel petani diambil secara judgment sampling sebanyak 70 petani dan sampel pedagang diambil secara sengaja (purposive) sebanyak 16 pedang.

Hasil penelitian menunjukan produksi kakao rakyat di pengaruhi oleh input tenaga kerja, pupuk kandang, pupuk kimia, luas lahan, jumlah tanaman menghasilkan dan pendidikan petani. Dan kinerja lembaga pemasaran kakao rakyat di Kabupaten Padang Pariaman belum baik, yang diindikasikan oleh : (1) besarnya marjin pemasaran, (2) kecilnya bagian harga yang diterima petani, (3) belum terintegrasinya pasar ditingkat petani dengan pasar ditingkat pedagang kabupaten. Kondisi diatas menyebabkan rendahnya pendapatan petani.


(8)

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN KAKAO

DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN

PROPINSI SUMATERA BARAT

D A N I L

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

S E K O L A H P A S C A S A R J A N A

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Ratna Winandi, MS

(Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)

Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang: Dr. Ir. Henny K.S. Daryanto, M.Ec

(Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)


(13)

Judul Tesis : Analisis Produksi dan Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Propinsi Sumatera Barat

Nama Mahasiswa : Danil

Nomor Pokok : H353100051

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Muhammad Firdaus ,S.P, M.Si, Ph.D Dr. Ir.Sri Hartoyo, M.S Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr. Ir.Sri Hartoyo, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr


(14)

(15)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul: Analisis Produksi dan Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Propinsi Sumatera Barat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan karakteristik pemasaran kakao di Kabupaten Padang Pariaman. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan dan merumuskan strategi pengembangan kakao di Kabupaten Padang Pariaman.

Penulis mengucapan terima kasih kepada Muhammad Firdaus, S.P, M.Si, Ph.D selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang sangat membantu selama penyusunan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Gubernur Sumatera Barat yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Tugas Belajar di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku Penguji Luar Komisi dan Dr. Ir. Henny K.S. Daryanto, M.Ec sebagai Penguji yang mewakili Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang pada Ujian Tesis, yang telah memberikan masukan bagi perbaikan tesis ini.

3. Seluruh staf Mayor EPN, Mba Yani, Mba Ina, Mas Johan, Ibu Kokom, dan Pak Husen yang selalu sabar dan menyediakan waktu untuk membantu penulis selama perkuliahan sampai penulis menyelesaikan studi.

4. Keluarga besarku dari Lintau dan Balai Gurah, teristimewa untuk kedua orang tuaku terkasih, Drs. Faisal Baza dan Dra. Halidarni dan mertuaku Ir. Ermaini, S.E. Adik-adikku keluarga Naldi, SSTP, M.Si , Keluarga Letda Arm Ardy, dan Sitti Bahruni (ayo semangat ujian skripsinya).


(16)

5. Istriku Hj. Ardini Florensia Pratiwi, S.E, S.S dan putri tersayang Khansa Huriyah Zaafarani .

6. Teman-teman EPN angkatan 2010, Ardian, Pak U.J, Fanny, Mba Erni, Mbak Khanti, Rena untuk kebersamaan selama perkuliahan dan proses penulisan tesis ini, juga pada pihak-pihak lain yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namun telah banyak memberikan sumbang saran dan bantuan serta doa selama penulis kuliah di IPB.

Penulis berharap agar pemikiran yang telah ada pada penelitian ini dapat berguna bagi semua pihak. Terimakasih.

Bogor, Desember 2012


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Padang pada tanggal 22 Mai 1980 dari Ayah Drs. Faisal Baza dan Ibu Dra. Halidarni. Anak pertama dari empat bersaudara.

Tahun 1998 lulus dari SMA Negeri 3 Padang dan tahun 1999 diterima sebagai mahasiswa S1 pada Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian di Universitas Andalas Padang melalui jalur UMPTN, tamat April 2004. Penulis melanjutkan studi S2 tahun 2010 pada Program Magister Sains di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, dengan pilihan konsentrasi Pembangunan Pertanian di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa Program Tugas Belajar dari Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Barat.

Penulis bekerja sebagai PNS di Pemda Kabupaten Pasaman pada tahun 2006 – 2009, dan tahun 2009 pindah ke Pemda Propinsi Sumatera Barat sampai dengan sekarang.

Penulis menetap di Kota Padang, menikah tahun 2009 dengan Hj Ardini Florensia Pratiwi, S.E, S.S dan telah dikaruniai seorang putri, Khansa Hurriyah Saafarani.


(18)

(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….… xiv

DAFTAR GAMBAR ……….. xv

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xvi

I. PENDAHULUAN ……….… 1

1.1. Latar Belakang ……….… 1

1.2. Perumusan Masalah ……… 5

1.3. Tujuan Penelitian ………. 8

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ………... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ……… 9

2.1. Penelitian Analisis Produksi ..………..……… 9

2.2. Penelitian Analisis Pemasaran …….………...………… 11

III. KERANGKA TEORITIS ……… 13

3.1. Teori Produksi ……….… 13

γ.β. Teori Pemasaran Komoditi Pertanian ……..……… 15

γ.γ Kerangka Konseptual ………...……….… 24

IV. METODE PENELITIAN ……… 27

4.1. Penentuan Lokasi Penelitian ……… 27

4.2. Jenis dan Sumber Data ……… 27

4.3. Metode Pengambilan Contoh ………..… 27

4.4. Model Analisis ……….… 28

V. METODE PENELITIAN ……….……… 33

5.1. Gambaran Umum Kabupaten Padang Pariaman …….……… 33

5.2. Keragaan Usahatani Kakao di Kabupaten Padang Pariaman ………. 36 VI. Analisis Produksi Kakao di Kabupaten Padang Pariaman…... 41

6.1. Karakteristik Petani Responden ……… 41

6.β. Struktur Produksi Kakao ………... 42 6.3. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi 44


(20)

Produksi Kakao ………...

6.4. Pengujian Fungsi Produksi Kakao ………... 46

6.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di Kabupaten Padang Pariaman ………. 48 VII. Analisis Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman ... 51

7.1. Struktur Pasar ………...………. 49

7.2.Perilaku Pasar ………...………. 57

7.γ. Kinerja Pasar ………. 61

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 65

8.1. Kesimpulan ……… 71

8.2. Saran ……….. 71

DAFTAR PUSTAKA ……….………...…….… 73


(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi dan Produktivitas

Kakao di Indonesia Tahun 2005-2009 ….……...………..… 2 2. Keadaan Tanaman Kakao di Propinsi Sumatera Barat Tahun

2011 ……… 3

3. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi dan Produktivitas

Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2003-2011 …..….. 5 4. Perbandingan Luas Kecamatan dan Jumlah Nagari di Kabupaten

Padang Pariaman Tahun 2010 ……….……….. 34

5. Perkembangan Produksi Beberapa komoditas Tanaman

Perkebunan di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2007 – 2010 35 6. Perbandingan Luas Areal Tanaman dan Produksi Kakao di

Semua Kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2010 36

7. Karekteristik Petani Kakao di Kabupaten Padang Pariaman

Tahun β01β ……….………...… 36 8 Usia Petani Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2012... 41

9. Tingkat Pendidikan Petani di Kabupaten Padang Pariaman

Tahun β01β ……… 41 10. Kepemilikan Tanaman kakao yang Menghasilkan ……… 42 11. Karakteristik Usahatani Kakao di Kabupaten Padang Pariaman

Tahun β01β ……… 43 12. Rata-rata Produksi, Biaya dan Pendapatan Usahatani Kakao per

Hektar Per Hektar Per Tahun di Kabupaten Padang Pariaman

Tahun 2012 ……..……….. 43

13 Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produksi kakao di Kabupaten

Padang Pariaman Tahun β01β ……..………. 48 14. Matriks Hasil Analisis Keragaan Pasar Kakao di Kabuapten


(22)

15. Marjin Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman

Tahun β01β ………...……….……… 63 16 Ratio Keuntungan dan Biaya Pemasaran Kakao di Kabupaten

Padang Pariaman Tahun 2012 ……… 64

17 HAsil Analsis Keterpaduan Pasar Kakao di Kabupaten Padang


(23)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka Konseptual Penelitian ………...………… 25 2. Saluran Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman


(24)

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Standarisasi Mutu Biji Kakao Ekspor Berdasarkan

SNI 01-2323-1995 ……….

79

2. Program dan Output Komputer SAS Release 9.1 Analisis Pendugaan Parameter Fungsi Produksi Kakao di Kabupaten

Padang Pariaman Tahun β01β ………. 80

3. Program dan Output Komputer SAS Release 9.1 Analisis Keterpaduan Pasar Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun

2011-β01β ……… 82

4. Data Primer Untuk Analisis produksi kakao di Kabupaten Padang

Pariaman Tahun 2012 ………... 84

5. Rata-rata Harga Kakao di Tingkat Petani dan Pedagang dalam Bulan Selama Satu Tahun ( Agustus 2011 – Juli 2012) ….……….. 87


(26)

(27)

1

I.PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkebunan merupakan salah satu subsektor dari sektor pertanian, mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Peranannya terlihat nyata dalam penerimaan devisa negara melalui ekspor, penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku berbagai industri dalam negeri, perolehan nilai tambah dan daya saing serta optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan.

Peranan subsektor perkebunan bagi perekonomian nasional tercermin dari realisasi pencapaian PDB yang mencapai Rp. 106.19 trilyun (atas dasar harga berlaku) pada tahun 2009 atau berkontribusi 14.89 persen dari total PDB sektor pertanian secara luas. Peranan ekspor komoditas perkebunan pada tahun 2009 memberikan sumbangan surplus neraca perdagangan bagi sektor pertanian sebesar US$ 22.83 milyar dimana subsektor lainnya mengalami defisit (Dirjenbun, 2010).

Gambaran kegagalan pembangunan ekonomi pada saat terjadinya krisis memberikan hikmah pentingnya merubah paradigma pembangunan yang selama ini bercorak sektoral, lebih bertumpu pada kegiatan-kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan tidak berbasis sumberdaya domestik. Dimana eksploitasi ini dilakukan dengan semaksimal mungkin. Dengan semakin terbatasnya sumberdaya alam yang tidak terbaharui (unrenewable) serta menurunya kapasitas produksi sumberdaya alam terbaharui (renewable recsources), memberikan tanda bahwa di masa akan datang paradigma pembangunan ekonomi lebih mengarah kepada pembangunan ekonomi wilayah yang berbasis komunitas lokal (local community-based economy) dan sumberdaya domestik (domestic resource-based economy). Menurut Rustiadi (2000) bahwa pembangunan yang berbasis komonitas lokal merupakan pembangunan yang ditujukan dan dilaksanakan oleh masyarakat lokal untuk meningkatkan kesejahteraannya secara berkelanjutan yang disesuaikan dengan kapasitas dan kondisi lingkungan sumberdaya alamnya. Sedangkan pembangunan yang berbasis sumberdaya domestik dalam penggunaannya harus mencakup sumberdaya fisik alam (natural resource),


(28)

2

sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya sosial (social capital) dan sumberdaya buatan (man-mad capital).

Sektor pembangunan ekonomi yang memenuhi kriteria dan kondisi paradigma pembangunan tersebut adalah sektor pertanian. Salah satu komoditas perkebunan dari sektor pertanian yang memberikan andil dalam pembangunan ekonomi nasional adalah tanaman kakao. Ditinjau dari sudut pengusahaan maka komoditas ini mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar, karena secara nasional hampir 87 persen pengembangan kakao diusahakan oleh perkebunan rakyat, sedangkan sisanya diusahakan oleh Perkebunan Besar Negara dan Perkebunan Besar Swasta (Dirjenbun, 2010).

Tabel 1. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi dan Produktivitas Kakao di Indonesia Tahun 2005-2009

Tahun Luas Areal Panen (ha)

Produksi (ton)

Produktivitas (ton/ha)

2005 631 961.6 693 701 0.91

2006 591 960.5 702 207 0.84

2007 530 382.3 671 370 0.79

2008 659 946.8 740 681 0.89

2009 565 553.4 694 783 0.81

Sumber: Dirjenbun, 2010

Secara nasional produksi kakao rakyat mengalami peningkatan seiring dengan perubahan luas areal panen perkebunan kakao. Pada awalnya tahun 2005, produksi perkebunan kakao rakyat yang semula sebesar 693 701 ton meningkat menjadi 694 783 ton pada tahun 2009.

Propinsi Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang mengembangkan komoditas perkebunan kakao. Tabel 2 menggambarkan dari 19 Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Barat, Kabupaten Padang Pariaman merupakan salah satu daerah yang merupakan sentra pengembangan perkebunan kakao rakyat. Hal ini ditunjang oleh keadaan iklim dan tanah yang sesuai dengan syarat tumbuh bagi tanaman perkebunan.

Pasar kakao dunia yang besar merupakan peluang yang harus dimanfaatkan. Indonesia berpeluang untuk mengisi pasar kakao tersebut, melalui peningkatan produksi kakao dalam negeri dengan cara meningkatkan produktivitas persatuan luas tanam kakao nasional dan perluasan areal pertanaman


(29)

3

kakao. Produksi dan luas kakao di Propinsi Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel berikut ini :

Tabel 2. Keadaan Tanaman Kakao di Propinsi Sumatera Barat Tahun 2011

No Kabupaten/Kota Luas Areal

Panen (ha)

Produksi (ton)

Produktivitas (ton/ha)

1 Agam 4 572 3 893 0.86

2 Pasaman 17 306 16 125 0.93

3 Limapuluh Kota 4 266 3 637 0.85

4 Tanah Datar 2 103 1 752 0.83

5 Padang Pariaman 13 312 15 540 1.17

6 Solok 2 584 2 145 0.83

7 Pesisir Selatan 2 734 2 285 0.83

8 Sijunjung 2 151 1 843 0.86

9 Kep. Mentawai 1 368 1 135 0.83

10 Solok Selatan 916 821 0.90

11 Pasaman Barat 8 374 7 817 0.93

12 Dharmasraya 1 830 1 494 0.82

13 Kota Padang 804 685 0.85

14 Kota Padang Panjang 10 9 0.90

15 Kota Payakumbuh 919 788 0.86

16 Kota Solok 260 224 0.86

17 Kota Sawahlunto 1 929 1 894 0.98

18 Kota Bukittinggi 15 13 0.87

19 Kota Pariaman 598 561 0.94

Sumber : Dinas Perkebunan Prop. Sumatera Barat, 2012

Pengusahaan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Padang Pariaman pada umumnya hampir sama dengan daerah lain, yaitu secara monokultur maupun kebun campuran. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik petani pada wilayah ini yang memiliki keragaman dalam pola usahatani. Secara historis pengusahaan tanaman perkebunan di wilayah ini, sudah lama berlangsung. Dimana komoditi perkebunan yang menjadi perioritas pengembangan dan sumber pendapatan petani, pada mulanya adalah pinang dan kelapa (Dinas Perkebunan Kab. Padang Pariaman, 2012).

Secara umum aktivitas masyarakat Kabupaten Padang Pariaman masih berorientasi pada usaha tanaman perkebunan dan menjadikan komoditi perkebunan sebagai sumber mata pencaharian utama. Pengembangan tanaman kakao di Kabupaten Padang Pariaman adalah perkebunan rakyat yang diusahakan oleh petani lokal dalam skala kecil dan pengelolaannya masih bersifat tradisional, karena belum ada yang diusahakan oleh perkebunan besar negara maupun


(30)

4

perkebunan besar swasta. Dalam pengembangannya komoditi ini mengalami peningkatan yang cukup pesat, hal ini selain dipengaruhi oleh perubahan harga berbagai komoditi perkebunan, di lain sisi karena ditunjang oleh keadaan agroklimat wilayah yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman perkebunan. Sehingga Kabupaten Padang Pariaman cocok untuk pengembangan tanaman kakao.

Di tinjau dari aspek agronomis, tanaman kakao mulai berproduksi pada umur tiga tahun dengan umur ekonomisnya dua puluh tahun. Pengusahaan tanaman kakao oleh petani memiliki spesifikasi tersendiri dalam sistem usahatani (farming system). Sebab dalam pelaksanaannya, tanaman ini sering dibudidayakan dengan pola sistem tumpangsari dengan tanaman perkebunan lainnya, seperti kelapa dan tanaman buah-buahan. Bahkan dalam penanamannya kebanyakan diawali dengan penanaman pohon pelindung yang nantinya mempunyai nilai ekonomis baik secara langsung maupun tidak langsung. Penanaman kakao rata-rata diusahakan pada lahan-lahan yang hak kepemilikannya adalah milik perorangan dan hak kepemilikan bersama (hak ulayat). Proses pembentukan hak-hak masyarakat atas lahan ini umumnya bersifat turun-temurun dan pengakuan atas hak-hak (property right) masyarakat telah berlangsung lama sejak mereka ada dilokasi tersebut.

Sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan pasar lokal, nasional maupun dunia menyebabkan laju pertumbuhan pengusahaan komoditas ini semakin pesat, bila dibandingkan dengan pengembangan komoditi perkebunan lainya seperti kelapa, dan pinang. Sehingga dalam kurung waktu tujuh tahun pengembangan komoditi ini mengalami peningkatan yang cukup pesat.

Pada Tabel 3 dapat kita lihat pada tahun 2006 produksi kakao Kabupaten Padang Pariaman mencapai 2 591 ton, mengalami kenaikan dari tahun 2005 dan pada tahun 2011 produksi kakao Kabupaten Padang pariaman terus naik mencapai 9 971 ton dengan luas areal panen mencapai 12 054 hektar. Sehingga jika kita lihat dari produktivitasnya, maka produktivitas rata-rata kakao rakyat di Kabupaten Padang Pariaman adalah 1.17 ton per hektar. Produktivitas tersebut sudah diatas produktivitas nasional, tapi masih jauh dibawah produktivitas


(31)

5

potensial kakao yang mencapai 2 ton per hektar (Dinas Perkebunan Kab. Padang Pariaman, 2012).

Tabel 3. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi dan Produktivitas Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2003-2011

Tahun Luas Areal Panen (ha)

Produksi (ton)

Produktivitas (ton/ha)

2003 1 068 117 0.11

2004 1 068 438 0.41

2005 1 078 1 636 1.52

2006 1 068 2 591 2.43

2007 3 351 2 624 0.78

2008 5 086 5 941 1.17

2009 6 160 6 993 1.13

2010 9 587 11 220 1.17

2011 13 312 15 540 1.17

Sumber: Dinas Perkebunan Kab. Padang Pariaman, 2012.

Kakao merupakan komoditi ekspor yang permintaannya terus meningkat. Upaya untuk peningkatan produktivitas dan kualitas kakao terus dilakukan, sehingga pendapatan yang diperoleh petani meningkat. Aspek produksi dan pemasaran ini tidak dapat dipisah dalam peningkatan pendapatan petani. Salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan petani adalah kurangnya pengetahuan petani mengenai pemasaran hasil kakao, seperti saluran dan karakteristik pemasaran yang akan memberikan keuntungan yang maksimal pada petani.

1.2. Perumusan Masalah

Tanaman perkebunan yang pada awalnya menjadi prioritas pengembangan oleh masyarakat di Kabupaten Padang Pariaman adalah tanaman kelapa dan pinang. Namun faktor merosotnya harga pinang dan belum membaiknya harga kelapa di pasar nasional maupun lokal, dan semakin membaiknya prospek harga kakao di tingkat petani menyebabkan semakin besar perhatian petani pada pengembagan komoditi kakao.

Pilihan petani terhadap pengembangan komoditas ini juga dipicu oleh begitu besarnya tuntutan kebutuhan pokok keluarga tani yang terus meningkat, sementara meningkatnya kebutuhan tersebut tidak seiring dengan pendapatan petani. Dan juga faktor keterbatasan lapangan pekerjaan dan tingkat pendidikan menjadi kendala dalam mencari pekerjaan lain. Kondisi inilah yang menjadikan


(32)

6

tanaman kakao sebagai komoditi perkebunan yang memiliki luas lahan terbesar kedua setelah kelapa (Dinas Perkebunan Kab. Padang Pariaman, 2012).

Pengembangan kakao di Indonesia dan Kabupaten Padang Pariaman, masih sangat prospektif bila dilihat dari potensi produksi dan pemasaran pada pasar domestik dan ekspor. Kabupaten Padang Pariaman yang merupakan sentra utama tanaman kakao di Sumatera Barat, belum mampu memberikan sumbangan atau pendapatan yang berarti, baik bagi daerah maupun bagi petaninya sendiri. Sampai saat ini masih banyak permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan kakao yaitu dari segi teknologi bercocok tanam, pengolahan pascapanen, perencanaan bisnis dan pemasaran, serta aspek sosial ekonomi budaya. Hal ini terlihat jelas dari usahatani yang dilakukan petani masih tradisional.

Secara teknis pertanian, usaha pengembangan perkebunan kakao lebih mengarah pada perluasan areal tanaman, peningkatan produktivitas tanaman serta perbaikan mutu hasil. Berdasarkan laporan Dinas Perkebunan Kabupaten Padang Pariaman (2012) bahwa produktivitas tanaman kakao di Kabupaten Padang Pariaman adalah 1.17 ton/ha, angka tersebut masih jauh dibawah tingkat produktivitas potensial yang bisa dicapai tanaman kakao yaitu sebesar 2 ton/ha (Spillane, 1995). Sehingga hal tersebut merupakan permasalahan yang terbesar bagi petani dan pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut. Dari fakta tersebut, faktor-faktor apa yang mempengaruhi produksi kakao di Kabupaten Padang Pariaman ?

Perkembangan areal tanam dan produksi kakao telah menarik banyak pihak untuk terlibat dalam proses pemasarannya. Ada banyak pedagang, lembaga pemasaran maupun pemerintah, dengan kepentingannya masing-masing ikut berperan dalam pemasaran kakao. Sementara mutu kakao yang dihasilkan petani belum memiliki standar yang jelas. Dan petani tidak mempunyai kekuatan dalam penentuan harga, dimana harga di tentukan oleh pedagang. Hal ini akan mempengaruhi proses pemasarannya karena mekanisme pembentukan harga komoditas kakao di pasar akan berdampak langsung pada perilaku partisipan yang terlibat dalam perdagangan komoditas ini. Eksportir, pedagang lokal, pedagang pengumpul dan petani sendiri, adalah pihak yang akan terkena dampak harga. Seberapa besar dampak harga yang dihadapi oleh lembaga pemasaran kakao,


(33)

7

sangat tergantung pada kekuatan masing-masing pelaku yang terlibat dalam rantai pemasaran kakao itu sendiri. Sehingga aspek pemasaran mempunyai peranan yang sangat kuat dalam perkembangan usahatani.

Keadaan pasar kakao seperti yang digambarkan di atas berpotensi menimbulkan masalah dan bisa merugikan petani produsen. Pola pemasaran yang terjadi akan cenderung tidak terorganisir karena melibatkan pelaku pemasaran yang banyak dengan kepentingan yang berbeda-beda. Sehingga daya tawar petani juga cenderung rendah karena jumlah petani sangat banyak dan tersebar di berbagai wilayah, belum adanya koordinasi dan kerjasama antar petani, persaingan pasar yang semakin kompetitif, lokasi konsumen akhir kakao yang jauh dari sentra produksi (di luar negeri) dan belum adanya rantai distribusi yang jelas dari petani sampai ke industri berbahan baku kakao, ditambah lagi dengan masalah produksi dan mutu seperti yang telah diuraikan di atas. Petani tidak akan menjadi penentu harga, perilaku harga akan cenderung didominasi oleh kepentingan pedagang besar dan eksportir

Hal tersebut mengindikasi bahwa pasar kakao bersifat oligopsoni. Selama ini hasil panen hanya ditampung oleh pedagang kabupaten atau eksportir saja, melalui pedagang-pedagang perantara, yang nantinya akan memperdagangkan kakao keluar wilayah Kabupaten Padang Pariaman atau ke pasar luar negeri. Saluran pemasaran kakao yang terbentuk cenderung dikuasai oleh pedagang pengumpul. Dengan pola distribusi yang demikian, dimana informasi harga di tingkat eksportir/importir tidak diketahui dengan jelas, harga kakao bisa berubah dengan cepat dan cenderung fluktuatif yang menimbulkan ketidakpastian bagi petani. Dari uraian tersebut, pertanyaan yang muncul yang perlu dijawab adalah bagaimana struktur, perilaku, kinerja pasar kakao, dan berapa marjin dari lembaga pemasaran dibandingkan dengan proporsi harga yang diterima petani ?

Berdasarkan uraian di atas, serta terbukanya prospek pengembangan kakao di masa yang akan datang. Maka perlu dilakukan penelitian mengenai aspek produksi dan pemasaran kakao. Bagaimana keterkaitan antara kegiatan produksi kakao di tingkat usahatani dengan pemasaran kakao sebagai komoditas pertanian yang terhubung dalam suatu kesatuan sistem pemasaran, serta bagaimana peranannya dalam mempengaruhi dan menentukan harga kakao yang merupakan


(34)

8

sinyal bagi produsen dan konsumen. Sehingga dengan adanya penelitian ini diperoleh informasi mengenai keragaan produksi dan pemasaran usahatani kakao di Kabupaten Padang Pariaman.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latarbelakang dan permasalahan diatas, penelitian ini dilakukan bertujuan untuk :

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di Kabupaten Padang Pariaman.

2. Mengidentifikasi jalur dan karakteristik lembaga pemasaran kakao di Kabupaten Padang Pariaman.

3. Menduga marjin yang diterima setiap lembaga pemasaran. 4. Menentukan besarnya bagian harga yang diterima petani.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini pada dasarnya mempelajari analisis produksi dan pemasaran kakao rakyat, yang mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan analisis pemasaran meliputi struktur, prilaku dan keragaan pemasaran kakao di Kabuapten Padang Pariaman.

Keterbatasan penelitian ini adalah fakta yang digambarkan merupakan kegiatan dan keadaan pada saat penelitian dilakukan, selanjutnya berdasarkan fakta tersebut dilakukan penyimpulan mengenai masalah-masalah penelitian yang ingin dibuktikan atau dicari hubungannya. Dan untuk analisis pemasarannya pada penelitian ini dibatasi sampai pada pedagang kakao di Kabupaten Padang Pariaman.


(35)

9

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Analisis Produksi

Hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Gonarsyah et al. (1990) bahwa pola tanam kakao perkebunan rakyat di Indonesia (kasus Sulawesi Tenggara) terdiri atas dua bentuk, yaitu monokultur dan tumpangsari. Pola tanam monokultur dilakukan oleh petani di tegalan, sementara pola tanam tumpangsari dilakukan oleh petani di kebun kelapa. Ini mengindikasikan bahwa pengusahaan tanaman kakao pada awalnya dilakukan di kebun kelapa, setelah itu baru dilakukan di tegalan secara monokultur. Ini mengartikan bahwa pengembangan tanaman kakao memperoleh respon positif dari pekebun. Keberhasilan tersebut, pada hakekatnya lebih banyak dikarenakan adanya respon positif pekebun terhadap relatif tingginya harga biji kakao kering yang diterima pekebun pada pertengahan tahun 1980-an. Selain itu, instruksi pemerintah daerah untuk mengusahakan komoditi kakao di wilayah tersebut cukup menonjol.

Akiyama dan Nishio (1997) telah menguji kebijakan pemerintah yang mempengaruhi perluasan produksi kakao di Indonesia, dan mengidentifikasikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pengembangan kakao. Penelitian ini memanfaatkan analisis deskriptif, dan sama seperti studi-studi yang dikemukakan sebelumnya, studi ini belum mengaitkan dengan kinerja ekonomi wilayah. Salah satu kesimpulan penting dari penelitian ini ialah bahwa perluasan produksi kakao yang cepat disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang membatasi intervensi. Oleh karena itu, peneliti merekomendasikan agar pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan (non-intervensi) perdagangan kakao terhadap komoditi lainnya.

Bafadal (2000) telah menyelenggarakan studi yang menganalisis produksi dan respon penawaran kakao rakyat dengan studi kasus Propinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian tersebut diselenggarakan dengan menggunakan metode survai, dan memanfaatkan analisis ekonometrika. Sebagaimana penelitian-penelitian lainnya, meskipun penelitian-penelitian ini mengambil kasus Propinsi Sulawesi Tenggara, namun penelitian ini belum mengaitkan komoditi kakao dengan kinerja ekonomi wilayah. Penelitian ini dititik beratkan pada aspek-aspek usahatani.


(36)

10

Penelitian ini menemukan bahwa luas areal dipengaruhi oleh harga riel kakao dan harga riel pupuk urea. Selanjutnya, produktivitas dipengaruhi oleh harga riel cengkeh, harga riel pupuk urea dan luas areal. Luas areal lebih respon dibandingkan dengan produktivitas terhadap perubahan harga riel kakao dalam jangka pendek dan jangka panjang. Penawaran (produksi) kakao dalam jangka pendek dan jangka panjang responsif terhadap perubahan harga riel kakao dan harga riel pupuk urea, tetapi penawaran tersebut tidak responsif terhadap perubahan upah riel tenaga kerja.

Penelitian yang dilakukan Slameto (2003), tentang efisiensi produksi usahatani kakao untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di Provinsi Lampung. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja yang mencakup tiga kabupaten sebagai daerah sampel. Analisis menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Produksi kakao rakyat sangat dipengaruhi oleh input tenaga kerja, pupuk kandang, pestisida, luas lahan, jumlah dan umur tanaman kakao, serta penggunaan klon unggul, seluruhnya memberikan pengaruh positif terhadap produksi. Penggunaan input produksi dapat meningkatkan produksi kakao rakyat dengan proporsi yang sama yang ditunjukkan oleh ekonomi skala usaha yang cenderung pada kondisi constant return to scale.

Dalam tahun 2004, Gonarsyah menyelenggarakan studi kasus yang bertujuan menguji kendala-kendala kunci dan isu-isu pemerintahan tentang perluasan integrasi vertikal usahatani, perusahaan dan konsumen dalam industri kakao di Indonesia. Isu utama yang dibahas ialah bagaimana memperbaiki sistem di mana pemerintah dapat membantu menciptakan sistem tersebut bekerja atas kepentingan petani untuk keuntungan bagi semua stakeholder dalam sistem tersebut. Kesimpulan utama dari studi kasus tersebut ialah pertanyaan mendasar tentang bagaimana kebijakan yang terkait dengan jenis industri kakao. Apakah jenis industri kakao yang seharusnya dikembangkan dalam jangka panjang, apakah industri kakao biji, atau industri chocolate (Gonarsyah, 2004: 1, 10).

Berdasarkan hasil penelitian Leonard (2011) di Ghana dengan judul

Analysis of Factors Affecting The Technical Efficiency of Cocoa Farmers in The Offinso District-Ashanti Region Ghana. Penelitian ini menggunakan fungsi Cobb-Douglas dan di dapatkan hasilnya bahwa (1) Faktor-faktor yang


(37)

11

mempengaruhi produktivitas adalah luas areal, modal dan tenaga kerja.(2) Sedangkan untuk input laiinya seperti pupuk dan mesin-mesin pertanian dapat menurunkan efisiensi usahatani kakao.

2.2. Penelitian Analisis Pemasaran

Penelitian Noorsapto (1994), tentang keunggulan komparatif dan dampak kebijakan pemerintah pada komoditi kakao di perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis matrils kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM). Hasilnya menunjukan bahwa semua sistem komoditas kakao adalah menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi dimana ketiga bentuk pengusahaan mempunyai keunggulan komparatif dan secara finansial mempunyai keunggulan kompetitif.

Model analisis yang di gunakan oleh Yudhistira (1997) dimana melakukan penelitian di Perkebunan Besar Negara Rajamandala, Jawa Barat dalam kajian keunggulan komparatif komoditis kakao. Hasil penelitian menunjukan secara finansial dan ekonomi pengusahaan komoditas kakao menguntungkan atau layak diteruskan. Dari analisis keuntungan privat diperoleh nialai Rp. 303 909 per kg kakao kering dan dengan analisis ekonomi diperoleh keuntungan Rp 498.54 per kg kakao kering. Ini berarti baik dalam pasar persaingan sempurna dan pasar terdistorsi atau ada campur tangan pemerintah maka pengusahaan kakao layak dilanjutkan. Dengan menggunakan kriteria Rasio Biaya Privat (PCR) dan Rasio Biaya Sumberdaya domestik (DRC), pengusahaan komoditas kakao memiliki keunggulan komparatif dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu yaitu 0.76 dan 0.58.

Wally (2001) melakukan penelelitian mengenai analisis tataniaga kakao rakyat dan faktor-faktor yang mempengaruhi opsi kelembagaan tataniaga petani kakao di Kabupaten Jayapura. Penelitian ini membedakan dua jenis kelembagaan yaitu pola kemitraan dan pola tradisional. Penelitian tersebut bertujuan untuk mempelajari struktur pasar dan sistem tataniaga, mempelajari bentuk kelembagaan tataniaga serta faktor yang mempengaruhi opsi petani terhadap kelembagaan, serta bertujuan mengidentifikasi alternatif kebijakan pengembangan


(38)

12

tataniaga kakao rakyat. Hasil penelitian yang dikemungkakan bahwa struktur pasar biji kakao di Jayapura bersifat oligoponistik yang mengarah ke pasar lebih bersaing. Marjin tataniaga kelembagaan kemitraan jauh lebih rendah dibanding kelembagaan tradisional. Harga biji kakao pada pola kenitraan dominan dipengaruhi oleh persentase perubahan harga di pasar lokal, sedangkan pola tradisional dipengaruhi pembentukan harga FOB Jayapura. Kelembagaan kemitraan menjadi opsi sebagian besar petani kakao Jayapura yang sangat dipengaruhi oleh karakteristik individu petani berupa pengalaman dan pendidikan formal petani. Untuk biaya transaksi berpengaruh sangat nyata terhadap peluang kelembagaan.

Dan pada tahun 2007 dilakukan penelitian oleh Marcella Vigneri dengan topik penelitian Ghana and the cocoa marketing dilemma: What has liberalisation without price competition achieved? Hasil penelitian ini adalah Usaha yang dilakukanpemerintah untuk meningkatkan pendapatan petani kakao di ghana adalah.: (1) Menambah jumlah pedagang kakao; (2) Membuat program pembelian kakao langsung sevara tunai; (3) Menjaga stabilitas harga sepanjang musim.


(39)

13

III.

KERANGKA TEORITIS

3.1. Teori Produksi

Secara umum, produksi diartikan sebagai penggunaan atau pemanfaatan sumber daya yang mengubah suatu komoditi menjadi komoditi lainnya yang sama sekali berbeda, baik dalam pengertian apa, dan dimana atau kapan komoditi-komoditi itu dialokasikan, maupun dalam pengertian apa yang dapat dikerjakan oleh konsumen terhadap komoditi itu. Istilah produksi berlaku untuk barang maupun jasa, karena istilah komoditi memang mengacu pada barang dan jasa. Keduanya sama-sama dihasilkan dengan mengerahkan modal dan tenaga kerja (Debertin, 1986).

Ada beberapa fungsi produksi yang bisa digunakan untuk mengetahui hubungan antara faktor produksi (input) dan produksi (output), diantaranya adalah: fungsi produksi linier, kuadratik, polinominal akar pangkat dua, eksponensial, CES (Constant Elasticity of Substitution) dan translog. Memilih fungsi produksi apa yang akan digunakan dalam suatu penelitian diperlukan banyak pertimbangan, karena masing-masing fungsi produksi memiliki keunggulan dan keterbatasan. Selain disesuaikan dengan kebutuhan penelitian, jenis data yang digunakan dan tujuan analisis. Soekartawi (2003), juga menganjurkan tindakan berikut dalam memilih model atau bentuk fungsi produksi yaitu: (1) identifikasi masalah secara jelas, variabel-variabel apa saja yang berfungsi sebagai penjelas dan apa variabel yang dijelaskannya, (2) tindakan pertama tersebut kemudian harus dilanjutkan dengan studi pustaka untuk melihat apakah identifikasi masalah sesuai dengan teori yang benar yang dikombinasikan dengan pengalaman sendiri serta belajar dari penelitian lain, dan (3) melakukan

trial and error untuk menguatkan model yang dipakai.

Fungsi produksi eksponensial (Cobb-Douglas) adalah fungsi yang sering dipakai sebagai model analisis produksi dalam penelitian usahatani, karena penggunaannya yang lebih sederhana dan mudah untuk melihat hubungan input-output. Menurut Debertin (1986), walaupun memiliki beberapa keterbatasan, penggunaan fungsi produksi Cobb-Douglas didasarkan atas pertimbangan: (1) secara metodologis lebih representatif dibandingkan dengan fungsi keuntungan


(40)

14

misalnya, karena variabel bebas yang dimasukkan adalah kuantitas dari input, data

cross section akan lebih tepat dianalisis dengan fungsi produksi dibandingkan dengan fungsi keuntungan, (2) dalam penerapan secara empiris lebih sederhana dan lebih mudah karena nilai parameter dugaan sekaligus juga menunjukkan elastisitas produksi dan ekonomi skala usaha, dan (3) dari fungsi tersebut dapat diturunkan fungsi permintaan input.

Soekartawi (2003), menyebutkan ada tiga alasan pokok mengapa fungsi Cobb-Douglas lebih banyak dipakai oleh para peneliti yaitu: (1) penyelesaiannya relatif lebih mudah jika dibandingkan dengan fungsi produksi yang lain karena dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk linier, (2) hasil pendugaan garis fungsi ini menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukkan besaran elastisitas, dan (3) besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat besaran return to scale

Terlepas dari kelebihan tertentu yang dimiliki fungsi produksi Cobb- Douglas jika dibandingkan dengan fungsi-fungsi yang lain, bukan berarti fungsi tersebut sempurna. Kesulitan umum yang dijumpai dalam penggunaan fungsi produksi Cobb-Douglas atau kelemahan dan keterbatasan fungsi ini adalah: (1) spesifikasi variabel yang keliru akan menghasilkan elastisitas produksi yang negatif atau nilainya terlalu besar atau terlalu kecil.

Hal ini juga mendorong terjadinya multikolinearitas pada variabel independen yang dipakai, masalah ini sering terjadi dalam pendugaan menggunakan metode kuadrat terkecil, (2) kesalahan pengukuran variabel, hal ini terletak pada validitas data apakah terlalu ekstrim ke atas atau ke bawah, (3) bias terhadap variabel manajemen karena kadang-kadang sulit diukur dan dipakai sebagai variabel independen dalam pendugaan karena erat hubungannya dengan variabel independen yang lain, dan (4) multikolinearitas. Selain itu ada asumsi yang perlu diikuti dalam menggunakan fungsi Cobb-Douglas, seperti misalnya asumsi bahwa teknologi dianggap netral, yang artinya intercept boleh berbeda, tetapi slope garis penduga Cobb-Douglas dianggap sama dan asumsi bahwa sampel dianggap price takers (Soekartawi, 2003).

Fungsi produksi menunjukkan jumlah maksimum output yang dapat dihasilkan dari pemakaian sejumlah input dengan menggunakan teknologi


(41)

15

tertentu. Fungsi produksi merupakan fungsi dari kuantitas input tidak tetap dan input tetap. Menurut Debertin (1986), fungsi produksi menerangkan hubungan teknis yang mentransformasikan input atau sumberdaya menjadi output atau komoditas. Atau bisa juga dikatakan bahwa fungsi produksi adalah suatu fungsi atau persamaan yang menunjukan hubungan teknis antara jumlah faktor produksi yang digunakan dengan jumlah hasil produksi yang dihasilkan per satuan waktu. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:

Q = (X1, X2, X3, ...Xn/Zn) dimana:

Q = Output atau produksi

X1, X2, X3, ...Xn = Input tidak tetap ke-1, 2, 3, ..., n

Zn = Input tetap ke-n

Menurut Debertin (1986), fungsi produksi menerangkan hubungan teknis yang mentransformasikan input atau sumberdaya menjadi output atau komoditas. Atau bisa juga dikatakan bahwa fungsi produksi adalah suatu fungsi yang menunjukan hubungan teknis antara jumlah faktor produksi yang digunakan dengan jumlah hasil produksi yang dihasilkan per satuan waktu. Petani yang maju dalam melakukan usahatani akan selalu berfikir bagaimana mengalokasikan faktor produksi secara efisien.

3.2. Teori Pemasaran Komoditas Pertanian

Upaya peningkatan produksi dan perbaikan pemasaran merupakan satu rangkaian yang saling berkaitan. Produksi yang tinggi tanpa didukung pemasaran yang baik dan sebaliknya pemasaran yang baik yang tidak didukung oleh produksi yang baik tidak akan berarti dalam pengembangan suatu komoditas. Sehingga dalam meneliti sektor pemasaran sektor produksi tidak bisa diabaikan. Pengkajian kedua sektor akan mendapatkan kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan petani.

Kinerja pemasaran memegang peranan sentral dalam pengembangan komoditas pertanian. Perumusan strategi dan program pengembangan pemasaran yang mampu menciptakan kinerja pemasaran yang kondusif dan efisien, akan memberikan kontribusi positif terhadap beberapa aspek yaitu: (1) mendorong


(42)

16

adopsi teknologi, peningkatan produktivitas dan efisiensi, serta daya saing komoditas pertanian, (2) meningkatkan kinerja dan efektivitas kebijakan pengembangan produksi, khususnya kebijakan yang terkait dengan program stabilisasi harga keluaran, dan (3) perbaikan perumusan kebijakan perdagangan domestik dan internasional (ekspor dan impor) secara efektif dan optimal (Rusastra et al. 2003).

Pada analisis produksi dan pemasaran kakao dalam penelitian ini, pemasaran yang dimaksud pada intinya didefinisikan seperti yang dikemukakan oleh Kohls dan Uhl (2002), yaitu sebagai semua kegiatan bisnis yang meliputi seluruh sistem aliran produk dan jasa-jasa yang terlibat dalam arus komoditas kakao, mulai dari titik awal produksi/petani produsen sampai kakao tersebut di tangan konsumen akhir. Sehingga apabila proses produksi telah berjalan dengan baik dan di dukung oleh kegiatan pemasaran yang efisien maka akan tercapailah usahatani kakao yang memberikan keuntungan kepada petani.

Pembentukan harga suatu komoditas pada setiap tingkat pasar tergantung pada struktur pasar tersebut, sehingga hubungan harga antara tingkat pasar konsumen dengan tingkat pasar produsen tergantung kepada struktur pasar yang menghubungkannya. Dalam struktur pasar yang bersaing sempurna misalnya, hubungan harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar konsumen atau hubungan antar tingkat pasar, akan erat sekali. Keadaan ini merupakan salah satu cermin dari sistem pemasaran yang efisien.

Dalam hal ini, tugas pemasaran dalam suatu sistem pertukaran adalah mempengaruhi koordinasi antar apa yang diproduksi dengan apa yang dibutuhkan konsumen. Dan juga mekanisme harga berfungsi sebagai sistem komunikasi untuk meneruskan informasi mengenai keinginan konsumen kepada produsen. Sinyal harga menjadi pesan dari konsumen kepada produsen. Bila suatu produk atau mutu tertentu dari suatu produk sangat dibutuhkan oleh konsumen, maka harganya menjadi relatif lebih tinggi. Sinyal harga ini disampaikan melalui sistem tersebut menuju ke produsen, sehingga dalam waktu tertentu produsen melakukan penyesuaian yang menurutnya tepat secara ekonomi, dengan mengalokasikan faktor produksi untuk memproduksi produk dengan tingkat mutu seperti yang dikehendaki oleh konsumen.


(43)

17

3.2.1. Konsep Efisiensi Pemasaran

Ada dua tipe efisiensi dalam kaitan dengan pemasaran yaitu efisiensi teknis dan efisiensi harga. Efisiensi teknis menunjukan pada hubungan input-output yang terlibat dalam tugas pemanfaatan produksi di seluruh sistem pemasaran. Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses untuk membawa barang ke tangan konsumen meliputi biaya perubahan bentuk, biaya penyimpanan dan biaya pengangkutan. Pada umumnya efisiensi pelaksanaan aktivitas dan fungsi ini dianggap tergantung pada teknologi yang tersedia (Purcell, 1979).

Efisiensi harga merujuk pada kemampuan sistem untuk mempengaruhi perubahan dan mendorong relokasi sumberdaya agar dapat mempertahankan kesesuaian antara apa yang diproduksi dan apa yang dibutuhkan konsumen. Pemasaran menginginkan adanya efisiensi yaitu pengorbanan yang sekecil mungkin terhadap barang atau jasa yang diminta konsumen. Efisiensi pemasaran menurut Kohls dan Uhl (2002), adalah nisbah antara total biaya dengan total nilai produk yang dipasarkan. Ada beberapa faktor yang dapat dipakai sebagai ukuran efisiensi pemasaran yaitu keuntungan pemasaran, harga yang diterima petani, tersedianya fasilitas fisik pemasaran dan kompetisi pasar.

Kohls dan Uhl (2002), menyatakan bahwa perubahan sistem pemasaran yang berakibat mengecilnya biaya kegiatan pemasaran tanpa mengurangi kepuasan konsumen menunjukkan suatu perbaikan dari tingkat efisiensi pemasaran. Sedangkan perubahan yang mengurangi biaya pemasaran tetapi diikuti dengan berkurangnya kepuasan konsumen menunjukkan penurunan tingkat efisiensi pemasaran. Efisiensi pemasaran akan tercapai jika struktur pasar dapat menciptakan iklim yang mendorong terjadinya proses yang seimbang antara pelaku-pelaku yang terlibat dalam pemasaran. Efisiensi pasar secara teoritis dapat dicapai jika pelaku-pelaku pasar tidak melakukan suatu upaya rekayasa untuk mempengaruhi harga pasar, atau bila pemasaran tersebut dapat memberikan semua pihak (petani produsen, pedagang perantara dan konsumen) kepuasan balas jasa yang seimbang sesuai dengan sumbangannya masing-masing meskipun sifatnya relatif (adil yang proporsional).

Kohls dan Uhl (2002), lebih lanjut mengungkapkan bahwa analisis sistem pemasaran dapat juga dikaji melalui pendekatan struktur, perilaku dan keragaan


(44)

18

pasar. Struktur pasar merupakan karakteristik organisasi yang menentukan hubungan antara penjual dengan pembeli yang dapat dilihat dari jumlah lembaga pemasaran yang terlibat, pangsa pasar, konsentrasi pasar dan kondisi keluar masuk pasar. Perilaku pasar merupakan tingkah laku lembaga pemasaran dalam struktur pasar tertentu yang dihadapinya, yang meliputi kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga dan siasat pemasaran seperti potongan harga. Struktur, perilaku dan kinerja merupakan tiga kategori utama yang digunakan untuk melihat kondisi struktur pasar dan persaingan yang terjadi di pasar. Struktur sebuah pasar akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam pasar tersebut, yang secara bersama-sama menentukan kinerja sistem pasar secara keseluruhan. Sehingga dari analisis struktur, perilaku dan keragaan pasar akan dapat dilihat tingkat efisiensi dari sistem pemasaran tersebut.

3.2.2. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar

Kohls dan Uhl (2002), mengungkapkan bahwa analisis pemasaran dapat dikaji melalui struktur (structure), perilaku (conduct), dan keragaan (performance). Pendekatan SCP adalah pendekatan organisasi pasar yang mencakup atau mengkombinasikan semua aspek dari sistem pemasaran atau tataniaga.

a. Struktur Pasar

Struktur pasar (market structure) dapat diartikan sebagai karakteristik dari produk maupun institusi yang terlibat pada pasar tersebut yang merupakan suatu resultan atau saling mempengaruhi perilaku dan kinerja pasar. Antara lain ada empat faktor yang menjadi penentu yaitu: jumlah dan ukuran perusahaan (isu pangsa pasar dan konsentrasi pasar), kondisi dan keadaan produk (homogen atau diferensiasi), mudah atau sukarnya untuk masuk dan keluar pasar atau industri (barrier to entry) dan tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh partisipan dalam pemasaran. Struktur pasar dapat juga diartikan sebagai tipe dan jenis-jenis pasar, yang secara garis besar dibagi atas dua kelompok, yaitu pasar persaingan sempurna dan pasar tidak bersaing sempurna.

Pasar Persaingan Sempurna (PPS) adalah kondisi pasar ideal dan kompetitif yang berjalan dengan efektif dan efisien dengan beberapa asumsi yang


(45)

19

harus terpenuhi yaitu: (1) ada sangat banyak penjual dan pembeli di pasar, (2) tidak ada pelaku pasar yang dominan yang dapat mempengaruhi pesaingnya di pasar, (3) penjual dan pembeli hanya price taker serta tidak ada persaingan di luar harga, (4) tidak ada hambatan untuk masuk/keluar pasar dan (5) jenis produk homogen dan identik, serta semua partisipan pasar mempunyai cukup informasi dan pengetahuan tentang produk dan harga.

Sisi yang berlawanan sangat ekstrim dengan pasar persaingan sempurna adalah pasar monopoli dimana pasar dikuasai oleh satu penjual, berikutnya pasar oligopoli (sedikit penjual) dan pasar monopolistik (banyak penjual). Jika diurutkan menurut kedekatan karakteristik masing-masing pasar satu sama lain, maka struktur pasar terdiri dari pasar persaingan sempurna, pasar monopolistik, pasar oligopoli dan terakhir pasar monopoli.

Imperfect competition bisa juga dilihat dari perspektif pembeli atau konsumen, sehingga selain ketiga jenis pasar tidak bersaing sempurna tersebut (monopolistik, oligopoli dan monopoli) juga dikenal struktur pasar monopsoni dan oligopsoni. Pasar monopsoni menurut Kohls dan Uhl (2002), adalah pasar dimana hanya terdapat satu pembeli atau kondisi dimana hanya ada satu perusahaan pengguna pada pasar input tertentu dan oligopsoni adalah sebuah situasi pasar dimana hanya ada beberapa pembeli dari satu produk atau komoditas (a few large buyers of a product).

Struktur pasar sebagian besar komoditas hasil-hasil pertanian terutama di negara-negara berkembang, tergolong ke dalam struktur pasar monopsoni atau oligopsoni, yang mayoritas pertaniannya merupakan usahatani subsistem karena beragam faktor yang mempengaruhinya. Hal ini sangat merugikan petani karena dampak dari mekanisme pembentukan harga yang terjadi adalah tidak ada harga terbaik, pembeli membeli hasil panen di bawah harga pasar yang seharusnya (harga pada PPS) sehingga bagian harga yang seharusnya dinikmati petani diambil oleh pembeli.

b. Perilaku Pasar

Perilaku pasar (market conduct) merupakan perilaku partisipan (pembeli dan penjual), strategi atau reaksi yang dilakukan partisipan pasar secara individu atau kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi terhadap partisipan


(46)

20

lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran tertentu. Misalnya praktek-praktek bisnis yang dilakukan perusahaan dalam kebijakan penentuan harga, promosi penjualan dan berbagai strategi penjualan lainnya yang dilakukan untuk mencapai hasil pasar yang spesifik. Pada prinsipnya hubungan pembeli dan penjual adalah hubungan persaingan, tetapi setelah ada kesepakatan atau negosiasi, hubungan itu menjadi transaksi.

Firdaus et al. (2008), lebih lanjut menyebutkan bahwa perilaku pasar terdiri dari kebijakan-kebijakan yang diadopsi oleh pelaku pasar dan juga pesaingnya, terutama dalam hal harga dan karakteristik produk. Perilaku pasar dapat dikelompokkan menjadi perilaku dalam strategi harga, produk dan promosi. Perilaku antara lain juga bisa dilihat dari tingkat persaingan ataupun kolusi antar partisipan di pasar.

c. Kinerja Pasar

Kinerja atau keragaan pasar (market performance) merupakan hasil atau pengaruh dari struktur dan perilaku pasar yang dalam realita dapat terlihat dari produk atau output, harga dan biaya pada pasar-pasar tertentu. Misalnya efisiensi harga atau biaya produksi, biaya promosi penjualan, termasuk nilai informasi, volume penjualan dan efisiensi pertukaran di pasar. Keragaan atau kinerja suatu industri diukur antara lain dari derajat inovasi, efisiensi dan profitabilitas (Firdaus et al. 2008). Struktur dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat diukur melalui perubahan harga, biaya pemasaran, margin serta distribusi pemasaran, jumlah komoditas yang diperdagangkan, korelasi harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen, elastisitas transmisi harga dan keterpaduan pasar.

Terdapat sejumlah faktor intrinsik dan eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produk pertanian. Secara intrinsik faktor yang berpengaruh diantaranya adalah struktur pasar, tingkat integrasi pasar dan margin pemasaran. Bentuk pasar yang terjadi dalam struktur suatu pasar akan mempengaruhi tingkat kompetisi yang akan berdampak pada proses pembentukan harga, transmisi harga dan bagian harga yang diterima petani. Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produk pertanian adalah terkait dengan kebijakan pemerintah seperti pengembangan infra struktur pemasaran (fisik dan kelembagaan), program stabilisasi harga output, perpajakan dan retribusi, kebijakan pengembangan produk dan pengolahan hasil pertanian dan lain-lain.


(47)

21

Perbaikan terhadap kinerja pemasaran produksi pertanian akan bermanfaat dalam mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani, karena kinerja pemasaran yang kondusif akan mendorong adopsi teknologi dan bagian harga yang diterima petani. Kebijakan pemerintah yang kondusif akan mendorong peningkatan produksi, distribusi, pengembangan produk dan insentif yang proporsional bagi pelaku tataniaga dan kesejahteraan petani (Rusastra et al.2003). 3.2.3. Margin Pemasaran

Nicholson (2002), mengemukakan bahwa pola pembentukan harga tergantung dari kekuatan-kekuatan pelaku dalam pasar. Dengan kata lain penjual dan pembeli bertemu langsung, harga hanya ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan secara agregat, sehingga jumlah uang yang dibayarkan oleh konsumen sama dengan jumlah yang diterima produsen. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan antara harga di antara keduanya. Namun dari hasil penelitian dalam bidang pemasaran pertanian ternyata terdapat perbedaan harga di tingkat petani dengan harga di tingkat pengecer dan konsumen akhir. Perbedaan yang terjadi inilah yang disebut margin pemasaran yang merupakan keuntungan dari kegiatan yang dilakukan dalam pemasaran (Cramer et al. 1997). Bila dalam pemasaran suatu produk pertanian terdapat lembaga pemasaran yang melakukan fungsi-fungsi pemasaran, maka margin pemasaran diperoleh dari jumlah margin pemasaran dari tiap-tiap lembaga pemasaran.

Irawan dan Sudjoni (2001), berpendapat banyaknya lembaga pemasaran dan jarak antara produsen ke konsumen sangat berpengaruh terhadap arus distribusi barang dan tingkat harga yang diterima oleh produsen ataupun tingkat harga yang harus dibayar oleh konsumen. Jika dalam penyaluran barang dari produsen ke konsumen melalui banyak lembaga pemasaran yang terlibat, maka akan semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut pada produsen dibandingkan dengan harga yang akan dibayarkan oleh konsumen.

Nilai margin pemasaran pada tiap komoditas berbeda-beda, dikarenakan untuk tiap produk mempunyai jasa pemasaran yang berbeda-beda. Lebih lanjut Dahl dan Hammond (1977), mengemukakan nilai margin pemasaran ini umumnya ditetapkan dalam bentuk absolut seperti dalam persen. Dalam hal ini pedagang


(48)

22

besar dalam memberikan tambahan harga (mark up) biasanya dalam bentuk konstan yaitu persen yang disebut sebagai biaya margin tetap (margin fixed cost) dan untuk pengecer dalam menetapkan tambahan harga dalam bentuk absolut tetap secara margin uang (absolute). Dari margin yang di peroleh oleh tiap lembaga pemasaran tersebut dapat kita ketahui efisien atau tidak saluran pemasarannya.

3.2.4. Bagian Harga yang Diterima Petani

Efisiensi pemasaran dapat juga dianalisis dengan menghitung bagian harga yang diterima petani atau farmer’s share. Kohls dan Uhl (2002), mengemukakan untuk mengukur efisiensi pemasaran digunakan harga jual petani sebagai dasar (Pf) dan dibandingkan dengan harga beli pedagang di tingkat konsumen akhir (Pr) dikalikan dengan 100 persen. Hal ini berguna untuk mengetahui porsi harga yang berlaku di tingkat konsumen yang dinikmati oleh petani. Besar farmer’s share (FS) dipengaruhi oleh: (1) tingkat pemrosesan, (2) biaya transportasi, (3) keawetan produk, dan (4) jumlah produk. Rumusannya sederhana, dinyatakan dalam persentase (%), yang dirumuskan dalam persamaan FS = Pf/Pr x 100%. Apabila dari hasil pengujian diperoleh bagian harga yang diterima petani rendah, maka saluran pemasaran tidak/belum efisien. Tapi sebaliknya jika dari hasil pengujian diperoleh harga yang diterima petani mendekati harga di tingkat konsumen akhir berarti saluran pemasarannya efisien, yang dapat meningkatan pendapatan petani.

3.2.5. Keterpaduan Pasar

Pengertian keterpaduan pasar adalah seberapa jauh pemebentukan harga suatu komoditi pada suatu tingkat lembaga pemasaran dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya. Pengaruh ini dapat diduga melalui regresi sederhana, analisis korelasi harga di setiap tingkat baik secara vertikal maupun horizontal dan melalui elastisitas transmisi harga (Et).

Dalam suatu sistem pasar terpadu yang efisien akan terlihat adanya korelasi positif yang tinggi sepanjang waktu dari beberapa pasar (Heytens, 1986). Pada umumnya pendekatan ini banyak dipakai untuk menguji apakah pasar


(49)

23

setempat terpadu dan efisien. Dalam hal ini kelancaran informasi dan kelancaran pengangkutan komoditas memberi peranan yang penting dalam membentuk perdagangan antar pasar yang efisien. Sehingga perlu perhatian khusus untuk hal tersebut. Pengujian akan hubungan harga-harga ditambah dengan pengamatan tentang kegiatan perdagangan merupakan metode uji hipotesis yang berguna dalam menganalisis keterpaduan pasar.

Harga-harga pada suatu sistem pasar yang efisien cenderung bergerak bersama-sama, tetapi hal ini dapat terjadi karena sebab-sebab yang lain. Pergerakan harga umum, musim bersama atau setiap faktor kebersamaan, dapat memberikan perubahan harga yang selaras walaupun pasar tersebut tidak berhubungan (Heytens, 1986).

Pendekatan lain yang digunakan adalah metode autoregresive distributed lag yang dapat mengatasi masalah kelemahan model regresi sederhana yang menganggap perubahan harga di tingkat konsumen dan produsen bergerak pada waktu yang sama. Model ini dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan Heytens (1986). Model didasarkan pada hubungan bedakala (lag) bersebaran autoregresive

antara harga disuatu tingkat atau pasar tertentu dengan harga di pasar atau tingkat lainnya. Analisis ini dapat menerangkan adanya hubungan antara perubahan harga di suatu pasar tertentu dengan harga di pasar lainnya. Lebih lanjut dapat diungkapkan proses pembentukan harga, misalnya Pit adalah harga di pasar i waktu t, sedangkan PAt adalah harga di pasar acuan waktu t, maka model dapat dirumuskan sebagai berikut:

(Pit– Pit-1) = (αi - 1) (Pit-1 - PAt-1) + i0 (PAt - PAt-1) +

(αi+ i0+ i1-1) PAt-1 + i X + e ...(1) dimana:

Pit = Harga di pasar i waktu t PAt = Harga di pasar acuan waktu t

X = Vektor musiman atau variabel lain yang dianggap relevan e = Error term di pasar i waktu t

Persamaan (1) menjelaskan bahwa perubahan harga di suatu tempat adalah fungsi dari selisih harga pasar setempat dengan pasar acuan pada waktu yang sebelumnya, perubahan harga pasar acuan pada waktu sebelumnya, harga di pasar


(50)

24

acuan waktu sebelumnya dan ciri-ciri pasar setempat. Persamaan (1) bisa disederhanakan dengan mengubah lambang-lambang koefisien: αi – 1 = b1, i0 = b2 dan αi + i0+ i1-1 = b3, sehingga persamaan dapat ditulis sebagai berikut:

(Pit - Pit-1) = b1 (Pit-1– PAt-1) + b2 (PAt – PAt-1)

+ b3 PAt-1+ b4 X + e ...(2) Persamaan (2) dapat disusun kembali menjadi persamaan:

Pit = (1+b1) Pit-1 + b2 (PAt – PAt-1) + (b3-b1) PAt-1 + b4 X + e ...(3) Apabila pasar acuan kita anggap berada pada keseimbangan jangka panjang maka (PAt– PAt-1) = 0 dan juga b4 = 0, sehingga didapatkan:

Pit = (1+b1) Pit-1 + (b3-b1) PAt-1 ...(4) Nilai parameter (1+b1) dan (b3-b1) akan menggambarkan sumbangan relatif harga pasar setempat dan acuan terdahulu terhadap pembentukan harga tingkat sekarang. Apabila harga pasar acuan sebelumnya merupakan penentu dari harga, maka pasar-pasar ini terintegrasi dengan baik. Artinya keadaan penawaran dan permintaan pada pasar acuan akan dikomunikasikan secara efektif ke pasar-pasar setempat dan akan mempengaruhi harga-harga di sana walau bagaimanapun keadaan pasar lokal sebelumnya. Untuk menangkap besarnya pengaruh ini secara efektif, dikembangkan suatu indek hubungan pasar atau Index of Market Connection (IMC) atau disebut juga indek yang dibatasi sebagai nisbah koefisien pasar setempat terdahulu terhadap koefisien pasar acuan terdahulu. Dari persamaan (4) diperoleh:

IMC = (1+b1) / (b3-b1) ………..(5) Secara umum, semakin dekat indek tersebut ke-0 atau koefisien bernilai lebih kecil dari 1 maka semakin tinggi derajat keterpaduan pasar.

3.3. Kerangka Konseptual

Untuk meningkatan pendapatan petani masalah utamanya adalah menyangkut produktivitas dan kegiatan pemasaran. Keadaan ini akan menentukan kuantitas dan kualitas kakao. Sehingga upaya untuk memberi perhatian terhadap aspek produksi dan pemasaran menjadi penting. Usaha ini diharapkan tercakup pada kebijakan pengembangan usahatani kakao di Kabupaten Padang Pariaman, dimana kebijakan ini akan meningkatkan pendapatan petani.


(51)

25

Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian

Gambar 1 memberikan kerangka konseptual penelitian secara garis besar , didalam proses produksi kakao diperlukan input tetap dan input tidak tetap. Maka input-input yang akan diuji sebagai hipotesis penelitian adalah bagaimana pengaruh jumlah tenaga kerja, jumlah penggunaan pupuk kandang, jumlah penggunaan pupuk kimia, jumlah penggunaan peptisida, luas areal tanam, jumlah tanaman menghasilkan dan lama pendidikan, terhadap produksi kakao. Apakah pengaruhnya signifikan terhadap produksi kakao di Kabupaten Padang Pariaman. Sehingga di ketahui proporsi dari masing-masing faktor dalam menentukan produksi kakao rakyat di Kabupaten Padang Pariaman.

Kabupaten Padang Pariaman Merupakan Sentra Pengembangan Kakao

Fungsi produksi menggunakan Cobb-Douglas dan analisis pemasaran menggunakan the market structure-conduct performance relationship

Analisis Produksi Analisis Pemasaran

PePemasaranggunaan Masalah utama:

1. Produktivitas kakao yang rendah di Kab. Padang Pariaman

2. Rendahnya posisi tawar petani di pasar

Gambaran keragaan usahatani kakao mulai dari produksi sampai pemasaran secara terpadu di Kabupaten Padang Pariaman

Perkebunan rakyat


(52)

26

Dan dilanjutkan dengan faktor terakhir yang harus diperhatikan adalah kegiatan pemasaran kakao. Analisis pemasaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis SCP (Structure-Conduct-Performance), yang merupakan pendekatan yang bisa digunakan untuk mengkaji efisiensi saluran pemasaran. Sehingga didapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai struktur pasar, perilaku dan keragaan pasar kakao di Kabupaten Padang Pariaman.

Apabila faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan karakteristik lembaga pemasaran kakao telah teridentifikasi maka langkah pengembangan kakao di Kabupaten Padang Pariaman untuk masa mendatang akan mudah untuk dilaksanakan.


(53)

27

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Penentuan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di dua kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman, Propinsi Sumatera Barat. Dua Kecamatan yang dimaksud adalah Kecamatan V Koto Kampung Dalam dan Kecamatan Sungai Garingging. Dua kecamatan di pilih dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan sebagai daerah sentra produksi kakao di Kabupaten Padang Pariaman.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder dalam bentuk data

cross section. Data cross section bersumber dari responden penelitian yaitu petani kakao dan pedagang kakao. Pedagang kakao dibedakan lagi berdasarkan volume perdagangannya menjadi pedagang nagari, pedagang kecamatan dan pedang kabupaten. Data primer ini yang digunakan untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan pemasaran kakao.

Sumber data dan informasi berupa laporan-laporan ataupun dokumentasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Dinas Perkebunan, Dinas Perdagangan dan asosiasi pedagang kakao yang berada di wilayah Kabupaten Padang Pariaman dan Propinsi Sumatera Barat.

4.3. Metode Pengambilan Contoh

Metode pengambilan sampel adalah judgment sampling yaitu sample dipilih berdasarkan penilaian bahwa dia adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sample penelitian (Neuman, 2003). Sampel diambil dari petani yang mempunyai curahan kerja utama pada usahatani kakao dan petani kakao yang umur tanaman antara 7 – 9 tahun. Jumlah keseluruhan sampel petani sebanyak 70 orang.

Untuk analisis pemasaran sampelnya adalah pedagang kakao yang dipilih secara sengaja (purposive) yang terdiri dari 8 pedagang nagari, 6 pedagang pengumpul kecamatan dan 2 pedagang kabupaten. Penentuan pedagang yang


(54)

28

dijadikan sampel dilakukan dengan metode snowball sampling dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pengambilan sampel yang tidak tepat, dimana pedagang pengumpul di bawahnya tidak menjadi agen (kepanjangan tangan) pedagang pengumpul di atasnya.

4.4. Model Analisis

4.4.1 Analisis Fungsi Produksi

Model pendugaan produksi Cobb-Douglas yang digunakan terdiri dari empat input tidak tetap, dua input tetap dan satu dummy. Adapun model tersebut dirumuskan sebagai berikut:

LnY = ln a0 + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + b3 Ln X3 + b4 Ln X4 + c1 Ln Z1

+ c2 Ln Z2 + d1 Ln D1 + ui …….…………..………. (6) Dimana :

Y = Produksi kakao (kg/ha) a0 =Intersep

X1 = Tenaga kerja (HOK) X2 = Pupuk kandang (kg/ha) X3 = Pupuk kimia (kg/ha) X4 = Pestisida (liter/ha) Z1 = luas lahan (ha)

Z2 = Jumlah tanaman menghasilkan (batang) D1=Dummy pendidikan petani, dimana:

1 = SLTP ke atas (> 6 tahun)

0 = SD (≤ 6 tahun)

bi, cj, dk = Parameter yang diduga ui = Pengubah pengganggu Tanda parameter yang diharapkan adalah b1, b2, b3, b4, c1, c2, c3, c4, d1 > 0.

Model ekonometrika dari fungsi produksi disusun bertujuan untuk menduga hubungan antara variabel tak bebas dan bebas dari suatu fungsi dalam usahatani kakao, yang sesuai dengan kriteria model yang baik dengan melihat kriteria ekonomi, statistik dan ekonometrika. Pada analisis produksi menggunakan


(55)

29

model fungsi produksi Cobb-Douglas karena model inilah yang relevan untuk menganalisis usahatani.

Analisis dapat dilakukan terhadap produksi total atau analisis per hektar. Persyaratan yang diperlukan untuk mendapatkan fungsi produksi yang baik adalah terjadi hubungan yang logis dan benar antara variabel yang dijelaskan dengan variabel yang menjelaskan. Ada dua parameter statistik yang penting dan diperlukan, yaitu: (1) koefisien determinasi atau R2 yaitu parameter yang menjelaskan besarnya variasi dari variabel yang dijelaskan oleh variabel penjelas, dan (2) uji-t pada masing-masing variabel penjelas (Juanda, 2009).

Analisis dilakukan untuk keseluruhan data sampel petani di daerah yang sudah dipilih di wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Model penduga fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan untuk menjawab tujuan penelitian pertama. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dapat di deteksi dengan menggunakan uji-t.

Penilaian apakah fungsi produksi ini dapat dipertanggungjawabkan dimana terjadi hubungan yang logis dan benar antara variabel yang dijelaskan dengan variabel yang menjelaskan atau tidak terjadi kesalahan spesifikasi adalah dengan melakukan pengujian model secara keseluruhan dengan menggunakan statistik uji F.

Nilai level signifikansi yang digunakan atau derajat α adalah pada taraf 1 persen, 5 persen dan 10 persen. Kriteria keputusan dilakukan dengan menggunakan angka probabilitas (P_value atau sign.) yang diperoleh dari perhitungan komputer kemudian dibandingkan dengan taraf nyata pengujian yang

dilakukan, misalnya (α=5 persen). Jika probabilitas (sign.) lebih kecil dari taraf nyata (α=5 persen), maka keputusannya adalah menolak H0 atau menerima hipotesis alternatif H1. P_value atau significance yang dikeluarkan oleh software statistik tertentu dapat juga diinterpretasikan sebagai peluang (resiko) kesalahan dalam menyimpulkan H1 (Juanda, 2009). Pengujian model dilanjutkan dengan uji asumsi Ordinary Least Squares (OLS) untuk melihat apakah model yang ada sudah menghasilkan estimator yang linier, tidak bias dengan varian yang minimum, atau model regresi sudah memenuhi asumsi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator).


(56)

30

4.4.2. Analsis Pemasaran

Analisis pemasaran dilakukan secara deskriptif menggunakan berbagai analisis data sederhana dengan menggunakan perhitungan sederhana, analisis tabulasi dan pendugaan secara stasistik menggunakan metode regresi. . Data berasal dari responden pedagang kakao dan hasil pengamatan selama berada di lokasi penelitian. Data yang telah terkumpul selanjutnya ditabulasi dan dikelompokkan untuk dianalisis sesuai kebutuhan penelitian. Analisis efisiensi pemasaran biji kakao dilakukan dengan terlebih dahulu menganalisis struktur, perilaku dan kinerja pasar. Selanjutnya dilakukan analisis margin pemasaran, analisis bagian harga yang diterima petani dan keterpaduan pasar.

4.4.2.1. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar

Analisis struktur pasar diidentifikasi dengan pendekatan observasi selama pelaksanaan survei lapangan. Observasi adalah pengumpulan data primer dengan cara pengamatan (Simamora, 2004). Untuk menganalisis struktur pasar dilakukan terhadap seluruh kegiatan dan perilaku semua lembaga yang terlibat dalam rantai pemasaran kakao, bagaimana saluran pemasaran yang terjadi, sistem transaksi yang dilakukan, jumlah partisipan dan ukuran distribusinya (derajat konsentrasi), serta kondisi relatif mudah atau sulit untuk keluar masuk pasar.

Perilaku pasar dianalisis secara deskriptif dengan tujuan untuk memperoleh informasi mengenai perilaku partisipan di pasar, yang meliputi analisis tingkah laku serta penerapan strategi yang digunakan oleh partisipan (pembeli) untuk merebut pangsa pasar dan mengalahkan pesaingnya. Analisis ini sengaja dilakukan karena variabel yang mencerminkan perilaku sifatnya kualitatif dan sulit dikuantitatifkan.

Analisis keragaan atau kinerja pasar kakao menggunakan metode analisis margin pemasaran, dan farmer’s share. Untuk menganalisis efisiensi sistem pemasaran kakao di Kabupaten Padang Pariaman sekaligus mengidentifikasi kendala-kendala pelaku pasar yang mempengaruhi kinerja pasar kakao, hal yang harus dijelaskan sehubungan dengan analisis SCP meliputi: (1) bagaimana sistem kelembagaan pemasaran kakao, seperti apa koordinasi antar partisipannya dan apakah perdagangan kakao dibentuk oleh banyak unit pedagang kecil yang


(57)

31

berkompetisi ataukah didominasi oleh sedikit pedagang besar, (2) pendekatan apa yang digunakan pedagang dalam pembelian, penjualan dan penentuan harga kakao, dan (3) bagaimana struktur, perilaku pasar serta kendala-kendala dan permasalahan yang ada mempengaruhi kinerja pemasaran kakao. (Dessalegn et al. 1998).

4.4.2.2. Margin Pemasaran

Margin pemasaran atau juga biasa disebut margin tataniaga adalah perbedaan harga di tingkat petani produsen (harga beli) dengan harga ditingkat konsumen akhir (harga jual). Margin tataniaga adalah harga dari semua nilai tambah dari aktivitas dan penanganan fungsi-fungsi pemasaran, termasuk jasa-jasa pemasaran dari lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam rantai pemasaran suatu produk atau komoditas. Margin tataniaga merupakan jumlah dari biaya-biaya dan keuntungan yang didapat oleh lembaga pemasaran. Secara matematis besarnya margin tataniaga adalah:

Mi = Pri – Pfi ...(7) Mi = Ci+ πi ...(8) dimana:

Mi = Margin pemasaran pada lembaga pemasaran di tingkat (pasar) i Pri = Harga jual kakao di pasar i

Pfi = Harga beli kakao di pasar i Ci = Biaya pemasaran di pasar i

πi = Keuntungan pemasar (lembaga) di pasar i 4.4.2.3. Bagian Harga yang Diterima Petani

Bagian harga konsumen yang diterima petani (farmer’s share atau FS) dinyatakan dalam bentuk persentase, yang berguna untuk mengetahui porsi harga yang dinikmati petani dari harga yang berlaku di tingkat eksportir. Dihitung dengan menggunakan rumus:

FS = (Pf / Pe) x 100 % ...(9) dimana:

Pf = Harga kakao di tingkat petani


(58)

32

4.4.2.4. Keterpaduan Pasar

Analisis keterpaduan pasar dalam penelitian ini mengacu pada model yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan menggunakan analisis korelasi sebagai pembanding. Harga pasar setempat diidentifikasi sebagai harga kakao yang dihasilkan oleh petani (Pf), sedangkan harga di pasar acuan adalah harga kakao yang berlaku di tingkat pedagang kabupaten (Pe), sehingga model dapat ditulis sebagai berikut:

(Pft - Pft-1) = b1 (Pft-1– Pet-1) + b2 (Pet– Pet-1) + b3 Pet-1 + u4…...(10) Koefisien b2 pada Persamaan (11) menunjukkan seberapa jauh perubahan harga di tingkat eksportir di transmisikan ke tingkat petani. Apabila nilai parameter dugaan b2 bernilai 1 maka perubahan harga 1 persen pada suatu tingkat pasar, akan mengakibatkan perubahan harga di tingkat pasar yang lainnya dalam persentase yang sama. Oleh karena itu semakin dekat nilai parameter b2 dengan 1 maka akan semakin baik keterpaduan pasar.

Dan dapat disusun kembali menjadi persamaan:

Pft = (1+b1) Pft-1 + b2 (Pet– Pet-1) + (b3-b1) Pet-1 + u4 ...(11) dimana:

Pft = Harga kakao di tingkat petani (waktu t) Pft-1 = Harga kakao di tingkat petani (waktu t-1)

Pet = Harga kakao di tingkat pedagang kabupaten (waktu t) Pet-1 = Harga kakao di tingkat pedagang kabupaten (waktu t-1) u4 = Galat

Sedangkan koefisien (1+b1) dan (b3-b1) masing-masing mencerminkan seberapa jauh kontribusi relatif harga periode sebelumnya, baik ditingkat petani maupun pedagang kabupaten, terhadap tingkat harga yang berlaku sekarang di tingkat petani. Rasio antara kedua koefisien tersebut (1+b1) / (b3-b1) menunjukkan indeks hubungan pasar (Index of Market Connection atau IMC) yang menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan. Cara perhitungan IMC:


(1)

Lampiran 3. Program dan Output Komputer SAS Release 9.1 Analisis

Keterpaduan Pasar Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2011-2012

OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA KAKAO;

INPUT NO PF PE PFt DPE PEt; cards;

1 9500.00 10000.00 * * *

2 10000.00 11000.00 9500.00 1000.00 10000.00 3 11500.00 21000.00 10000.00 10000.00 11000.00 4 10500.00 15000.00 11500.00 -6000.00 21000.00 5 11000.00 22000.00 10500.00 7000.00 15000.00 6 13500.00 19000.00 11000.00 -3000.00 22000.00 7 14500.00 17000.00 13500.00 -2000.00 19000.00 8 13500.00 18000.00 14500.00 1000.00 17000.00 9 13000.00 19000.00 13500.00 1000.00 18000.00 10 14500.00 22000.00 13000.00 3000.00 19000.00 11 15500.00 20000.00 14500.00 -2000.00 22000.00 12 16000.00 18800.00 15500.00 -1200.00 20000.00 ;

PROC REG DATA=KAKAO;

TITLE 'ANALISIS KETERPADUAN PASAR KAKAO DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN'; MODEL PF = PFt DPE PEt;


(2)

ANALISIS KETERPADUAN PASAR KAKAO DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN The REG Procedure

Model: MODEL1 Dependent Variable: PF

Number of Observations Read 12 Number of Observations Used 11 Number of Observations with Missing Values 1

Analysis of Variance Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 33407257 11135752 9.37 0.0076 Error 7 8320016 1188574

Corrected Total 10 41727273

Root MSE 1090.21727 R-Square 0.8006 Dependent Mean 13045 Adj R-Sq 0.7152 Coeff Var 8.35707

Parameter Estimates Parameter Standard

Variable DF Estimate Error t Value r > |t| Intercept 1 277.85489 2610.15183 0.11 0.9182 PFt 1 0.71605 0.21603 3.31 0.0129 DPE 1 0.14051 0.11064 1.27 0.2447 PEt 1 0.21190 0.14421 1.47 0.1852


(3)

Lampiran 4. Data Primer Untuk Analisis produksi kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2012

No

Produksi Tenaga Pupuk Pupuk Pestisida Luas Jumlah Tanaman Pendidikan

Responden Kerja Kandang Kimia (NPK) Lahan Menghasilkan Petani

(kg) (HOK) (kg) (kg) (liter) (ha) (Batang) (tahun)

Y X1 X2 X3 X4 Z1 Z2 D1

1 740 189 25 300 2 1 810 0

2 350 82 15 100 0.5 0.5 200 0

3 1520 305 50 0 1.5 2.25 1700 0

4 1850 383 60 200 4 3 2000 1

5 952 328 60 0 1 2 1900 0

6 1040 371 100 150 0 3 1800 0

7 980 223 50 90 0 1 540 1

8 1044 250 100 0 0 2 1440 0

9 660 109 50 0 0 1 720 1

10 744 126 25 50 0 1 650 1

11 544 120 50 0 0 1 700 1

12 2544 283 120 100 0 3 1440 1

13 612 285 10 0 0 2 495 1

14 1100 295 90 150 0 1.5 1125 1

15 404 156 50 0 0 0.5 410 0

16 300 295 100 0 1 0.25 350 0

17 672 160 100 50 0.5 1 565 0

18 500 110 50 0 0 0.5 405 0

19 730 150 25 0 0.5 1 570 1

20 510 167 50 50 0 0.5 450 0

21 556 170 25 0 0.5 0.5 500 1

22 428 122 25 50 0.5 0.5 460 0

23 410 95 50 0 0 0.5 470 1


(4)

No

Produksi Tenaga Pupuk Pupuk Pestisida Luas Jumlah Tanaman Pendidikan

Responden Kerja Kandang Kimia (NPK) Lahan Menghasilkan Petani

(kg) (HOK) (kg) (kg) (liter) (ha) (Batang) (tahun)

Y X1 X2 X3 X4 Z1 Z2 D1

24 475 100 100 0 1 0.5 378 0

25 450 125 100 0 0 0.5 300 0

26 850 135 70 100 0 1 990 1

27 1950 287 120 0 4 2.5 1800 1

28 672 110 70 50 0 0.75 540 1

29 320 95 50 75 0 0.5 360 1

30 224 63 25 0 0 0.5 450 1

31 430 230 25 0 0.5 1 270 0

32 112 90 50 0 0 0.25 180 0

33 792 144 65 100 0 1.5 720 1

34 1500 295 100 0 0 3.5 1125 1

35 925 297 50 0 0 2 965 0

36 404 156 25 0 1 0.5 405 0

37 624 294 50 50 1 0.25 585 1

38 652 160 80 0 0.5 1 563 1

39 500 110 50 0 0 0.5 405 0

40 728 150 50 50 0.5 1 562 1

41 490 167 70 0 0 0.5 475 0

42 556 170 100 0 0.5 0.5 427 0

43 428 122 80 0 0.5 0.5 420 0

44 600 244 31 0 0.5 1 558 0

45 588 109 80 100 1 1 720 0

46 350 63 17 50 0 0.5 315 0

47 520 204 50 100 0 1 585 0

48 292 140 70 0 0.5 0.5 295 0


(5)

No

Produksi Tenaga Pupuk Pupuk Pestisida Luas Jumlah Tanaman Pendidikan

Responden Kerja Kandang Kimia (NPK) Lahan Menghasilkan Petani

(kg) (HOK) (kg) (kg) (liter) (ha) (Batang) (tahun)

Y X1 X2 X3 X4 Z1 Z2 D1

49 880 160 80 100 0.5 1 810 1

50 430 92 50 50 0 0.5 495 0

51 1352 450 100 150 0 3 1890 1

52 1184 189 80 100 0 2.5 1665 0

53 520 138 100 0 3 1 720 0

54 1024 243 150 150 1.5 2 1440 0

55 1320 397 50 100 0 2.5 1800 1

56 400 85 70 50 1 0.75 540 0

57 1024 248 100 0 2 2 1440 1

58 520 189 50 0 2 1 720 0

59 896 147 80 100 2 1.75 1260 0

60 420 167 60 0 0.5 0.75 540 0

61 1300 285 50 100 1.5 2 1800 0

62 1500 350 60 150 4 2.5 2100 1

63 850 220 50 90 0 1 550 1

64 1250 300 80 0 0 2 1450 0

65 550 120 100 0 0 1 700 1

66 2500 283 120 100 0 3 1500 1

67 600 160 60 50 0.5 1 550 0

68 500 110 50 0 0 0.5 405 0

69 428 122 70 50 0.5 0.5 460 0

70 410 95 50 0 0 0.5 470 1


(6)

Lampiran 5. Rata-rata Harga Kakao di Tingkat Petani dan Pedagang dalam Bulan Selama Satu Tahun ( Agustus 2011 – Juli 2012)

No Bulan

Tingkat Harga (Rp/kg)

Petani Pedagang

1. Agustus 9 500 10 000

2. September 10 000 11 000

3. Oktober 11 500 21 000

4. November 10 500 15 000

5. Desember 11 000 22 000

6. Januari 13 500 19 000

7. Februari 14 500 17 000

8. Maret 13 500 18 000

9. April 13 000 19 000

10. Mei 14 500 22 000

11. Juni 15 500 20 000