Definisi Ergonomi Postur Kerja

BAB III LANDASAN TEORI

3.1 Definisi Ergonomi

Istilah ergonomi berasal dari bahasa latin yaitu ergon yang berarti kerja dan nomos yang berarti hukum alam. Sedangkan defenisi ergonomi menurut para ahli yaitu: 1. Menurut Nurmianto 1998, ergonomi didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan perancangan. 2. Menurut Wignjosoebroto 1995, ergonomi didefinisikan sebagai disiplin keilmuan yang mempelajari manusia dalam kaitannya dengan pekerjaannya. 3. Menurut Sutalaksana 1979, ergonomi didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu yang sistematis untuk memamfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia untuk merancang suatu sistem sehingga orang dapat hidup dan bekerja pada sistem itu dengan baik, yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui pekerjaan itu dengan efektif, aman dan nyaman. Dari pendapat diatas defenisi ergonomi masih tetap tidak terlepas dari makna dasar yakni ergon adalah kerja dan nomos adalah hukum alam. Ergo gerak atau kerja yang nomos alamiah adalah gerakan yang efektif, efisien, aman dan tidak menimbulkan kelelahan dan kecelakaan sesuai kemampuan tubuh. Universitas Sumatera Utara Pendekatan ergonomi memerlukan keseimbangan antara kemampuan tubuh dan tugas kerja. Biasanya jika ingin meningkatkan kemampuan tubuh manusia, maka beberapa hal disekitar lingkungan alam manusia misal peralatan, lingkungan fisik, posisi kerja perlu didesain ulang sehingga bisa disesuaikan dengan kemampuan tubuh manusia. Dengan kemampuan tubuh yang meningkat secara optimal, maka tugas kerja yang dikerjakan juga akan meningkat Santoso, 2004.

3.2 Desain dan Redesain Peralatan Kerja

3.2.1 Desain

Desain menurut Wisnubrata dan Rina 2012 merupakan hasil kreativitas budidaya man-made object manusia yang diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, memerlukan perencanaan, perancangan dan pengembangan desain, yaitu mulai dari tahap menggali ide atau gagasan, dilanjutkan dengan tahapan pengembangan, konsep perancangan, dan pembuatan prototipe. Desain merupakan suatu proses dan bukan semata-mata keterampilan tangan atau bakat seni, melainkan lebih berorientasi pada suatu proses berpikir yang sistematik, metodik dan inovatif untuk mencapai hasil yang optimal. Proses desain merupakan suatu kegiatan ilmiah. Jika berlandaskan azas objektivitas, mendesain adalah upaya pemecahan suatu masalah yang terjadi di masyarakat didasarkan pada metode yang sistematik dan rasional. Dalam mendesain peralatan kerja perlu pertimbangan- pertimbangan sebagai berikut: 1. Fungsional, alat yang diciptakan hendaknya dapat digunakan dengan efektif sesuai dengan kebutuhannya. Di dalamnya menyangkut pertimbangan teknik, Universitas Sumatera Utara yaitu teknik penggunaan dan pengerjaannya. Selain itu juga menyangkut pertimbangan ergonomi, hal ini mengingat produk yang diciptakan akan digunakan oleh manusia. 2. Ekonomi yaitu pertimbangan tentang efisiensi produksi, pasar dan kebijakan lain yang terkait. Di dalamnya terkait dengan kebijakan pemerintah sebagai acuan dalam merancang, seperti program-program, keputusan, peraturan dan sebagainya yang terkait dengan masalah ekonomi. Selain itu, terkait juga dengan masyarakat yaitu mempertimbangkan kondisi masyarakat pengguna. 3. Pertimbangan keindahan, yaitu pertimbangan yang berkaitan dengan keindahan atau sesuatu yang dapat menggetarkan jiwa manusia. Dalam mengambil keputusan keindahan semestinya kembali merujuk pada pertimbangan-pertimbangan sebelumnya. Nilai-nilai keindahan yang diterapkan dalam suatu rancangan didasari dengan pertimbangan lingkungan serta masalah sosial budaya sehingga kemunculan desain tidak mengalami benturan-benturan dengan eksistensi nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Berdasarkan paparan tersebut, maka dalam mendesain peralatan kerja tidak hanya berorientasi pada salah satu aspek, karena tindakan tersebut dapat menimbulkan permasalahan bagi penggunanya. Prinsip mendesain peralatan kerja semestinya mampu memecahkan realitas masalah-masalah yang muncul dalam interaksi manusia dengan peralatan kerja Arimbawa, 2010. Desain produk berarti sebuah proses yang berawal pada ditemukannya kebutuhan manusia akan suatu produk sampai diselesaikannya gambar dan Universitas Sumatera Utara dokumen hasil rancangan yang dipakai sebagai dasar pembuatan produk. Hasil rancangan yang dibuat menjadi produk akan menghasilkan produk yang dapat memenuhi kebutuhan manusia Kristamto dan Dianasha, 2011.

3.2.2 Redesain

Menurut Dieter dan Linda 2009, redesain merupakan suatu gagasan yang dilakukan untuk memperbaiki desain yang sudah ada sebelumnya. Tugasnya mungkin hanya sebatas meredesain komponen produk untuk mengurangi biaya atau untuk menyempurnakan hasil desain sebelumnya. Seringkali redesain ini dilakukan tanpa adanya perubahan pada prinsip kerja atau konsep desain aslinya. Sebagai contoh, bentuk dari produk diganti untuk mengurangi stres kerja pekerja atau penggantian material baru untuk mengurangi berat produk dan harga produk. Ketika redesain mengganti beberapa parameter desain, hal itu sering disebut sebagai variasi desain. Redesain adalah suatu gagas yang didasarkan kepada suatu hal produk, gagas, prinsip, atau pemikiran yang sudah ada sebelumnya. Dalam hal ini, pengembangannya sendiri umumnya tetap mengikuti gagas, prinsip, konsep, atau pemikiran yang baru. Dalam proses perencanaan proses desain, pengembangan biasanya digunakan untuk memperbaiki, memperluas, melengkapi, atau mengembangkan suatu gagas, prinsip cara, desain, produk, atau subsistem yang sudah ada terlebih dahulu Wisnubroto dan Rina, 2012. Redesain peralatan kerja secara ergonomis adalah upaya pemecahan masalah desain peralatan kerja dengan mengimplementasikan aspek-aspek Universitas Sumatera Utara ergonomi. Implementasi ergonomi dalam meredesain peralatan kerja dengan baik dapat membuat peralatan lebih sesuai dengan pemakainya, memuaskan, aman, nyaman dan sehat. Sehingga dalam dunia kerja atau dalam beraktivitas yang melibatkan peralatan kerja, baik pada sektor formal atau informal, aspek ergonomi mutlak diimplementasikan. Redesain peralatan kerja secara ergonomis mutlak dilakukan, mengingat pemanfaatan suatu alat kerja pada hakekatnya bertujuan untuk membantu kemampuan, keterbatasan dan kebolehan manusia, sehingga dapat tercapai kinerja yang lebih optimal dalam artian tidak hanya berorientasi pada peningkatan produktivitas semata, tetapi tercipta peralatan kerja yang manusiawi karena tidak menimbulkan keluhan kerja. Oleh karena itu, kekeliruan desain peralatan kerja yang terlanjur digunakan masyarakat perlu didesain ulang atau redesain secara ergonomis Arimbawa, 2010.

3.2.3 Model Perancangan Menurut Pahl dan Beitz

Pahl dan Beitz mengusulkan cara merancang produk sebagaimana yang dijelaskan dalam bukunya Engineering Design: A Systematic Approach, cara merancang Pahl dan Beitz tersebut terdiri dari 4 kegiatan atau fase, yang masing- masing terdiri dari beberapa langkah. Keempat fase tersebut adalah : 1. Perencanaan dan penjelasan 2. Perancangan konsep produk 3. Perancangan bentuk produk 4. Perancangan detail. Universitas Sumatera Utara Sebenarnya langkah-langkah dalam keempat fase proses perancangan diatas tidaklah perlu dikelompokkan dalam 4 fase secara kaku, sebab pada langkah fase perancangan detail fase 4 cara pembuatan komponen produk sudah diperlukan secara detail. Setiap fase proses perancangan berakhir pada hasil fase, seperti fase pertama menghasilkan daftar persyaratan dan spesifikasi perancangan. Hasil setiap fase tersebut kemudian menjadi masukan untuk fase berikutnya dan menjadi umpan balik untuk fase yang mendahului. Perlu dicatat pula bahwa hasil fase itu sendiri setiap saat dapat berubah oleh umpan balik yang diterima dari hasil fase-fase berikutnya seperti pada Gambar 3.1. Dari gambar 3.1. langkah-langkah desainnya yaitu: 1. Klarifikasi tugas : mengumpulkan informasi tentang kejelasan solusi yang diminta dan termasuk didalamnya batasan. 2. Konsep desain : mengembangkan struktur fungsi, mencari prinsip solusi yang tepat dan mengkombinasikan beberapa variasi konsep. 3. Mengembangkan desain : dimulai dari konsep desain, perancang menentukan lay out dan bentuk serta mengembangkan produk secara teknis dan berdasarkan pertimbangan ekonomi. 4. Desain detail : penyusunan, bentuk, dimensi dan gambar detail produk telah didokumentasikan dengan melakukan pengecekan terlebih dahulu Wiley dan Sons, 2000. Universitas Sumatera Utara Tugas Penjelasan tugas Menentukan spesifikasi Spesifikasi Identifikasi masalah utama Mengembangkan struktur fungsi Mencari prinsip-prinsip solusi Membentuk beberapa alternatif Evaluasi terhadap kriteria teknis dan ekonomis Konsep Mengembangkan lay out awal dan bentuk desain Memilih lay out terbaik Memperbaiki dan mengevaluasi kriteria teknis dan ekonomi Lay out awal Optimalisasi dan Melengkapi bentuk desain Cek kesalahan dan harga yang efektif Persiapkan komponen awal dan dokumen produksi Lay out akhir Gambar detail Melengkapi gambar detail dan dokumen produksi Cek semua dokumen Dokumentasi Solusi T I N G K A T A N D A N P E R B A I K A N Inform a si : A da pt a si da ri s pe si fi kas i P e ra nc a nga n de ta il P e ra nc a n ga n be nt uk P e re nc a naa n da n p e nj e la sa n pro duk P e ra n c a nga n ko ns e p pro duk O pt im al is a si l a y out da n be nt uk O pt im al is a si pri ns ip pr oduk Sumber: Buku Engineering Design Methods Strategi for Product Design Wiley dan Sons, 2000 Gambar 3.1. Diagram Alir Proses Perancangan Pahl dan Beitz Universitas Sumatera Utara

3.2.4 Konsep Desain

Pengertian konsep menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah ide atau pengertian yang diabstraksikan dari peristiwa konkrit. Konsep desain dapat diartikan sebagai ide dasar dari suatu pemikiran yang melandasi proses perancangan sebuah desain. Menurut Galt Furniture pada jurnal Martadi 2006 mengemukakan 6 konsep perancangan desain meja dan kursi, yaitu: 1. Konsep folding yaitu suatu konsep desain meja dan kursi yang dapat dilipat. Konsep ini lebih menekankan kepada upaya untuk meningkatkan efesiensi dalam hal pengangkutan atau penyimpanannya. 2. Konsep stacking yaitu konsep desain meja dan kursi yang dapat ditumpuk. Seperti pada konsep folding, konsep ini berupaya memudahkan dan menghemat ruang dalam hal penyimpanannya. 3. Konsep portable yaitu konsep desain meja dan kursi yang menekankan kemudahan untuk dipindahkan atau mobilitas produk. Desain dengan konsep ini biasanya cukup ringan atau diberi roda pada bagian dasarnya sehingga mudah dipindahkan. 4. Konsep knock down yaitu suatu konsep desain meja dan kursi yang dapat dibongkar-pasang. Konsep desain ini biasanya berupa komponen-komponen secara terpisah yang bisa dibongkar pasang secara mudah dan cepat. Konsep ini lebih menekankan pertimbangan efesiensi untuk penyimpanan maupun pengangkutan. 5. Konsep adjustable yaitu suatu konsep desain meja dan kursi yang dapat disetel atau disesuaikan dengan kebutuhan pemakai. Konsep ini banyak Universitas Sumatera Utara diterapkan pada kursi kantor yang bisa diatur sedemikian rupa, untuk mendapat posisi duduk yang nyaman sesuai aktivitas yang dilakukan. 6. Konsep combination modular yaitu suatu konsep desain meja dan kursi yang terdiri dari modul-modul bagian-bagian yang bisa dirangkai atau disusun sesuai dengan kebutuhan pemakai. Sedangkan menurut Engstrom dan Ellen 2011, konsep dan ide perancangan dikombinasikan menjadi lima prinsip. Masing-masing prinsip memiliki bentuk yang berbeda. Semua konsep dapat dikembangkan lebih jauh lagi baik dalam hal bentuk dan desain. Adapun lima prinsip perancangan adalah: 1. Konsep menyusun merupakan konsep penggabungan. Contohnya beberapa potongan papan yang sama digabungkan sehingga membentuk meja dan kursi Keuntungan dari konsep ini yaitu perancang mungkin menggabungkan banyak papan sehingga panjang fasilitas yang diinginkan sesuai keinginan. Kerugiannya adalah memerlukan banyak bahan, yang tidak sesuai dengan pedoman desain serta permukaan meja tidak optimal digunakan untuk menulis. 2. Konsep one piece terdiri dari satu untuk bangku dan satu untuk meja. Konsep ini memungkinkan siswa untuk mendorong meja sehingga siswa memiliki ruang kaki yang cukup. Salah satu keuntungan dengan konsep ini adalah stabilitas produk, karena tidak ada bagian yang perlu dirakit, kerugiannya tidak bisa dibongkar. 3. Konsep two piece terdiri dari satu alas untuk kedua sisi bangku dan meja. Konsep ini memberikan siswa kebebasan untuk memindahkan kursi ketika Universitas Sumatera Utara berdiri. Keuntungannya adalah memiliki banyak variasi bentuk. Kerugiannya adalah tantangan desain yang susah karena perancang harus mampu untuk memastikan stabilitas meja dan kursi. 4. Konsep Y yaitu konsep yang memanfaatkan lebar bangku dan meja. Konsep ini juga memiliki banyak bentuk desain dengan syarat bahwa stabilitas produk harus bisa dipenuhi. 5. Konsep wedding stool yaitu Ide yang menggabungkan puzzle dimana kursi yang satu disusun dengan kursi yang berada didekatnya. Keuntungannya adalah siswa bisa menambahkan sendiri tambahan tempat duduknya. Kerugiannya adalah kebebasan untuk memindahkan kursi dibatasi oleh puzzle dan sangat sulit untuk merancang sandaran kursi.

3.3 WMSDs

Work Related Musculoskeletal Disorders WMSDs pekerjaan yang berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal merupakan bermacam-macam gangguan yang dapat mempengaruhi struktur tubuh seperti otot, sendi dan saraf dan terkait dengan gerakan. WMSDs adalah masalah utama dengan konsekuensi serius untuk pekerja, perusahaan, dan masyarakat pada umumnya Simoneau et al. 1996.

3.3.1 Karakteristik WMSDs

Pekerjaan yang berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal bisa dilihat dari berbagai bentuk yang berbeda. Adapun karakteristik WMSDs yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. WMSDs dihasilkan dari aktivitas yang berlebihan Meskipun mekanisme terjadinya tidak bisa dijelaskan secara detail, umumnya cedera ini diakibatkan jika bekerja secara berlebihan, sehingga bagian tubuh tidak mampu untuk memulihkannya. WMSDs terjadi karena tubuh melakukan aktivitas berulang-ulang dan dipaksa untuk menanggung beban kerja yang tidak bisa ditolerir. 2. Perkembangan WMSDs secara bertahap WMSDs berkembang secara bertahap dan terkadang tidak memiliki gejala yang jelas, hanya saat itu tiba-tiba muncul dan berkembang dengan cepat. Misalnya, mula-mula pekerja merasakan ketidaknyamanan ketika bekerja, lama-lama memburuk dan mengakibatkan pekerja berhenti bekerja. 3. WMSDs harus selalu dicegah Fakta bahwa WMSDs berkembang secara bertahap memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungannya dapat diantisipasi sejak berkembang karena cedera ini tidak seperti kecelakaan, yang terjadi secara tak terduga dan tiba-tiba. Tindakan dapat diambil karena proses berkembangnya sangat lama. Jika bekerja dengan beban yang berlebihan dihentikan dalam suatu waktu, tubuh akan pulih dan penyakit dapat hilang tanpa meninggalkan jejak. Pemulihan secara lengkap bisa terjadi, dan pencegahan dapat dianggap lebih efektif jika terjadi diawal kegiatan. Sedangkan kerugiannya karena jika tidak disadari, tubuh terbiasa dengan rasa sakit, yang bisa menyalahkan usia atau penyebab lain. Ini menjadi suatu kondisi normal dan perasaan tentang ketidaknyamanan Universitas Sumatera Utara akan hilang. Hal ini memungkinkan resiko semakin memburuk, dan pemulihan lengkap menjadi hal mustahil. 4. Penyebab-penyebab WMSDs Penyebab utama WMSDs adalah bekerja secara berlebihan. Tetapi berlebihan ini umumnya berasal dari kombinasi faktor dan bukan dari satu penyebab tunggal. Baik itu pengulangan, postur atau usaha. Usaha yang tidak sesuai akan mengakibatkan postur kerja yang sangat buruk sehingga menciptakan cedera muskuloskeletal, bahkan pada tingkat pengulangan yang sangat rendah. Sebaliknya, jika bekerja dilakukan dengan postur yang tidak sesuai dapat menyebabkan kerusakan jika diulang ribuan kali setiap hari.

3.3.2 Proses Terjadinya WMSDs

Proses terjadinya WMSDs tidak dapat diketahui secara detail. Akan tetapi hal ini bisa disamakan dengan kotak hitam. Titik awal berupa bekerja secara berlebihan, dalam hal ini banyak faktor yang dapat mempengaruhinya. Hasilnya diketahui dengan identifikasi penyakit. Tapi apa yang terjadi di antara keduanya tidak dapat diketahui secara rinci. Apa pun sifat dan proses yang menyebabkan WMSDs, hal ini tergantung pada lingkup dan sifatnya, sehingga situasinya dapat didiagnosis dengan jelas. Saat ini WMSDs adalah penyakit. Sebelum ada penyakit yang nyata, prosesnya akan dirasakan, karena dapat menyebabkan rasa sakit, ketidaknyamanan atau kelelahan dan sensitif ketika disentuh. Rasa sakit bisa disebabkan oleh gerakan atau usaha yang dilakukan pekerja, bahkan rasa sakit ini Universitas Sumatera Utara bisa dirasakan saat istirahat serta sering terjadi pembengkakan dan kadang-kadang mati rasa.

3.3.3 Tanda-tanda WMSDs

Hal ini tidak selalu mudah untuk menjelaskan perbedaan antara satu situasi yang dapat diterima dan yang menuntut tindakan pencegahan. Penderita sering mentolerir dengan mengatakan pada diri sendiri bahwa hal itu akan hilang, sehingga menimbulkan penyakit yang memaksa mereka untuk berhenti bekerja. Hal ini dikarenakan tidak ada penjelasan secara detail antara situasi yang tidak berbahaya dan situasi berkembangnya WMSDs. Sehingga penilaian harus dilakukan berdasarkan apa yang diketahui tentang terjadinya WMSDs dan faktor resiko yang ditimbulkan. Di sisi yang paling ekstrim, pada saat terjadi WMSD, rasa sakit itu benar-benar hadir. Hal itu kadang-kadang bisa dilihat dari struktur tubuhnya, seperti siku, bahu atau pergelangan yang sakit. Kadang-kadang, rasa sakit dapat menyebar ke bagian tubuh lain misalnya dari bahu ke lengan. Rasa sakit yang disebabkan WMSDs ini sering muncul ketika tubuh tidak bergerak. Jika situasi semakin serius seperti situasi berikut, maka harus diambil beberapa tindakan, yaitu: 1. Ketika rasa sakit sering dirasakan tubuh 2. Ketika penyakit menyebar dari satu bagian tubuh ke tubuh lainnya 3. Ketika ketidaknyamanan berhubungan dengan peningkatan gerakan atau usaha misalnya ketika setiap gerakan lengan atas akan menyebabkan rasa sakit Universitas Sumatera Utara 4. Ketika ketidaknyamanan berlangsung semakin lama setelah bekerja dan pemulihan sangat lambat.

3.3.4 Faktor dan Resiko WMSDs

Faktor dan resiko WMSDs selalu berhubungan dengan usaha gaya dan postur. Kedua faktor ini berkontribusi sama dengan terjadinya WMSDs dan juga berpengaruh satu sama lain. Misalnya, postur yang dibentuk tubuh tergantung dari berapa besar usaha yang dilakukan tubuh. Sebaliknya, usaha yang besar dan kecil secara signifikan dapat mengubah postur seorang pekerja. Resiko WMSDs secara langsung adalah munculnya masalah kesehatan, yang dapat bertindak sebagai pemicu munculnya masalah. Efek yang disebabkan oleh faktor WMSDs tergantung pada beberapa kondisi, termasuk pekerja itu sendiri, sifat individu dan sejarah kerja. Hal ini tidak selalu mudah untuk mengenali sebuah faktor WMSDs. Berikut ada beberapa kategori dari faktor dan resiko WMSDs yaitu: 1. Postur yang kaku Sering terjadi di tempat kerja bahwa pekerja dituntut untuk bekerja dengan postur yang kaku. Bekerja dengan postur yang tidak alami merupakan faktor WMSDs. Hal ini dikarenakan bahwa setiap sendi memiliki sikap dasar. Sikap ini yang biasanya berada pada batas rentang gerak manusia, memerlukan sedikit usaha untuk mempertahankan posisi tubuh dan tidak menempatkan struktur anatomi di posisi yang merugikan. Jika tubuh bergerak dibatas jangkauan gerak tubuh, maka pekerja akan mengalami ketidaknyamanan misal jika tangan ditekuk atau diperpanjang. Rasa sakit yang disebabkan oleh Universitas Sumatera Utara WMSDs tergantung pada seberapa jauh usaha tubuh melakukan pekerjaannya, lama durasi, dan frekuensinya. 2. Usaha dan kekuatan otot Bahasa sehari-hari menyebutkan bahwa kekuatan diperlukan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Hal ini berguna untuk menjelaskan perbedaan antara kekuatan dan usaha. Ketika berbicara mengenai kekuatan, maksudnya adalah kekuatan yang dihasilkan oleh sebuah sistem pada lingkungan eksternal yang dapat diukur. Misalnya dibutuhkan kekuatan untuk memindahkan kotak 20 kg, kekuatan yang dibutuhkan ini tergantung pada individu, posturnya, dan banyak faktor lainnya. Penerapan kekuatan memerlukan usaha yang harus sesuai dengan keadaan. Usaha ini lebih seperti biaya yang harus dibayar tubuh untuk mengerahkan kekuatan. 3. Bekerja statis Resiko ekstrim terjadi jika posisi lengan bekerja melawan gravitasi. Misalnya, ketika lengan bekerja dengan tangan di atas bahu. Situasi ini digambarkan sebagai kerja otot statis. Resiko kerja ini tergantung pada durasi dan postur yang semakin lama akan semakin tinggi resikonya. Kerja otot statis mengharuskan otot berkontraksi tanpa gangguan. Itu merupakan kebalikan dari kerja otot dinamis, yang mengacu pada sebuah pergiliran antara kontraksi dan relaksasi. 4. Pengulangan Pekerjaan dianggap berulang jika siklus terjadinya kurang dari 30 detik atau disebut tindakan pengulangan jika melakukan hal yang sama selama setengah Universitas Sumatera Utara waktu dari waktu kerja. Anggapan pengulangan diatas bukanlah referensi mutlak dikarenakan fakta menyatakan bahwa siklus terjadinya kurang dari 30 detik tidaklah berbahaya. Akan tetapi, pengulangan itu sendiri merupakan faktor WMSDs yang menciptakan efek ganda. Bekerja dengan posisi tetap yang tidak berubah dari waktu ke waktu, erat kaitannya dengan pengulangan. Fitur lingkungan tertentu dapat berkontribusi untuk resiko WMSDs seperti paparan dingin, getaran, dampak dan tekanan mekanis. 5. Faktor organisasi Faktor-faktor yang berhubungan dengan organisasi memiliki efek yang kompleks pada resiko WMSDs. Organisasi kerja sebagian besar menentukan intensitas resiko kerja seperti postur, usaha dan pengulangan. Akibatnya, jadwal kerja, bekerja sendiri atau dalam sebuah tim, pengawasan dan keadaan pekerja adalah parameter yang dapat mempengaruhi resiko WMSDs. Efek organisasi pada resiko WMSDs merupakan fakta bahwa organisasi menentukan kondisi kerja untuk melaksanakan tugas tertentu. Kecepatan kerja, iklim kerja dan kualitas hubungan interpersonal juga dapat mempengaruhi resiko WMSDs atau stress kerja. 6. Beban kerja dan kecepatan kerja Beban kerja adalah faktor resiko ketika jumlah pekerjaan yang diminta terlalu berat. Kecepatan kerja, intensitas usaha dan kurangnya waktu pemulihan umumnya dikaitkan dengan beban kerja yang sangat berat. Selain itu, ketika pekerja berhubungan dengan mesin, pekerja biasanya tidak dapat menyesuaikan kecepatan kerja ketika bekerja setiap hari. Hal ini diakui Universitas Sumatera Utara bahwa kecepatan pekerja dikendalikan oleh faktor eksternal yang tidak hanya satu. Selain faktor resiko yang sering hadir ketika kecepatan kerja dipaksakan, seperti beban kerja berat, tingkat pengulangan tinggi dan tekanan psikologis yang kuat, pekerja harus memiliki sedikit kelonggaran. Namun, kurangnya kontrol yang dimiliki pekerja atas pekerjaan memiliki dampak signifikan pada ketegangan yang dirasakan dan dianggap sebagai faktor utama terjadinya WMSDs. 7. Jadwal kerja Jadwal kerja dapat mempengaruhi tingkat resiko WMSDs karena dapat memperpanjang durasi kerja, yang merupakan peningkatan beban kerja. Jadwal ini juga mewakili faktor stres, shift malam misalnya dapat mempersingkat masa istirahat yang diperlukan untuk pemulihan. Ketika jumlah pekerjaan signifikan, beban muskuloskeletal berasal bukan hanya dari proses kerja yang berkelanjutan, tetapi juga dari ketiadaan atau pengurangan waktu pemulihan. Istirahat selama shift kerja sangat penting untuk memungkinkan otot beristirahat antara periode kerja. Sebagai contoh, tiga menit istirahat mungkin lebih efektif, dalam hal pemulihan, daripada waktu kerja yang dipersingkat selama 30 menit. 8. Perubahan teknologi Sangat sulit untuk memprediksi semua konsekuensi dari pilihan teknologi yang ada pada saat ini. Teknologi baru kadang-kadang membuat masalah baru mengenai beban muskuloskeletal. Beberapa orang telah mengantisipasi bahwa tugas akan berubah dan masalah-masalah baru akan muncul jika Universitas Sumatera Utara adanya perubahan teknologi. Oleh karena itu, sangat penting untuk tetap waspada berkaitan dengan dampak dari teknologi baru. Setiap kali ada perubahan besar dalam metode produksi, dampak yang mungkin terjadi pada proses kerja harus dianalisis. 9. Lingkungan sosial Lingkungan sosial dapat menjadi sumber utama motivasi, tetapi juga sumber keprihatinan dan stres. Dalam lingkungan sosial, pekerja bisa merasakan ketidaknyamanan atau sakit dan mengeluh, walaupun mereka mungkin cenderung untuk menunggu sampai menit terakhir untuk melaporkan masalah muskuloskeletal sehingga konsekuensi semakin lebih serius. Lingkungan yang menumbuhkan ekspresi dan komunikasi akan menguntungkan karena bisa bertukar informasi tentang keahlian pekerja dalam pelaksanaan proses perbaikan terus-menerus.

3.3.5 Pemantauan Masalah WMSDs

Adanya WMSDs didahului dengan tanda-tanda seperti rasa sakit, ketidaknyamanan dan kelelahan. Singkatnya, kondisi kerja tertentu memiliki efek pada kesehatan. Untuk mengevaluasi kehadiran masalah ini di tempat kerja, dua pilihan yang layak dieksplorasi yaitu: 1. Pemantauan Kesehatan Pemantauan kesehatan tentu saja sangat efektif untuk mendeteksi masalah WMSDs. WMSDs tidak hanya berasal dari kecelakaan, namun ketika dilaporkan, hal ini sering disebut sebagai kecelakaan. Hal ini penting, guna Universitas Sumatera Utara menganalisis data kecelakaan dalam rangka mendeteksi gangguan muskuloskeletal yang mempengaruhi anggota badan. Jumlah WMSDs yang terjadi selama periode tertentu dapat dihitung dan dibandingkan terhadap jumlah kecelakaan dan penyakit yang terjadi selama periode yang sama. Namun, hal ini masih lebih berguna untuk mengevaluasi jumlah hari yang hilang akibat WMSDs, yang memberikan indikasi lebih baik dari kontribusi WMSDs terhadap kompensasi pekerja. Memang, WMSDs sering disebut sebagai proporsi rendah kecelakaan, luka dan memar. Namun, ketika durasi absen dan proporsi biaya yang dikeluarkan diperhitungkan, WMSDs lebih menonjol pada perhitungan waktu kerja yang terbuang. Perlu dicatat, meskipun WMSDs diberi kompensasi, dampak dari WMSDs bisa dirasakan pada ketidakhadiran pekerja. Efek dari WMSDs juga dapat dilihat pada kenyataan bahwa setiap satu orang yang menjadi korban WMSDs, ada banyak orang lain yang mengakui memiliki gejala-gejala kurang serius yang tetap dapat mengakibatkan adanya WMSDs. Akhirnya, pekerja kadang-kadang mengeluh tentang rasa sakit atau ketidaknyamanan mereka berhubungan dengan pekerjaannya. 2. Pemantauan Resiko WMSDs Untuk mengetahui adanya masalah WMSDs, perlu dilakukan evaluasi kondisi kerja tentang adanya penyebab WMSDs. Proses konsultasi bisa digunakan untuk mengumpulkan data awal. Tapi, biasanya perusahaan tidak memiliki data langsung tentang adanya faktor WMSDs di tempat kerja. Situasi menjadi Universitas Sumatera Utara lebih rumit karena faktor WMSDs tertentu menjadi hal yang normal dan tidak lagi dianggap sebagai bukti adanya resiko. Pemantauan selalu berguna dan harus menjadi bagian dari sebuah program pencegahan. Hal ini membantu menganalisis situasi dan mengevaluasi langkah kerja yang akan diambil. Indikator awal adanya WMSDs bisa dilihat dari data statistik kecelakaan dan jumlah keluhan. Selanjutnya dengan adanya indikator awal ini, perhatian akan fokus tentang bagaimana indikator tersebut berkembang dari waktu ke waktu sehingga diperlukan tindakan pencegahan yang nyata.

3.3.6 Penanganan WMSDs

Penanganan WMSDs penting untuk mengurangi resiko WMSDs sehingga dapat meningkatkan efektivitas kerja. Penanganan WMSDs secara tepat harus sesuai berdasarkan tempat kerja. Tempat kerja sistem dapat dilihat dari lima komponen utama meliputi aspek-aspek kerja individu, teknis, organisasi kerja, karakteristik pekerjaan dan lingkungan fisik dan sosial. Jantung dari sistem ini adalah individu atau pekerja, dengan fiturnya berupa fisik atau psikologis berupa interaksi antara pekerja dengan sifat-sifat tertentu, dan komponen-komponen berupa proses kerja. Teknologi dan metode kerja yang digunakan harus sesuai dengan pengetahuan pekerja. Pengaruh organisasi juga memiliki dampak langsung pada individu, stasiun kerja dan kondisi kerja. Organisasi menentukan tingkat partisipasi pekerja, sifat interaksi dengan rekan kerja, jenis pengawasan dan pengendalian di stasiun keja. Karakteristik pekerjaan berpengaruh terhadap individu dan proses kerja, seperti tingkat presisi yang diperlukan, fisik dan mental Universitas Sumatera Utara sebagai persyaratan kerja. Misalnya saja individu bekerja dengan menggunakan tinggi meja kerja yang sama. Penanganan WMSDs yang disetujui para ahli yaitu dengan melakukan pendekatan yang komprehensif tergantung kepada tempat kerja. Dengan cara itu penanganan bisa difokuskan pada masalah utama sehingga resiko bisa ditangani secara keseluruhan.

3.3.7 Pencegahan WMSDs

Pencegahan WMSDs secara efektif guna meminimalisasi resiko WMSDs dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti: 1. Perbaikan kondisi kerja secara ergonomi Pencegahan harus dimulai dari sumber. Dalam kasus WMSDs, berarti mengurangi resiko melalui perbaikan kondisi kerja secara ergonomi. Sebagai contoh dengan modifikasi tata letak stasiun kerja serta perubahan dalam organisasi kerja. 2. Rotasi Rotasi sementara dapat digunakan sebagai bagian dari peningkatan kondisi kerja ergonomis. Rotasi antara beberapa stasiun kerja dianjurkan untuk mengurangi paparan resiko yang dialami pekerja. Dalam hal ini, rotasi bukanlah solusi universal. 3. Pelatihan Ide pelatihan fokus pada metode yang tepat atau postur yang tepat. Di bidang lain, program pelatihan biasa dilakukan jika metode kerja yang digunakan memberikan hasil yang mengecewakan. Akan tetapi, pelatihan ini sering Universitas Sumatera Utara mengalami kegagalan dikarenakan metode yang diajarkan ketika pelatihan tidak dapat diterapkan di tempat kerja. Selain itu, hal yang sering dilupakan adalah bahwa tidak ada satupun metode kerja yang tepat dan berlaku secara universal untuk semua pekerjaan dan semua kondisi. Strategi yang berbeda didasarkan pada situasi tangan pekerja. Pelatihan biasanya lebih fokus pada transfer informasi dan pengetahuan. Oleh karena itu, sebaiknya pelatihan diarahkan tentang cara mendeteksi gejala awal dari WMSDs dan mengidentifikasi faktor dan resiko utama di stasiun kerja. Kesimpulannya, pelatihan berdasarkan transfer pengetahuan tampaknya menawarkan potensi yang lebih baik daripada berfokus hanya pada pelatihan metode kerja secara khusus. 4. Tindak lanjut dari pekerja Dalam hal ini mungkin sangat berguna untuk mengembangkan mekanisme kerja dengan kondisi kerja yang disesuaikan dengan status kesehatan pekerja. Tujuannya adalah untuk menyediakan stasiun kerja yang disesuaikan dengan kapasitas pekerja. 5. Program kebugaran tempat kerja Beberapa perusahaan telah mengatur program kebugaran di tempat kerja. Sebagai contoh, dua kali sehari selama sepuluh menit pekerja melakukan latihan peregangan dan pemanasan untuk sendi. Akan tetapi, beberapa perusahaan masih ragu akan efektivitas program ini. Sehingga perbaikan ergonomi merupakan solusi nyata untuk menangani WMSDs seperti Universitas Sumatera Utara mendesain stasiun kerja atau menambah komponen kerja yang berguna untuk meningkatkan efektivitas kerja pekerja Simoneau, et al. 1996.

3.3.8 Metode Pengukuran Keluhan Muskuloskeletal

Suatu cara dalam ergonomi untuk mengetahui adanya keluhan muskuloskeletal adalah dengan mengukur lokasi dan intensitas keluhan WMSDs yang didata dengan menggunakan Standard Nordic Questionnaire yang dimodifikasi dengan empat skala Likert. Selain menggunakan Standard Nordic Questionnaire, keluhan muskuloskeletal juga dapat diketahui dengan RULA Rapid Upper Limb Assessment. RULA adalah suatu alat ukur untuk mengetahui biomekanik dan beban yang diterima oleh keseluruhan tubuh. RULA dikhususkan untuk mengetahui keluhan muskuloskeletal daerah leher, badan, anggota gerak atas, dan sangat sesuai untuk pekerjaan-pekerjaan yang statis atau menetap. Nilai yang dihasilkan dalam perhitungan RULA mengindikasikan tingkat intervensi yang diperlukan untuk mengurangi adanya resiko keluhan muskuloskeletal. Metode pengukuran keluhan muskuloskeletal dengan RULA Rapid Upper Limb Assessment dilakukan dengan mengadakan pengamatan mengenai gerakan badan pekerja saat beraktivitas, mulai dari gerak anggota badan atas, lengan atas sampai kaki pekerja Arimbawa, 2011.

3.4 Postur Kerja

Postur kerja merupakan titik penentu dalam menganalisis keefektifan dari suatu pekerjaan yang dilakukan. Apabila postur kerja yang dilakukan oleh pekerja Universitas Sumatera Utara sudah baik dan ergonomis maka dapat dipastikan hasil yang akan diperoleh oleh pekerja tersebut adalah hasil yang baik. Akan tetapi sebaliknya bila postur kerja pekerja salah atau tidak ergonomis maka pekerja tersebut akan mudah mengalami kelelahan dan dalam jangka panjang akan menimbulkan keluhan-keluhan pada bagian tubuh tertentu. Apabila pekerja mengalami kelelahan jelaslah hasil yang dilakukan pekerja tersebut juga akan mengalami penurunan dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Posisi duduk dalam jangka waktu yang lama juga akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Jika kursi dan postur kerja yang dirancang tidak bagus tidak ergonomis, dapat mengakibatkan timbulnya rasa pegal pada leher, tulang belakang, kelainan bentuk pada tulang belakang, dan masalah yang berhubungan dengan fungsi otot. Postur kerja merupakan pengaturan sikap tubuh saat bekerja. Sikap kerja yang berbeda akan menghasilkan kekuatan yang berbeda pula. Pada saat bekerja sebaiknya postur bekerja secara alamiah sehingga dapat meminimalisasi timbulnya cedera dalam bekerja. Kenyamanan tercipta apabila pekerja telah melakukan postur kerja yang baik dan aman. Postur kerja yang baik sangat ditentukan oleh pergerakan organ tubuh saat bekerja. Untuk itu, perlu adanya suatu penilaian terhadap suatu postur kerja pekerja untuk mengetahui sejauh mana postur ataupun sikap kerja pekerja mampu mempengaruhi produktivitas dan kesehatan fisik pekerja Tarwaka dkk. 2004. Akan tetapi, postur duduk yang benar masih menjadi perdebatan yang terus-menerus dilakukan oleh ahli ergonomi yang profesional. Beberapa orang mengatakan bahwa pada saat duduk penempatan siku dan lutut harus membentuk Universitas Sumatera Utara sudut 90 . Sebagian lagi mengatakan bahwa penempatan siku dan lutut yang bervariasi lebih baik selama penggunanya tidak membungkuk. Akan tetapi, semua ahli ergonomi sepakat bahwa postur tubuh yang baik selama duduk dan yang nyaman jika tidak ada tekanan pada bokong, lengan dan otot pengguna serta kaki pengguna berada di lantai. Lebih baik lagi jika duduk dengan cara yang bervariasi dibandingkan dengan postur yang tetap Openshaw, et al. 2006.

3.5 Sikap Kerja Duduk