BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka dari penjajahan bangsa Belanda dan Jepang. Pulau Sumatera sejak tahun 1945 sampai tahun 1957 terbagi
ke dalam 3 provinsi yaitu: Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Tengah, dan Provinsi Sumatera Selatan. Suku bangsa Melayu tersebar di dunia ini. Adapun
suku Melayu di Indonesia menurut sensus tahun 2000 terdiri dari: Melayu Tamiang, Melayu Jambi, Melayu Riau, Melayu Bengkulu, namun di Sumatera
Utara ada etnis melayu yang asli, yakni Melayu Langkat, Melayu Deli Serdang, Melayu Asahan dan Melayu Labuhan Batu.
Melayu Riau adalah salah satu dari banyak rumpun Melayu yang ada di nusantara. Wilayah kediaman mereka yang utama adalah di Riau kepulauan,
sebagian besar di Bengkalis, Indragiri Hulu, Kampar, dan wilayah Pekanbaru yang merupakan kekuatan kerajaan Riau di masa lampau.
Riau merupakan sebuah keresidenan yang disebut Residen Riau, di bawah Provinsi Sumatera Tengah yang terdiri dari 4 Kabupaten, yaitu Kabupaten
Kepulauan Riau, Kabupaten Kampar, Kabupaten Indragiri, dan Kabupaten Bengkalis. Pada saat itu, Pekanbaru merupakan Kotapraja setingkat Kewedanaan.
Riau merupakan sebuah provinsi yang lahir pada tanggal 9 Agustus 1957, terpisah dengan Provinsi Sumatera Tengah. Penduduk yang mendiami Provinsi
Riau, awalnya adalah mayoritas suku Melayu mempunyai adat resam dan tradisi yang turun-temurun. Namun pada masa sekarang suku-suku lain juga telah
bermukim di Riau, seperti etnik: Minangkabau, Jawa, Batak, Aceh, dan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakatnya, sehingga adat dan budaya Melayu Riau adalah adat bersendikan syarak dan
kitabullah
1
Menolong orang tiada mengupat . Dengan demikian, maka kehidupan masyarakat Melayu Riau berakar
dari nilai-nilai agama Islam. Masyarakat Melayu Riau adalah masyarakat terbuka semenjak dari zaman
Kerajaan Melayu yang memerintah negeri ini. Wilayah Riau secara geografis terletak dipersimpangan antara Timur dan Barat di Selat Melaka dan Laut Cina
Selatan. Pengaruh inilah yang menyebabkan masyarakat Melayu menghargai orang-orang yang datang dan berkunjung ke negeri Riau.
Mereka yang datang dan berkunjung ke negeri Riau sejak dari zaman dahulu sampai sekarang ini sangat disanjung dan di hormati serta diterima dengan
hati yang lapang. Untuk menggambarkan hal ini maka dalam ungkapan Melayu dikatakan:
Apa tanda Melayu sejati, Ikhlasnya tidak terbelah bagi,
Relanya tidak dapat dibeli. Apa tanda Melayu terbilang,
Hati ikhlas muka belakang, Apa tanda Melayu beradat,
Ikhlas bergaul sesama umat, Berkorban pantang diingat-ingat,
1
Filosofi adat melayu bersendikan hukum syara’ , hukum Syara’ bersendikan kitabullah secara harafiah dapat diartikan bahwa adat Melayu bersendikan hukum agama dan hukum agama
bersendikan Alquran. Dengan demikian, hukum adat secara tidak langsung seharusnya juga bersumber kepada Alqur’an. Iswara NRensi1812-2009, dalam Luckman Sinar, Tanpa Tahun.
Bangun dan runtuhnya kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Medan: Tanpa nama penerbit.
Universitas Sumatera Utara
Jamil, 2009:9. Sama dengan suku-suku yang lain yang ada di Indonesia, masyarakat
Melayu Riau juga memiliki beberapa bidang kesenian. Hal ini menjadi identitas tersendiri terhadap suku ini. Suku Melayu Riau memiliki seni tari, seni musik dan
seni rupa. Letak geografis dan kebiasaan pola hidup sangat mempengaruhi kesenian mereka. Salah satu contohnya adalah Tari Makan Sirih. Tarian ini
terdapat di berbagai tempat di dalam kebudayaan Melayu, seperti di Tamiang Aceh, Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Kotapinang, Kualuh, Panai, dan juga di
Riau sendiri. Namun demikian di berbagai tempat itu terdapat variasi-variasi gerak dari Tari Makan Sirih.
Menurut pendapat para informan, nama Tari Makan Sirih bisa juga disebut dengan nama Tari Persembahan. Ada pula yang mengatakan TariPersembahan
adalah sebagai bentuk pengembangan dari Tari Makan Sirih. Di kawasan Riau, berdasarkan pemikiran bagaimana sebaiknya
menghormati tamu yang berkunjung, yang harus disambut dengan hati yang tulus, maka O.K. Nizami Jamil bersama Johan Syariffudin mengubah sebuah tari untuk
dipersembahkan pada penyambutan tamu yang dihormati dengan diberi nama Tari Persembahan. Tari Persembahan yang berawal mula dari Tari Makan Sirih yang
telah diciptakan pada tahun 1957, didasari adat budaya Melayu Riau yang selalu menghormati dan memuliakan para tetamu yang datang berkunjung.
Tarian ini merupakan tarian adat yang khusus ditarikan pada acara penyambutan tetamu yang dihormati atau diagungkan dengan mempersembahkan
tepak sirih berisi sirih pinang yang lengkap, dan bagi tetamu yang disuguhkan tepak sirih tersebut haruslah mengambil dan memakan sirih sebagai tanda ikhlas
datang ke negeri atau ke tempat yang dikunjungi.
Universitas Sumatera Utara
Sudah menjadi adat kebiasaan masyarakat Melayu Riau selalu memuliakan tamu yang datang berkunjung, baik dalam rumah tangga maupun
dalam suatu acara pertemuan adat. Tepak sirih yang menjadi perlambang Adat Melayu juga digunakan sebagai alat properti Tari Persembahan dalam rangka
penyambutan tamu yang dihormati. Isi dari tepak sirih yang harus dilengkapi adalah: 1. Daun sirih secukupnya, 2. Kapur sirih, 3. Gambir, 4. Pinang, 5.
Tembakau dan 6. Sebuah kacip. Untuk membina adanya keseragaman, baik gerak, tata cara maupun busana
serta aksesoris tarian ini, maka menurut penjelasan dari pengubahnya yaitu O.K. Nizami Jamil dan Johan Syariffudin sudah sewajarnya dilakukan pembakuan.
Adapun beberapa hal yang dibakukan adalah gerak tari, pola lantai, busana, tata rias dan tata cara menyuguhkan tepak sirih. Selain itu hal-hal yang menyebabkan
pembakuan tari persembahan adalah agar tetap sesuai dengan pakem adat Melayu Riau untuk menghindari gerak yang sudah terlalu jauh dengan pakem dan rasa
kesatuan tinggi yang ingin ditunjukkan oleh masyarakat Melayu Riau. Apalagi hal ini didukung oleh masyarakat, pemerintah, dan Lembaga Adat Melayu Riau
LAMR. Tari Persembahan yang ditetapkan Lembaga Adat Melayu akan menjadi acuan di seluruh Kepulauan Riau terbukti dengan tersebarnya video
compact player di sekolah-sekolahdan sanggar-sanggar. Tari Persembahan ini juga sudah diaplikasikan di kehidupan sosial dan budaya.
Sejak awal tarian ini diciptakan telah banyak mengalami penyesuaian yang dilakukan para seniman tari bersama-sama dengan pencipta, sehingga terbentuk
sebagaimana yang disaksikan saat ini. Tari persembahan itu dirangkai dengan gerak lenggang Melayu Patah Sembilan dan mempergunakan rentak langgam
Melayu dengan Lagu Makan Sirih. Sehubungan dalam kehidupan orang Melayudi
Universitas Sumatera Utara
kenal sebagai sebuah tradisi yang disebut dengan berkapur sirih, yaitu tradisi makan sirih yang diramu dengan kapur dan pinang. Tradisi makan sirih
merupakan warisan budaya yang sudah lebih dari 300 tahun yang lampau hingga saat ini.Seperti bait lagu Makan Sirih berbunyi demikian:
Makanlah sirih ujung-ujungan aduhai lah sayang, Kuranglah kapur tambahlah ludah,
Hidupkan ini untunglah untungan aduhailah sayang, Seharilah senang seharilah susah.
Busana yang dipakai oleh penari tari persembahan adalah baju kebaya laboh cekak musangmemiliki kerah yang berdiri. Bahan baju sebaiknya dari bahan
tenunan Siak yang bermotif tradisional. Mengenai baju kebaya wanita Melayu bagian dalamnya harus jatuh sedikit ke bawah lutut dan kain sedikit di bawah
mata kaki Luckman Sinar, 1984:20. Busana yang dipakai pun tidak boleh sempit dan tidak boleh transparan.
Tari persembahan ditarikan oleh tujuh orang perempuan dan tidak membatasi umur. Penari terpilih sebagai penari utama yang membawa dan
menyuguhkan tepak sirih didampingi oleh dua gading-gading
2
Tari ini di awali dengan masuknya empat orang dayang-dayang yang mengawali tarian dan membuat gerakan sembah setelah mengambil posisi.
Setelah itu empat dayang-dayang menyambut kedatangan penari lainnya yaitu satu orang pembawa tepak dan dua orang gading-gading. Setelah itu penari
melakukan ragam dua sampai ragam delapan belas. Setelah selesai Tari di sebelah kanan
dan kiri, diikuti oleh penari lainnya dua di kanan dan dua di kiri.
2
Gading-gading adalah seorang perempuan muda berusia sekitar 10-15 tahun, yang dalam konteks upacara perkawinan selalu menjadi pengiring atau pendamping pengantin perempuan.
Universitas Sumatera Utara
Persembahan dilanjutkan dengan menyuguhkan tepak sirih kehadapan tamu yang paling dihormati karena memiliki kedudukan yan lebih tinggi atau yang
diagungkan pada saat itu. Jika tamu tersebut bersama dengan istrinya, maka tepak sirih juga harus disuguhkan kepada istrinya. Tepak sirih tidak dapat diberikan
kepada penyelenggara acara. Hal ini dikarenakan penyelenggara acara adalah sebagai tuan rumah. Diiringi dengan rentak mak inang sampai dengan selesai.
Tari Persembahan diubah oleh O.K. Nizami Jamil dengan Johan Syarifuddin pada tahun 1957 dalam rangka menyambut Kongres Pemuda Pelajar
Mahasiswa Masyarakat Riau yang dilaksanakan di Pekanbaru pada tahun 1957. Tari persembahan pada saat itu merupakan tari adat penyambutan tamu-tamu yang
dihormati dan tanda terima kasih kepada tamu yang datang karena telah menghadiri acara pembukaan Kongres Pemuda Pelajar Mahasiswa.
Dengan ditulisnya tari persembahan yang sudah dibakukan saat ini tulisan ini dapat menjadi buku petunjuk atau pegangan bagi penari untuk tampil pada
acara apa saja yang akan dilaksanakan oleh masyarakat Riau khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Selain itu untuk menghindari terjadinya
kesimpang siuran dalam pergelaran tari persembahan tersebut. Maka dari itu, untuk kebutuhan penelitian dan penulis maka penulis
hendak membuat tulisan ini dengan judul “Studi Deskriptif Pembakuan Tari Persembahan oleh Sanggar Singgasana dalam Konteks Kebudayaan Melayu
Riau.”
1.2 Pokok Permasalahan