kedua, yang dapat dikatakan pandangan yang agak maju, beranggapan bahwa anak banyak bila tidak berkualitas justru menambah dan bahkan akan memperberat beban
orangtua kelak. Dengan anggapan seperti ini, mereka menginginkan mengharapkan jumlah anak sedikit,tetapi berkualitas.
Menurut Arnold dan Fawcett 1990 Manfaat Ekonomi dan Ketenangan dimana anak dapat membantu ekonomi orang tuanya dengan bekerja di sawah atau di
perusahaan keluarga lainnya, atau dengan menyumbangkan upah yang mereka dapat di tempat lain. Mereka dapat megerjakan banyak tugas di rumah sehingga ibu
mereka dapat melakukan pekerjaan yang menghasilkan uang. Menurut pendekatan lain yang lebih sesuai dengan keadaan di negara berkembang, anak dianggap sebagai
barang investasi atau aktivaekonomi. Orang tua berharap kelak menerima manfaat ekonomi dari anak. Manfaat ini akan nampak jika anak bekerja tanpa upah di sawah
atau usaha milik keluarga atau memberikan sebagian penghasilannya kepada orang tua ataupun membantu keuangan orang tua Lucas dkk, 1990.
5.2.3 Hubungan Nilai Sosial Anak dengan Keikutsertaan Ibu PUS dalam Program KB
Berdasarkan hasil analisis univariat penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden mempunyai nila sosial anak berada pada kategori buruk yaitu
sebanyak 52,2. Buruknya nilai sosial anak disebabkan alasan Ibu PUS tidak membatasi kelahiran anak karena mewajibkan menjadi tokoh sosial di
lingkungannya, banyak anak berarti memiliki banyak kesempatan untuk memiliki orang-orang yang bisa di banggakan di lingkungan sosial atau salah satu diantaranya.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian adanya anggapan bahwa memilih jenis kelamin anak yang berharga dalam kehidupan sosial baik laki-laki maupun perempuan karena menggap anak adalah
pewaris kehidupan sosial. Berdasarkan hasil tabulasi silang antara nilai sosial anak dengan keikutsertaan
Ibu PUS dalam program KB di peroleh data bahwa dari 44 responden dengan nilai sosial anak baik sebanyak 24 responden 54,5 yang ikut KB dan 20 responden
45,5 yang tidak ikut KB. Sedangkan dari 48 responden dengan nilai sosial anak buruk sebanyak 15 responden 31,3 yang ikut KB dan 33 responden 68,8 yang
tidak ikut KB. Hasil uji statistik chi-square didapat nilai p = 0, 034, artinya ada hubungan yang signifikan antara nilai sosial anak dengan keikutsertaan Ibu PUS
dalam program KB. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas adalah faktor yang berkenaan langsung dengan tahap repsoduksi. Faktor-fator ini disebut
dengan peubah antara. Faktor sosial budaya mempengaruhi fertilitas tidak langsung melalui peubah antara tersebut Ispriyanti Dwi, dkk, 1999.
Nilai anak dari segi sosial yaitu anak merupakan anak dapat meningkatkan status seseorang. Pada beberapa masyarakat, individu baru mempunyai hak suara
setelah ia memiliki anak. Anak merupakan penerus keturunan. Untuk mereka yang menganut sistem patrilineal, seperti Cina, Korea, Taiwan, dan Suku Batak, adanya
anak laki-laki sangat diharapkan karena anak laki-laki akan meneruskan garis keturunan yang diwarisi lewat nama keluarga. Keluarga yang tidak memiliki anak
laki-laki dianggap tidak memiliki garis keturunan, dan keluarga itu dianggap akan punah. Anak merupakan pewaris harta pusaka. Bagi masyarakat yang menganut
Universitas Sumatera Utara
sistem matrilineal, anak perempuan selain sebagai penerus keturunan, juga bertindak sebagai pewaris dan penjaga harta pusaka yang diwarisinya. Sedangkan anak laki-laki
hanya mempunyai hak guna atau hak pakai. Sebaliknya, pada masyarakat yang menganut sistem patrilineal, anak laki-lakilah yang mewariskan harta pusaka.
Menurut Freedman intermediate variables yang dikemukakan Davis-Blake menjadi variabel antara yang menghubungkan antara “norma-norma fertilitas” yang
sudah mapan diterima masyarakat dengan jumlah anak yang dimiliki outcome. Ia mengemukakan bahwa “norma fertilitas” yang sudah mapan diterima oleh
masyarakat dapat sesuai dengan fertilitas yang dinginkan seseorang. Selain itu, norma sosial dianggap sebagai faktor yang dominan.
Secara umum Freedman mengatakan bahwa salah satu prinsip dasar sosiologi adalah bahwa bila para anggota suatu masyarakat menghadapi suatu masalah umum
yang timbul berkali-kali dan membawa konsekuensi sosial yang penting, mereka cenderung menciptakan suatu cara penyelesaian normatif terhadap masalah tersebut.
Cara penyelesaian ini merupakan serangkaian aturan tentang bertingkah laku dalam suatu situasi tertentu, menjadi sebagian dari kebudayaannya dan masyarakat
mengindoktrinasikan kepada para anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan norma tersebut baik melalui ganjaran rewards maupun hukuman penalty yang implisit
dan eksplisit. Karena jumlah anak yang akan dimiliki oleh sepasang suami isteri itu merupakan masalah yang sangat universal dan penting bagi setiap masyarakat, maka
akan terdapat suatu penyimpangan sosiologis apabila tidak diciptakan budaya penyelesaian yang normatif untuk mengatasi masalah ini”
Universitas Sumatera Utara
Dalam artikelnya yang berjudul “Theories of fertility decline: a reappraisal” 1979 Freedman juga mengemukakan bahwa tingkat fertilitas yang cenderung terus
menurun di beberapa negara pada dasarnya bukan semata-mata akibat variabel- variabel pembangunan makro seperti urbanisasi dan industrialisasi sebagaimana
dikemukakan oleh model transisi demografi klasik tetapi berubahnya motivasi fertilitas akibat bertambahnya penduduk yang melek huruf serta berkembangnya
jaringan-jaringan komunikasi dan transportasi. Menurut Freedman, tingginya tingkat modernisasi tipe Barat bukan merupakan syarat yang penting terjadinya penurunan
fertilitas. Pernyataan yang paling ekstrim dari suatu teori sosiologi tentang fertilitas sudah dikemukakan oleh Judith Blake, Ia berpendapat bahwa “masalah ekonomi
adalah masalah sekunder bukan masalah normatif”; jika kaum miskin mempunyai anak lebih banyak daripada kaum kaya, hal ini disebabkan karena kaum miskin lebih
kuat dipengaruhi oleh norma-norma pro-natalis daripada kaum kaya.
5.2.4 Hubungan Nilai Psikologi Anak dengan Keikutsertaan Ibu PUS dalam Program KB