Analisis Pengaruh Manajemen Pengetahuan terhadap Organisasi Pembelajar pada Institut Pertanian Bogor

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan menuntut upaya sistematis perguruan tinggi untuk mengantisipasinya. Area pasar bebas di ASEAN dan Cina yang ditandai dengan CAFTA (China-Asean Free Trade Area) mengharuskan semua sektor untuk bersiap-siap memasuki persaingan global, termasuk sektor pendidikan. Hal ini ditandai dengan adanya gelombang pergerakan perguruan tinggi-perguruan tinggi di Negara berkembang seperti Thailand, Malaysia dan Taiwan yang mengarah kepada World Class University. Begitu pula dengan Institut Pertanian Bogor (IPB).

IPB sebagai lembaga pendidikan ternama di Indonesia terus berupaya melakukan pengembangan-pengembangan dalam meningkatkan kapabilitasnya menuju World Class University. Keinginan IPB untuk menjadi World Class University tercantum jelas pada Visi dan Misi IPB. Hal ini sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Pemerintah Republik Indonesia 2005-2025. Pada tahun 2014, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menargetkan ada 11 Perguruan Tinggi di Indonesia yang bisa menempati posisi 500 besar World Class University berdasarkan ranking THES (Times Higher Education’s).  

Pengembang IPB menuju World Class University harus sejalan dengan kemampuan IPB dalam beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan. IPB harus dapat beradaptasi dengan cepat terhadap setiap keadaan yang kemungkinan dapat berubah. Perubahan yang merupakan refleksi dari akselerasi perubahan yang dimungkinkan oleh adanya teknologi komunikasi dan informasi, harus dihadapi IPB dengan inovasi-inovasi yang diciptakan. IPB harus dapat melakukan inovasi-inovasi dalam memenuhi kebutuhan pasar global.

Inovasi yang dihasilkan oleh IPB pada dasarnya tidak cukup dijelaskan hanya dalam terminologi pemrosesan informasi serta penyelesaian masalah. Inovasi akan mampu dipahami sebagai sebuah proses dimana organisasi menciptakan dan menentukan masalah dan kemudian secara aktif


(2)

mengembangkan pengetahuan baru untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Pengetahuan inilah yang menjadi intangible asset bagi kemajuan IPB kedepan.

Pengetahuan sangat berperan dalam persaingan yang dialami IPB. Semakin tinggi tingkat pengetahuan pegawai IPB, maka semakin mudah untuk mengikuti perubahan sesuai dengan tugasnya. Dengan demikian diperlukan suatu sistem atau tata kelola yang dapat menciptaan nilai dari aset pengetahuan atau yang biasa disebut juga dengan Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management). Pengetahuan, pengalaman dan kreativitas pegawai IPB akan terbentuk apabila mereka diberi kesempatan untuk melakukan pembelajaran dalam konteks individu maupun organisasi (Learning Organization).

Oleh karena itu, guna mencapai visi, misi dan tujuan IPB menuju World Class University (WCU), IPB diharapkan dapat mengelola pengetahuan (Knowledge Management) pegawainya dan menjadikan pengetahuan itu menjadi sebuah kekuatan daya saing. Pada sisi lain, mengelola pengetahuan melalui Manajemen Pengetahuan tidak akan berjalan optimal tanpa adanya lingkungan pembelajar (Learning Organization). Berdasarkan uraian di atas peneliti bermaksud untuk meneliti lebih jauh tentang pengaruh Manajemen Pengetahuan terhadap Organisasi Pembelajar (Learning Organization) pada Institut Pertanian Bogor (IPB).

1.2. Perumusan Masalah

Inovasi merupakan sebuah proses dimana organisasi menciptakan dan menentukan masalah dan kemudian secara aktif mengembangkan pengetahuan baru untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Pengetahuan inilah yang merupakan intangible asset bagi kemajuan Institut Pertanian Bogor (IPB) ke depan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan pegawai IPB, maka semakin mudah untuk mengikuti perubahan sesuai dengan tugasnya. Oleh karena itu, untuk mencapai visi, misi dan tujuan IPB menuju World Class University (WCU), diperlukan suatu sistem atau tata kelola yang dapat menciptaan nilai dari aset pengetahuan atau yang biasa disebut juga dengan Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management). IPB diharapkan dapat


(3)

mengelola pengetahuan (Knowledge Management) pegawainya dan menjadikan pengetahuan itu menjadi sebuah kekuatan daya saing. Pada sisi lain, pengetahuan, pengalaman dan kreativitas pegawai IPB akan terbentuk apabila mereka diberi kesempatan untuk melakukan pembelajaran dalam konteks individu maupun organisasi (Learning Organization), sehingga Manajemen Pengetahuan akan berjalan optimal.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan sebelumnya, maka permasalahan pada penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana indikator Organisasi Pembelajar pada Institut Pertanian Bogor (IPB)?

2. Bagaimana indikator Manajemen Pengetahuan pada Institut Pertanian Bogor (IPB)?

3. Apakah Manajemen Pengetahuan berhubungan dengan Organisasi Pembelajar?

4. Bagaimana pengaruh Manajemen Pengetahuan terhadap Organisasi Pembelajar pada Institut Pertanian Bogor (IPB)?

1.3. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan permasalahan yang dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi indikator Manajemen Pengetahuan pada Institut Pertanian Bogor (IPB)

2. Mengidentifikasi indikator Organisasi Pembelajar pada Institut Pertanian Bogor (IPB).

3. Mengetahui hubungan Manajemen Pengetahuan dengan Organisasi Pembelajar pada Institut Pertanian Bogor (IPB)

4. Menganalisis pengaruh Manajemen Pengetahuan terhadap Organisasi Pembelajar pada Institut Pertanian Bogor (IPB).


(4)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitan ini adalah:

1. Memberikan informasi yang berguna sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan dan menyusun kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan pengetahuan dan Organisasi Pembelajar kepada pihak Institut Pertanian Bogor (IPB).

2. Memberikan informasi bagi pihak lain yang membutuhkan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya atau kegiatan lain yang berkaitan.

3. Sebagai bahan pembelajaran, meningkatkan pengetahuan dan penerapan ilmu-ilmu manajerial.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penulis memfokuskan penelitian ini pada analisis pengaruh Manajemen Pengetahuan terhadap Organisasi Pembelajar pada Institut Pertanian Bogor. Variabel pada penetian ini adalah Manajemen Pengetahuan dan Organisasi Pembelajar. Indikator penelitian untuk variabel Manajemen Pengetahuan adalah konversi pengetahuan, spiral pengetahuan dan Ba. Sedangkan indikator penelitian untuk Organisasi Pembelajar adalah disiplin penguasaan disiplin pribadi, disiplin model mental, disiplin visi bersama, disiplin berpikir tim dan disiplin berpikir sistem. Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada pegawai kependidikan berstatus PNS Institut Pertanian Bogor (IPB). Jumlah sampel yang diambil sebanyak 96 orang dari total pegawai berstatus PNS yang berjumlah 1673 orang. Penelitian keseluruhan didukung melalui wawancara dengan Kepala Seksi Pengembangan SDM dan Pegawai lain, serta studi literatur lain yang relevan.


(5)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Manajemen Pengetahuan

Manajemen Pengetahuan merupakan sistem yang memungkinkan perusahaan menyerap pengetahuan, pengalaman, dan kreativitas para stafnya untuk perbaikan kinerja perusahaan serta merupakan suatu proses yang menyediakan cara sehingga perusahaan dapat mengenali di mana aset intelektual kunci berada, menangkap ukuran aset intelektual yang relevan untuk dikembangkan (Davidson dan Voss, 2002 dalam Sangkala, 2007).

Fraopolo (2003) mendifinisikan Manajemen Pengetahuan sebagai pengungkitan (leveraging) kebijakan kolektif untuk meningkatkan responsifitas dan inovasi. Lebih lanjut Fraopolo menyatakan bahwa definisi tersebut secara tidak langsung harus memenuhi tiga kriteria sebelum informasi bisa dianggap sebagai pengetahuan, yaitu: Pertama, pengetahuan mempunyai hubungan yang merupakan suatu kumpulan (kebijakan kolektif) dari pengalaman dan perspektif berganda. Kedua, Manajemen Pengetahuan merupakan katalisator yang selalu relevan dengan kondisi lingkungan dan merangsang tindakan dalam merespon kondisi tersebut. Ketiga, pengetahuan dapat dipakai dalam lingkungan yang tidak bersesuaian. Manajemen Pengetahuan terdiri atas respon-respon inovatif untuk menghadapi peluang dan tantangan baru.

Sveiby (1998) dalam Sangkala (2007) mengungkapkan Manajemen Pengetahuan adalah seni penciptaan nilai dari aset pengetahuan. Selanjutnya Sveiby (Tjakraatmadja dan Lantu, 2006) menambahkan bahwa Manajemen Pengetahuan mewakili sebuah logika progresif yang maknanya melebihi dari sekedar manajemen informasi. Artinya, efektivitas Manajemen Pengetahuan sebenarnya dipengaruhi oleh kualitas lingkungan kerja yang kondusif untuk terjadinya proses berbagi pengetahuan dan pemaknaan sebuah informasi yang dihasilkan oleh manajemen informasi. Sedangkan teknologi informasi berperan untuk mempermudah proses belajar sehingga dapat mengakselerasi pertumbuhan pengetahuan organisasi. Pertumbuhan teknologi informasi akan


(6)

semakin meningkatkan efektivitas Manajemen Pengetahuan pada sebuah organisasi.

Pendapat senada dinyatakan oleh (Santosus dan Surmacz, 2001 dalam Sangkala, 2007) yang tegas membantah dengan mengatakan bahwa Manajemen Pengetahuan tidak identik dengan penggunaan teknologi informasi. Manajemen Pengetahuan memang sering kali aktivitasnya difasilitasi oleh teknologi informasi, tetapi teknologi itu sendiri bukanlah Manajemen Pengetahuan. Teknologi bukanlah titik awal dari Manajemen Pengetahuan. Keputusan melakukan Manajemen Pengetahuan didasarkan atas siapa (orang), apa (pengetahuan), dan mengapa (tujuan organisasi). Sementara itu, bagaimana menyimpannya (teknologi) adalah aktivitas terakhir.

Menurut Setiarso et al. (2009) Manajemen Pengetahuan adalah proses mengubah tacit knowledge menjadi explicit knowledge. Lanjut Setiarso et al. dalam bukunya bahwa Manajemen Pengetahuan yang sukses sebaiknya ditinjau dari ketiga komponen yang kritis, yaitu:

1. Alur pengetahuan yang benar dan sumber yang dilimpahkan ke organisasi

atau institusi.

2. Teknologi tepat yang disimpan dan dapat mengkomunikasikan

pengetahuan tersebut.

3. Budaya tempat kerja yang benar, sehingga karyawan termotivasi untuk

memanfaatkan pengetahuan.

Tannebaum (1998) dalam Sangkala (2007) menawarkan definisi yang dapat dijadikan suatu konsensus, yaitu terdiri atas: Pertama, menajemen pengetahuan mencakup pengumpulan, penyusunan, penyimpanan, dan pengaksesan informasi untuk membangun pengetahuan. Pemanfaatan dengan tepat teknologi informasi seperti computer yang dapat mendukung Manajemen Pengetahuan, namun teknologi informasi tersebut bukanlah Manajemen Pengetahuan. Kedua, Manajemen Pengetahuan mencakup berbagi pengetahuan (sharing knowledge). Tanpa berbagi pengetahuan, upaya Manajemen Pengetahuan akan gagal. Budaya perusahaan, dinamika dan praktik –seperti sistem penggajian- dapat mempengaruhi berbagi


(7)

pengetahuan. Kultur dan aspek sosial dari Manajemen Pengetahuan merupakan tantangan yang signifikan. Ketiga, Manajemen Pengetahuan terkait dengan pengetahuan orang. Pada suatu saat, organisasi membutuhkan orang-orang yang kompeten untuk memahami dan memanfaatkan informasi dengan efektif. Organisasi juga terkait dengan individu untuk melakukan inovasi dan member petunjuk kepada organisasi. Organisasi juga terkait dengan persoalan keahlian yang menyediakan input untuk menerapkan Manajemen Pengetahuan. Oleh karena itu, organisasi harus mempertimbangkan bagaimana menarik, mengembangkan dan mempertahankan pengetahuan anggota sebagai bagian domain dari Manajemen Pengetahuan. Keempat, Manajemen Pengetahuan terkait dengan peningkatan efektivitas organisasi. Kita berkonsentrasi dengan Manajemen Pengetahuan karena dipercaya bahwa Manajemen Pengetahuan daapat memberikan kontribusi kepada vitalitas dan kesuksesan perusahaan. Upaya untuk mengukur modal intelektual dan untuk menilai efektivitas Manajemen Pengetahuan harus dapat membantu kita memahami secara luas pengelolaan pengetahuan yang telah dilakukan.

Berdasarkan uraian dari definisi-definisi yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Manajemen Pengetahuan merupakan suatu proses dan seni dalam mengelola perusahaan dengan melaksanakan penciptaan, pengumpulan, penyimpanan, dan pentransferan pengetahuan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif sehingga memberikan hasil dalam mencapai visi dan misi perusahaan.

2.1.1 Pengetahuan dan Penciptaan Pengetahuan

Posisi pengetahuan sedemikian sentralnya sehingga esensi perusahaan adalah organisasi pengetahuan (Brown dan Duguid, 2002 dalam Sangkala, 2007). Menurut Nonaka dan Konno (1998), pengetahuan terdiri atas dua jenis, yaitu explicit knowledge dan tacit knowledge. Explicit knowledge adalah jenis pengetahuan yang dapat yang dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata dan angka, serta dapat disampaikan dalam bentuk data, formulasi ilmiah, spesifikasi, manual, dan sebagainya. Pengetahuan jenis ini dapat segera diteruskan


(8)

dari satu individu ke individu lainnya secara formal dan sistematis. Tacit Knowledge adalah pengetahuan yang bersifat sangat personal dan sulit untuk dirumuskan, dikomunikasikan atau disampaikan kepada orang lain. Pemahaman subjektif, intuisi dan firasat termasuk ke dalam jenis pengetahuan ini. Terdapat dua jenis dimensi dalam tacit knowledge yaitu dimensi teknik dan dimensi kognitif. Dimensi teknik meliputi jenis-jenis keahlian atau keterampilan informal personal yang biasa disebut dengan know-how. Dimensi kognitif meliputi kepercayaan, ideal dan model mental yang sangat melekat dalam diri kita dan yang sering kita anggap benar. Meskipun sulit untuk diungkapkan dalam bentuk kata-kata, dimensi kognitif dari tacit knowledge membentuk cara kita memandang dunia.

Nonaka dan Taekuchi (1995) dalam Sangkala (2007) menjelaskan perbedaan antara tacit knowledge dengan explicit knowledge dapat dipahami dalam beberapa hal, antara lain: pengetahuan yang bersifat subjektif (tacit) cenderung bersifat implisit, fisikal dan subjektif, sementara pengetahuan yang bersifat objektif (explicit) cenderung explicit, meta fisikal, dan objektif. Tacit knowledge diciptakan ”di sini (here) dan sekarang (now)” di dalam suatu konteks spesifik dan praktis. Sedangkan explicit knowledge mengenai peristiwa atau objek ”di sana (there) dan kemudian (then)” serta lebih berorientasi pada peristiwa yang bebas dari konteks.

Nonaka dan Takeuchi (1995) dalam Nonaka dan Toyama (2007) mendifinisikan pengetahuan sebagai sebuah proses dinamik mengenai pembenaran terhadap keyakinan seseorang melalui pengungkapan suatu “kebenaran”. Keberadaan pengetahuan tidak bisa terlepas dari subjektifitas manusia dan konteks di sekitar manusia. Penilaian seseorang terhadap suatu “kebenaran” berbeda-beda, tergantung dari siapa orang itu (nilai) dan dari sudut pandang mana seseorang itu melihat (konteks).

Pada tradisi lama Western epistemology, pengetahuan didefinisikan sebagai justified true belief. Definisi ini memberikan


(9)

kesan bahwa pengetahuan merupakan sesuatu yang bersifat objektif, absolut dan bebas konteks (explicit knowledge). Jenis pengetahuan yang bersifat explicit ini mendominasi pemahaman sebagian besar para ahli di Negara-Negara Barat.

Menurut Nonaka dan Toyama (2005), model dari sebuah penciptaan pengetahuan dalam sebuah perusahaan dimana pengetahuan diciptakan melalui interaksi dinamis dengan lingkungan. Model ini terdiri atas tujuh komponen utama yaitu: percakapan (dialogue) dan praktek dari proses SECI; visi pengetahuan dan menggerakkan tujuan, yang memberikan arahan dan energi terhadap proses SECI; Ba, yaitu tempat berlangsungnya proses SECI; aset pengetahuan, yang merupakan input sekaligus output dari proses SECI; dan lingkungan sebagai sebuah ekosistem pengetahuan dan multi-layered ba (Gambar 1).

Gambar 1. Komponen utama perusahaan berbasis pengetahuan (Nonaka dan Toyama, 2005)

Visi pengetahuan (knowledge vision) memberikan arahan kepada penciptaan pengetahuan serta arahan kepada perusahaan untuk

Visi (apa?)

Percakapan (mengapa?)

Menggerak-kan Tujuan Praktek

(bagaimana?)

Tacit Knowledge Subjektifitas)

Explicit Knowledge

Ba (shared context)

Aset pengetahuan


(10)

berkenan terhadap penciptaan pengetahuan yang berada di luar kemampuan perusahaan sehingga menentukan bagaimana perusahaan tersebut mampu terus berkembang dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, visi pengetahuan juga mengilhami para anggota organisasi untuk tertarik dengan ha-hal yang berhubungan dengan intelektualitas sehingga mendorong mereka untuk menciptakan pengetahuan. Agar pengetahuan dapat diciptakan dan diakui sebagai visi pengetahuan perusahaan, perusahaan perlu sebuah konsep dan tujuan yang kongkrit, atau suatu standar tindakan untuk menghubungkan visi dengan proses penciptaan pengetahuan berupa percakapan (dialogue) dan praktik. Konsep atau tujuan atau standar tindakan ini disebut dengan mendorong pegetahuan (Knowledge driven) karena hal tersebut mendorong terciptanya proses penciptaan pengetahuan.

Ba merupakan dasar dari kegiatan penciptaan pengetahuan, tempat berlangsungnya percakapan dan praktik dialektikal untuk menciptakan visi dan mendorong pencapaian tujuan organisasi. Aset pengetahuan tercipta dari proses penciptaan pengetahuan melalui percakapan dan praktik yang dilakukan di dalam Ba.

Penjelasan terakhir mengenai komponen utama perusahaan berbasis pengetahuan adalah lingkungan. Lingkungan merupakan ekosistem pegetahuan yang terdiri atas multi-layered Ba dimana keberadaannya melewati batasan organisasional dan terus menerus mengalami perkembangan.

2.1.2 Konversi Pengetahuan

Nonaka dan Toyama (2005) berpendapat bahwa pengetahuan diciptakan melalui penyatuan antara pemikiran dan tindakan dari individu yang saling berinteraksi dan melebihi batas-batasan yang bersifat organisasi. Pada proses penciptaan pengetahuan organisasi, individu saling berinteraksi untuk melewati batasan-batasan diri mereka sendiri, dan pada akhirnya dapat mengubah diri mereka, orang lain, organisasi dan lingkungan. Proses penciptaan pengetahuan tidak dapat dianggap semata-mata sebagai sebuah model penyebab normatif


(11)

karena nilai dan idealisme manusia bersifat subjektif dan konsep dari kebenaran tergantung pada nilai, idealisme dan konteks masing-masing individu. Penciptaan pengetahuan dapat ditinjau sebagai sebuah proses untuk menyadari visi masa depan atau keyakinan seseorang melalui praktik berupa saling interaksi dengan orang lain dan lingkungan

Menurut Nonaka dan Konno (1998), pengetahuan diciptakan secara sosial dengan cara menyatukan perbedaan pandangan banyak orang. Melalui proses konversi pengetahuan [Proses Sosialisasi, Eksternalisasi, Kombinasi dan Internalisasi (proses SECI)], pengetahuan subjektif seseorang menjadi berlaku secara sosial dan menyatu dengan pengetahuan orang lain sehingga pengetahuan terus mengalami perkembangan (Gambar 2). Model ini memungkinkan lahirnya empat postulat model konversi pengetahuan, yaitu:

Pertama, sosialisasi atau konversi pengetahuan dari tacit knowledge ke tacit knowledge. Pengubahan pengetahuan dari tacit knowledge ke tacit knowledge memungkinkan pengetahuan tacit diubah melalui interaksi antar individu. Seseorang bisa memperoleh tacit knowledge tanpa harus dengan bahasa. Bentuk pemagangan yang dilakukan oleh seseorang karyawan yang dibantu oleh penasihatnya dan belajar dari seorang ahli tidak perlu melalui penggunaan bahasa, tetapi dengan melakukan observasi, peniruan dan latihan. Kunci utama mendapatkan tacit knowledge adalah dengan transfer pengalaman. Orang yang memiliki tacit knowledge akan sulit mentransfer tacit knowledge yang dimilikinya tanpa melalui berbagi pengalaman. Hal ini sangat terkait dengan adanya unsur-unsur emosional dan konteks maupun nuansa.

Kedua, eksternalisasi atau konversi pengetahuan dari tacit knowledge ke explicit knowledge. Pada konversi pengetahuan ini, pengetahuan yang bersifat tacit dieksplisitkan menjadi berupa dokumen. Dokumen ini dapat berupa laporan, grafik, dan bentuk lain, sehingga menjadi pengetahuan yang mudah ditansfer. Pada prakteknya, eksternalisasi didukung oleh dua faktor kunci. Pertama,


(12)

artikulasi pengetahuan tacit yaitu konversi tacit ke pengetahuan explicit melibatkan teknik yang membantu untuk mengekspresikan ide-ide seseorang menjadi kata-kata, konsep atau bahasa kiasan (seperti metafora, analogi, atau narasi), dan visual. Dialog antar anggota organisasi sangat mendukung eksternalisasi. Kedua, melibatkan penerjemahan pengetahuan tacit pelanggan atau ahli menjadi bentuk yang mudah dipahami. Ini mungkin membutuhkan penalaran deduktif, indukti, atau inferensi kreatif.

Ketiga, kombinasi atau konversi pengetahuan dari explicit knowledge ke explicit knowledge. Konversi pengetahuan ini terjadi melalui proses pengombinasian beragam explicit knowledge yang dimiliki seseorang. Seseorang mengombinasikan pengetahuan melalui mekanisme pertukaran seperti pertemuan dan percakapan melalui telepon dan media lainnya. Rekonfigurasi informasi yang ada tersebut selanjutnya disortir, ditambahkan, dikategorisasi, dan dikontekstualisasikan kembali menjadi pengetahuan baru. Pada prakteknya, fase ini tergantung pada tiga proses, yaitu: Pertama, menangkap dan mengintegrasikan pengetahuan explicit baru. Proses ini melibatkan pengumpulan pengetahuan external (misalnya: data publik) dari dalam atau luar perusahaan dan kemudian menggabungkan data tersebut. Kedua, penyebaran pengetahuan explicit didasarkan pada proses mentransfer pengetahuan secara langsung melalui presentasi atau pertemuan. Di sini, pengetahuan baru tersebar di antara anggota organisasi. Ketiga, mengoreksi atau mengolah pengetahuan explicit, sehingga membuatnya lebih bermanfaat (misalnya, dokumen-dokumen seperti rencana, laporan, data pasar).

Keempat, internalisasi atau konversi pengetahuan dari expilicit ke tacit knowledge. Konversi ini identik dengan aktivitas untuk mendapatkan pengetahuan atau belajar. Pada aktivitas ini pengetahuan-pengetahuan yang explicit berupa dokumen atau media lain dibaca dan dipelajari, setelah itu dimaknai dan diberi konteks sesuai dengan tujuan


(13)

dari pencarian pengetahuan tersebut. Pada prakteknya, internalisasi bergantung pada dua dimensi, yaitu: Pertama, pengetahuan explicit harus diwujudkan dalam tindakan dan praktek. Dengan demikian proses internalisasi pengetahuan explicit harus dapat mengaktualisasikan konsep, strategi, taktik, inovasi, atau perbaikan. Kedua, ada proses mewujudkan pengetahuan explicit dengan menggunakan simulasi atau percobaan untuk memicu proses learning by doing, sehingga dapat dipelajari dalam situasi virtual.

Gambar 2. Model konversi pengetahuan (Nonaka dan Konno 1998) 2.1.3 Spiral Pengetahuan

Kegagalan dalam membangun dialog antara tacit knowledge dengan explicit knowledge merupakan suatu permasalahan. Tidak ada nya komitmen dan pemaknaan terhadap pengetahuan, mengakibatkan kombinasi semata-mata menjadi interpretasi yang dangkal sehingga sangat sedikit yang dapat dilakukan terhadap realitas yang ada. Kemungkinan lain akan terjadi kegagalan dalam mengkristalkan atau melekatkan pengetahuan ke dalam suatu bentuk yang kongkret untuk memfasilitasi lebih lanjut penciptaan pengetahuan didalam konteks sosial yang lebih luas. Pengetahuan yang tercipta oleh sosialisasi akhirnya terbatas dan hasilnya kemudian sulit untuk diterapkan ke dalam konteks yang lebih spesifik.

Tacit Knowledge yang dimiliki oleh individu menjadi jantung pada proses penciptaan pengetahuan. Hal ini diperoleh melalui

Sosialisasi Eksternalisasi

Internalisasi Kombinasi

Tacit Knowledge

Tacit Knowledge

Expilicit Knowledge

Expilicit Knowledge

Dari


(14)

internalisasi, untuk selanjutnya diperluas melalui interaksi yang dinamis diantara keempat mode pengubahan pengetahuan tersebut (Gambar 2).

Nonaka dan Takeuchi (1995) dalam Sangkala (2007) menjelaskan bahwa Tacit Knowledge dimobilisasi melalui dinamika yang melibatkan model penciptaan pengetahuan yang berbeda di dalam suatu proses dimana terbentuk seperti sebuah spiral dan dinamakan spiral penciptaan pengetahuan. Spiral penciptaan pengetahuan dapat dipahami dalam dua dimensi, yaitu dimensi ontologi (ontological dimension) dan dimensi epistemologi (epistemological logical).

Pada sisi dimensi ontologi, proses penciptaan pengetahuan pada dasarnya berasal dari individu. Penciptaan pengetahuan organisasi pada dasarnya bukan diciptakan oleh organisasi karena organisasi tidak dapat menciptakan pengetahuan. Pengetahuan yang terdapat dalam organisasi merupakan hasil kreasi dari orang-orang yang di dalamnya. Fungsi organisasi dalam proses penciptaan pengetahuan organisasi hanya memberi dukungan atau menyediakan konteks kepada anggota organisasi untuk menciptakan pengetahuan. Penciptaan pengetahuan organisasi dapat dipahami sebagai sebuah proses dimana organisasi memperluas dan memperbesar penciptaan pengetahuan yang diciptakan oleh anggota organisasi. Pengetahuan yang telah tercipta tersebut selanjutnya dikristalisasi sebagai bagian dari jaringan pengetahuan organisasi. Proses perluasan pengetahuan yang sudah terkristalisasi tersebut selanjutnya diperluas untuk mendapatkan justifikasi baik pada tingkat internal organisasi maupun ke tingkat antar organisasi dan bahkan dengan para stakeholder organisasi. Penjustifikasian terhadap pengetahuan yang telah terbentuk tersebut diperlukan untuk menentukan apakah pengetahuan tersebut benar-benar laik diakui sebagai pengetahuan organisasi sehingga dapat digunakan untuk mengkreasi inovasi-inovasi baru dalam organisasi. Pada sisi dimensi epistemology, pada dasarnya pengetahuan terdiri


(15)

atas tacit knowledge dan explicit knowledge. Penjelasan tacit knowledge dan explicit knowledge dapat dilihat pada sub bab pengetahuan dan penciptaan pengetahuan.

Gambar 3. Spiral penciptaan pengetahuan (Nonaka dan Takeuchi, 1995 dalam Sangkala,2007)

Penciptaan pengetahuan pada level organisasi memiliki perbedaan bila dilihat dalam konteks individu. Dalam konteks organisasi proses penciptaan pengetahuan berlangsung ketika keempat mode penciptaan atau konversi pengetahuan secara organisasional dikelola menjadi satu bentuk siklus yang berlangsung terus menerus. Siklus ini dibentuk oleh serangkaian pergeseran mode pengubahan atau konversi pengetahuan yang berbeda. Pada dasarnya terdapat beberapa pemicu yang menyebabkan pergeseran antar berbagai model pengubahan atau konversi pengetahuan dapat berlangsung, yaitu, Pertama, mode sosialisasi biasanya dimulai dengan membangun satu tim atau bidang yang menjadi tempat melakukan interaksi. Bidang ini berfungsi memfasilitasi berbagi pengalaman dan perspektif. Kedua, mode eksternalisasi dipicu berturut-turut oleh rangkaian pemaknaan melalui dialog. Di dalam dialog ini, penggunaan metafora digunakan

Individual

Epistemological Dimension

Explicit Knowledge

Tacit Knowledge

Externalization

Ontological Dimension

Knowledge Level

Internalization Socialization

Combination

Organization


(16)

sehingga memungkinkan anggota tim dalam mengartikulasikan perspektif dan tacit knowledge-nya yang sebelumnya sulit dikomunikasikan. Konsep-konsep yang diciptakan tim dapat dikombinasikan dengan data yang ada serta pengetahuan dari luar untuk mencari spesifikasi yang lebih kongkret dan dapat dibagi. Mode kombinasi ini biasanya difasilitasi oleh semacam pemicu yang disebut kordinasi antara anggota dan bagian lain di dalam organisasi serta dokumentasi dari pengetahuan yang sudah ada dalam organisasi. Spiral pengetahuan dapat dilihat pada Gambar 3)

Melalui proses uji coba, konsep diartikulasikan dan dikembangkan sampai kemudian muncul dalam bentuk yang lebih kongkret. Percobaan ini selanjutnya dapat memicu internalisasi melalui proses learning by doing. Para peserta dalam tim tersebut membagi explicit knowledge tersebut untuk diterjemahkan melalui interaksi dan dengan suatu proses uji coba ke dalam aspek tacit knowledge yang berbeda.

2.1.4 Ba Ruang Pertukaran Informasi

Nonaka dan Toyama (2005) mendefinisikan Ba sebagai dasar dari kegiatan penciptaan pengetahuan, tempat berlangsungnya percakapan dan praktik dialektikal untuk menciptakan visi dan mendorong pencapaian tujuan organisasi. Aset pengetahuan tercipta dari proses penciptaan pengetahuan melalui percakapan dan praktik yang dilakukan di dalam Ba.

Nonaka dan Konno (1998), membagi Ba menjadi dua dimensi, yaitu: Pertama, tipe interaksi (individu dan kolektif). Kedua, media interaksi (virtual atau tatap muka). Dua dimensi Ba ini membentuk empat tipe Ba yaitu: Pertama, originating Ba yang didefinisikan sebagai interaksi individu dan face to face. Dalam ruang ini terjadi pertukaran model pengalaman, perasaan, emosi dan mental. Menghilangkan hambatan diantaranya merupakan hal yang penting untuk mempercepat proses penciptaan pengetahuan. Kedua, Interacting Ba yang didefinisikan sebagai interaksi kolektif dan


(17)

langsung (face to face). Ruang ini berhubung erat dengan cara eksternalisasi. Pengetahuan tacit yang dimiliki setiap individu diartikulasikan melalui dialog antar pengikut. Ketiga, cyber Ba didefinisikan sebagai interkasi kolektif dan virtual (maya). Ruang ini berhubungan erat denga cara kombinasi. Pengetahuan explicit dapat ditrasnformasikan secara lebih mudah kepada lebih banyak orang dalam bentuk tertulis. Keempat, exercising Ba yang didefinisikan sebagai interaksi secara indivudu dan maya. Ruang ini berhubungan erat dengan internalisasi. Pada ruang ini individu memasukan pengetahuan explicit yang dikomunikasikan melalui media maya sperti tulisan dan simulasi program. Keempat tipe Ba tesebut diperlukan untuk proses konversi pengetahuan. Ba akan memperkuat proses penciptaan pengetahuan.

Gambar 4. Ba ruang pertukaran informasi (Nonaka dan Konno 1998) 2.2. Organisasi Pembelajar

Organisasi Pembelajar secara sistematis didefinisikan oleh Sangkala (2007) sebagai organisasi yang belajar dengan sekuat tenaga, secara kolektif dan terus-menerus mengubah dirinya agar lebih baik dalam mengumpulkan, mengelola, dan menggunakan pengetahuan bagi kesuksesan perusahaan. Lebih lanjut Sangkala menjelaskan bahwa Organisasi Pembelajar didefinisikan juga sebagai proses dimana seseorang memperoleh pengetahuan

Originating Ba Interacting Ba

Exercising Ba Cyber Ba Tipe Interaksi

Kolektif

Maya Tatap Muka

Individu


(18)

dan pemahaman baru yang dihasilkan melalui perubahan dalam perilaku dan tindakan. Definisi lain dari Organisasi Pembelajar adalah sebagai perusahaan yang terus menerus mengubah dirinya agar lebih baik dalam mengelola pengetahuan, memanfaatkan teknologi, memberdayakan karyawan, dan memperluas pembelajaran agar lebih baik dalam beradaptasi serta berhasil di dalam lingkungan yang senantiasa berubah. Organisasi Pembelajar akan memberikan lingkungan yang kondusif dalam membangun kemampuan untuk menciptakan yang sebelumnya tidak pernah diciptakan yang pada akhirnya kemampuan tersebut diperluas antar individu, kelompok, dan organisasi.

Marquadt dan Michael (1994) dalam Sangkala (2007) menggambarkan model sistem Organisasi Pembelajar secara sistematis berupa gambar irisan antara: pembelajaran (learning), organisasi (organization), anggota organisasi (people), pengetahuan (knowledge), dan teknologi (technology). Model sistem Organisasi Pembelajar dari (Marquardt dan Michael, 1994 dalam Sangkala, 2007) (Gambar 5).

Gambar 5. Model sistem organisasi pembelajar (Marquadt dan Michael, 1994 dalam Sangkala, 2007)

Pembelajaran merupakan bagian dan harus terjadi baik dalam subsistem manusia, teknologi, pengetahuan, dan organisasi. Apabila proses pembelajaran dalam Organisasi Pembelajar terjadi, maka perubahan persepsi, perilaku, kepercayaan, mentalitas, strategi, kebijakan, dan prosedur baik yang berkaitan dengan manusia maupun organisasi akan terjadi.

Organisasi Orang

 

Teknologi  

 

Pengetahuan   Pembelajaran


(19)

Marquadt (1996) dalam Sangkala (2007) menambahkan bahwa ada beberapa dimensi dan karakter yang ditimbulkan bila organisasi telah menjadi Organisasi Pembelajar, yaitu sebagai berikut:

1. Pembelajaran dilakukan oleh organisasi secara keseluruhan, seolah-olah organisasi mempunyai satu otak.

2. Anggota organisasi merasakan pentingnya proses pembelajaran organisasi secara terus menerus untuk kepentingan meraih kesuksesan saat ini dan di masa yang akan dating.

3. Pembelajaran dilakukan secara terus menerus dan dari sisi strategi pembelajaran digunakan serta paralel dengan perbaikan kinerja.

4. Berpikir sistem merupakan hal yang bersifat fundamental. 5. Kegiatan dicirikan dengan aspirasi, refleksi, dan konseptualisasi.

6. Kompetensi inti dibangun dengan baik dan berfungsi sebagai titik awal setiap produk baru.

7. Iklim organisasi dan sistem penghargaan sangat kondusif dan memungkinkan karyawan, baik secara individu maupun kelompok melakukan pembelajaran.

8. Pembelajaran dicapai dengan seluruh sistem organisasi.

9. Anggota organisasi mengakui pentingnya Organisasi Pembelajar dan keberlangsungannya baik pada saat ini maupun untuk kesuksesan dimasa yang akan dating.

10.Pembelajaran adalah suatu kontinuitas, secara strategi menggunakan proses terintegrasi dengan dan disejajarkan dengan pekerjaan.

11.Ada suatu fokus atas kreativitas dan melahirkan pembelajaran.

12.Orang-orang memiliki akses yang berkesinambungan terhadap sumber informasi dan data yang penting bagi kesuksesan organisasi.

13.Iklim organisasi mendorong, menghargai, dan mempercepat pembelajaran individu dan kelompok.

14.Pekerjaan memiliki jaringan bagi upaya melakukan inovasi.

15.Perubahan merupakan bagian yang melekat, sementara kejutan yang tidak diinginkan serta kesalahan yang terjadi dipandang sebagai peluang untuk belajar.


(20)

16.Organisasi Pembelajar cerdas dan fleskibel.

17.Setiap orang didorong oleh keinginan untuk melakukan perbaikan kualitas secara berkelajutan.

18.Setiap orang didorong oleh aspirasi, refleksi, dan konseptualisasi

19.Ada pengembangan kompetensi inti yang baik sebagai dasar bagi produk dan layanan baru.

20.Anggota organisasi memiliki kemampuan untuk secara berkelanjutan beradaptasi, memperbaharui dan merivitalisasi dirinya dalam merespon perubahan lingkungan.

Menurut Senge (1990), Organisasi Pembelajar adalah organisasi yang secara berkelanjutan memperluas kapasitasnya dalam menciptakan hasil yang benar-benar mereka inginkan, dimana pola berpikir baru dan perluasan pola berpikir dipelihara, aspirasi kolektif disusun secara leluasa, dan orang belajar bagaimana belajar secara bersama-sama. Ciri-ciri suatu organisasi belajar adalah adanya lima disiplin yang membentuk suatu tatanan organisasi yang berhasil. Organisasi yang tidak memiliki salah satu atau beberapa dari kelima disiplin ini akan mengalami kesulitan untuk berfungsi secara maksimal. Kelima disiplin ini yang akan dijadikan variabel Organisasi Pembelajar, yaitu sebagai berikut:

1. Disiplin Penguasaan Pribadi (Personal Mastery)

Penguasaan pribadi adalah suatu disiplin yang secara konsisten memperluas dan memperdalam knowledge dan keahlian masing-masing, memfokuskan seluruh usaha untuk mempertajam visi pribadi, mengembangkan kesabaran dan ketekunan, serta mampu melihat realitas secara objektif.

2. Disiplin Model Mental (Mental Models)

Model mental adalah pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai yang dimiliki dan dijunjung tinggi oleh seluruh anggota organisasi. Pemahaman ini akan mempengaruhi kemampuan anggota organisasi untuk mengenali, memahami, menguji dan menigkatkan nilai-nilai yang sudah diyakini, serta mempengaruhi pemahaman tentang kondisi internal dan eksternal


(21)

organisasi sehingga akhirnya dapat menentukan tindakan yang paling sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi.

3. Disiplin Visi Bersama (Shared Vision)

Disiplin visi bersama merupakan kemampuan dan kemauan seluruh anggota organisasi untuk menumbuhkan kebersamaan pandangan tentang visi organisasi kemudian meningkatkan komitmen pada pencapaian visi organisasi. Disiplin visi bersama berfokus pada upaya meningkatkan motif dan kekuatan pengikatan diri pada tujuan organisasi sehingga seluruh karyawa mau dan mampu menunjukan usaha dan semangat untuk berkorban demi kepentingan bersama agar organisasi dapat berumur panjang.

4. Disiplin Berpikir Tim (Team Learning)

Disiplin belajar tim merupakan disiplin seluruh anggota untuk mampu dan mau berdialog dan bekerja sama secara sinergis. Disiplin pembelajar tim dimulai dengan dialog dan berpikir bersama sehingga dapat terbentuk pendalaman yang makin kaya, yang tidak mungkin terbentuk secara individual. Belajar dalam tim penting karena yang menjadi unit belajar fundamental dalam suatu organisasi modern adalah tim, bukan individu. Disiplin ini berfokus pada pengembangan kapasitas organisasi untuk mampu melihat permasalahan dengan cara pandang yang saling melengkapi.

5. Disiplin Berpikir Sistem (System Thinking)

Disiplin berpikir sistem merupakan seluruh anggota organisasi untuk berpikir dan bertindak secara sistem dengan menimbang permasalahan terkait secara menyeluruh dan terintegrasi. Disiplin berpikir sistem berfokus pada peningkatan kapasitas organisasi untuk mampu melihat atau mempelajari hubungan keterkaitan seluruh permasalahan dan proses perubahan secara menyeluruh dan mampu merealisasikan secara tuntas. 2.3. Penelitian Terdahulu

Nugroho (2005) dalam tesisnya yang berjudul Hubungan Penerapan Manajemen Pengetahuan dengan Kinerja (Studi Kasus pada Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta) bertujuan untuk menentukan dan


(22)

menjelaskan faktor dominan variabel Manajemen Pengetahuan dan Kinerja serta menjelaskan tingkat hubungan antara keduanya. Hasil penelitian digunakan untuk menentukan langkah rekayasa strategi penerapan Manajemen Pengetahuan guna mencapai kinerja maksimal. Penelitian ini menggunakan 2 variabel yaitu Manajemen Pengetahuan dan Kinerja. Instrumen penelitian menggunakan Metode Structural Equator Modelling (SEM). Analisis model menggunakan program Linear Structural Relation (LISREL). Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat penerapan Manajemen Pengetahuan sedang. Strategi penerapan Manajemen Pengetahuan untuk meningkatkan kinerja diantaranya: Pertama, melanjutkan dan mengembangkan Manajemen Pengetahuan. Kedua, mengembangkan proses dan mengarahkan pelaksanaan Ba sehingga dapat dengan nyata menunjang transformasi dari spiral pengetahuan secara positif. Ketiga, membangun tujuan, ukuran dan penilaian kinerja yang terpadu dan tersusun secara hirarkis pada tingkat organisasi, proses dan tugas. Keempat, Manajemen Pengetahuan sebagai model peningkatan kinerja.

Irtanti (2009) dalam skripsinya yang berjudul Hubungan Penerapan Organisasi Pembelajar dengan Motivasi dan Kepuasaan Kerja Pegawai di Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI) Bogor. Tujuan penelitian yaitu: Pertama, mengetahui persepsi pegawai tentang Organisasi Pembelajar, Motivasi Kerja dan Kepuasaan Kerja. Kedua, menganalisis hubungan Motivasi Kerja dengan pengembangan diri. Ketiga, menganalisis hubungan Organisasi Pembelajar dengan Motivasi Kerja dan Kepuasan Kerja karyawan. Penelitian ini menggunakan 3 variabel yaitu Organisasi Pembelajar, Motivasi Kerja dan Kepuasaan Kerja. Analisis data menggunakan Korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukan hubungan penerapan Organisasi Pembelajar terhadap Motivasi Kerja yaitu 0,615 yang berarti kuat dan positif. Hubungan antara Organisasi Pembelajar dan Kepuasan Kerja sebesar 0,594 yang berarti agak kuat dan positif. Sedangkan hubungan antara Motivasi Kerja dengan Kepuasan Kerja kuat dan positif dengan nilai korelasi 0,624.


(23)

Dwijayanto (2010) dalam skripsinya yang berjudul Analisis Pengaruh Manajemen Pengetahuan Terhadap Komitmen Karyawan Pada PT X Tbk, Cabang Bogor bertujuan untuk mempelajari penerapan manajemen pengetahuan pada PT X Tbk, mempelajari aplikasi komitmen karyawan pada PT X Tbk, dan menganalisis pengaruh manajemen pengetahuan terhadap komitmen karyawan pada PT X Tbk. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode convenience sampling. Alat analisis yang digunakan adalah Analisis Deskriptif, Analisis Intepretasi, Teknik Korelasi Pearson Product Moment, dan Analisis Regresi Linear. Berdasarkan hasil penelitian, nilai korelasi antara manajemen pengetahuan dengan komitmen karyawan adalah sebesar 0,827. Hal ini menunjukkan telah terjadi hubungan kuat dan positif, berarti semakin besar manajemen pengetahuan yang ada di perusahaan, maka semakin besar pula komitmen karyawan pada perusahaan.

Pembelajaran yang diambil dari penelitian-penelitian terdahulu di atas adalah penggunaan variabel Manajemen Pengetahuan dengan indikator yaitu konversi pengetahuan, spiral pengetahuan dan Ba, serta penggunaan variabel Organisasi Pembelajar dengan indikator yaitu disiplin penguasaan pribadi, disipilin model mental, disiplin visi bersama, disiplin berpikir tim dan disiplin berpikir sistem. Selain itu penelitian terdahulu di atas juga dijadikan pembelajaran dalam menggunakan analisis data korelasi Rank Spearman dan Regresi Linear. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini menggabungkan varibel Manajemen Pengetahuan dan Organisasi Pembelajar, dan menganalisi pengaruh Manajemen Pengetahuan terhadap Organisasi Pembelajar dengan menggunakan analisis regresi linear.


(24)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual

Persaingan global memaksa Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk bersaing dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi lain di dunia. Perguruan tinggi-perguruan tinggi di dunia saling berlomba untuk menjadi yang terbaik menuju World Class University. Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai lembaga pendidikan ternama di Indonesia terus berupaya melakukan pengembangan-pengembangan dalam meningkatkan kapabilitasnya menuju World Class University. Keinginan IPB untuk menjadi World Class University tercantum jelas dalam visi dan misi IPB. 

IPB memiliki startegi-strategi guna mencapai visi, misi dan tujuan nya. Strategi-strategi tersebut diturunkan pada setiap direktorat atau kantor sesuai peran dan fungsi dari masing-masing direktorat atau kantor. IPB melalui Direktorat Sumber Daya Manusia (SDM) memahami pentingnya pengelolaan pengetahuan dan Organisasi Pembelajar sebagai salah satu kebijakan dalam meningkatkan daya saing perguruan tinggi.

Manajemen Pengetahuan akan mendorong terciptanya pengetahuan sehingga pengetahuan tersebut memberi kemampuan kepada organisasi untuk senantiasa memiliki daya saing. Pengetahuan ini merupakan transformasi dari pengetahuan individu yang didapat dari proses belajar, pengalaman dan kreativitas, ke pengetahuan organisasi.

Pengelolaan pengetahuan melalui Manajemen Pengetahuan perlu didukung dengan Organisasi Pembelajar. Organisasi Pembelajar akan menghasilkan lingkungan yang kondusif dalam mentransformasi pengetahuan individu ke pengetahuan organisasi. Pada akhirnya, pengetahuan organisasi akan menjadi asset perguruan tinggi atau daya saing dalam berkompetisi di dunia global. Selanjutnya, perguruan tinggi dapat merumuskan suatu implikasi manajerial untuk melakukan koreksi atau perbaikan agar visi dan misi perguruan tinggi dapat tercapai. Kerangka pemikiran konseptual penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.


(25)

Gambar 6. Kerangka pemikiran konseptual Transformasi pengetahuan individu menjadi

pengetahuan organisasi Perguruan Tinggi yang berdaya saing

Implikasi Manajerial Organisasi Pembelajar

Manajemen Pengetahuan

Persaingan Global Menuju World Class

University Visi dan Misi

Institut Pertanian Bogor

Direktorat Sumber Daya

Manusia Direktorat

Administrasi Pendidikan 

Direktorat Kemahasiswaan Direktorat

Pengkajian dan Pengambangan

Akademik

Direktorat/ Kantor Lainnya


(26)

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Manajemen Pengetahuan akan mendorong terciptanya pengetahuan sehingga pengetahuan tersebut memberi kemampuan kepada organisasi untuk senantiasa memiliki daya saing. Pengetahuan ini merupakan transformasi dari pengetahuan individu yang didapat dari proses belajar, pengalaman dan kreativitas, ke pengetahuan organisasi. Akumulasi pengetahuan individu akan menjadi asset perguruan tinggi berupa pengetahuan organisasi.

Pengetahuan, pengalaman dan kreativitas pegawai hanya akan terbentuk apabila pegawai diberi kesempatan untuk melakukan pembelajaran dalam konteks individu maupun organisasi (Learning Organization). Organisasi Pembelajar akan menghasilkan lingkungan yang kondusif dalam proses menciptakan dan mengembangkan pengetahuan serta mentransformasi pengetahuan individu menjadi pengetahuan organisasi.

Manejeman pengetahuan dan Organisasi Pembelajar akan menjadi variabel atau pokok bahasan dalam penelitian ini. Indikator yang akan dianalisis dalam Manajemen Pengetahuan, yaitu konversi pengetahuan, spiral pengetahuan, dan Ba. Pada Organisasi Pembelajar, komponen yang dianalisis adalah disiplin penguasaan pribadi, disiplin model mental, disiplin visi bersama, disiplin berpikir tim dan disiplin berpikir sistem.

Penelitian diawali dengan mengetahui bagaimana penerapan Manajemen Pengetahuan dan aplikasi Organisasi Pembelajar di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui wawancara, observasi, dan dokumen perguruan tinggi. Penelitian dilanjutkan dengan pengisian kuesioner oleh pegawai kependidikan untuk mengetahui interpretasi pegawai kependidikan terhadap Manajemen Pengetahuan dan Organisasi Pembelajar.

Kuesioner penelitian diuji validitas dan reliabilitasnya sebelum disebar dan diisi oleh pegawai kependidikan. Dilanjutkan dengan metode deskriptif, teknik korelasi Rank Spearman dan analisis regresi linear. Penelitian ini bertujuan untuk mengindetifikasi indikator Manajemen Pengetahuan dan Organisasi Pembelajar pada Institut Pertanian Bogor (IPB) dan mengetahui hubungan 2 variabel tersebut, serta menganalisis pengaruh Manajemen Pengetahuan terhadap Organisasi Pembelajar tersebut (Gambar 7)


(27)

Gambar 7. Kerangka pemikiran operasional

Persaingan Global Menuju World Class

University Institut Pertanian Bogor

(IPB)

Pengaruh Manajemen Pengetahuan terhadap Organisasi Pembelajar

Metode deskriptif, Teknik Korelasi Rank Spearman danRegresi Linear

Rekomendasi

Visi dan Misi Institut Pertanian Bogor Manajemen Sumber Daya Manusia

Institut Pertanian Bogor

Indikator Organisasi Pembelajar (Peter Senge 1990) : disiplin penguasaan pribadi, disiplin model mental, disiplin visi bersama, disiplin berpikir tim, disiplin berpikir sistem.

Indikator Manajemen pengetahuan: konversi pengetahuan, Ba (Nonaka dan Konno 1998) , spiral pengetahuan (Nonaka dan Takeuchi 1995)

Organisasi Pembelajar Manajemen Pengetahuan


(28)

3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Institut Pertanian Bogor (IPB), Jalan Raya Dramaga Kampus IPB, Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat-16680. Lokasi ini dipilih sebagai bentuk bakti penulis terhadap almamater dan kecintaan terhadap dunia pertanian. Selain itu, lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa IPB merupakan salah satu perguruan tinggi yang memiliki perhatian tinggi terhadap pengembangan Manajemen Pengetahuan. Hal ini dapat terlihat dari masuknya IPB dalam nominasi Indonesian MAKE Study 2011 (www.dunamis.co.id). Indonesian MAKE Study 2011 merupakan ajang penghargaan bagi perusahaan atau lembaga yang sukses dalam menerapkan Manajemen Pengetahuan. Penelitian ini dilaksanakan pada rentang waktu Juni sampai Agustus 2011.

3.4. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama baik dari individu atau perseorangan, seperti hasil wawancara dan pengisian kuesioner . Data sekunder merupakan data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh pengumpul data primer atau oleh pihak lain, misalnya dalam bentuk tabel-tabel atau diagram-diagram (Umar 2005). Data primer diperoleh melalui pengisian kuesioner dan wawancara dengan Ibu Hirra Herlina (Kepala Seksi Pengembangan SDM IPB) serta wawancara dengan pegawai lain. Data sekunder diperoleh dari data-data seputar perguruan tinggi dan hasil studi pustaka seperti buku, jurnal, dan penelitian terdahulu yang menunjang dan berkaitan dengan penelitian.

3.5. Metode Pengambilan Sampel

Populasi diartikan sebagai jumlah keseluruhan semua anggota yang diteliti, sedangkan sampel merupakan bagian yang diambil dari populasi (Istijanto, 2005). Populasi yang menjadi objek penelitian ini adalah pegawai Institut Pertanian Bogor (IPB) yang sesuai dengan karakteristik yang diharapkan.


(29)

Karakteristik pegawai yang dijadikan sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pegawai merupakan tenaga kependidikan

2. Pegawai sudah berstatus Pegawai Negri Sipil (PNS) 3. Pegawai berpendidikan minimal SLTA

4. Pekerjaan pegawai berhubungan dengan adminisitrasi atau sejenisnya.

Penentuan jumlah atau ukuran sampel dari populasi yang akan diteliti ditentukan dengan rumus slovin dalam Umar (2005). Rumusnya adalah sebagai berikut:

n

=

……….. (1)

Keterangan: n = ukuran sampel N = ukuran populasi

e = kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang dapat ditolerir

Berdasarkan acuan diatas, dengan tingkat kelonggaran ketidaktelitian sebesar 10 persen maka jumlah sampel yang harus diambil pada penelitian ini adalah sebanyak 96 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah metode convenience dengan tujuan memudahkan penarikan anggota populasi.

Tabel 1. Rincian jumlah sampel

Fakultas / Direktorat / Kantor Jumlah sampel (Orang)

FAPERTA 5 FKH 5 FPIK 3 FAPET 5 FAHUTAN 5 FATETA 5 FMIPA 10 FEM 11 FEMA 6 DIPLOMA 5

Direktorat Kemahasiswaan 4

Direktorat Komunikasi dan Sistem

Informasi 4


(30)

3.6. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan observasi dengan alat bantu kuesioner. Pada variabel Manajemen Pengetahuan menggunakan alat ukur yang diadaptasi dari Nonaka dan Konno (1998) serta (Nonaka dan Takeuchi,1995 dalam Sangkala,2009) yaitu konversi pengetahuan, spiral penciptaan pengetahuan dan Ba. Sedangkan pada Organisasi Pembelajar menggunakan alat ukur yang diadaptasi dari Senge (1990) yaitu disiplin penguasaan pribadi, disiplin model mental, disiplin visi bersama, disiplin berpikir tim dan disiplin berpikir sistem.

Kuesioner penelitian untuk setiap variabel menggunakan Skala Likert dengan skala lima sebagai acuan, yaitu: 1. Sangat Setuju (SS); 2. Setuju (S); 3. Ragu-ragu (R); 4. Tidak Setuju (TS); 5. Sangat Tidak Setuju (STS). Jika dijawab 1 = nilai 5; 2 = nilai 4; 3 = nilai 3; 4 = nilai 2; 5 = nilai 1 untuk butir yang bersifat positif. Sebaliknya, untuk butir yang bersifat negatif, jika menjawab 1 = nilai 1; 2 = nilai 2; 3 = nilai 3; 4 = nilai 4; 5 = nilai 5.

Interpretasi dari setiap item pernyataan yang digunakan dalam kuesioner ditentukan berdasarkan rentang skala dengan rumus sebagai berikut:

Rentang Skala = Nilai Maksimal – Nilai Minimal ...(2) Besar Skala

Penelitian ini menggunakan skala Likert dari 1 sampai 5 sehingga berdasarkan rumus tersebut, nilai nilai rata-rata yang diperoleh sebesar 0,8. Dengan demikian, rentang skala yang diperoleh untuk interpretasi indikator penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rentang skala sebaran jawaban responden

Rentang skala Pernyataan jawaban

1,00 – 1,80 Sangat tidak tetuju 1,81 – 2,60 Tidak setuju

2,61 – 3,40 Ragu-ragu

3,41 – 4,20 Setuju


(31)

3.7. Pengolahan dan Analisis Data 3.7.1 Uji Validitas

Uji Validitas dalam penelitian dijelaskan sebagai suatu derajat ketepatan alat ukur penelitian tentang isi atau arti sebenarnya yang diukur (Umar, 2005). Uji validitas terhadap kuesioner dimaksudkan agar semua pertanyaan atau pernyataan berkaitan dengan apa yang ingin diukur. Pertanyaan atau pernyataan dalam kuesioner harus berada dalam topik yang sama. Langkah-langkah dalam menguji validitas adalah sebagai berikut:

1. Mendefinisikan secara operasional suatu konsep yang akan diukur. Konsep yang diukur hendaknya dijabarkan terlebih dahulu sehingga operasionalnya dapat dilakukan.

2. Melakukan uji coba pengukur tersebut pada sejumlah responden. Responden diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada. Disarankan agar jumlah Responden untuk uji coba minimal 30 orang. Dengan jumlah minimal ini, distribusi nilai akan lebih mendekati kurva nomal.

3. Mempersiapkan tabel tabulasi jawaban.

4. Menghitung nilai korelasi antara data pada masing-masing pernyataan dengan nilai total, memakai rumus teknik korelasi Rank Spearman

Selanjutnya nilai korelasi r yang diperoleh dibandingkan dengan nilai pada tabel korelasi nilai r. Instrumen penelitian dinyatakan valid dan signifikan jika nilai r hitung lebih besar (>) dari nilai r tabel. 3.7.2 Uji Reliabilitas

Menurut Umar (2005), reliabilitas adalah derajat ketepatan, ketelitian atau keakuratan yang ditunjukan oleh instrumen pengukuran. Uji reliabilitas menyatakan bahwa instrumen penelitian adalah reliabel jika nilai hitung alfa (α) lebih besar (>) dari nilai r tabel. Pengujian reliabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach, dengan rumus Alpha Cronbach adalah sebagai berikut:


(32)

Rumus varian yang digunakan adalah:

∑ ∑

………(4) Keterangan:

α = Realibilitas instrumen atau koefisien alfa k = Banyak butir pertanyaan

= Varian total

∑ = Jumlah varian butir X = Nilai yang dipilih n = Jumlah Responden 3.7.3 Analisis Data

Data dianalisis dengan metode deskriptif, teknik korelasi Rank Spearman, dan analisis regresi linear. Metode deskriptif digunakan untuk memudahkan proses pengolahan dan analisis data. Metode deskriptif merupakan metode penelitian yang menggambarkan kondisi aktual yang telah diketahui melalui pengumpulan data dan selanjutnya menganalisis masalah yang ada sesuai dengan gambaran kondisi aktual yang telah dilakukan.

Menurut Umar (2005), korelasi Rank Spearman mengasumsikan bahwa data terdiri atas pasangan-pasangan hasil pengamatan numerik atau non numerik. Setiap Data Xi maupun Yi ditetapkan peringkatnya relatif terhadap X dan Y yang lain dari yang terkecil sampai terbesar. Peringkat terkecil diberi nilai satu. Jika di antara nilai X dan Y terdapat angka yang sama, masing-masing nilai sama diberi peringkat rata-rata dari posisi seharusnya. Jika data terdiri atas hasil pengamatan non numerik bukan angka, data tersebut harus dapat diperingkat seperti yang telah dijelaskan sebelumnnya. Adapun rumus korelasi Rank Spearman, sebagai berikut:

1 ∑

……….(5)

Keterangan :


(33)

n = Jumlah pasangan pengamatan antara satu peubah terhadap peubah yang lainnya.

d = Perbedaan peringkat dari tiap pasangan variabel pengamatan Nilai koefisien korelasi rs berkisar antara -1 sampai +1, kriteria pemanfaatannya dijelaskan sebagai berikut:

1. Jika, nilai rs > 0, artinya telah terjadi hubungan yang linier positif, yaitu makin besar nilai variabel X , makin besar pula nilai variabel Y. Atau sebaliknya, makin kecil nilai variabel X, maka makin kecil pula nilai variabel Y.

2. Jika, nilai rs < 0, artinya telah terjadi hubungan yang linier negatif, yaitu makin kecil nilai variabel X, maka makin besar nilai variabel Y. Atau sebaliknya, makin besar nilai variabel X, maka makin kecil pula nilai variabel Y.

3. Jika, nilai = 0, artinya tidak ada hubungan sama sekali antara variabel X dan variabel Y.

4. Jika, nilai rs = +1 atau rs = -1, artinya telah terjadi hubungan linier sempurna, sedangkan untuk nilai r yang makin mengarah ke angka 0, maka hubungan makin melemah. Analisis regresi digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Jika terdapat data dari dua variabel penelitian yang sudah diketahui mana variabel bebas X (independen) dan variabel terikat Y (dependen), lalu akan dihitung atau dicari nilai-nilai Y yang lain berdasarkan nilai X yang diketahui (Umar 2010). Adapun analisis rumus regresi adalah:

Y = a + bX...(6) dimana :

Y = Variabel dependen (terikat) X = Variabel independen (bebas) a = Nilai intercept (konstan) b = Koefisien regresi


(34)

H0 = Tidak terdapat pengaruh nyata antara Manajemen Pengetahuan dengan Organisasi Pembelajar.

H1 = Terdapat pengaruh yang nyata antara Manajemen Pengetahuan dengan Organisasi Pembelajar.

Tingkat signifikansi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 95 persen (α = 0,05). Nilai ini dipilih karena dirasa cukup untuk mewakili hubungan antara dua variabel dan banyak digunakan dalam penelitian tentang ilmu-ilmu sosial. Hasil nilai r hitung dibandingkan dengan r tabel yang digunakan dalam memutuskan hipotesis diterima atau ditolak. Adapun kriteria pengujiannya adalah tolak H0 jika r hitung > r tabel dan tolak H1 jika r hitung < r tabel.


(35)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Perguruan Tinggi

Institut Pertanian Bogor (IPB) adalah lembaga pendidikan tinggi pertanian yang secara historis merupakan bentukan dari lembaga-lembaga pendidikan menengah dan tinggi pertanian serta kedokteran hewan yang dimulai pada awal abad ke-20 di Bogor. Sebelum Perang Dunia II, lembaga-lembaga pendidikan menengah tersebut dikenal dengan nama Middelbare Landbouw School, Middelbare Bosbouw School dan Nederlandsch Indiche Veeartsen School. Sejarah perkembangan IPB dimulai dari tahapan embrional (1941-1963), tahap pelahiran dan pertumbuhan (1963-1975), tahap pendewasaan (1975-2000), tahap implementasi otonomi IPB (2000-2005) dan tahap IPB berbasis Badan Hukum Milik Negara (BHMN) (2006-2010). Sejak tahun 2007, secara embrional IPB direncanakan menjadi universitas riset.

Lahirnya IPB pada tanggal 1 September 1963 berdasarkan keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) No. 92/1963 yang kemudian disahkan oleh Presiden RI Pertama dengan Keputusan No. 279/1965. Pada saat itu, ada 2 Jurusan di Bogor yang berada dalam naungan Universitas Indonesia (UI) yaitu Ilmu Pertanian (Landbowkunde) dan Ilmu Kehutanan (Bosbouwkunde), lalu berkembang menjadi 5 fakultas, yaitu Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Perikanan, Fakultas Peternakan dan Fakultas Kehutanan. Pada tahun 1964, lahir Fakultas Teknologi dan Mekanisasi Pertanian yang kini menjadi Fakultas Teknologi Pertanian. Pada tanggal 26 Desember 2000, Pemerintah Indonesia mengesahkan status otonomi IPB berdasarkan PP No. 152. Pada tahun 2006, IPB menjadi perguruan tinggi berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Pada perkembangan terakhir, setelah lahirnya Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang menimbulkan pro-kontra dan akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2010, kini IPB kembali ke Perguruan Tinggi Negeri dengan status hukum seperti perguruan tinggi-perguruan tinggi yang lain.


(36)

Sejak berdiri, IPB terus melakukan pengembangan-pengembangan dalam meningkatkan kapabilitasnya menuju World Class University. IPB berkomitmen terhadap peningkatan mutu dalam seluruh aspek penyelenggaraan program akademik dan non-akademik. Komitmen ini tertulis didalam pernyataan mutu (quality statement) sebagaimana tercantum dalam SK Rektor No. 210/K13/OT/2004, yaitu: "dengan komitmen yang tinggi terhadap mutu, IPB secara efisien dan akuntabel menghasilkan lulusan yang kompeten dan IPTEKS yang relevan dengan kebutuhan masyarakat."

Visi IPB yaitu menjadi perguruan tinggi berbasis riset kelas dunia dengan kompetensi utama pertanian tropika dan biosains serta berkarakter kewirausahaan.

Misi IPB adalah sebagai sebagai berikut:

1. Menyelenggarakan pendidikan tinggi bermutu tinggi dan pembinaan kemahasiswaan yang komprehensif dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa.

2. Mengembangkan IPTEK sesuai kebutuhan masyarakat agraris dan bahari pada masa sekarang dan kecenderungan pada masa yang akan datang yang semakin kompetitif.

3. Membangun sistem manajemen perguruan tinggi yang berkarakter kewirausahaan, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.

4. Mendorong terbentuknya masyarakat madani berdasarkan kebenaran dan HAM.

Adapun Tujuan IPB adalah sebagai berikut:

1. Menghasilkan lulusan yang berkualitas yang mampu mengembangkan dan menerapkan IPTEKS

2. Memberikan inovasi IPTEKS ramah lingkungan untuk mendukung pembangunan nasional dan memperbaiki kesejahteraan umat manusia. 3. Menjadikan IPB sebagai lembaga pendidikan tinggi yang siap

menghadapi tuntutan masyarakat dan tantangan perubahan yang berubah dengan cepat secara nasional dan global.

4. Menjadikan IPB sebagai kekuatan moral dalam masyarakat madani Indonesia.


(37)

4.2. Karakteristik Pegawai Kependidikan

Responden dalam penelitian ini berjumlah 96 orang dan merupakan pegawai kependidikan IPB yang dipilih dengan menggunakan teknik convenience. Pegawai yang menjadi responden pada penelitian ini dikelompokkan berdasarkan beberapa karakteristik, yaitu: jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, masa kerja, dan golongan pegawai. Kuesioner terlampir pada Lampiran 1.

4.2.1 Karakteristik Jenis Kelamin

Pada karakteristik jenis kelamin, responden didominasi oleh pegawai berjenis kelamin pria sebesar 55 persen atau 53 orang. Responden yang berjenis kelamin wanita sebesar 43 persen atau 43 orang. Perbedaan yang tidak signifikan antara jumlah responden pria dan wanita, memberikan gambaran kepada kita bahwa IPB tidak membeda-bedakan gender dalam merekrut dan mempekerjakan pegawai. Selain itu, jenis pekerjaan yang lebih cenderung ke hal-hal admistrasi dan membutuhkan kerapihan serta ketekunan, yang biasanya dilakukan oleh wanita, tidak menjadikan IPB langsung memilih pegawai wanita untuk mengisi pos-pos pekerjaan tersebut. Semuanya dikembalikan pada kompetensi dan minat masing-masing pegawai.

Perbedaan jumlah responden pria dan wanita, tidak menggambarkan bahwa pegawai dengan jumlah mayoritas memiliki kemampuan lebih baik dalam menerapkan Manajemen Pengetahuan dan Organisasi Pembelajar. Pegawai yang berjenis kelamin pria maupun wanita memiliki kedudukan yang sama di dalam lembaga dalam kemampuannya menerapkan Manajemen Pengetahuan dan Organisasi Pembelajar. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Gambar 8.


(38)

Gambar 8. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin 4.2.2 Karakteristik Tingkat Pendidikan

Mayoritas responden berpendidikan SLTA dan S1, dengan persentase yang sama yaitu sebesar 44 persen atau 42 orang. Peringkat kedua ditempati oleh responden yang berpendidikan D3 sebesar 10 persen atau 10 orang. Pada peringkat ketiga ditempati oleh responden yang berpendidikan S2 dan S3, yaitu masing-masing sebesar 1 persen atau 1 orang.

Lebih dari setengah jumlah responden memiliki tingkat pendidikan SLTA dan S1. Tingkat pendidikan SLTA dan S1 dirasa sudah cukup memiliki kapasitas untuk mendukung proses Manajemen Pengetahuan dan Organisasi Pembelajar. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan

Wanita  45 %

Pria 55 %

SLTA 44%

D3 10% S1

44%

S2 1%

S3 1%


(39)

4.2.3 Karakteristik Usia

Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan, mayoritas responden berusia lebih dari 46 tahun, yaitu sebesar 37 persen atau 36 orang. Posisi kedua ditempati oleh responden berusia 41 – 45 tahun dan 31 – 35 tahun, yaitu masing-masing sebesar 19 persen atau 18 orang. Posisi ketiga ditempati oleh responden berusia 36 – 40 tahun sebesar 18 persen atau 18 orang. Posisi keempat ditempati oleh responden berusia 26 – 30 tahun sebesar 5 persen atau 5 orang. Sedangkan posisi kelima ditempati oleh responden pada rentang usia termuda, yaitu pada rentang usia 20 – 25 tahun dengan persentase sebesar 2 persen atau 2 orang.

Responden didominasi oleh pegawai yang berusia 36 – 40 tahun, 41 – 45 tahun dan lebih dari 46 tahun, dengan jumlah persentase lebih dari setengah jumlah responden. Secara umum, karakteristik usia ini menggambarkan kematangan pribadi masing-masing pegawai di IPB. Asam garam kehidupan telah dirasakan oleh pegawai pada rentang usia tersebut. Kematangan pribadi merupakan faktor pendukung dari Organisasi Pembelajar, yaitu disiplin penguasaan pribadi dan disiplin model mental. Karakteristik responden berdasarkan usia dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Karakteristik responden berdasarkan usia

20‐25 Tahun 2%

26‐30 Tahun 5%

31‐35 Tahun 19%

36‐40 Tahun 18%

41‐45 Tahun 19% > 46 Tahun


(40)

4.2.4 Karakteristik Masa Kerja

Mayoritas responden memiliki masa kerja 21 – 25 tahun sebesar 22 persen atau 21 orang. Peringkat kedua ditempati oleh responden yang memiliki masa kerja diatas 26 tahun sebesar 21 persen atau 20 orang. Peringkat ketiga ditempati oleh responden yang memiliki masa kerja 16 – 20 tahun dan 6 – 10 dengan persentase yang sama, yaitu masing-masing sebesar 20 persen atau 19 orang. Peringkat keempat ditempati oleh responden yang memiliki masa kerja 11 – 15 tahun sebesar 13 persen atau 13 orang. Peringkat terakhir ditempati oleh responden yang memiliki masa kerja 1 – 5 tahun dengan persentase sebesar 3 persen atau 2 orang.

Berbanding lurus dengan usia, responden didominasi oleh pegawai yang telah bekerja pada perusahaan selama 16 – 20 tahun, 21 – 25 tahun, dan lebih dari 25 tahun dengan jumlah lebih dari setengah jumlah responden. Secara umum, lama masa kerja tersebut menggambarkan tingkat pengalaman dan pengetahuan yang baik dalam bekerja. Pada rentang masa kerja tersebut, pegawai telah memiliki tacit knowledge yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman pada saat mereka bekerja. Karakteristik responden menurut masa kerja dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Karakteristik responden berdasarkan masa kerja 1‐5 Tahun

4% 6‐10 Tahun

20%

11‐15 Tahun 13%

16‐20 Tahun 20% 21‐25 Tahun

22%

> 26 Tahun 21%


(41)

4.2.5 Karakteristik Golongan Pegawai

Mayoritas responden adalah golongan III-B, yaitu sebesar 29 persen atau 28 orang . Peringkat kedua ditempati oleh responden yang memiliki golongan III-A sebesar 25 persen atau 24 orang. Peringkat ketiga ditempati oleh responden yang memiliki golongan III-D sebesar 11 persen atau 10 orang. Peringkat keempat ditempati oleh responden yang memiliki golongan II-B sebesar 9 persen atau 8 orang. Peringkat kelima ditempati oleh responden yang memiliki golongan IC dan II-C, dengan persentase masing-masing sebesar 7 persen atau 7 orang. Peringkat selanjutnya ditempati responden dengan golongan II-D dan II-A dengan jumlah masing-masing sebesar 6 persen atau 6 orang.

Lebih dari setengah responden didominasi oleh pegawai yang bergolongan III-B dan III-A. Penggolongan Pegawai Negeri Sipil (PNS), diantaranya dipengaruhi oleh faktor masa kerja dan tingkat pendidikan. Secara umum, golongan III-B dan III-A memiliki masa kerja minimal 12 tahun (misal: jika dari golongan II-B) atau tingkat pendidikan minimal Strata 1. Oleh karena itu, karakteristik responden berdasarkan golongan kepegawaian menggambarkan tingkat pengalaman, pengetahuan dan pendidikan pegawai yang memadai dalam bekerja. Karakteristik responden berdasarkan penggolongan kepegawaian dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Karakteristik responden berdasarkan golongan kepegawaian

IIA 6%

IIB 9%

IIC 7%

IID 6%

IIIA 25% IIIB

29% IIIC 7%

IIID 11%


(42)

4.3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas 4.3.1 Uji Viliditas

Uji Validitas dalam penelitian dijelaskan sebagai suatu derajat ketepatan alat ukur penelitian tentang isi atau arti sebenarnya yang diukur (Umar 2005). Uji validitas terhadap kuesioner dimaksudkan agar semua pertanyaan atau pernyataan berkaitan dengan apa yang diukur. Pertanyaan atau pernyataan dalam kuesioner harus berada dalam topik yang sama.

Uji validitas pada penelitian ini menggunakan teknik Rank Spearman pada tingkat kepercayaan 95 persen (α > 0,05). Jumlah responden pada uji validitas ini sebanyak 30 orang dengan nilai r tabel adalah 0,361. Item pernyataan yang dinyatakan valid harus lebih dari nilai r tabel. Hasil pengujian menghasilkan 3 item pernyataan yang tidak valid, dari 70 pernyataan yang diujikan. Dengan demikian, pernyataan yang tidak valid tersebut tidak diikutsertakan dalam kuesioner penelitian sehingga item pernyataan keseluruhan dalam kuesioner berjumlah 67 item pernyataan (Lampiran 2).

4.3.2 Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah derajat ketepatan, ketelitian atau keakuratan yang ditunjukan oleh instrumen pengukuran (Umar 2005). Uji reliabilitas menyatakan bahwa instrumen penelitian adalah reliabel jika nilai hitung alfa (α) lebih besar dari nilai r tabel. Pengujian reliabilitas menggunakan teknik Alpha Cronbach.

Jumlah responden yang digunakan pada uji reliabilitas sama dengan jumlah responden pada uji validitas yaitu 30 responden. Nilai r tabel adalah 0,600 yang berarti bahwa pernyataan dalam kuesioner dapat dikatakan reliabel apabila lebih besar dari 0,600. Nilai r tabel 0,600 merupakan standar umum suatu item dinyatakan reliable pada penelitian sosial. Berdasarkan uji reliabilitas, masing-masing indikator memiliki r tabel lebih besar dari 0,600 maka pernyataan-pertanyataan pada kuesioner dapat dinyatakan relibel (Lampiran 3).


(43)

4.4. Indikator Manajemen Pengetahuan

Indikator Manajemen Pengetahuan pada penelitian ini adalah konversi pengetahuan, spiral pengetahuan dan Ba. Adapun interpretasi dari indikator-indikator Manajemen Pengetahuan adalah sebagai berikut :

4.4.1 Konversi Pengetahuan

Konversi pengetahuan merupakan proses perubahan pengetahuan yang melibatkan tacit knowledge dan explicit knowledge. Tacit Knowledge merupakan pengetahuan yang bersifat sangat personal dan sulit untuk dirumuskan, dikomunikasikan atau disampaikan kepada orang lain. Pengalaman, pemahaman subjektif, intuisi dan firasat termasuk ke dalam jenis pengetahuan ini. Explicit Knowledge adalah jenis pengetahuan yang dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata dan angka, serta dapat disampaikan dalam bentuk data, formulasi ilmiah, spesifikasi, manual, dan sebagainya. Pengetahuan jenis ini dapat segera diteruskan dari satu individu ke individu lainnya secara formal dan sistematis.

Konversi pengetahuan terdiri atas: sosialisasi (konversi tacit knowledge ke tacit knowledge), eksternalisasi (konversi tacit knowledge ke expilicit knowledge), kombinasi (konversi expilicit knowledge ke expilicit knowledge), dan internalisasi (konversi expilicit knowledge ke tacit knowledge). Penilaian pegawai kependidikan terhadap proses konversi pengetahuan di IPB dapat dilihat pada Tabel 3, Tabel 4, Tabel 5 dan Tabel 6.

Secara umum pegawai kependidikan tidak setuju bahwa mereka tidak pernah bertukar pengalaman atau pengetahuan dengan pegawai lain melalui obrolan-obrolan santai atau berbicara langsung, dengan nilai rataan 4,08. Sebaliknya, pegawai kependidikan sangat setuju bahwa proses sosialisasi terjadi melalui obrolan-obrolan santai atau berbicara secara langsung (lisan) dengan pegawai lain, dengan nilai rataan 4,22. Selain itu, pegawai kependidikan setuju bahwa sosialisasi juga terjadi melalui rapat, melalui rapat ini mereka dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan pegawai lain, baik dari yang


(44)

satu unit kerja atau bukan, terlihat dari nilai rataan 3,72. Apabila pegawai kependidikan tidak menghadiri rapat, pegawai kependidikan setuju bahwa mereka akan bertanya ke pegawai lain tetang hasil rapat yang terkait dengan pekerjaan mereka atau tidak, dengan nilai rataan 3,77. Pegawai kependidikan setuju bahwa mereka mentransfer pengalaman atau pengetahuan secara lisan (telepon atau face to face) kepada junior atau bawahan yang bertanya seputar pekerjaan mereka, dengan nilai rataan 4,06. Berdasarkan Tabel 3 maka proses konversi pengetahuan berupa sosialisasi telah ada di IPB, ditunjukan dengan nilai rataan 4,06 yang berarti setuju.

Tabel 3. Sebaran jawaban pegawai kepedidikan terhadap konversi pengetahuan (sosialisasi)

Pegawai kependidikan tidak setuju bahwa mereka tidak pernah bertukar pengalaman atau pengetahuan melalui berbagai media (seperti: telepon atau fasilitas lain) dengan Pegawai lain, dengan nilai rataan 3,17. Pegawai kependidikan setuju bahwa proses eksternalisasi terjadi melalui pembuatan dokumen (misal: laporan), dengan nilai rataan 3,86. Dokumen ini berisi pengetahuan atau pekerjaan yang dapat dibagikan untuk pegawai lain dalam satu atau beda unit kerja.

Pernyataan Rataan

nilai Keterangan Sosialisasi

Saya tidak pernah bertukar pengalaman/ pengetahuan dengan pegawai lain melalui obrolan-obrolan santai/ berbicara langsung (lisan).

4,08 Tidak setuju

Saya bertukar pengalaman/ pengetahuan melalui obrolan-obrolan santai/ berbicara langsung (lisan) dengan pegawai lain pada satu unit kerja.

4,22 Sangat setuju

Saya mengikuti pertemuan rutin (seperti: Rapat, Rabuan, dan lain lain) dimana saya dapat berbagi pengalaman/ pengetahuan dengan pegawai lain pada satu unit kerja.

3,80 Setuju

Saya mengikuti pertemuan rutin (seperti: Rapat, Rabuan, dan lain lain) dimana saya dapat berbagi pengalaman/ pengetahuan dengan pegawai lain yang berbeda unit kerja.

3,64 Setuju

Jika saya tidak mengikuti pertemuan Rutin (misal: Rapat, Rabuan, dan lain lain), saya akan bertanya ke pegawai lain tetang hasil rapat yang terkait dengan pekerjaan saya atau tidak.

3,77 Setuju

Saya mentransfer pengalaman/ pengetahuan secara lisan (telepon / face to face) kepada junior / bawahan yang bertanya seputar pekerjaan mereka

4,06 Setuju


(45)

Tabel 4. Sebaran jawaban pegawai kependidikan terhadap konversi pengetahuan (eksternalisasi)

Pernyataan Rataan

nilai Keterangan Eksternalisasi

Pengalaman/ pengetahuan saya tidak dituangkan secara tertulis (seperti: dalam bentuk laporan, dokumen, dan lain lain).

3,17 Ragu-Ragu

Jika memang diperlukan, saya dapat menuangkan pengalaman/ pengetahuan secara tertulis (seperti: dalam bentuk laporan, dokumen, dan lain lain) dan dibagikan ke pegawai lain pada satu unit kerja.

4,00 Setuju

Jika memang diperlukan, saya dapat menuangkan pengalaman/ pengetahuan saya secara tertulis (seperti: dalam bentuk laporan, dokumen, dan lain lain) dan dibagikan ke pegawai lain yang berbeda unitkerja.

3,75 Setuju

Hasil pertemuan rutin (seperti: rapat, rabuan, dan lain lain) dinotulensikan dengan baik, sehingga hasil pertemuan rutin dapat ditransfer dengan mudah apabila ada pegawai lain yang memerlukan.

4,04 Setuju

Apabila diperlukan, saya dapat memberikan dokumen-dokumen tertulis yang dibutuhkan junior / bawahan yang memerlukan atau bertanya seputar pekerjaan mereka.

4,05 Setuju

Total 3,80 Setuju

Pegawai kependidikan setuju bahwa, pembuatan dokumen (misal: laporan) juga digunakan sebagai sarana untuk mentransfer pengetahuan, pengalaman atau pekerjaan kepada junior atau bawahan, hal ini terlihat dari nilai rataan 4,05. Pegawai kependidikan setuju bahwa hasil rapat juga dituangkan dalam bentuk notulensi agar hasil pertemuan dapat ditransfer dengan mudah apabila ada pegawai lain yang memerlukan, dengan nilai rataan 4,04. Berdasarkan Tabel 4 maka proses konversi pengetahuan berupa eksternalisasi telah ada di IPB, ditunjukan dengan nilai rataan 3,80 yang berarti setuju.

Pegawai kependidikan setuju bahwa proses kombinasi terjadi melalui pertukaran pengetahuan atau pengalaman melalui berbagai media dengan pegawai dari satu atau beda unit kerja, dengan nilai rataan 3,98. Email menjadi salah satu media yang digunakan untuk dapat bertukar pengetahuan tertulis (seperti: dokumen, laporan, notulen, dan lain lain), terlihat dari nilai rataan 3,84 yang berarti setuju. Sebaliknya, pegawai kependidikan tidak setuju bahwa email tidak menjadi sarana. Berdasarkan Tabel 5 maka proses konversi


(46)

pengetahuan berupa kombinasi telah ada di IPB, ditunjukan dengan nilai rataan 3,94 yang berarti setuju.

Tabel 5. Sebaran jawaban pegawai kependidikan terhadap konversi pengetahuan (kombinasi)

    Pernyataan Rataan

nilai Keterangan Kombinasi

Saya tidak pernah bertukar pengalaman/ pengetahuan melalui berbagai media (seperti: dokumen, rapat, telepon, percakapan, email, atau fasilitas lain) dengan Pegawai lain.

4,05 Tidak setuju

Saya bertukar pengalaman/ pengetahuan melalui berbagai media (seperti: dokumen, rapat, telepon, percakapan, email, atau fasilitas lain) dengan pegawai lain pada satu unit kerja.

4,00 Setuju

Jika diperlukan, saya bertukar pengalaman/ pengetahuan melalui berbagai media (seperti: dokumen, rapat, telepon, percakapan, email, dan fasilitas internet lain) dengan pegawai lain yang berbeda unit kerja.

3,96 Setuju

Email menjadi sarana saya bertukar pengalaman/ pengetahuan tertulis (seperti: dokumen, laporan, notulen, dan lain lain) dengan pegawai lain pada satu unit kerja.

3,84 Setuju

Email menjadi sarana saya bertukar pengalaman/ pengetahuan tertulis (seperti: dokumen, laporan, notulen, dan lain lain) dengan pegawai lain yang berbeda unit kerja.

3,92 Setuju

Email tidak menjadi sarana saya bertukar pengalaman/ pengetahuan tertulis (seperti: dokumen, laporan, notulen, dan lain lain) dengan pegawai lain pada satu unit kerja.

3,83 Tidak setuju

Total 3,94 Setuju

Pegawai kependidikan setuju bahwa proses internalisasi terjadi melalui proses learning by doing yang dilakukan antar pegawai pada satu atau berbeda unit kerja, dengan nilai rataan 4,11. Bahkan pegawai kependidikan sangat setuju bahwa proses pembimbing junior atau bawahan juga dilakukan dengan cara memberikan contoh langsung (mempraktekan) bagaimana mengerjakan suatu pekerjaan, dengan nilai rataan 4,26. Pegawai kependidikan pun sangat setuju bahwa learning by doing atau belajar sambil melakukan atau mempraktekan akan lebih mempermudah meraka dalam memahami suatu pekerjaan, sehingga dapat mengerjakan pekerjaan itu dengan baik, terlihat dari nilai rataan 4,27. Apabila pegawai kependidikan, kesulitan mengerjakan pekerjaan, mereka bertanya kepada pegawai lain, jika diperlukan, pegawai lain dapat mempraktekan bagaimana mengerjakan pekerjaan tersebut dengan baik, hal ini terlihat dari nilai rataan 4,19 yang berarti setuju. Selain itu, pegawai kependidikan menyetujui bahwa pengumuman yang ditempel pada papan


(47)

pengumuman di unit kerja atau papan pengumuman yang lain, dapat memberikan informasi baru dan menambah wawasan serta pengetahuan mereka. Berdasarkan Table 6 maka konversi pengetahuan berupa internalisasi telah ada di IPB, ditunjukan dengan nilai rataan 4,20 yang berarti setuju.

Tabel 6. Sebaran jawaban pegawai kependidikan terhadap konversi pengetahuan (internalisasi)

Pernyataan Rataan

nilai Keterangan Internalisasi

Saya melakukan learning by doing atau belajar sambil melakukan / mempraktekan dengan Pegawai lain pada satu unit kerja.

4,18 Setuju

Jika diperlukan, saya melakukan learning by doing atau belajar sambil melakukan / mempraktekan dengan Pegawai lain yang berbeda unit kerja.

4,04 Setuju

Apabila ada junior/ bawahan yang membutuhkan bimbingan, saya akan membimbing mereka. Jika diperlukan saya akan mempraktekan bagaimana mereka seharusnya mengerjakan suatu pekerjaan.

4,26 Sangat setuju

Dengan learning by doing atau belajar sambil melakukan / mempraktekan saya akan lebih mudah memahami suatu pekerjaan, sehingga dapat mengerjakan pekerjaan itu dengan baik.

4,27 Sangat setuju

Jika saya kesulitan mengerjakan pekerjaan, saya bertanya kepada pegawai lain. Jika diperlukan, pegawai lain dapat mempraktekan bagaimana mengerjakan pekerjaan tersebut dengan baik.

4,19 Setuju

Pengumuman-pengumuman yang ditempel pada papan pengumuman unit kerja atau papan pengumuman yang lain, dapat memberikan informasi baru dan menambah wawasan dan pengetahuan saya.

4,16 Setuju

Total 4,20 Setuju

Berdasarkan Tabel 3, Tabel 4, Tabel 5 dan Tabel 6 maka dapat disimpulkan bahwa secara umum pegawai kependidikan setuju telah terdapat proses konversi pengetahuan di IPB, ditunjukan dengan nilai rataan 4,20. Proses konversi terendah adalah pada proses eksternalisasi yaitu dengan nilai rataan 3,80 (setuju). Proses konversi tertinggi yaitu pada proses internalisasi, dengan nilai rataan 4,20 yang berarti sangat setuju. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan eksternalisasi pada pegawai IPB, seperti memberikan intensif kepada pegawai yang menyalurkan pengetahuan atau pengalaman mereka ke dalam bentuk tertulis. Pada sisi lain,


(1)

Reliabilitas Penguasaan Diri

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based

on Standardized

Items N of Items

.732 .826 8

Reliabilitas Model Mental

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based

on Standardized

Items N of Items

.731 .793 8

Item Statistics

Mean

Std.

Deviation N

Diri1 4.07 .691 30

Diri2 4.33 .479 30

Diri3 4.20 .484 30

Diri4 4.23 .504 30

Diri5 3.87 1.008 30

Diri6 4.10 .403 30

Diri7 4.23 .430 30

tot_diri 29.03 2.414 30

Item Statistics

Mean

Std.

Deviation N

Ment1 4.13 .507 30

Ment2 3.77 .679 30

Ment3 3.83 .791 30

Ment4 4.17 .461 30

Ment5 4.43 .504 30

Ment6 4.27 .450 30

Ment7 4.23 .430 30


(2)

Reliabilitas Visi Bersama

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based

on Standardized

Items N of Items

.737 .796 7

Reliabilitas Berpikir Sistem

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based

on Standardized

Items N of Items

.672 .656 7

Item Statistics

Mean

Std.

Deviation N

viber1 4.30 .466 30

viber2 3.73 .691 30

viber3 3.63 .669 30

viber4 4.07 .254 30

viber5 4.17 .379 30

viber6 4.03 .615 30

tot_viber 23.93 1.911 30

Item Statistics

Mean

Std.

Deviation N

Sist1 3.87 .434 30

Sist2 4.10 .403 30

Sist3 3.60 .814 30

Sist4 3.57 1.006 30

Sist5 4.00 .695 30

Sist6 4.07 .450 30

tot_sist 23.20 1.972 30


(3)

Reliabilitas Berpikir Tim

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based

on Standardized

Items N of Items

.768 .873 8

Item Statistics

Mean

Std.

Deviation N

Tim1 3.53 .819 30

Tim2 4.20 .407 30

Tim3 3.87 .730 30

Tim4 3.90 .662 30

Tim5 4.13 .434 30

Tim6 4.20 .484 30

Tim7 4.13 .571 30


(4)

Lampiran 4. Hasil Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

tot_mp tot_op

N 96 96

Normal Parametersa Mean 1.4416E2 1.2958E2 Std. Deviation 1.19334E

1 8.63733 Most Extreme

Differences

Absolute .114 .065

Positive .083 .065

Negative -.114 -.061

Kolmogorov-Smirnov Z 1.121 .637

Asymp. Sig. (2-tailed) .162 .812

Descriptive Statistics

N Mean

Std.

Deviation Minimum Maximum tot_mp 96 1.4416E2 11.93344 101.00 172.00 tot_op 96 1.2958E2 8.63733 106.00 152.00


(5)

Lampiran 5. Hasil Perhitungan Uji Regresi

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics R Square

Change

F

Change df1 df2

Sig. F Change

1 .617a .380 .374 6.83497 .380 57.708 1 94 .000

a. Predictors: (Constant), tot_mp

ANOVAb

Model Sum of

Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 2695.947 1 2695.947 57.708 .000a

Residual 4391.386 94 46.717

Total 7087.333 95

a. Predictors: (Constant), tot_mp b. Dependent Variable: tot_op

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 65.231 8.500 7.674 .000

tot_mp .446 .059 .617 7.597 .000


(6)

Hendra Etri Gunawan. H24063083. Analisis PengaruhManajemen Pengetahuan terhadap Organisasi Pembelajar pada Institut Pertanian Bogor (IPB). Dibawah Bimbingan Erlin Trisyulianti.

Globalisasi memaksa perguruan tinggi di dunia untuk dapat bersiang secara global guna menuju World Class University, tidak terkecuali dengan Institut Pertanian Bogor (IPB). IPB harus melakukan inovasi-inovasi guna dapat beradapatasi dengan perubahan lingkungan yang ada. Inovasi yang dihasilkan oleh IPB pada dasarnya tidak cukup dijelaskan hanya dalam terminologi pemrosesan informasi serta penyelesaian masalah. Inovasi akan mampu dipahami sebagai sebuah proses dimana organisasi menciptakan dan menentukan masalah dan kemudian secara aktif mengembangkan pengetahuan baru untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Pengetahuan inilah yang menjadi

intangible asset bagi kemajuan IPB. Dengan demikian diperlukan suatu sistem

atau tata kelola yang dapat menciptaan nilai dari aset pengetahuan atau yang biasa disebut juga dengan Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management). Pengetahuan, pengalaman dan kreativitas pegawai IPB akan terbentuk apabila mereka diberi kesempatan untuk melakukan pembelajaran dalam konteks individu maupun organisasi (Learning Organization).

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi indikator Manajemen Pengetahuan pada Institut Pertanian Bogor (IPB), (2) mengidentifikasi indikator Organisasi Pembelajar pada Institut Pertanian Bogor (IPB), (3) mengetahui hubungan antara Manajemen Pengetahuan dan Organisasi Pembelajar pada Institut Pertanian Bogor (IPB), (4) menganalisis pengaruh Manajemen Pengetahuan terhadap Organisasi Pembelajar pada Institut Pertanian Bogor (IPB).

Berdasarkan Uji korelasi Rank Spearman menunjukan bahwa terdapat hubungan kuat dan positif antara Manajemen Pengetahuan dan Organisasi Pembelajar dengan nilai korelasi sebesar 54,5 persen. Uji regresi linear menunjukan bahwa bahwa sebesar 38 persen variabel Manajemen Pengetahuan dapat menjelaskan variabel Organisasi Pembelajar dan sisanya sebesar 62 persen ditentukan oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Selain itu, uji regresi linear menunjukan bahwa Manajemen Pengetahuan memiliki pengaruh signifikan pada Organisasi Pembelajar di IPB dengan tingkat pengaruh 44,6 persen. Dengan demikian, uji hipotesis dalam penelitian ini yang berbunyi H0: Manajemen Pengetahuan tidak memiliki pengaruh terhadap Organisasi Pembelajar, ditolak. Sedangkan H1: Manajemen Pengetahuan memiliki pengaruh terhadap Organisasi Pembelajar, diterima.