BAB II KABUPATEN ACEH SINGKIL
2.1 Sistem Pemerintahan Aceh Singkil
Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1999 yang dikeluarkan pada tanggal 20 April 1999 maka wilayah Singkil resmi menjadi Kabupaten Aceh singkil dan pelantikan Bupati pertama
Kabupaten Aceh Singkil, H. Makmur Syahputra, SH MM dilakukan di Jakarta pada tanggal 27 April 1999 oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. Dengan demikian, maka Kabupaten
Aceh Singkil telah memiliki pemerintahan dan daerah otonomi sendiri. Wilayah Kabupaten Aceh Singkil yang cukup luas ini dijalankan dengan menggunakan sistem pemerintahan yang berlaku
di Indonesia. Yaitu sistem Pemerintahan yang dipimpin oleh Bupati dan dibantu oleh seorang wakil Bupati. Dan untuk pemberdayaan aparatur daerah nya diangkat seorang Sekretaris Daerah
yang berasal dari lingkungan Pegawai Negeri Sipil.
2.2 Sejarah Kabupaten Aceh Singkil
Kabupaten Aceh Singkil terbentuk pada tahun 1999 yaitu dengan keluarnya Undang- Undang No.14 tahun 1999 tanggal 27 April 1999. Letak geografis Kabupaten Aceh Singkil
berada pada posisi 2002‟-2027‟30” Lintang Utara dan 97004‟-97045‟00” Bujur Timur.
Kabupaten Aceh Singkil memiliki batas wilayah administrasi yang meliputi sebelah Utara berbatasan dengan KotaSubulussalam, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera
Indonesia,sebelah Timur berbatasan dengan Pripinsi Sumatra Utara dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Trumon Kabupaten Aceh Selatan. Dengan luas daerah 1.857,88 Km2
membagi Kabupaten Aceh Singkil kedalam 11 Kecamatan, 16 Mukim, dan 120 Desa Kabupaten ini terdiri dari dua wilayah yakni daratan dankepulauan.
Universitas Sumatera Utara
Bermula pada tahun 1956 di Jakarta, seorang anggota DPR. R.I. putra Meukek Aceh Selatan yang bernama Alm. Almelz abang kandung Amran Zamzami menyampaikan kepada
mantan Wedana pertama Wilayah Singkil yaitu Bapak A. Mufti AS dan tokoh masyarakat Wilayah Singkil yaitu Bapak Anhar Muhammad Hosen, bahwa dilihat dari segi Historis,
Geografis, Ekonomi Kebudayaan dan Politis, serta aset yang dimiliki Kewedanaan Singkil sudah sepantasnya statusnya ditingkatkan menjadi Kabupaten. Dengan dibantu oleh beberapa Seksi
PAPKOS terus bekerja dengan tujuan untuk memperjuangkan daerah Kewedanaan Singkil ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten Otonomi Tingkat II dalam Lingkungan Propinsi
Otonomi Aceh. Berbagai strategi disusun dan delegasi demi delegasi diutus ke Tapaktuan, Banda Aceh dan Jakarta. Sangat disayangkan baru beberapa waktu panitia bergerak, timbul gejolak
politik yaitu dengan terjadinya pemberontakan di daerah-daerah di Indonesia, panitia tidak bisa bekerja secara maksimal sehingga usaha ke arah peningkatan status Singkil ini tersendat-sendat.
Pada tahun 1964 digelar musyawarah masyarakat Wilayah Singkil I di Balai Syekh Abdurrauf Singkil, pesertanya adalah tokoh-tokoh masyarakat Wilayah Singkil baik yang berada di Wilayah
Singkil sendiri, maupun dari luar daerah, seperti : Jakarta, Medan, Banda Aceh, Tapaktuan, Sibolga dan lain-lain.
Seterusnya proses peningkatan status Wilayah Singkil ditangani oleh Pemerintahan Makmursyah Putra SH, sebagai Kepala Perwakilan Kabupaten Aceh Selatan di Singkil bersama
rakyat. Panitia menggelar pertemuan- pertemuan dan seminar-seminar di Singkil, Tim mulai dari Tk II, Tk I sampai Tim Pusatpun berdatangan ke Singkil untuk menghimpun berbagai masukan,
bahkan berkali-kali Komisi II DPR-RI juga datang ke Singkil, kedatangan terakhir yang di Ketuai oleh Faisal Basri merupakan kunjungan yang sangat menentukan terwujudnya Kabupaten
Aceh Singkil. Rakyat Singkil menyambut komisi ini dengan gembira dengan menampilkan
Universitas Sumatera Utara
pagelaran Adat dan Kesenian Daerah Singkil dengan meriah. Akhirnya perjuangan masyarakat Singkil menjadi kenyataan dengan keluarnya U.U. No. 14 tahun 1999 tanggal 20 April 1999
dengan resmi Wilayah Singkil menjadi Kabupaten Aceh Singkil dan sebagai Bupati pertama Makmursyah Putra, SH. Pelantikan Bupati dilakukan di Jakarta pada tanggal 27 April 1999 oleh
Meteri Dalam Negeri. Peresmian Kabupaten Aceh Singkil dilakukan oleh Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Aceh Bapak Prof. DR. Syamsuddin Mahmud pada tanggal 14 Mei 1999 di
lapangan Daulat Singkil yang dihadiri oleh Masyarakat Singkil yang berada di Singkil dan yang berasal dari perantauan tumpah ruah penuh kebahagiaan dan keharuan. Raut wajah Rakyat
Wilayah Singkil yang menghadiri acara peresmian tersebut terpancar perasaan puas, bangga serta bahagia. Tulisan ini merupakan hasil perbaikan pada tulisan yang sama yang dimuat pada edisi
sebelumnya setelah mendapat saran-saran dan masukan masukan dari berbagai sumber lainnya. sumber, badan pusat statistic aceh singkil tgl 29 agt 2016, 16:00.
Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog. Kebudayaan Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang
strategis karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu, Timur
Tengah dan Aceh sendiri. Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang
Indonesia yang berada di lain wilayah. Sistem kemasyarakatan suku bangsa Aceh, Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari
sistem kekerabatan. Sistem Kemasyarakatan di Aceh memiliki bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil
disebut gampong kampung atau desa yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam
Universitas Sumatera Utara
setiap gampong ada sebuah meunasah madrasah yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu
para panglima yang berjasa kepada sultan. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib,tengku
bile, dan tuha peut penasehat adat. Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong
dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak
opat. Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imeum, dan cerdik pandai yang
mewakili rakyat.
Sejak disahkannya Qanun No.4 Tahun 2003 tentang Mukim, sebagai tindak lanjut dari
UU No.44 Tahun 1999 dan UU No.18 Tahun 2003, hingga saat ini belum terjadi perubahan sebagaimana mestinya, khususnya dalam upaya penguatan kelembagaan mukim. Penulisan
istilah “mukim” juga belum sesuai dengan amanah UU dan sejarah lahirnya lembaga mukim. Akibatnya, penggunaan sebutan “kemukiman” untuk menunjukkan wilayah dan lembaga mukim
begitu meluas, tanpa ada upaya untuk meluruskannya. Dalam qanun kabupatenkota itu disebutkan, mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas
gabungan beberapa gampong desa yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh imeum mukim kepala mukim dan berkedudukan langsung di bawah camat. Namun tidak satu
poin pun yang menjelaskan makna kata “kemukiman”. Walaupun dalam qanun kabupaten tersebut terdapat beberapa kata “kemukiman”. Dalam perkembangannya kemudian, istilah
mukim di Aceh mengalami penukaran makna dari arti yang sebenarnya. Istilah mukim kemudian
Universitas Sumatera Utara
menjadi sebuah konsep untuk menerangkan ruang fisik dari sesuatu kawasan yang terdiri dari beberapa gampong yang memiliki satu masjid bersama. Istilah mukim adakalanya merujuk
kepada seseorang yang sedang menjabat sebagai pemimpin mukim. Menurut penulis, penggunaanpenulisan “kemukiman” untuk wilayah dan lembaga mukim, kemungkinan besar
terpengaruh oleh pola penulisan yang menggunakan imbuhan awalan “ke” dan akhiran “an” dalam Bahasa Indonesia. Khususnya dalam pola pengembangan sebutan jabatan dan wilayah
yang jadi lingkup jabatannya. Contoh: “Sultan”sebagai pemimpin negeri atau kerajaan, untuk wilayah kekuasaannya tinggal ditambah awalan “ke” dan akhiran “an” sehingga menjadi
kesultanan. Contoh lain: pada masa sebelum kolonial, di Jawa Barat, di bawah Bupati adipati terdapat pegawai-pegawai yang diberi tugas untuk memungut pajak. Daerah penarikan pajak
yang meliputi beberapa desa dikepalai oleh seorang pegawai yang dinamakan “camat”. Beberapa camat dikepalai oleh seorang yang dinamakan “cutak” Soetardjo 1984:381”. Wilayah tugas
dari seorang camat di Jawa Barat tersebut kemudian menjadi cikal bakal sebutan kecamatan. Jika merujuk kepada pola tersebut, penggunaan istilah “kemukiman” juga tidak sesuai
digunakan dalam konteks mukim, karena istilah mukim, bukan merujuk kepada gelar atau nama jabatan. Akan tetapi merupakan sebutan untuk sebuah wilayah, sekaligus sebagai lembaga.
Sedangkan pemimpin dari sebuah wilayah mukim disebut dengan imuem mukim. Selain itu, kalau pola penyebutan “mukim menjadi kemukiman” diterapkan pada gampong, maka
“gampong akan menjadi kegampongan”. Pola ini tentu saja janggal rasanya.
2.3 Peta Kabupaten Aceh Singkil